Kamis, Juni 09, 2011

SIMPOSIUM IBADAH DI AMERIKA

Oleh : Rasid Rachman

Kronologi yang menjadi histori
Di usia saya yang ”tidak lagi” muda – padahal sejak 20 tahun lalu pun sudah merasa tua – saya masih dapat lagi kesempatan untuk mengikuti seminar liturgi di luar negeri. Kalau dihitung sejak tahun 1992, ini adalah seminar internasional liturgi ke-4 yang saya ikuti. Pada keempat seminar ini, keikutsertaan saya adalah bukan inisiatif sendiri; jadi mirip ”kejatuhan duren”-lah. Bahkan sebenarnya saya tidak tahu akan diadakannya seminar-seminar tersebut.

Seminar pertama di Manila tahun 1992, diadakan oleh WCC dan AILM. Menjelang akhir 1991, saya ke kantor Sinode GKI Jabar di jalan Garuda-Kemayoran untuk satu urusan. Urusan seleai, saya melihat Pdt Kuntadi (Sekum) mendapat telepon dari Pdt Ferdy (Ketum) – rupanya mereka sedang menbicarakan saya. Di tengah percakapan itu, Pak Kuntadi menyela dan bertanya kepada saya apakah bisa dan mau ikut seminar di Manila selama sebulan Februari 1992. Langsung saya jawab: ”Boleh.” Sejak itu, GKI Delima, Sinode GKI Jabar, dan AILM membantu pemberangkatan saya, baik surat menyurat maupun tiket dan finansial. Itu adalah pengalaman pertama ke luar negeri.

Materi yang saya peroleh sangat baru dan membuka wawasan saya tentang musik gereja Asia dan Pasifik. Buku Sound the Bamboo menjadi makanan kami selama sebulan itu.
Tahun 1997, dengan sisa masa berlaku Paspor yang tetap kosong sejak Manila, saya diberi kesempatan untuk ke Tainan. Yamuger melalui Ibu Aida Swenson sekonyong-konyong menelepon ke rumah dan bicara dengan istri saya. Waktu itu saya sedang perjamuan kudus rumahan Jemaat Delima. ”Pekan depan ada seminar selama 2 minggu,” begitu tawarannya. Tinggal seminggu untuk urus visa dan izin Majelis Jemaat, tetapi semua hal diurus oleh Yamuger.

Sekalipun tidak terlalu baru sebagaimana Manila 5 tahun lalu, namun bagi saya tetap saja istimewa. Nyanyian-nyanyian jemaat Asia dan Pasifik menjadi porsi utama. Kami juga berkenalan dengan nyanyian Ortodoks Yunani, Afrika, Amerika Latin, dan spiritual. Beberapa pelajaran baru, sempat menambah bekal saya.
Seminar ini dan seminar pertama telah saya sharing-kan ke Sinode GKI Jabar dan ke Kairos tidak lama setelah selesai.
Seminar ketiga adalah seminar yang tidak di-harap2, namun datang juga tawaran. Waktu PMSW GKI SW Jabar tahun 2002, siang2 waktu bete karena pembahasan bakal Liturgi GKI dianggap angin lalu saja oleh peserta dan pimpinan PMSW dan ketemu orang2 ”bermuka-dua”, Pdt van Dop menelepon ke HP (kali ini sudah punya) untuk mengajak saya ke Manila. Kali ini dengan rombongan 9 orang dari Indonesia, bergabung dengan murid KMG dan mahasiswa STT, selama 2 pekan. Pak Anis Pua turut membantu keberangkatan kami.
Materinya hampir tidak ada yang baru, namun baru pada organisasi dan ketemu teman-teman lama dari Manila dan Tainan. Bill yang tua itu masih ada, Janet Faller, dan beberapa lagi. Ngomong2, ada tenggat waktu keramat: setiap 5 tahun saya seminar ke luar negeri dan cuma untuk kesempatan itu saja ke luar negeri.Untung istri saya membantu mengurus pengisian formulir visa sementara saya masih di Mentawai. Baru 27 Desember saya dapat kepastian visa, dan 13 Januari 2011 paspor dan visa di tangan saya.

Munculnya kesempatan2 tersebut, bagi saya, merupakan tanda untuk terus berkecimpung di dalam medan liturgi.


Mendarat di Grand Rapids
Waktu keramat itu ternyata tidak konsisten. Lima tahun setelah 2002, tidak ada berkat yang sama. Baru tahun 2011 saya kembali dapat seminar liturgi, kali ini ke Grand Rapids, Michigan. Ibu Ruth Kadarmanto yang nego dengan pihak Calvin College supaya beberapa orang Indonesia, termasuk saya, ikut simposium tahunan mereka; atas nama STT Jakarta dan Christina Mandang yang setiap tahun ikut seminar itu. Waktu masih di Mentawai sebagai relawan awal November 2010, Ibu Ruth mengirim SMS itu. Harus buru2, karena visa ke AS sulit dan waktu saya tidak sampai 2 bulan lagi.


