Sabtu, Desember 01, 2007

RELAWAN-RELAWAN


Oleh : Rasid Rachman

Berbagai ragam relawan bekerja dengan para suster Misionaris Cintakasih (MC). Kebangsaan, warna kulit, agama memang sangat beragam. Dari segi jangka waktu bekerja pun bermacam-macam. Ada yang bekerja selama 3 – 4 bulan, bahkan ada yang sudah 1,5 tahun bekerja di MC ketika saya di sana. Ada pula pula yang hitungan minggu atau hari, bahkan ada yang cuma 1 –2 hari. Registrasi pendaftaran,, lalu bekerja keesokan harinya, kemudian tidak datang lagi.
Namanya saja relawan, bekerja yah serelanya. Ada yang agak main-main, namun ada pula yang bekerja dengan sangat giat dan serius. Kelompok yang terakhir ini biasanya memang pelancong tulen dan berasal dari negara yang mapan. Mereka gak punya keluarga dan pekerjaan, tetapi duit ada terus, minimal untuk tidur di mana saja dan makan apa saja.
Jumlahnya relewan yang “menetap” lama atau agak lama ini tidak banyak. Oleh karena itu biasanya mereka dikenal oleh pegawai dan suster MC di center tempat bekerja. Tidak heran apabila kehadiran relawan jenis ini cukup populer dan berkesan. Tidak sedikit yang diserahkan tanggungjawab oleh Suster Kepala sebagai koordinator atau menjalankan tugas tertentu di MC.
Ada dua orang relawan asal Seraleon yang setiap tahun bekerja di Prem Dan. Hal itu sudah dijalaninya selama delapan kali, atau delapan tahun. Setiap tahun kedua orang ini kembali lagi ke Kolkata, bergabung di MC selama 2 bulan, dan bekerja. Bekerja sebagai relawan mendatangkan cinta kasih kepada sesama.

TIP

Oleh : Rasid Rachman


Orang Kolkata biasa meminta tip, upah ekstra. Pelayan restoran, petugas penginapan, sopir taksi, semua minta tip. Mereka minta tip bahkan tanpa malu-malu lagi. Sehabis makan, atau sehabis menginap, pramusaji dan petugas hotel memberikan kode menjentikan jari telunjuk dan jari tengah, lalu berkata: “My tip.”
Sopir taksi minta tip, hampir pasti. Setibanya saya di bandara Kolkata, hampir tengah malam, saya membeli tiket prepaid taxi. Ketika tiket bukti tersebut saya berikan kepada sopir taksi yang sedianya membawa saya ke penginapan, sebelum mesin mobil dihidupkan dia berkata:
Sopir: “Pak, lihat, sekarang hujan besar.” (cari-cari alasan)
Saya : “Ya, lantas apa masalahnya?”
Sopir: “Hotel masih jauh, dan sekarang hujan lebat.”
Saya : (tetap bertahan) “Saya tahu sekarang hujan. Tapi kita kan di mobil. Mobil ini berfungsi, bukan?
Sopir: “Saya perlu tambahan ongkos.”
Saya : “Lho …!” (tapi segera saya sadar posisi saya. Tiket prepaid saya sudah diambilnya, tengah malam, lelah sekali, banyak barang, baru tiba di negeri asing) “Ya sudah, berapa kamu minta.”
Sopir: “Seratus rupee.”

Begitulah Kolkata. Sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan kota Jakarta menyambut orang asing dan orang tidak asing.

PERPISAHAN

Oleh : Rasid Rachman

Perpisahan adalah hal lazim, sebagaimana pertemuan sesama relawan. Terutama di musim liburan, hampir setiap hari ada relawan baru, dan hampir setiap hari ada relawan yang pergi. Selama bersama-sama bekerja sebagai relawan, ada saatnya seseorang harus kembali ke negara asalnya atau melanjutkan pelancongannya.
Perpisahan tidak diadakan secara khusus. Biasanya sebelum makan siang bagi pasien, di mana semua unsur berkumpul di sekitar meja pembagian konsumsi, relawan yang dihajatkan itu diberikan atau dikalungkan bunga oleh pasien, atau suster, atau pegawai. Lalu dinyanyikan, selesai. Itu bagi yang memang sangat terkesan. Biasanya mereka bekerja lama, lebih daripada 3 bulan, dan menetap di satu tempat pelayanan.
Bagi relawan yang “biasa-biasa” saja, namun akrab juga di kalangan relawan, biasanya di kalungkan bunga (itu pun kalau sempat dibuatkan kalungan bunga oleh teman-teman relawan) dan dinyanyikan di sela-sela acara. Waktu yang asik adalah waktu istirahat para relawan, sekitar pukul 10.00.
Bagi kelompok relawan hampir menyendiri, alias yang tidak dikenal tapi gaul, beberapa relawan biasanya mengucapkan selamat berpisah saja. Buat janji berkirim email dan berkirim surat adalah hal biasa di waktu seperti itu. Lalu, relawan yang mau pergi itu memotret kiri-kanan untuk kenangan sendiri.
Bagi relawan cuek atau gak gaul, biasanya memang tidak diacarain apa-apa. Dia cuek, kita juga cuek. Kapan datangnya, tidak ada yang tahu. Kapan perginya, juga tidak ada yang peduli. Lebih tragis lagi, keberadaannya pun nyaris tidak diketahui, namun kadang diomongin di sela-sela istirahat para relawan. Kelompok ini memang sangat sedikit, namun bisa saja menjadi populer juga karena sikapnya yang cuek abis itu.

