Jumat, Januari 11, 2008

MISTIK DALAM KEKRISTENAN


IMPLIKASINYA DI GKI

Oleh: Rasid Rachman

I. Mistik dan “mistik”: terminologi
Terminologi antara mistik dan “mistik” seringkali dirancukan oleh awam dalam kehidupan bergereja. Beberapa kalangan Kristen seringkali memahami istilah “mistik” sebagai hal-hal gaib. Sementara, pada pihak lain, terminologi mistik telah ada sejak awal dalam sejarah gereja. Untuk uraian ini, “mistik” gaib tidak dibahas. Uraian ini akan memaparkan mistik (yang sejati) dalam sejarah gereja dan implikasinya di zaman sekarang. Setelah uraian mistik dalam sejarah gereja, akan kita lihat bersama seberapa dalam atau ceteknya unsur-unsur mistik berpengaruh dalam Gereja Kristen Indonesia.

II. Mistik dalam sejarah gereja
Mistik berhubungan dengan upaya manusia menghayati tujuan hidup keagamaannya. Untuk mencapainya, seseorang menggunakan pelatihan atau askese. Oleh karena itu mistik hampir selalu dikaitkan dengan asketik personal atau pelatihan seseorang agar bersatu dengan Tuhan. Kebersatuan atau keintiman dengan Kristus menjadi tujuan mistik Kristen.
Dalam pelatihan tersebut seorang asket berhubungan, berjumpa, dan mengalami kesatuan dengan Kristus. Pengalaman berjumpa Kristus itu dilatih melalui doa, bermazmur, bermeditasi (merenungkan kata-kata Kitab Suci), berkontemplasi, berpuasa, dan bekerja untuk nafkahnya. Pelatihan atau askese ini telah dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam Alkitab dan awal sejarah gereja hingga kini.
Yohanes Pembaptis adalah salah seorang contoh mistikus dalam Alkitab. Namun secara spesifik bapa monastik yang dikenal dalam sejarah adalah Antonius dari Pispir-Mesir (251-356). Baginya, doa tak henti, bermazmur, dan kebaikan adalah kekuatannya untuk melawan setan dan kuasa kejahatan. Beberapa mistikus Kristen yang lain, antara lain: Benediktus Nursia, Bernard Clairvaux, Teresa Avila, Fransiskus Asisi, Thomas Aquinas, Thomas à Kempis, Martin Luther, Thomas Merton, Bunda Teresa dari Kolkata, Bruder Roger dari Taizé, adalah sebagian kecil mistikus yang memberikan inspirasi bagi dunia.
Bentuk askese kaum mistikus tidak statis. Ia selalu berubah sepanjang sejarah. Saat kini, masih ada bentuk-bentuk askese yang tetap bertahan, sekalipun dalam kemasan yang baru. Namun ada banyak juga bentuk-bentuk askese yang hilang di dalam sejarah.
Yang memiliki pengaruh khusus bagi Protestanisme adalah mistik Kristen pada abad ke-17 yang mengalami pergeseran pemaknaan. Pergeseran tersebut adalah memisahkan antara gerakan teologi moral dan teologi secara akademis. Teologi akademis dilakukan di seminari oleh para teolog, sementara teologi moral diterapkan di gereja. Teologi moral menekankan kesempurnaan kristiani dengan mengacu dari beberapa ayat saleh (Mat 5:20 “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ...”; Mat 5:48 “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga ...”).
Menjadi Kristen sempurna tidak melulu dilihat menjadi pribadi yang sempurna luar-dalam. Kesempurnaan luar-dalam ini disadari sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak normal. Kesempurnaan kristiani lebih dilihat secara interior, yakni jiwa yang bersih. Diyakini bahwa dari jiwa yang bersih (sempurna seperti Bapa si sorga) akan terpancar sikap dan tingkah yang baik – bukan sebaliknya.
Kaum mistik lebih dahulu menekankan kebersihan jiwa. Kebersihan jiwa diperoleh melalui disiplin atau beraskese. Disiplin atau pelatihan (askesis =latihan) tersebut dihayati sebagai ziarah iman. Artinya, semangat mistik adalah semangat dalam proses, bukan hasil. Sehingga kaum mistik tidak “kejar target” yang berorientasi pada hasil semata.
Secara praktis, kaum mistik senantiasa berlatih dalam bersikap terhadap tubuh, makanan, pakaian, alam, makhluk dan manusia sekitar. Kaum mistik mengatur dan menyadari kegunaan dan penggunaan setiap bagian di dalam dan di luar dirinya.
Pada pihak lain, banyak orang Kristen zaman kini mendahulukan sikap dan tingkah daripada kesempurnaan jiwa. Kata lain, hasil adalah terutama. Misalnya, orang Kristen tidak boleh merokok atau berambut gondrong, orang Kristen harus berkata-kata manis dan lemah lembut. Sementara kesempurnaan atau kebersihan jiwanya terabaikan. Dalam Protestanisme, pelatihan atau askese seringkali diabaikan. Bahkan doa pagi, kebaktian hari Minggu, persekutuan, rapat, gerakan sosial seringkali hanya dipandang sebagai program Gereja dan kewajiban orang Kristen – bukan proses pelatihan dan penyempurnaan menyerupai Kristus.

III. Mistisisme di GKI, bagaimana implikasinya?
Sebagai salah satu Gereja yang berada dalam tradisi Protestan, GKI – sebagaimana Gereja-gereja Protestan alami – berada antara menolak (secara sadar) dan terpengaruh (secara tak sadar) gerakan mistik. Secara jelas, ada dua sumber acuan GKI yang menggambarkan kontradiksi keberadaan GKI. Yaitu: Peraturan Khusus GKI untuk Lingkup Sinode Wilayah (PK) dan buku nyanyian Nyanyikanlah Kidung Baru.
Dalam PK Talak Pemilihan Penatua (hlm 22), GKI SW Jabar menetapkan seorang calon bersikap atau berkelakuan menghayati iman, memahami arti pelayanan, menyadari panggilannya, dan memiliki ciri-ciri kepemimpinan. Selain itu ada pula “hasil” dari sifat atau keadaan yang (hampir) tidak dapat berubah, yaitu:, berpola pikir gerejawi, dikenal jemaat. Hampir semuanya berorientasi pada hasil, bukan proses atau pelatihan. Tidak disyaratkan di PK bahwa calon penatua adalah orang yang gemar beribadah juga, gemar melayani, tidak boros, cinta damai (alih-alih bukan pemecah belah), atau gemar melakukan karya-karya sosial.
Pengaruh gerakan mistik abad ke-17 terdapat dalam syair NKB 138 “Makin serupa Yesus Tuhanku, inilah kerinduanku, doaku, dan cita-citaku”; NKB 122 “‘Ku ingin berperangai laksana Tuhanku”. Tanpa melihat dengan teliti dan lebih jujur bagaimana perangai Yesus menurut para penulis Injil, penulis syair tersebut menekankan sisi lain dari Yesus yang menurutnya lebih Kristen.
Berdasarkan kedua contoh tersebut, masih jauh untuk mengindikasikan bahwa kita berada di jalan setapak antara menerima atau menolak mistisisme. Secara resmi, mistisisme belum masuk “agenda” percakapan gerejawi, secara kasat mata ia ada di tengah GKI. Akibatnya, kita seringkali gamang dengan istilah mistik dan askese.
Contoh-contohnya: ke tanah suci Israel, tetapi tidak melakukan ziarah; bekerja keras, sekaligus boros juga; mau unik dan spesifik, tetapi enggan jalan sendiri; rapi, tetapi tidak bersih.
Belajar dari kaum mistik dan bentuk-bentuk askesenya akan banyak membantu kita menggali dan memperoleh khazanah spiritualitas Kristen untuk masa kini. °

JAJAN ROHANI DAN ARTI BERGEREJA

Mengapa Orang Gereja Kristen Indonesia Suka “Jajan”

Oleh : Rasid Rachman

Pendahuluan
Ada minimal tiga tugas dan hakikat gereja, yaitu: bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia), dan melayani (diakonia). Ketiga tugas tersebut tidak dijalani satu persatu, melainkan secara serempak. Alasannya, hal yang satu tidak terlepas dari hal yang lain, dengan demikian ia disebut gereja. Oleh karena itu, mau tak mau makna bergereja dilihat sebagai adanya persekutuan (koinonia). Sekalipun diakonia atau marturia berjalan dengan baik, tanpa koinonia ia tidak menjadi gereja. Bahkan tanpa persekutuan, diakonia yang dijalankan hanya menjadi aksi sosial dan marturia hanya menjadi demonstrasi.
Saat ini, persekutuan kita katanya terancam. Keterancamannya disebabkan oleh karena sifat suka “jajan”; suka “mencicipi” gaya kerohanian ala gereja atau ala persekutuan lain. Mengapa demikian?

I. Sifat suka “jajan”
Kesukaan jajan rohani di kalangan umat bukan hanya baru terjadi sekarang-sekarang ini. Sejak dekade 1980-an (atau bahkan akhir tahun 1970an), umat Kristen anggota gereja arus utama sudah mulai coba mencicipi “makanan rohani” ala gereja atau persekutuan lain. Memang, waktu itu orang masih malu-malu dan takut.
Menurut hemat saya, fenomena “suka jajan” terjadi, pertama adalah karena munculnya kebangunan Gereja-gereja Pantekosta. Di dunia internasional dan terutama Amerika, gerakan pantekostal yang lahir pada akhir abad ke-19, mengalami kemunduran besar setelah PD 2. Kemunduran tersebut menyebabkan Gereja Pantekosta para dekade 1960-an, belajar cara beribadah dari Gereja arus utama. Tahun 1970-an, hasil pembelajaran itu diperoleh, antara lain: mengadakan persiapan ibadah, menyusun nyanyian jemaat, memperbaiki sistematika berkhotbah, dsb. Pokoknya dalam menyelenggarakan ibadahnya, gereja Pantekosta tidak lagi melulu "mengandalkan" dorongan Roh Kudus secara membabi buta.
Di Indonesia, kemajuan Gereja-gereja Pantekosta agak terlambat. Selama dekade 1970-an, Gereja-gereja Pantekosta masih “bergaya lama”; ibadah dijalankan dengan “bimbingan Roh Kudus” secara membabi buta. Dalam situasi demikian, hingga akhir dekade 1970an, umat dari Gereja-gereja Protestan di Indonesia tidak begitu tertarik dengan ibadah Gereja-gereja Pantekosta, demikian sebaliknya. Umat Gereja-gereja Protestan di Indonesia bergeming dengan nyanyian dari buku Mazmur dan Nyanyian Rohani.
Baru pada awal dekade 1980-an, di Indonesia ada kebangkitan gerakan pantekosta baru atau karismatik. Beberapa umat dari Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai tertarik dengan persekutuan-persekutuan karismatik tersebut. Sebagai fenonema baru, ibadah karismatik – baik melalui nyanyian dan khotbah, dan terutama mujizat kesembuhan – menjadi daya tarik tersendiri. Tak dipungkiri, beberapa orang GKI kemudian pindah “resmi” ke Gereja Karismatik; bukan ke Gereja-gereja Pantekosta. Mereka yang “resmi” pindah, tidak termasuk kategori “jajan” tersebut.
Pada dekade itu, umat dari Gereja-gereja arus utama – yang sebelumnya tidak memiliki alternatif selera beribadah kecuali ala Gereja-gereja Protestan di Indonesia – kini memiliki alternatif menyalurkan selera beribadah ala karismatik. Bertepatan, dengan rapinya sistem administrasi Gereja-gereja Protestan di Indonesia, kepindahan mereka menjadi lancar.
Walaupun kini karismatik mulai surut, gerakan karismatik tahun 1980-an tersebut adalah “pintu” bagi terbukanya gelombang cara beribadah pantekostal yang masuk ke Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Gereja dan gerakan pantekostal baru telah berwujud lain dengan awal munculnya gerakan pantekosta akhir abad ke-19. Kini ada Gereja Tiberias, Gereja Betani, Gereja Abba Love, Gereja Basilea, Gereja "dll". Oleh seorang peneliti liturgi di Amerika (Andy Langford: Transitions in Worship: Moving from Traditional to Cantemporary), Gereja-gereja “dll” tersebut digolongkan sebagai Gereja Seeker. Istilah seeker tersebut menandakan bahwa Gereja atau persekutuan tersebut “(seperti) terus menerus mencari bentuk” dan mencari jiwa.
Selain Pantekosta dan Karismatik – sebenarnya mereka tidak betul-betul menyerang GKI; hanya menawarkan secara umum – GKI (dan beberapa Gereja-gereja Protestan di Indonesia lain) mengalami serangan berat dari gerakan fundamentalisme (dengan nama: Gerakan Reformed Injili) pada akhir dekade 1980-an. Beberapa (mantan) orang GKI bukan tertarik dengan gerakan baru ini, tetapi juga secara militan mengobok-obok kehidupan GKI.
Menanggapi gerakan karismatik dan fundamentalis tersebut, GKI SW Jabar (dh GKI Jabar)menyusun strategi. Ada Pegangan Ajaran terhadap Karismatik sejak tahun 1980-an. Ada pula Pegangan Ajaran terhadap Pengkhotbah Non-GKI. Persidangan Majelis Klasis Jakarta Timur tahun 1986 (?) pernah mengangkat masalah “jajan” tersebut. Persidangan Majelis Sinode GKI Jabar tahun 1989 pernah mengangkat masalah fundamentalisme yang waktu itu “menyerang” GKI. Tujuan strategi tersebut bukan menyerang balik, melainkan “menjaga pintu” dan “menutup pintu” bagi masuknya gerakan-gerakan tersebut ke dalam GKI.

II. Kondisi peribadahan Gereja-gereja arus utama
Kondisi peribadahan baik di Gereja-gereja Protestan di Indonesia secara umum dan Gereja Kristen Indonesia secara khusus seringkali dijadikan “kambing hitam” atas pindah atau jajannya umat kita ke persekutuan pantekostal. Penyalahan bahwa cara beribadah kita lesu, nyanyian kita loyo, baptisan kita cuma percik, doa-doa dan khotbah kita kurang Roh Kudus, dan pemuda kita suka ibadah model demikian, adalah gejala umum; sifatnya lebih pada tuduhan ketimbang akal sehat dan fakta objektif. Gejala ini kemudian berkembang ke hal-hal yang tidak ada hubungannya, semisal: Pendeta tidak pernah melawat, Penatua kurang ramah kepada jemaat, Majelis cuma pandai rapat, dsb.
Klaim-klaim tersebut pernah membuat GKI salah tingkah. Awal tahun 1980-an, Tata Laksana GKI Jabar memasukkan Kebaktian Penyegaran Iman (KPI) alih-alih Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Dalam prakteknya, KPI memang KKR; bedanya KPI dilakukan di dalam GKI. Artinya, tanpa sadar GKI telah “memasukkan resmi” kebaktian pantekostal. Beberapa Jemaat melaksanakan KPI (bisa juga dengan nama lain: Malam Puji dan Doa [MPD] atau Malam Puji, Doa, dan Kesaksian [MPDK]) setahun sekali, setahun dua kali, atau bahkan setiap bulan. Hingga pernah ada beberapa Jemaat “mengubah” kebaktian hari Minggu (biasanya sore) dengan kebaktian ala pantekostal. Ada juga Jemaat yang “terpaksa” membeli alat musik band supaya pemudanya tetap di GKI. Satu dekade yang lalu, para Pendeta GKI pernah dianjurkan dan dilatih untuk berkhotbah gaya karismatik. Namun semua hal tersebut, baik klaimnya maupun upaya membenarkan klaim tersebut, tidak mampu mengubah (baca: membangun dan mengembangkan) GKI. Setelah lebih daripada 30 tahun KPI dan semua perangkat ibadahnya masuk di GKI, umat GKI tidak menjadi semakin pantekostal dan tidak semakin cerdas beribadah. Terbukti, KPI, MPD, atau MPDK, tidak berkembang di GKI (dan Gereja-gereja arus utama di Indonesia) dari dulu sampai sekarang.
Sebaliknya, pertambahan jumlah Jemaat dan anggota jemaat GKI tetap pesat. Tidak sedikit Jemaat GKI yang kewalahan mencari lahan parkir, kewalahan menambah jumlah ibadah hari Minggu, kekurangan ruang-ruang kegiatan, dan kekurangan bangku ibadah. Selain itu, GKI tidak pernah kekurangan orang yang loyal terhadap GKI. Ibadah-ibadah GKI dan Gereja-gereja Protestan di Indonesia tetap dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk orang-orang muda.
Walaupun jelas tidak benar klaim yang dilontarkan oleh anggota jemaat kita yang suka “jajan”, mengadakan introspeksi diri adalah tidak ada salahnya, supaya tidak cepat puas diri atau tidak waspada. Namun dalam introspeksi itu kita harus tetap memilah secara jernih antara persoalan sejati dan “dibuat-buat menjadi persoalan”.
Klaim-klaim tersebut di atas, menurut hemat saya, cuma hal yang “dibuat-buat menjadi persoalan”, padahal sesungguhnya bukan persoalan. Hal tersebut terbukti dengan paparan di atas juga bahwa jemaat GKI tidak berkurang, malahan bertambah.
Apakah persoalan kita? Saya akan menyoroti soal ibadah.
Pertama, gaya ibadah GKI sudah benar, walaupun belum sempurna. Bahkan dasar teologi ibadah GKI – termasuk pernak-perniknya – jauh lebih kaya daripada dasar teologi ibadah pantekostal.
Kedua, gaya ibadah GKI bukan barang lama atau masa lalu, demikian pula sebaliknya: gaya ibadah “yang lain” itu juga bukan barang modern. Gaya ibadah GKI sama modernnya dengan gaya ibadah “yang lain” itu, walaupun bentuknya memang berbeda. Buktinya, gaya ibadah GKI masih berkembang pesat hingga saat ini, sekalipun seringkali kita sangat terlambat mengetahuinya.
Ketiga, cara melaksanakan ibadah GKI memang harus diperbaiki. Cara itu tidak perlu mengganti gaya beribadah GKI. Mengganti gaya ibadah, misalnya: meniru gaya pantekostal atau Katolik, tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah. Orang GKI memang “dari sononya” bergaya ibadah ala GKI. Lagipula tidak ada yang salah dari dasar ibadah GKI, sehingga tidak perlu diganti.

Penutup
Sebagai penutup, saya usul beberapa hal untuk perbaikan cara kita beribadah, antara lain:
1. Kurangi instruksi verbal: “Silahkan duduk,” “Marilah kita memulai ibadah dengan berdiri,” “dengan tetap berdiri,” “Marilah kita menyanyi dari nomor ….”
2. Nyanyian jemaat dinyanyikan utuh, semua bait. Cara alternatim (bergilir ganti: perempuan, laki-laki, semua) dapat digunakan sebagai cara mengatasi nyanyian berbait banyak.
3. Perbaiki cara menyampaikan simbol-simbol liturgis: tata tutur, tata gerak, dsb.
4. Jangan ikut-ikutan dan mengganti cara beribadah, melainkan memperbaiki cara beribadah kita sendiri. Tradisi ibadah GKI sudah jauh lebih kaya daripada tradisi ibadah pantekostal.

Sudah waktunya kita memotivasi diri dan anggota jemaat untuk semakin cerdas beribadah.

STOP MEMBUAT SAMPAH!

Oleh: Rasid Rachman

Bagi beberapa masyarakat modern, sampah tetap menjadi momok. Hal ini dialami oleh masyarakat yang tinggal di negara yang belum dapat memanfaatkan sampah menjadi energi atau potensi besar bagi negara. Namun bagi masyarakat yang tinggal di negara yang telah dapat mengolah sampah, momok nenek moyang akan bencana sampah telah lama ditinggalkan. Sampah justru menjadi berkah tersendiri.
Sayangnya, kita tinggal di jenis negara pertama. Beberapa kali dalam waktu yang tidak berselang lama kita mengalami momok sampah tersebut. Masalah-masalah sampah yang terjadi di Surabaya, Jakarta, dan Bandung masih lekat dalam ingatan kita. Padahal beberapa pengamat mengatakan bahwa hal tersebut tidak seharusnya terjadi di negara besar seperti Indonesia ini. Artinya, timbulnya masalah tersebut bukan keteledoran atau human error, melainkan kekeliruan pola pikir, gaya hidup, dan metode kerja masyarakat kita.

Membuat sampah
Sangat berbeda dengan segala makhluk lain, manusia adalah makhluk pembuat sampah. Manusia membuat sampah melalui alat dan perlengkapan makanan yang dikonsumsi, pakaian yang digunakannya, tempat tinggal, alat produksi, dsb. Untuk bepergian, manusia membuat sampah bahan buangan kendaraan bermotor. Pokoknya, sangat sulit membuktikan bahwa manusia bukan makhluk pembuat sampah.
Sifat rakus, mau enak, dan tak terpuaskan menyebabkan manusia menjadi pembuat sampah dalam hidupnya. Banyak perusahaan dan perkantoran modern yang dengan mudah membuang kertas hanya untuk mengirim memo sesehari kepada karyawan, menggandakan berlembar-lembar kertas hanya untuk membuat koreksi notulen, dan menggunakan amplop baru untuk mengirim kwitansi ke rekannya di ruang sebelah. Restoran dan super market terlalu banyak menggunakan bahan plastik tanpa membiasakan konsumen membawa sendiri kantong plastik bekasnya. Bahkan ke pasar tradisional, sudah kurang lazim orang membawa keranjang belanjaannya sendiri. Sepuluh tahun lalu orang masih terbiasa menjinjing belanjaannya ke pasar tradisional.
Apakah urgensinya membahas sampah rumah tangga dan sesehari? Tampaknya hal-hal tersebut tidak besar; kenapa harus dipermasalahkan? Notulen rapat 4 lembar hanya digandakan 4 kali, baru 16 lembar. Pulang berbelanja, seseorang hanya membawa 4 kantong plastik baru; tidak banyak. Namun coba saja menghitung dengan seksama jumlah itu berdasarkan jumlah perusahaan dan pengunjung pasar. Kalau 10 ribu perusahaan dan perkantoran di Jakarta menggandakan notulen rapatnya, maka 160 ribu lembar atau kira-kira 400 rim kertas terpakai. Kalau 3 juta orang di Jakarta yang berpendudukan sekitar 10 juta ini berbelanja dalam sehari, maka 12 juta kantong plastik terpakai. Itu baru koreksi notulen dan kantong belanjaan, belum makanan dari restoran, akta-akta, katabelece, amplop, dll. Dalam sehari, akan kita dapatkan jumlah yang sangat fantantis.
Pembuatan sampah oleh manusia belum lagi termasuk sampah-sampah dari perangkat tekhnologi zaman ini. Barang-barang elektronik, baik yang bersifat hiburan maupun pembantu kebutuhan rumah tangga, akan menjadi sampah dalam 5-10 tahun. Dampak dari menurunnya barang-barang mewah atau tertier menjadi kebutuhan sekunder di zaman ini adalah terciptanya sampah-sampah baru bagi dunia.