GKI Surya Utama dan jemaat menyiapkan segala sesuatu: doa, ongkos, dan izin. Perjalanan sejak 24 Januari itu terjadi dengan rasa aman dan kesan mendalam. Sekalipun tidak pernah berharap akan masuk ke AS, kecuali untuk urusan seminar dan studi, kali ini terjadi juga.
Ketiga seminar terdahulu adalah tentang musik gereja Asia, kali ini tentang musik gereja Amerika. Ada juga Eropa, namun saya mengambil kuliah2 Mazmur selama beberapa hari itu. Ditarik secara kronologis, topik-topik Mazmur pilihan saya itu cukup menarik. Keberbagaian tradisi dan cara menyanyikan Mazmur dipaparkan oleh setiap nara sumber. Dari Mazmur Jenewa – kata orang sudah jadul namun tetap menarik bagi saya – ditampilkan dengan sangat memperhatikan kekhasannya. Kekhasannya itulah yang membuat Mazmur ini tetap elok dinyanyikan atau sekadar didengarkan. Baik gaya asli maupun modifikasi dengan beberapa keistimewaan Mazmur-mazmur dipaparkan dan dinyanyikan.

Ada juga Mazmur-mazmur modern dengan beragam pola Amerika, semisal Spiritual, Katolik, atau Rap. Beberapa memang tidak bisa saya nyanyikan, namun setidaknya membuka wawasan baru tentang perkembangan Mazmur dewasa ini. Paparan tersebut cukup membuktikan bahwa Mazmur tetap menjadi jantung peribadahan. Hal itu dibuktikan oleh sekelompok pemazmur Rusia, yang berpola Byzantine lama dengan gaya baru.
Ibadah2 harian diselenggarakan tiga kali: pagi, senja, dan malam. Banyaknya jumlah peserta membuat ibadah2 tersebut dibagi menjadi 3 tempat dengan gaya dan model berbeda. Manajemen pengaturan yang baik menjadi fasilitasi bagi peserta sehingga setiap peserta dapat mengikuti semua model dan gaya ibadah tersebut satu-per-satu. Modelnya memang bermacam2. Dari model yang sangat tidak kreatif hingga yang inovatif, dari iringan segala alat musik hingga yang meditatif dan etnik, dari yang biasa2 saja hingga sangat indah. Warna Amerika memang: menerima segala model, termasuk ibadah. Jadi, kecuali rendahnya nada dan cukup banyak bermain dengan irama, pola liturginya, aransemen musik, tata ruang, dan khotbah2 yang disampaikan sangat baik.



Pemazmur dari Rusia menyanyikan Mazmur2 Rusia modern dengan pola konvensional dalam ibadah pembuka

Umumnya, Amerika serba besar. Ruang-ruang dan aula besar, jumlah peserta sekitar 1500 orang, jumlah kelas ratusan dalam seluruh 4 hari simposium atau puluhan dalam satu jadwal acara sehingga peserta harus sangat tepat memilih kelas, instrumen musik yang beragam, selalu tersedia organ pipa di setiap kapel dan ruang ibadah, dan jumlah makanan yang berlimpah menjadi hal yang lazim.

Beberapa kesan
Tentang kesan2, tetap saja ada yang baru, baik karena waktu melihat ke luar yang telah cukup lama tidak saya lakukan, maupun karena melihat yang berbeda di tempat yang jauh.
Pertama, penggunaan teknologi modern digunakan secara tepat guna dan cantik. Tidak ada yang terkesan OKB (orang kaya baru) karena norak. LCD, misalnya, tidak digunakan sebagai pengganti buku nyanyian, melainkan menampilkan ilustrasi2 pendukung. Umat tidak tergiring untuk menatap layar LCD, cukup melirik sesekali saja, ketika ada tayangan baru. Tempatnya pun tidak menonjol di dekat mimbar dengan ukuran sebesar gunung, namun isinya artistik. Kadang layar LCD ditempatkan di atas sekali, sehingga umat tidak terdorong untuk melulu dan terus2an menatapnya.
Kedua, keempat seminar internasional, berbeda dengan seminar2 serupa di dalam negeri, baik yang saya ikuti maupun tidak, selalu bermuara pada ibadah. Peran paduan suara dan musik tidak berdiri sendiri, sehingga tidak lebih menonjol daripada ibadah jemaat. Banyak pemusik hebat dan tidak sedikit paduan suara istimewa, namun semuanya ”patuh” pada liturgi. Mereka tidak merebut ”hak” umat untuk berperan penuh dalam liturgi. Umat tetap bernyanyi dengan baik – tidak mengeluh sekalipun banyak nyanyian baru.
Ketiga, peserta tua-muda antusias mengikutinya. Ada sejumlah 1500-an beserta: 160-an internasional dan selebihnya peserta Amerika sendiri. Nah, para peserta Amerika ini beragam. Bukan hanya orang usia produktif dan mahasiswa, tetapi juga para pensiunan. Bahkan tidak sedikit peserta disable. Untuk mereka, panitia menyediakan fasilitas, semisal penyampai bahasa isyarat untuk kaum tuna rungu dan sarana pintu dan toilet bagi para penyandang kursi roda.
Keempat, para peserta tidak anti-nyanyian baru. Di antara nyanyian konvensional, terdapat sejumlah nyanyian jemaat baru. Nyanyian2 tersebut digunakan, baik dalam ibadah maupun dalam kelas2 simposium. ■