BERHENING DI MAKAM BUNDA

Oleh : Rasid Rachman

Bunda Teresa dimakamkan di Mother House. Makam itu terletas di bagian depan, menyatu dengan tempat para suster melakukan aktivitas harian. Di atas makam terletak kapel. Di kapel itu dilayankan ibadah-ibadah harian untuk umum, pagi pukul 06.00 dan senja pukul 18.00.
Area makam sekitar 10 m x 6 m. Pintu masuk terletak disebelah kepala pusara, dari arah dalam Mother House. Pusara jasad Bunda Teresa setinggi 120 – 140 cm, panjang sekitar 200 cm dan lebar sekitar 180 cm. Pusara itu berwarna putih berbatu pualam. Suasana sejuk dna tenang terasa di dalam makam itu, kontras dengan semrawutnya Kolkata.
Tidak ada yang istimewa dari penempatan makam tersebut. Mau ke makam itu, tidak dikenakan prosedur apa pun, kecuali pembatasan waktu berkunjung. Siapa saja boleh masuk-keluar, berkunjung, sekadar melihat-lihat foto dan tulisan tentang Bunda Teresa yang ditempel di dinding sekeliling ruang makam tersebut. Kadang-kadang, lokasi makam itu juga digunakan untuk saling berbicara. Asal semua orang saling menghormati, dan menjaga kekhidmatan atau keheningantempat tersebut.
Saya seringkali ke makam itu jika libur bekerja atau sore hari. Biasanya tanpa alasan jelas; sekadar menghabiskan waktu atau beristirahat atau menikmati berhening. Kesunyian dan keheningan kadang menjadi kebutuhan setelah seharian beraktivitas.
Namun keberadaan itu adalah istimewa. Makam itu bukan hanya mendatangkan aura spiritualitas Bunda Teresa, tetapi juga menjadi oasis bagi setiap orang yang mencari kesunyian dan keheningan. Ketiadaan “oasis” rutintas dan aktivitas itulah yang seringkali dilupakan sebagai suatu kebutuhan.

KOLKATA, KOTA GEMBEL


Oleh Rasid Rachman

Kolkata, menurut saya, pantas dijuluki kota gembel. Di mana-mana dan kapan pun, ada gembel. Di pingggir jalan, di trotoar, stasiun, depan rumah, dan kaki lima, yang terlihat gembel semua. Siang, malam, dan tengah malam, gembel pria, perempuan, anak, dan bayi selalu kita jumpai. Setahu saya tidak ada kota di Indonesia yang mirip dengan Kolkata.
Gembel di Kolkata adalah mereka yang tidak memiliki rumah sama sekali; bukan yang tinggal di daerah kumuh. Gembel adalah strata terendah dari orang miskin di Kolkata.
Profesi dan pekerjaan para gembel bermacam-macam. Sebagian gembel bekerja menjadi penarik angkong. Sebagian lain menjadi pengemis atau pengamen. Gembel pengangguran juga tidak sedikit. Ada sedikit gembel yang terganggu ingatan. Ada juga gembel kriminal, semacam pencopet, penodong, atau penjambret. Penjambret yang paling menyolok adalah anak yang menjambret air mineral dari tangan. Yang paling baik adalah gembel yang menanti kesempatan baik, misalnya mengambil dompet jatuh atau barang tertinggal.
Saya sendiri tidak berurusan dengan gembel kriminal. Untung! Namun, saling menyapa dengan beberapa gembel ramah di trotoar di depan penginapan saya, hampir setiap hari saya lakukan. Mulanya, gembel itu dulu yang menyapa. Ucapannya, tidak jelas bagi saya. Tetapi dari senyum dan tawanya, saya tahu mereka bermaksud baik dan ramah. Kalau timbul rasa iba, kami memberikan pisang atau makanan ke seorang gembel. Memberikan makanan jauh lebih baik ketimbang memberikan uang, sekalipun biasanya gembel yang kita beri makanan itu menjual makanan tersebut kepada sesama gembel yang membutuhkan.

NAMA-NAMA JULUKAN


Oleh : Rasid Rachman

Tim 3 terdiri dari enam orang, termasuk saya. Katanya saya sebagai pimpinan tim 3, padahal saya hanya seminggu – dari seharusnya 12 hari – di Nias bersama tim 3. Oleh karena saya paling tua dibanding para anggota tim yang 5 – 15 tahun lebih muda, maka Lucia memanggil saya: Babe. Gerhard memanggil saya: Boss.
Lucia, dipanggil Cia. Padahal nama depannya Henny. Tinggal dan bekerja bersama-sama, menimbulkan kreativitas tim. Nama orang diganti, julukannyalah yang lebih dikenal. Alasannya, demi keakraban. Bahasa Inggris Cia paling bagus di antara kami, sebab dia satu-satunya yang lulus sekolah tinggi bahasa Inggris.
Cia datang bersama Tina. Tina ini pengusaha dan penjual sepatu di Bandung. Selain lebih dewasa dibanding yang lain, Tina pandai memijit. Jasanya sangat diperlukan, gratis pula. Kedewasaannya itulah yang menolongnya untuk ditidak diberi nama julukan.
Yang beda adalah Udin. Namanya aslinya Satya, tidak ada udin-udinnya. Rupanya ada selipan Syarifudin pada namanya. Udin baru lulus sekolah teologi. Karena terlihat lebih serius dibanding yang lain, maka ia diberi nama yang terkesan tidak serius. Yah … Udin, itulah.
Termuda dari tim 3 adalah Gerhard. Dia lahir di Gunung Sitoli, jasanya sebagai penerjemah. Dia paling banyak tahu tentang Nias. Kemudaan dan badannya yang lebih kecil, tampak imut, sering juga dijuluki si bungsu. Namun karena rambutnya menjadi pirang beberapa bulan lalu, teman-teman memanggilnya Bucheri, alias Bule Chelup Sendiri atau Bule Cet Sendiri.
Murtopo paling ahli dalam urusan kemping. Dia sudah di tingkat pelatih para pencinta alam. Gayanya yang jaim, jaga image, justru menjerumuskan dia mendapat julukan Intruktur (tanpa “s”). Entah mengapa, waktu itu ucapannya terdengar intruktur, bukan instruktur. Padahal menurut pengakuannya, dia tidak pernah menyebut kata itu, tetapi Pelatih. Sekali sebut, ternyata kurang “s”. ¨

PERJALANAN

Oleh : Rasid Rachman

Jarak antar kota kecamatan di Nias dengan Gunung Sitoli sebenarnya tidak jauh. Paling cuma 60 km sampai 100 km. Namun kondisi jalan yang parah, menyebabkan perjalanan di Nias harus ditempuh berjam-jam. Kecuali Gunung Sitoli ke Bandara Binaka, dan ke objek wisata Teluk Dalam, kondisi jalan-jalan yang lain di Nias sangat berat. Ya berbahaya, ya rusak, dan lain-lain.
Dari Sitoli ke Kecamatan Sirombu dan Lahewa perjalanan dapat ditempuh dengan duduk terus di dalam mobil selama 4 jam. Kalau mau lebih cepat, naik motor selama 3 jam. Kadang mobil itu melewati pinggir jurang, kadang menyebarangi jembatan berlubang. Oleh karena itu, naik motor lebih cepat daripada mobil. Namun perjalanan tersebut masih baik, sebab penumpangnya masih tetap duduk di dalam mobil.
Dari Sitoli ke beberapa daerah lain, kadang tidak dapat ditempuh dengan kendaraan. Ada juga jalan yang bisa ditempuh dengan naik mobil beberapa puluh kilometer, lalu jalan kaki beberapa kilometer, dan naik motor beberapa puluh kilometer lagi. Dari Sitoli ke Afulu lewat Lahewa, yah seperti itulah. “Belum ada jalan,” kata orang. Percaya tidak percaya, tempat itu tercantum di peta, tetapi “koq gak ada jalan ke sana?” gumam saya.
Ada lima jenis jalan di Nias, yaitu:
1. Jalan enak dan mulus, tidak ada masalah. Ini cuma ada di kota Gunung Sitoli.
2. Jalan agak rusak, artinya masih bisa berkendaraan mobil, tetapi penuh resiko.
3. Jalan belum baik, artinya hanya bisa berkendaraan motor.
4. Tidak ada jalan, artinya harus jalan kaki.
5. Jalan putus, artinya jalan kaki pun dengan susah payah; harus melewati rawa dan lumpur sepaha selama 2 jam, seperti dari Faechuna’a ke Alasa. ¨

"NEXT"

Oleh : Rasid Rachman

Datang ke Desa Faekuna’a dengan tujuan mendirikan rumah rusak akibat tsunami bukan soal mudah dan sederhana. Harus sabar dan cerdik taktik. Yang terakhir itu merupakan cara bernegosiasi agar rencana pembangunan rumah berjalan lancar tanpa kena tipu penduduk.
Masalahnya, banyak orang yang mengaku rumahnya hancur, perahunya rusak, dan mesin kapalnya lenyap oleh karena diterjang tsunami 26 Desember 2004 lalu. Padahal bisa saja dari dulu sebelum tsunami, orang itu memang belum punya rumah yang wajar, atau perahu sudah rusak, atau perahunya memang tidak bermotor. Kebetulan ada orang kota datang (“bawa duit,” pikir mereka), maka sampaikan saja keluhan itu. Siapa tahu, “Orang-orang kota itu langsung menolong” tanpa menyelidiki.
Tentu kami, orang-orang kota itu, tidak dengan mudah mempercayai informasi sepihak dari “korban”. Kami harus jeli melihat dan membedakan korban sejati atau korban gadungan, agar supaya kami tidak menjadi korban penipuan.
Bagaimana caranya? Tanya tsunami tentang siapa dan apa saja yang diterjangnya waktu itu, jelas tidak masuk akal. Seorang anggota tim berinisiatif mengundang (baca: memanggil) orang itu ke rumah inap kami. Janji dibuat dengan kesepakatan waktu.
Pada waktunya, orang-orang itu datang. Ternyata, ia tidak sendiri. Ia membawa teman yang tidak seorang. Teman-temannya itu pun dibuntuti oleh tetangga-tetangganya. Jumlahnya mencapai belasan. Rupanya, berita dari mulut ke mulut telah menyebar cepat bahwa orang-orang kota itu memanggil orang Faekuna’a untuk memberikan bantuan.
Begitu banyaknya orang yang datang menyampaikan keluhan, sampai-sampai kami tidak sempat berbincang di antara kami untuk mengambil keputusan. Ambil jalan termudah, kami berbahasa Inggris, sebagai bahasa sandi di antara anggota tim. Terbata-bata, tidak jadi soal. yang penting kami saling mengerti.
Asyiknya, berbahasa Inggris ini keterusan. Setiap ada tamu yang tiba-tiba muncul, kami buru-buru mengucapkan: “Next,” artinya tamu berikut. Tapi arti “next” berangsur berubah menjadi “ada tamu lagi.” Kata itu sekadar isyarat bahwa "ada orang lagi muncul. Sekaranglah waktunya kami siap berhati-hati, capek hati lagi, stres lagi, dan harus sabar-sabar lagi.¨

"PESTA" LSM DAN RELAWAN

Oleh : Rasid Rachman

Sesaat setelah bencana tsunami 26 Desember 2004 terjadi, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat dan relawan turun membantu. Istilah yang tepat adalah bukan membantu, melainkan pergi ke daerah bencana: Aceh dan Nias.
Gunung Sitoli hanya memiliki sedikit hotel. Di sedikit hotel itu kami menjumpai berbagai LSM dan relawan, baik nasional maupun internasional, baik lembaga bonafit maupun personal. Ketegangan dan kelelahan menuju Sitoli yang luar biasa saat itu sedikit terobati dengan bertemu berbagai orang dengan tujuan yang sama. Suasana di lobi hotel dan sekitarnya laksana pesta LSM dan relawan. Selain berkenalan, tukar menukar informasi dan janji bekerja sama pun diucapkan. Ada yang janji kerja sama membangun sejumlah rumah di Sirombu. Ada yang saling janji untuk membantunya menjadi relawan bulan depan di Mandrehe. Ada yang janji untuk segera bikin rapat bersama langsung begitu tiba di Jakarta. Ada yang berjanji untuk terus kontak satu sama lain untuk meneruskan pekerjaan yang belum selesai.
"Pesta" telah membuat banyak orang lupa diri. Di Nias, ada janji untuk bertemu. Sepulang dari Nias, kembali ke tugas, urusan, dan bisnis masing-masing.

2005 CINTA LOKASI

Oleh : Rasid Rachman

Pemuda kumpul dengan pemuda, bekerja sama dalam satu tim selama beberapa hari di satu desa. Timbulnya benih-benih cinta, sangat mungkin terjadi. Persetan dengan katanya cin-lok, atau cinta lokasi, itu tidak langgeng. Kalau sudah kesemsem, panah cinta beracun sekalipun akan terasa nikmat. Malah sudah jadi “hukum alam” bahwa jatuh cinta wajar terjadi di momen seperti itu. Malah (katanya) misi bisa dianggap gagal kalau tidak ada yang cin-lok sama sekali. Ada-ada saja.
Saya pulang lebih dahulu seminggu daripada anggota tim saya. Tentang seminggu terakhir setelah kepulangan itu, saya tidak tahu berita dan perkembangan tim di desa Faekuna’a. Beberapa kali berusaha menelepon melalui telepon satelit, baik dari Gunung sitoli maupun dari Jakarta, gagal terus. Saya kehilangan kontak dan informasi.
Seminggu kemudian, pada hari jadwal kepulangan tim, satu laki-laki anggota tim melapor bahwa dia sudah kembali bersama teman-teman. Keesokan harinya, satu lagi laki-laki anggota tim melaporkan hal yang sama. Semua hubungan dilakukan dengan SMS. Seminggu lagi setelah itu, anggota tim yang perempuan kirim SMS dan melaporkan situasi tim setelah saya kembali ke Jakarta. “Ada story, Be,” katanya. “Tapi Babe harus tebak, siapa sama siapa,” lanjutnya.
“Anak muda cuma bisa ngerjain orangtua,” pikir saya. “Kasih tahu langsung, emangnya gak bisa?”
Mau cuek, uneg-uneg saya terus penasaran ingin tahu. Mau nebak, yah susah-susah gampang. “Bodo ah …, yang penting ada yang jadi.” ¨

2005 SUMBANGAN


Oleh : Rasid Rachman

Pertengahan Januari 2005 seorang teman menghubungi saya melaui handphone. Waktu itu saya sedang menuju ke Kolinlamil untuk angkut-muat barang ke kapal-kapal TNI. Itu adalah hari ketiga saya membantu TNI dan pemuda GKI memuati barang sumbangan ke kapal-kapal TNI.
“Hai, bagaimana ya caranya menyumbangkan barang untuk korban tsunami?” tanyanya. “Kami punya sejumlah pakaian bekas, tetapi Gereja tidak mau menerimanya.”
“Wah, kalau Gereja tidak mau menerima, artinya Gereja tahu bahwa barang-barang tersebut memang tidak dibutuhkan,” saya coba menjawab secara halus.
“Iya, itulah sebabnya saya menghubungi kamu. Kamu masih bantu-bantu di Priok, kan? Siapa tahu kamu ada cara untuk mengapalkan sumbangan saya. Kami betul-betul mau menyumbang,” desaknya tanpa mau memahami penjelasan halus saya.
“Begini ya, saya sendiri melihat dan mengalami bagaimana para relawan di Priok itu setengah mati siang-malam mengangkut berton-ton pakaian dan memuatinya ke kapal. Sedikit yang baru, tetapi kebanyakan baju bekas. Malah banyak yang lecek dan kotor. Barang-barang yang sekarang dengan setengah mati dimuati ke kapal, kan harus diturunkan di daerah bencana. Bukannya tidak mau, tetapi masyarakat di sana yang tenaganya juga terbatas itu lebih suka mengangkuti barang yang mereka butuhkan. Dengar-dengar, pakaian sudah berlebihan. Jadi kalau mau membantu, mbok ya jangan sumbang barang hasil cuci gudang di rumahmu,” saya menjelaskannya dengan gamblang.
Setelah itu, ia mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

2005 BARANG DI PRIOK




Oleh : Rasid Rachman

Saya tidak percaya waktu Alvin (koordinator logistik Tim GKI) berkata bahwa ada segunung barang di Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) di Priok. Namun untuk membuktikan hal itu, saya datang sendiri ke Kolinlamil. Memang barang sumbangan untuk korban tsunami di Aceh dan Nias segunung banyaknya. Barang-barang itu diserahkan (atau ditumpahkan) kepada Angkatan Laut untuk dibawa dengan kapal-kapal TNI AL di daerah bencana.
Bermacam-macam barang di sana. Yang terbanyak adalah mi instan dan pakaian ([tidak] layak pakai). Ada juga susu bubuk, susu kotak, dan air mineral. Ada barang-barang berharga, seperti penyaring air, obat, senter, kompor. Ada barang yang dibutuhkan, seperti sarung, perlengkapan sholat, selimut, pakaian dalam, biskuit, tikar. Ada barang tidak dibutuhkan, semisal kaus kaki, topi, roti (kadaluarsa). Ada barang aneh, semacam: kopi siap minum, susu siap minum. Ada juga barang berat dan berharga, seperti traktor dan tiang listrik.
Tiga minggu lamanya, ratusan orang: para pemuda GKI dan TNI, memuati barang-barang tersebut ke kapal-kapal, jumlah gunungan tidak berkurang. Barang-barang dimasukkan ke kapal, barang-barang baru didatangkan dari Posko-posko masyarakat. Padahal jumlah tenaga sangat terbatas dan jumlah tenaga juga terbatas. Ribuan orang menjadi “relawan” di Aceh dan Nias, namun hanya segelintir relawan pengangkut barang di Jakarta. ¨

2005 DIALOG KEMANUSIAAN GLOBAL

Oleh : Rasid Rachman

Bencana tsunami akhir Desember 2004 lalu telah mempertemukan manusia dalam rasa senasib dan sepenanggungan. Kaya dan miskin, pejabat dan rakyat biasa, penguasa dan masyarakat, laki dan perempuan, berbagai etnis, suku, dan bangsa menjadi satu. Bahkan pada mulanya yang hidup dan yang mati pun “tinggal bersama” berdekatan karena sama-sama “mengungsi”. Di samping itu, yang juga menarik adalah berbagai bekerjasamanya umat berbeda agama.
Saya termasuk dalam tim Gerakan Kemanusiaan Indonesia, tim yang berada di bawah “kendaraan” Gereja Kristen Indonesia. Kami berenam, empat laki-laki dan dua perempuan. Di Gunung Sitoli, bergabung pandu kami. Agama kami saling berbeda.
Pandu kami, Akmal, seorang muslim, guru agama Islam di sekolah. Seorang anggota tim kami: Mustopo, sekaligus instruktur (teman-teman memanggilnya: intruktur) para relawan, juga seorang muslim. Yang beragama Kristen, dua perempuan: Tina dan Lucia, itu adalah Guru Sekolah Minggu. Tiga laki-laki Kristen itu, saya dan Satya adalah sarjana teologi. Satu lagi, Gerhard, anak seorang Pendeta BNKP. Di Faekuna’a, kami tinggal rumah keluarga Ama/Ina Vita. Mereka penganut Katolik. Wati, anaknya, aktif di gereja.
Kerja cukup berat, baik secara fisik maupun mental. Berhadapan dengan penduduk yang hendak dibantu pembangunan rumahnya atau pengadaan alat produksinya adalah bukan perkara ringan. Akal sehat dan hati nurani harus dicampur dengan lihai-lihat negosiasi, supaya bantuan tepat guna. Itu sebabnya, kami menjadi “lupa” dan – setelah berhadapan dengan kebutuhan manusiawi – berpegang pada pendapat bahwa memperbedakan agama itu menjadi tidak penting lagi. ¨

WARUNG NASI

Oleh : Rasid Rachman

Mendapatkan warung nasi di sepanjang perjalanan di Pulau Nias, tidak mudah. Jalan-jalan cenderung sepi dari warung nasi. Oleh karena itu kami berangkat ke lokasi bencana di Sirombu dan Mandrehe dengan membawa bekal nasi. Nasi bungkus yang kami bawa, kami beli di Sitoli.
Ternyata ada juga daerah yang “ramai” dengan warung nasi. Lumayan, kami bisa beristirahat dari penatnya perjalanan dengan menumpang duduk. Sekali waktu dalam perjalanan, kami memilih salah satu dan duduk di situ. Memang kami minta dibuatkan teh hangat, ada empat yang memesan. Hanya itu! Selebihnya, kami meminjam beberapa piring, gelas-gelas, dan sendok untuk makan bekal yang kami bawa sendiri. Jumlah kami waktu itu adalah 11 orang. Ada yang makan snacks, menyeduh kopi instant, merokok, minum sereal instant; semuanya ada bekal yang kami buka.
Setelah selesai makan, minum, merokok, dan ngobrol, sebelum melanjutkan perjalanan, Pdt Aliyanus Larosa bertanya berapa yang harus dibayar selama kami menumpang duduk di warung itu. Pemilik warung menghitung jumlah gelas yang kami minum, lalu: “Empat ribu rupiah.”
“Amboi!” Kami tersentak. “Jujur kali orang ini.” Pemilik warung sama sekali tidak menghitung ongkos kebersihan dan cuci perabot makan yang kami gunakan. Kalau di Jakarta, seandainya diizinkan oleh pemilik warung untuk membuka bekal sendiri, semua itu pasti dihitung. Tentu kami tidak memberikannya Rp 4000, seperti yang dihitung oleh pemilik warung. Kami sendiri yang mengira biaya “duduk” di warung itu. Itu pun masih terhitung murah, bagi kami.

2005 MOTOR

Oleh : Rasid Rachman

Ada banyak sebutan untuk “motor” oleh orang Nias. Kata motor sendiri jarang diucapkan. Bagi orang asing di Nias, mendengar istilah “motor”nya orang Nias pasti membingungkan. Bagi orang Nias, mendengar orang asing menyebut motor, juga membingungkan.
Konon sebutan yang paling tua adalah “honda”. Honda tidak melulu merk motor, tetapi semua motor merk apa pun bisa disebut honda. Jadi bisa saja terdengar ucapan: “Wah, honda abang merknya apa ini?”
Yang paling lazim, motor disebut kereta. Entah bagaimana, tetapi kereta artinya motor. Di Nias memang tidak ada kereta api, sehingga kereta hanya memiliki satu arti: ya motor itu.
Roda dua juga agak lazim. Pokoknya orang mengerti dan terbiasa juga menyebut roda dua untuk motor. Yang ini, logikanya jelas; roda motor memang ada dua: depan dan belakang. Tetapi mobil tidak disebut roda empat, atau truk tidak disebut roda enam, tetapi sepeda tetap disebut sepeda.
Yang agak keren sebutan untuk ojek, yakni RBT (er be te). Hingga tulisan ini dibuat, saya tidak tahu secara pasti kepanjangan sebenarnya dari RBT. Informasi yang dibisikkan ke saya: Rakyat Banting Tulang. Kepanjangan yang ini memang sangat jelas. Naik motor di Nias itu harus siap “banting tulang”, yah sopirnya, yah penumpangnya. Jalan yang rusak, berlubang, berbatu, penuh jurang, kadang malah bukan jalan untuk kendaraan, menyebabkan badan terguncag-guncang ketika mengendarai motor di Nias.
Selain jalan-jalannya rusak – kadang bukan jalanan yang dilalui – sopir RBT juga jago ngebut dan jago mengendarai motornya. Kadang badan dibanting, kadang harus turun dari motor karena tanjakan terjal atau jembatan darurat, atau kadang harus ikut pula mendorong motor. ¨

Jumat, November 30, 2007

2005 KITA

Oleh : Rasid Rachman

Kata “kita” dalam bahasa Indonesia agak khas, sebab berbeda arti dengan “kami”. Dalam bahasa Inggris, cuma ada we untuk menyebut kita dan kami. Waktu kecil dulu, teman-teman saya biasa menyebut “kita” untuk memperhalus kata “gue”. Di Nias, orang menyebut “kita” untuk memperhalus sebutan “kamu” atau “kalian”.
Semula agak canggung juga ketika orang bertanya: “Kita berasal dari mana?” (Maksudnya: “Kamu berasal dari mana?”). Saya harus beberapa saat coba mengerti pertanyaan ini dulu sebelum menjawab. Lambat-laun, memang saya semakin dapat mengerti, tetapi tetap masih saja canggung setiap dipraktekkan.
Canggung, karena penggunaan “kita” dalam obrolan tersebut – menurut rasa bahasa saya – agak kurang pas. Lagipula, kata “kamu”, ”engkau”, “Bapak”, “Abang”, “Saudara”, “kalian”, adalah bukan kata-kata kasar atau merendahkan, juga di Nias. Bagaimana tidak canggung bila orang bertanya: “Berapa anak kita?” atau “Apakah latar belakang agama kita: Kristen atau Islam?” atau “Apakah istri kita menjadi relawan juga?” Untung tidak ada yang mengatakan: “Sampaikan salam saya untuk istri-istri kita di rumah?” ¨

2005 PEKAN

Oleh : Rasid Rachman

Arti pekan di Nias agak berbeda, yakni pasar. Di luar kota Gunung Sitoli, pasar desa atau pasar kecamatan hanya buka sepekan sekali. Ada pasar yang buka hanya pada hari Senin, atau hanya hari Selasa, atau hari Rabu seperti di Desa Faekuna’a, Kecamatan Afulu. Oleh karena itu, pasar seminggu sekali itu disebut Pekan.
Di kota Sitoli, Pekan tidak dijumpai. Namun kalau melakukan perjalanan ke kota-kota kecamatan, kendaraan kita bisa terhadang Pekan atau Pekan-pekan yang sedang digelar di suatu daerah. Oleh karena kendaraan tidak padat, maka kehadiran Pekan – sekalipun digelar di pinggir jalan laksana pasar tumpah di Jawa – tidak menjadi masalah besar. Di sepanjang jalan di Nias yang sulit dan sepi, malah kebetulan berpapasan dengan keramaian Pekan. Ada variasi manusia yang dapat dilihat.
Pekan menyediakan berbagai kebutuhan hidup dan sehari-hari masyarakat. Ada sayur dan bumbu-bumbu masak, bahan bakar dan alat-alat rumah tangga, pakaian dan buah-buahan, mainan dan perlengkapan mandi, dan lain-lain. Pokoknya segala sesuatu keperluan rumah tangga tersedia di Pekan.
Pekan bukan hanya menjadi hiburan bagi pelancong atau orang asing. Pekan terutama menjadi hiburan juga bagi masyarakat setempat, selain sebagai penyambung kebutuhan hidup. Bagi orang-orang muda, Pekan menjadi semacam tempat rendezvous dan ajang cuci mata. Tidak sedikit cinta yang terjadi dan terjalin di Pekan. Oleh karena itu, datangnya Pekan selalu dinantikan oleh banyak orang, bukan hanya oleh ibu-ibu, tetapi juga oleh pemuda dan anak-anak. ¨

"BAPAK, AGAMANYA APA?"

Oleh : Rasid Rachman

Kabupaten Nias berpendudukan mayoritas Kristen. Walaupun tidak seluruh penduduk beragama Kristen, di mana-mana dan hampir siapa saja beragama Kristen. Gereja ada di mana-mana. Di kota, desa, perbukitan, dan pesisir, kita menjumpai orang Kristen. Pramusaji restoran, pengayuh becak, pelayan hotel, pejabat pemerintah, hingga Walikota, dan Bupati, adalah Kristen.
Di daerah-daerah tertentu, semisal: Moawo, Afulu, Sirombu, seringkali kita jumpai umat beragama Islam. Namun karena mayoritas Nias adalah Kristen, dengan tetap mengingat bahwa ada pula yang Islam, maka bertanya kepada seseorang: Apakah agamamu?” merupakan hal lazim di daerah-daerah tersebut. Orang yang ditanya pun tidak merasa sedang diterogasi karena pertanyaan yang menyangkut hak azasi tersebut. Jawabannya pun santai: “Saya Kristen,” atau “Saya Islam.”
Dalam perjalanan sulit ke daerah Afulu menuju Desa Faekuna’a, saya “diinterogasi” oleh tukang ojek yang saya tumpangi.
Ojek: “Bapak dari mana?”
Saya: “Dari Jakarta.”
Ojek: “Bapak ke mari dari utusan mana?”
Saya: (sambil memancingnya ingin tahu) “Saya dari Gereja.”
Ojek: “Ooh, bapak Kristen? Saya juga Kristen. Tapi agama saya BNKP.* Kalau agama bapak, apa?”
Saya: (masih dalam kebingunan) “Agama saya adalah GKI.” (setelah agak tenang sejenak, saya “menggodanya”). “Kalau begitu, agama kita berbeda ya.”
Ojek: “Ya, beda. Tetapi sama juga, sih.” Cuma, saya yang agama BNKP, bapak yang agama GKI.” ¨

* Bania Niha Keriso Protestan = Gereja Nias Kristen Protestan.

2005 TIM GKI: SATU-DUA-TIGA

Oleh; Rasid Rachman

Lima hari setelah Tsunami melanda Nias, yakni 31 Desember 2004, Tim GKI kelompok pertama telah tiba. Namun baru hari Minggu, 2 Desember 2005, tim tiba di lokasi bencana Sirombu dan Mendrehe. Itu adalah kali pertama kami mengetahui langsung kenyataan yang ada. Sebelumnya kami hanya mengetahui keadaan Sirombu dan Mandrehe dari “kata orang”.
Tim satu ini sebenarnya belum bisa disebut tim, karena tanpa persiapan dan tanpa pembentukkan sebelumnya. Saya di-SMS oleh Sinode Wilayah untuk mempersiapkan bantuan ke Nias. Pdt Herman Baeha (GKI Serang)dan Pdt Arliyanus Larosa (GKI Kepa Duri) diikutkan. Namun dokter baru diperoleh menjelang tengah malam, yakni dr Suprapto (GKI Gading Serpong). Lebih parah lagi, dua tim medis: Edu dan Lita (keduanya dari GKI Serang), baru berkenalan dengan saya di Medan dan dengan teman-teman yang lain di Bandara Binaka. Mereka “terlambat” dua hari dari “pembentukan” tim satu ini. Untung, keakraban dan kekompakan dapat terwujud hanya sekitar 2 jam kami setelah tiba di Gunung Sitoli. Secara bertahap, kami semakin akrab, mengenal, dan semakin menjadi tim yang layak. Dua hal tersebut merupakan syarat penting dalam sebuah tim.
Tim tiga adalah tim GKI ke Nias yang berangkat pada gelombang ke-3. Gelombang pertama tiba tepat sepekan setelah bencana. Pekerjaannya adalah penanggulangan pertama korban bencana. Gelombang kedua berangkat pada pekan kedua Januari 2005, berhasil membangun dua jembatan kayu. Gelombang ketiga berangkat sejak 10 Februari kembali 22 Februari. Tim 3 adalah tim pertama – setelah itu ada 10 tim berikut – dengan misi rehabilitasi, yaitu membangun rumah dan alat produksi.
Hasilnya adalah belasan rumah dibangun dan direnovasi, dan belasan perahu dibuat. Tim tiga ini bekerja dengan konsep dan persiapan tim yang jauh lebih matang dari dua tim sebelumnya. Selama lebih dari satu bulan tim-tim GKI menetap di satu desa untuk mengawasi dan membantu pembangunan rumah penduduk korban tsunami. h

2005 AMA - INA

Oleh : Rasid Rachman

Orang Nias biasa memanggil orang dewasa yang telah berkeluarga dan beranak dengan nama anak pertamanya. Misalnya, Pak Gea dan Bu Mendrofa mempunyai anak pertama bernama Rony. Bapak dan Ibu itu dipanggil dengan nama Ama Rony dan Ina Rony. Ama berarti bapak, dan Ina berarti ibu.
Nama “baru” itu nilainya setara dengan nama marga. Nama kecil seseorang justru semakin menghilang sejalan dengan munculnya nama “baru” tersebut. Jadi kalau seseorang ditanya namanya, maka ada dua kemungkinan jawaban yang diberikan, yaitu: nama aslinya (artinya nama marganya) atau nama “baru”nya itu. Apakah artinya? Tidak ada yang tahu pasti pemahaman filosofis di balik pemakaian “nama baru” tersebut. Mungkin untuk mengingat pentingnya kelanjutan generasi, selain berpegang pada nilai-nilai tradisi leluhur.
Untuk urusan administrasi kantor, pemerintahan, resmi tertulis, organisasi, diberlakukan nama asli, misalnya Andi Gea, atau Tilly Mendrofa. Untuk urusan sesehari, kekerabatan, personal, dan lain-lain, diberlakukan nama “baru” itu. Dan urusan yang menggunakan nama baru itu sangat banyak. Misalnya pemanggilan, kartu undangan, memperkenalkan atau diperkenalkan, pergaulan, dsb. Oleh karena itu nama “baru” seseorang jauh lebih dikenal ketimbang nama aslinya.
Yang istimewa dari nama “baru” ini adalah tidak adanya pembedaan jenis kelamin. Yang penting adalah anak sulung. Ama dan ina disebut dengan nama anak sulungnya. Misalnya, Ama Lianti, Ina Shinta, Ama Darmawan, atau Ina Leonard.
Orang dari luar Nias yang tidak terlalu memperdulikan kekhasan ini seringkali mengabaikannya. Televisi-televisi mencantumkan nama-nama secara keliru, semisal: Amavia atau Inawaty. Tampak seolah-olah, itu adalah namanya. Padahal seharusnya Ama Via atau Ina Waty. ¨

2005 AMA-INA VITA

Oleh : Rasid Rachman

Tim kami tinggal di rumah Ama dan Ina Vita. Kepala keluarga: Ama Vita, adalah orang Faekuna’a asli. Setahu dia, kakeknya sudah tinggal di situ. Ama Vita juga lahir di situ. Kini, usianya sekitar 60 tahun. Anaknya tinggal dua di rumah itu. Anak sulungnya: Vita, di Jakarta. Anak keduanya di Aceh, menjadi tentara. Anak ketiganya menjadi Polisi di Bengkulu.
Usahanya adalah perkebunan coklat. Hasil kebunnya dibawa ke Gunung Sitoli atau (Sumatra Utara). Dia menjual biji coklat itu dengan kapalnya sendiri. Anak-anak dan kerabatnya membawahi tenaga kerja di perkebunan. Setiap hari mereka bekerja memetik coklat. Dari pagi hingga petang, mereka sibuk di kebun.
Ama Vita juga membuka warung di rumahnya. Dia menjual sembako, alat perikanan, dan barang-barang kelontong. Untuk ukuran desanya, tokonya cukup besar. Kalau ada pesanan pembeli, Ama Vita bisa mendatangkan semen, mesin perahu, bahan bakar, atau apa saja asal cukup dibawa oleh kapalnya.
Awal tahun lalu, kapalnya tenggelam. Tidak lama kemudian, ia mendapat gantinya. Namun tidak lama kemudian, kapal barunya itu terbakar dan tenggelam lagi. Tahun 2004 lalu, sebelum tsunami, Ama Vita sudah kena dua kali musibah.
Waktu tsunami akhir Desember 2004, Ama Vita korban perahu penangkap ikannya. Perahu itu hancur di bagian lambungnya. Satu gudang di pinggir pantai, sebagai penyimpan coklat dan sembakonya hancur lebur. Karena gudang itu hancur, maka rumah satunya lagi (selama ini kosong) di sebelah gudangnya, selamat dan menjadi tempat pengungsian para korban tsunami.
Tinggal di rumahnya sangat menyenangkan, sebab segalanya sudah tersedia. Ada kamar, kamar mandi, makanan, beranda sendiri untuk tim, dan ada generator hingga hampir tengah malam. Tim GKI serasa mendapat rumah sendiri di lantai dua di rumah Ama Vita.Kedua rumah Ama-Ina Vita itu hancur terkena gempa akhir Maret 2005 lalu. h

2005 SERATUS TAHUN LALU

Oleh: Rasid Rachman

Tsunami Desember 2004 bukan tsunami pertama bagi penduduk masyarakat Faekuna’a. Seratus tahun lalu (mungkin lebih sedikit) gelombang penghancur yang sama pernah “singgah” ke sana. Konon, korbannya banyak sekali. Sejak itu, orang belajar dari pengalaman. Kami bertanya kepada Ama Vita (60).
Kami: Apakah Ama Vita tahu tentang tsunami seratus tahun lalu?
Ama: Saya tahu, tetapi tidak mengalaminya sendiri. Bapak saya yang mengalaminya waktu dia berumur sepuluh tahun. Dari bapak saya, saya diajarkan. Kalau air laut surut, segeralah berlari ke gunung untuk menyelamatkan diri.

Tsunami Desember 2004 lalu memang menerjang Faekuna’a, tetapi ajaran orang-orang tua tetap diingat oleh generasi sekarang. Pagi sekitar pukul 08.00 pada 26 Desemebr 2004, terjadi gempa. Menjelang tengah hari, air laut surut. Penduduk menyelamatkan diri ke gunung. Jaraknya 3 – 5 kilometer, tetapi jalannya tidak mudah. Seorang penduduk yang sudah lama sakit, terjatuh-jatuh, akhirnya meninggal. Pengajaran orang-orang tua yang pegang telah menyelamatkan mereka dari korban yang lebih besar akibat bencana.
Menjelang penyelesaian tulisan ini akhir Maret 2005, Nias kembali diguncang gempa dahsyat. Kali bukan air laut surut. Sekali gempa, rumah-rumah hancur. Termasuk dua rumah bertingkat Ama-Ina Vita. Keluarga inilah yang menampung Tim Relawan GKI pada Februari lalu di rumahnya untuk menjalankan misi kemanusiaan. ¨