Oleh : Rasid Rachman
BENGAWAN SOLO
Baru-baru ini, November 2008, Penerbit KOMPAS menerbitkan buku tentang penelusuran sungai Bengawan Solo. Buku “Ekspedisi Bengawan Solo” tersebut berisi laporan jurnalistik penelusuran Tim Bengawan Solo yang diprakarsai oleh KOMPAS pada pertengahan tahun 2007. Saya telah membaca buku tersebut hingga selesai; itu awal tahun 2009. Itu pun salah satu buku yang saya idam-idamkan membacanya (sekaligus memilikinya) begitu ia diterbitkan.
Tulisan dengan gaya bahasa ringan dan dalam bentuk pendek-pendek ini: 2-5 halaman per-tulisan, memotivasi saya untuk terus-menerus membacanya. Bukan hanya di kala sekadar menunggu waktu berjalan, tetapi saya sengaja juga membaca bagian demi bagian tentang kehancuran peradaban sungai besar. Sungai sepanjang 527 kilometer (kira2 setengah dari jarak antara ujung Jawa Barat dan Jawa Timur) tersebut merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa sekaligus sungai tua.
Sungai yang (pernah) menyulam peradaban manusia, baik melalui transportasi, kehidupan prasejarah, maupun kerajaan itu, kini dalam kondisi memprihatinkan. Pendangkalan, air sungai terkontaminasi limbah pabrik, dan tempat pembuangan sampah turut andil menjatuhkan peradaban manusia dalam hal pencemaran sungai. Sungai ini tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari sejarah bumi dan manusia, tetapi sebagai bulan-bulanan manusia menata masa depannya.
Slogan yang membuat saya terhenyak ketika membaca buku ini adalah “kearifan lokal”. Yang dimaksud kira-kira adalah kearifan mandiri dari masyarakat sekitar sungai Bengawan Solo dalam menjaga sungai agar lestari. Lestarinya sungai adalah memberi kehidupan dan keseimbangan ekosistem. Muara dari kelestarian sungai tersebut adalah hidup manusia sendiri. Oleh karena itu, kelestarian sungai harus dijaga, pertama2 oleh masyarakat sekitar sungai sendiri.
JAKARTE
Tadi siang di pintu TOL Kebonjeruk Jakarta, di depan stasiun RCTI, saya memperhatikan pedagang makanan dan minuman. Ia sedang melepas bungkus plastik sedotan minuman mineral. Plastik2nya dibuang begitu saja di bawah kakinya - lantas tertiup angin atau tergerus air jika hujan kemudian masuk got di dekat situ. PADAHAL, tepat di sebelah lapaknya terdapat tong sampah besar. Jelas, contoh orang seperti ini memerlukan kearifan lokal.
Di beberapa tempat di Jakarta, kita dapat menjumnpai spanduk2 dengan slogan: JAKARTE, KALO BUKAN KITE2 YANG JAGE, SIAPE LAGI ...? Begitu kira2 slogan dan kampanye kearifan lokal.
PENUTUP
Kearifan lokal. Bukan hanya untuk mengelola Bengawan Solo atau kota2 besar semacam Jakarta, tetapi juga untuk kehidupan bergereja dan berjemaat, saya kira kita membutuhkan kearifan lokal. Sebagaimana masa depan Bengawan Solo dan Jakarta terletak di tangan masyarakat sekitar, demikian pula pembangunan jemaat terletak di tangan umat dan pengelolanya. °
Minggu, Desember 06, 2009
KEARIFAN LOKAL
Langganan:
Postingan (Atom)