Jumat, Februari 01, 2008

NAMA SUAMI-ISTRI

Oleh : Rasid Rachman

Percaya tidak percaya bahwa sebagian besar umat GKI Perumnas Tangerang menikah dengan pasangan yang bernama ”sama”. Pak Agus menikah dengan Bu Agus, Pak Budi menikah dengan Bu Budi, Pak Santi menikah dengan Bu Santi. Eee...h, contoh yang terakhir itu memang tidak ada di Perumnas. Semua nama mereka berjenis maskulin. Sekalipun senang karena meringankan 50% “beban” mengingat nama-nama umat, saya tetap berusaha mengingat dan mencari tahu nama kecil dari istri-istri tersebut.
Ternyata nama kecil ibu-ibu itu cukup baik dan keren. Ada Santi, Vony, Yulia, Sri (ini yang paling banyak di Perumnas-Tangerang), Monika, dsb. Namun di gereja, nama-nama bagus itu “tertutup” oleh nama suami mereka. Hal itu berlaku bukan hanya di dalam penyebutan, tetapi juga dalam tulisan atau cantuman nama di papan. Hanya ajaibnya, ketika memperkenalkan diri ke Jemaat-jemaat lain – waktu itu masih ada program pertukaran KW ke kebaktian-kebaktian wanita se-Klasis – ibu-ibu itu memperkenalkan diri dengan nama kecilnya sendiri, bukan nama suami. "Saya Ibu Sri," atau "Saya Ibu Yulia dari GKI Perumnas-Tangerang."
Sewaktu kami baru tiba di Jemaat Perumnas tahun 1997, istri saya diminta memperkenalkan diri.
“Silahkan Ibu Pendeta perkenalkan diri,” undang personalia Komisi Wanita waktu itu.
Istri saya berdiri, maju. “Nama saya Melinda; saya bukan Ibu Pendeta.” kata istri saya mengawali perkenalannya di persekutuan wanita itu.
Sejak itu semakin lazim ibu-ibu menyebut nama kecilnya. Namun ada juga pihak-pihak yang tetap tidak rela menerima itu, yakni beberapa suami. Kadang-kadang terdengar gumam mereka: “Istri saya koq masih menggunakan nama kecilnya, padahal sudah kawin sama saya lho” atau “Istri Pendeta memelopori para ibu menggunakan kembali nama kecil,” dan sebagainya.

Untung waktu itu, Presiden kita tidak disebut Ibu Taufik, melainkan Ibu Megawati. ©

JAM NGARET




Oleh : Rasid Rachman

Entah karena namanya: GKI Karet, entah memang “dari sononya”, Jemaat ini memang Jemaat ngaret. Hal ini telah terjadi sejak sebelum saya masuk pada tahun 1997. Sekali waktu saya pernah melayani persekutuan pemuda tahun 1996. Undangan untuk pukul 18.30, saya tiba pukul 18.00, mulai pukul 19.00 – itu pun setelah didesak dan diancam “saya pulang”. Pokoknya, jika dalam warta tertulis pukul 18.00, itu berarti acara dimulai pukul 18.30 atau bahkan pukul 19.00. Kebaktian remaja tertulis pukul 15.00, mulai pukul 15.30 setelah para remajanya dipanggil dan diingatkan.
Pada awal saya masuk, dan ketika beberapa aktivis tahu bahwa saya adalah orang yang tepat waktu, mereka membuat akal-akalan baru. Waktu di warta dibuat berbeda dengan waktu di surat permintaan kepada saya. Misalnya, di warta tertulis pukul 09.00, surat konfirmasi kepada saya pukul 09.30. “Yang penting, bapak tidak menunggu,” kilah mereka. Namun saya tidak menerima taktik semacam itu, karena jangan-jangan jemaat tahunya sayalah yang terlambat tiba di gereja sehingga acara terlambat dimulai. “Saya mengikuti waktu yang tertulis di warta,” begitu saya bilang.
Lambat laun keadaan ini berubah menjadi lebih baik. Acara dimulai sesuai dengan yang diwartakan dan tepat waktu. Hasilnya, beberapa orang yang dulunya agak segan mengikuti acara di gereja karena ngaret, kemudian mulai datang kembali. Acara apa pun dimulai dengan seberapa pun orang yang telah hadir. “Setiap orang yang terlambat datang ke gereja, punya alasannya sendiri. Kita tidak perlu menunggu mereka. Tetapi kita harus lebih menghargai mereka yang datang sebelum waktunya,” begitu penjelasan saya.
Disiplin pada waktu bukan hanya soal kerapihan organisasi dan kematangan spiritualitas, tetapi juga merupakan penghargaan terhadap manusia. ©

GKI KARET?



Oleh : Rasid Rachman

Baru saya ketahui bahwa surat pelembagaan (dh pendewasaan) Jemaat ini adalah GKI Perumnas-Tangerang. Namun selama ini, sejak saya masuk tahun 1997 hingga kini, nama yang populer adalah GKI Karet. Dahulu, saya juga terbiasa menyebutnya GKI Karet. Namun nama itu selalu menimbulkan masalah. Banyak orang keliru bahwa saya adalah Pendeta GKI Karet Belakang (Sudirman) yang kebetulan usia pelembagaannya cuma berbeda seminggu dengan GKI Perumnas-Tangerang. Oleh karena itu, saya selalu menyebut Jemaat ini dengan GKI Perumnas-Tangerang.
Soal nama GKI Karet itu, seseorang anggota jemaat menyadarkan saya. Ceritanya begini. Jemaat ini punya “tradisi” memperlambat hampir setiap waktu acara. Kalau tertulis di warta jemaat pukul 18.00, maka itu berarti acara dimulai pukul 18.30 atau bahkan 19.00. Suatu saat seorang anggota jemaat berkata: “Namanya sih GKI karet, makanya ngaret terus.” Sejak itu saya berusaha mengkonsistensikan waktu acara dengan pewartaan.
Sekarang, baik anggota jemaat maupun klasis dan sinode tahunya Jemaat ini adalah GKI Karet. Karet adalah nama jalan untuk Jemaat ini. Orang-orang berpegang pada ketentuan Tata Gereja GKI bahwa nama Jemaat diambil sesuai dengan nama jalan, bukan wilayah. Kalau sebut GKI Perumnas-Tangerang, malah didengar asing karena tidak lazim. Selain itu, nama GKI Perumnas-Tangerang juga kurang resmi bagi GKI. Rasanya hanya saya yang bertahan menyebut GKI Perumnas-Tangarang, bukan GKI Karet. Alasan saya: ketimbang menjadi momok jam ngaret terus alias ga tepat waktu, lebih baik memperbaiki citra dengan mengubah nama. ©