Sabtu, Desember 01, 2007

WARUNG NASI

Oleh : Rasid Rachman

Mendapatkan warung nasi di sepanjang perjalanan di Pulau Nias, tidak mudah. Jalan-jalan cenderung sepi dari warung nasi. Oleh karena itu kami berangkat ke lokasi bencana di Sirombu dan Mandrehe dengan membawa bekal nasi. Nasi bungkus yang kami bawa, kami beli di Sitoli.
Ternyata ada juga daerah yang “ramai” dengan warung nasi. Lumayan, kami bisa beristirahat dari penatnya perjalanan dengan menumpang duduk. Sekali waktu dalam perjalanan, kami memilih salah satu dan duduk di situ. Memang kami minta dibuatkan teh hangat, ada empat yang memesan. Hanya itu! Selebihnya, kami meminjam beberapa piring, gelas-gelas, dan sendok untuk makan bekal yang kami bawa sendiri. Jumlah kami waktu itu adalah 11 orang. Ada yang makan snacks, menyeduh kopi instant, merokok, minum sereal instant; semuanya ada bekal yang kami buka.
Setelah selesai makan, minum, merokok, dan ngobrol, sebelum melanjutkan perjalanan, Pdt Aliyanus Larosa bertanya berapa yang harus dibayar selama kami menumpang duduk di warung itu. Pemilik warung menghitung jumlah gelas yang kami minum, lalu: “Empat ribu rupiah.”
“Amboi!” Kami tersentak. “Jujur kali orang ini.” Pemilik warung sama sekali tidak menghitung ongkos kebersihan dan cuci perabot makan yang kami gunakan. Kalau di Jakarta, seandainya diizinkan oleh pemilik warung untuk membuka bekal sendiri, semua itu pasti dihitung. Tentu kami tidak memberikannya Rp 4000, seperti yang dihitung oleh pemilik warung. Kami sendiri yang mengira biaya “duduk” di warung itu. Itu pun masih terhitung murah, bagi kami.

Tidak ada komentar: