Senin, Agustus 16, 2010

KEMACETAN DI JAKARTA

Oleh: Rasid Rachman

Di antara banyak hal menyangkut berlalu lintas, busway dan three-in-one adalah topik yang cukup ramai dibicarakan. Sejak sebelum kelahirannya hingga saat ini, hampir setiap saat soal ini ada sebagai berita ibukota. Akhir-akhir ini muncul lagi pembicaraan tentang busway, kali ini menyangkut ketegasan penerapan larangan bagi kendaraan non-Transjakarta memasuki jalur busway. Seperti telah diduga, cetusan dan letusan ketegasan ini hanya berlangsung selama 2-3 hari.

Dasar pengaturan lalu lintas
Bagi masyarakat, hal peraturan berlalu lintas kena mengena pada 3 hal, yaitu: keamanan, kenyamanan, dan ketertiban.
Keamanan. Penempatan tanda-tanda dan rambu-rambu di jalan dibuat dengan salah satu tujuannya adalah untuk menjaga keamanan, baik keamanan pengendara, maupun keamanan pengendara lain dan pejalan kaki. Larangan berhenti di tepi jalan TOL, misalnya, dibuat agar kendaraan yang berhenti tidak tertabrak kendaraan yang sedang melaju.
Kenyamanan. Sikap saling menghargai karena sama-sama membutuhkan jalanan dan waktu, sampai ke tujuan dengan cepat dan selamat, dan kenyamanan berkendara wajib dimiliki oleh setiap pengemudi. Pemerintah memfasilitasi hal tersebut secara adil. Pengaturan lajur dan jalur, penempatan tanda-tanda dan rambu-rambu lalu lintas dibuat dengan dasar kenyamanan tersebut.



Ketertiban. Alasan ketertiban adalah alasan yang paling penting dalam penerapan peraturan lalu lintas. Adanya tanda verboden atau jalan satu arah di jalan selebar 5 meter bertujuan agar lalu lintas lancar, tidak macet, dan tentu hasilnya adalah irit bahan bakar.

Kenapa masih saja macet?
Bahwasanya lalu lintas di Jakarta selalu macet, semua orang sudah tahu penyebabnya klise-nya sejak belasan tahun yang lalu. Jumlah mobil semakin banyak, sementara jumlah panjang jalan tidak mencukupi adalah salah satu alasan. Alasan lain, waktu pergi dan pulang kantor bersamaan di pagi dan sore hari, sehingga jalan-jalan penuh dengan kendaraan.
Sejauh ini pemerintah menerapkan dua hal sebagai, katanya, solusi kemacetan, yaitu three-in-one dan busway. Setelah belasan tahun penerapan area three-in-one dan beberapa tahun busway, semua orang, termasuk polisi lalu-lintas, dengan mudah dapat menjawab bahwa kedua hal itu justru merupapakan “biang” kemacetan – bukan solusi.
Soal yang tidak klise adalah belum adanya dasar yang cukup memuaskan untuk menjawab keberadaan three-in-one dan busway merupakan solusi kemacetan. Setelah ada three-in-one dan busway, kemacetan bukan berkurang malahan bertambah, plus sakit hati pengguna jalan raya.
Lantas, kalau tahu penyebab kemacetan dan pemberian “obat solusi” yang salah masih kepala batu? Kenapa tidak menambah dan membarui jumlah kendaraan umum reguler secara signifikan, baik bus maupun kereta? Kenapa tetap memberlakukan three-in-one di jalan-jalan tertentu demi busway dan kawasan tertentu? Kenapa tidak memperluas jalur-jalur baru ke dan dari pinggiran Jakarta? Termasuk, kenapa busway hanya merupakan Transjakartaway yang jumlah armadanya sangat sedikit itu, sehingga bus-bus non-Transjakarta tetap menggunakan jalur kendaraan lain? Kenapa tidak serius mengamankan dan menyamankan masyarakat dari gangguan preman-preman di kendaraan umum? Kenapa tidak memberlakukan sistem gratis lewat TOL dalam kota, sekalipun hanya pada waktu-waktu tertentu? Kenapa tidak membuka alternatif lain moda transportasi selain bus dan jalan raya? Mulai memanjakan pesepeda, misalnya. Kenapa jumlah masyarakat dan pejabat yang mengambil hak pengguna jalan dengan pengawalan petugas semakin banyak?
Ketimbang polisi sibuk menjaga masuknya kendaraan di area three-in-one dan jalur busway, terutama pada waktu-waktu padat, kan lebih baik mengatur perempatan yang rawan kemacetan, menilang motor-mobil yang melawan arus demi egoism, menjaga keamanan di perberhentian kendaraan umum yang rawan kejahatan.

Mulai dari manusianya
Ada tiga kelompok manusia yang terlibat langsung dalam berlalu lintas yang beradab, yaitu pengendara, pemerintah, dan pengguna. Semuanya saling kait mengait dalam kemacetan atau kenyamanan. Pemerintah seharusnya memfasilitasi penyediaan transportasi yang nyaman dan aman. Misalnya menyediakan area pesepeda dan pejalan kaki yang nyaman, menambah dan membarui moda transportasi, menghapus peraturan three-in-one, busway, dan bayar TOL dalam kota. Masyarakat pengguna seharusnya menjaga kenyamanan; misalnya tidak membuang sampah sembarangan, berani menggempur premanisme, menyeberang pada tempatnya, membayar tiket, dsb. Pengendara seharusnya mematuhi segala aturan berlalu lintas. Misalnya tidak mengendarai kendaraan dengan kecepatan di bawah batas minimum atau di atas batas maksimum, santun mengendarai, – intinya adalah patuh berlalu lintas.
Sumber kemacetan yang sesungguhnya adalah manusianya. Bukan banyaknya jumlah kendaraan atau pendeknya jalan-jalan. Jadi manusianya yang harus membarui sikap berlalu lintas. ♦