Oleh : Rasid Rachman
Pertengahan Januari 2005 seorang teman menghubungi saya melaui handphone. Waktu itu saya sedang menuju ke Kolinlamil untuk angkut-muat barang ke kapal-kapal TNI. Itu adalah hari ketiga saya membantu TNI dan pemuda GKI memuati barang sumbangan ke kapal-kapal TNI.
“Hai, bagaimana ya caranya menyumbangkan barang untuk korban tsunami?” tanyanya. “Kami punya sejumlah pakaian bekas, tetapi Gereja tidak mau menerimanya.”
“Wah, kalau Gereja tidak mau menerima, artinya Gereja tahu bahwa barang-barang tersebut memang tidak dibutuhkan,” saya coba menjawab secara halus.
“Iya, itulah sebabnya saya menghubungi kamu. Kamu masih bantu-bantu di Priok, kan? Siapa tahu kamu ada cara untuk mengapalkan sumbangan saya. Kami betul-betul mau menyumbang,” desaknya tanpa mau memahami penjelasan halus saya.
“Begini ya, saya sendiri melihat dan mengalami bagaimana para relawan di Priok itu setengah mati siang-malam mengangkut berton-ton pakaian dan memuatinya ke kapal. Sedikit yang baru, tetapi kebanyakan baju bekas. Malah banyak yang lecek dan kotor. Barang-barang yang sekarang dengan setengah mati dimuati ke kapal, kan harus diturunkan di daerah bencana. Bukannya tidak mau, tetapi masyarakat di sana yang tenaganya juga terbatas itu lebih suka mengangkuti barang yang mereka butuhkan. Dengar-dengar, pakaian sudah berlebihan. Jadi kalau mau membantu, mbok ya jangan sumbang barang hasil cuci gudang di rumahmu,” saya menjelaskannya dengan gamblang.
Setelah itu, ia mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Pertengahan Januari 2005 seorang teman menghubungi saya melaui handphone. Waktu itu saya sedang menuju ke Kolinlamil untuk angkut-muat barang ke kapal-kapal TNI. Itu adalah hari ketiga saya membantu TNI dan pemuda GKI memuati barang sumbangan ke kapal-kapal TNI.
“Hai, bagaimana ya caranya menyumbangkan barang untuk korban tsunami?” tanyanya. “Kami punya sejumlah pakaian bekas, tetapi Gereja tidak mau menerimanya.”
“Wah, kalau Gereja tidak mau menerima, artinya Gereja tahu bahwa barang-barang tersebut memang tidak dibutuhkan,” saya coba menjawab secara halus.
“Iya, itulah sebabnya saya menghubungi kamu. Kamu masih bantu-bantu di Priok, kan? Siapa tahu kamu ada cara untuk mengapalkan sumbangan saya. Kami betul-betul mau menyumbang,” desaknya tanpa mau memahami penjelasan halus saya.
“Begini ya, saya sendiri melihat dan mengalami bagaimana para relawan di Priok itu setengah mati siang-malam mengangkut berton-ton pakaian dan memuatinya ke kapal. Sedikit yang baru, tetapi kebanyakan baju bekas. Malah banyak yang lecek dan kotor. Barang-barang yang sekarang dengan setengah mati dimuati ke kapal, kan harus diturunkan di daerah bencana. Bukannya tidak mau, tetapi masyarakat di sana yang tenaganya juga terbatas itu lebih suka mengangkuti barang yang mereka butuhkan. Dengar-dengar, pakaian sudah berlebihan. Jadi kalau mau membantu, mbok ya jangan sumbang barang hasil cuci gudang di rumahmu,” saya menjelaskannya dengan gamblang.
Setelah itu, ia mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar