TANTANGAN TAMBAHAN BAGI PARIWISATA INDONESIA
Oleh: Rasid Rachman
Tahun 2009 dibuka dengan kegembiraan berimbang yakni pembebasan fiskal sebagai konsekuensi dai wajib NPWP. Ini kabar baik yang berimbang - tak perlu dibesar-besarkan - namun sebuah tantangan tambahan bagi pariwisata di Indonesia.
Keberadaan objek wisata
Area tujuan wisata di Indonesia semakin hari semakin kecil lingkupnya, padahal negeri yang sangat luas ini menyimpan beribu dan beragam potensi pariwisata. Dibanding 10 tahun yang lalu, tujuan wisata semakin "berfokus" pada Bali dan Bunaken (Sulawesi Utara). Memang ada beberapa tujuan wisata yang bertahan, semisal Pulau Komodo, Gunung Anak Krakatau, Bromo, Tana Toraja, Lombok, Flores, dan Yogyakarya. Juga ada yang "baru" bangkit, semisal Raja Ampat (Papua) dan Karimun Jawa. Namun tidak sedikit objek wisata tanah air yang "mati suri", semisal: Carita, Danau Toba, Sumatera Barat, dan Pangandaran.
Bersamaan dengan itu, Lombok dan Tana Toraja dapat dikatakan mulai menyepi dalam 10 tahun terakhir ini. Kalimantan, Aceh, dan Nias sudah hampir tidak terdengar lagi geliat wisatanya. Jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke daerah-daerah tersebut semakin sedikit jumlahnya. Sebagai gambaran, Tana Toraja hanya dikunjungi oleh sekitar 200 ribu wisatawan asing sepanjang tahun; kurang lebih hanya 500 wisatawan perhari.
Beberapa objek wisata yang masih berpeluang dibangkitkan, misalnya cruise menyusurui Sungai Bengawan Solo, Musi, atau Mahakam. Jelajah Garut, Kuningan, dan Madura juga berpotensi pariwisata. Namun jangan dulu merencanakan untuk melahirkan objek-objek baru, karena objek-objek yang ada saja seringkali “dibunuh”.
Apa pasal pariwisata di Indonesia kian terpuruk?
Ada kendala intern mengenai sikap dan perilaku tuan rumah dalam menyambut wisatawan. Ada pula pola pikir “berat sebelah” tentang wisatawan hanya pada kelas berbintang.
Kendala intern
Tiada biang keladi yang pertama-tama patut dipersalahkan dalam mengelola industri pariwisata kecuali diri sendiri. Beberapa pihak mengeluhkan soal “ganasnya” para pedagang asongan dan vandalisme tangan-tangan jahil yang merusak keindahan objek wisata.
Orang berjualan tidak dapat dilepaskan dari pariwisata. Industri ini bukan hanya menjual objek wisata, semisal situs sejarah, festival atau perayaan, tetapi juga suvenir, makanan, dan minuman. Hal ini berlaku dalam pengelolaan pariwisata di mana pun di dunia ini. Hanya yang berbeda adalah cara menjajakannya. Kasus pedagang asong yang agak mendesak atau bahkan sedikit memaksa wisatawan di sekitar Candi Borobudur atau Kintamani-Bali, membuat perkunjungan wisata menjadi tidak nyaman.
Ketidaknyamanan bukan hanya dengan menempel terus wisatawan, tetapi juga dengan seloroh atau sapaan-sapaan yang membuat pengunjung sakit telinga, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Semisal, “Koh, beli barang ini koh” (tidak semua orang bermata sipit dan berkulit kuning suka disapa dengan koh atau ci); “Bule, ini barang bagus dengan good price.” Seloroh dan sapaan-sapaan tersebut membuat kenyamanan pengunjung terganggu.
Keluhan wisatawan telah lama didengar oleh pengelola. Pembinaan kepada pengasong juga katanya selalu dilakukan. Namun kalau hal tersebut terus-menerus berulang setelah masa “jinak” beberapa saat, maka ini sudah menjadi masalah besar.
Sikap vandalisme di sini mulai dari tangan-tangan jahil dan kurang kerjaan yang mencorat-coret objek-objek wisata hingga pencurian. Kepada orang yang melakukan vadalisme seharusnya sudah dikenakan sanksi yang berat mulai dari perilaku vadalistis yang ringan. Memang ada pula pelaku vadalisme adalah wisatawan iseng. Mereka bukan murni wisatawan, tidak menjiwai akan arti berwisata, maka kelakuannya merugikan banyak orang dan objek itu sendiri.
Vandalisme juga menyangkut penghancurkan – alih-alih peremajaan – bangunan-bangunan lama atau kawasan tertentu. Alasan bahwa bangunan bergaya arsitektur Belanda atau Cina di Indonesia harus dihancurkan untuk diganti dengan bangunan yang baru sama sekali, semacam Mal atau perkantoran adalah tindakan naïve. Banyak negara yang memperoleh banyak keuntungan pariwisata dengan mempertahankan dan memelihara terus bangunan-bangunan atau kawasan kuno (old quarter), semisal Hoi-An di Vietnam atau Roma di Italia.
Masalah yang juga krusial adalah premanisme dan sikap memusuhi orang asing. Premanisme berkaitan dengan sikap liar masyarakat sekitar objek wisata yang terkena langsung dampak positif dari pariwisata di daerahnya. Sikap memusuhi atau sekadar tidak senang muncul dari masyarakat sekitar terhadap orang asing yang masuk ke daerahnya; masyarakat ini biasanya tidak terkena dampak positif langsung pengadaan pariwisata di daerahnya.
Premanisme berkaitan dengan pemerasan, pencurian, memanfaatkan dengan jahat ketidaktahuan wisatawan akan informasi, dsb. Ironisnya, para preman ini seringkali adalah mereka yang justru berada di dalam pengelolaan pariwisata. Semisal, sopir taksi yang menipu atau mengelabui penumpangnya, petugas parkir yang merusak kendaraan, pedagang yang mengganggu kenyamanan wisatawan, dan penjual makanan yang menaikan harga sehingga menjadi sangat tidak wajar. Premanisme bukan hanya membuat wisatawan tidak berkutik, tetapi juga kapok datang lagi. Bagi wisatawan domestik, kapok mereka bisa berlangsung belasan tahun. Kapoknya wisatawan mancanegara bisa berlangsung sangat lama karena info di buku-buku wisata mereka menuliskan Indonesia sebagai wilayah “merah” untuk pariwisata.
Tidak ada pariwisata yang tidak melibatkan banyak orang atau aspek lain dalam perekonomian, baik langsung maupun tidak langsung. Sikap tidak ramah atau bahkan memusuhi wisatawan dengan memandangnya sebagai mangsa akan merugikan masyarakat sendiri. Sikap sebagian masyarakat di Puncak, Bogor-Cianjur dan perbatasan Tawangmangu-Sarangan terhadap pengendara adalah contoh paling gamblang. Mobil wisatawan dirusak atau “dituduh” rusak akan membuat wisatawan berpikir dua kali untuk melewati kembali jalur tersebut.
Memasuki kompleks hotel di area Candi Borobudur sungguh tidak nyaman. Pihak manajemen membiarkan kamar-kamar hotel dikuasai oleh Satpam dan calo. Setiap pengunjung yang masuk halaman, bukan dibukakan pintu gerbang supaya calon tamu hotel dapat langsung berhubungan dengan Receptionist hotel, tetapi justru diinterogasi oleh Satpam atau calo: “Apakah sudah pesan kamar,” atau “kamarnya harus di-booking dulu, kalau tidak booking tidak ada kamar,” dsb. Ini bukan cara baik menyambut tamu.
Sepatutnya sikap tidak welcome ini dikikis karena sangat merugikan pariwisata. Merugikan pariwisata adalah kerugian bagi devisa negara. Padahal masuknya wisatawan akan melancarkan ekonomi rumah makan, penginapan, transportasi, dan oleh-oleh. Ketimbang menggangu mobil-mobil wisatawan, lebih baik memanjakan wisatawan dengan membuka tempat istirahat yang ramah.
Mengapa hanya kelas berbintang?
Garapan pariwisata hanya melirik wisatawan kelas berbintang. Memang wisatawan kelas berbintang adalah wisatawan yang tidak terlalu perduli dengan perbedaan harga, memajukan hotel-hotel bintang 4 dan 5, dan meningkatkan pendapatan restaurant mewah. Namun wisatawan kelas berbintang terkendala pada keamanan yang sangat rapuh di negeri ini dan masa tinggal yang tidak terlalu lama di suatu daerah.
Lantas, mengapa tidak melirik wisatawan kelas melati alias backpacker? Wisatawan ranselan ini “tahan banting”. Mereka mampu tinggal lama di suatu daerah, asal daerah tersebut menyediakan sarana pariwisata yang menarik. Dengan harga kamar sekitar 80-200 ribu rupiah, mereka bisa menghabiskan waktu 1 bulan di Indonesia. Hitunglah berapa rupiah sehari yang wisatawan ranselan ini berikan untuk roda perekonomian kita.
Keuntungan meningkatkan pariwisata
Slogan bahwa hidupnya parisawata adalah hidupnya masyarakat perlu terus didengungkan. Oleh karena karena ini, beberapa sikap perlu diambil oleh semua pihak di negara ini. Yaitu:
1. Pemerintah harus bersikap menahan dan mengendalikan tujuan wisata yang mengrucut pada Bali. Daerah-daerah lain harus tetap dipertahankan, dikembangkan, dan bahkan dilahirkan sebagai tujuan wisata di tanah air.
2. Tertibkan dan jinakan setiap pengganggu wisatawan. Mereka adalah virus kemajuan ekonomi dan pembangunan bangsa.
3. Manjakan secara proposional para wisatawan dengan menyediakan fasilitas murah-mudah-meriah dalam transportasi, akomodasi, dan informasi.
4. Berlakukan perekonomian pariwisata yang jujur.
Hal-hal ini niscaya dapat menarik wisatawan domestik dan mancanegara agar tidak melulu mencari tujuan wisata di luar Indonesia. Bebasnya fiskal seharusnya semakin mempergiat semua pihak di negara ini untuk memanjakan setiap wisatawan berwisata di dalam negeri. Karena “pariwisata maju, rakyat dapat hidup.”
Rabu, Januari 07, 2009
BEBAS FISKAL
Langganan:
Postingan (Atom)