Akibatnya
Untuk jangka panjang, membuat sampah berakibat jauh lebih besar ketimbang membuang sampah. Potensi bumi diambil untuk membuat suatu barang kebutuhan manusia. Setelah digunakan, barang itu dibuang ke tempat sampah. Sampah itu, jika tidak dapat diolah, menjadi beban baru bagi bumi. Jadi, sudah berapa potensi bumi yang dikuras untuk kebutuhan manusia, dan baru berapa potensi sampah yang diproduksi untuk hidup manusia?
Pada gilirannya, manusia sendiri yang mendapatkan akibat dari membuat sampah tersebut. Banjir, bau busuk, dan rusaknya pemandangan alam menjadi salah satu bukti akibat sampah. Munculnya bibit-bibit penyakit baru di dunia juga perlu diperhitungkan. Belum lagi lahan besar yang harus disediakan untuk “menyimpan” sampah produk manusia. Juga harus dimasukkan dalam kalkulasi dana membersihkan dan membasmi akibat-akibat sampah tersebut. Kerugian yang ditanggung – termasuk dana untuk pengobatan dan perawatan pasien sakit karena sampah – cukup besar. Roda perekonomian negara bisa-bisa cuma untuk memelihara “kelangsungan sampah” dan akibatnya tanpa timbal balik pemasukan.
Padahal naluri manusia untuk mengolah sampah sangat kecil dibandingkan makhluk-makhluk lain di planet ini. Di alam semula jadi, tidak ada makanan yang menyisakan sampah. Pada hewan tidak ada sifat rakus, sehingga hewan tidak membuat sampah. Singa dan dubuk (hyena) dapat makan satu kerbau bersama-sama; sisa kerbau dimakan oleh burung pemakan bangkai dan ulat. Sementara tidak sedikit manusia yang tidak mau secukupnya; kalau bisa makan dan menimbun sebanyak-banyaknya, mengapa menyisakannya. Oleh karenanya perlu kesadaran dari manusia untuk mengurangi kebiasaan membuat sampah.
Mungkin hewan adalah makhluk pembuang sampah sembarangan, tetapi hewan tidak membuat sampah. Kulit atau kotoran yang dibuangnya merupakan hukum alam sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah dan penyebaran biji tanaman buah-buahan. Sementara manusia, karena budayanya, belum tentu pembuang sampah sembarangan, namun jelas ia adalah pembuat sampah. Apalagi manusia yang tidak berbudaya: pembuang dan pembuat sampah sekaligus.

Membuang dan mengolah sampah
Selain mendaur ulang sampah, sikap yang sangat perlu diterapkan adalah mengurangi kebiasaan atau mengatur naluri membuat sampat. Pendaur ulang, jasa pemulung dan tukang loak, tidak banyak membantu mengurangi timbunan sampah. Selain karena tingginya harga yang digunakan, juga akan pola pikir masyarakat yang masih jauh untuk menjaga kondisi sampah agar tetap “baik”. Yang dimaksud, misalnya memilah sampah basah dari sampah kering, tidak membakar sampah, tidak membakar ban bekas hanya untuk unjuk rasa, dsb. Sampah yang dapat didaur ulang masih sangat sedikit dibanding sampah yang menjadi rusak sama sekali. Oleh karena itu, mengurangi kebiasaan membuat sampah adalah hal terpenting dan mendesak dewasa ini.
Mengurangi kebiasaan membuat sampah melibatkan beberapa pihak, antara lain: pemerintah, masyarakat industri, dan masyarakat pemakai. Ini bukan hanya tugas satu pihak, melainkan semua pihak, sebab sampah merupakan kelangsungan hidup manusia.
Pemerintah, selain sebagai pemberi teladan, juga harus terus menerus mengampanyekan STOP MEMBUAT SAMPAH. Melalui Undang-undang Anti Sampah, pemerintah dapat mendukung usaha swasta yang memproduksi barang-barang elektronik daur ulang. Masyarakat yang pandai memanfaatkan sampah dengan membuat kompos, menciptakan barang berpotensi, dan barang produksi, harus sangat dihargai; kalau perlu berikan bintang dan piala semacam kalpataru. Masyarakat kreatif yang memanfaatkan sampah – dari TV bekas menjadi TV rekondisi, misalnya – jangan cuma dituding ilegal, tetapi sebaliknya, mereka harus dilindungi dari para pesaingnya. Setelah publikasi menarik di harian-harian tentang sekelompok masyarakat pengendara sepeda pergi ke kantor, sepantasnyalah pemerintah lebih mendukungnya dengan menyediakan jalan khusus sepeda di kota-kota besar. Becak seharusnya diizinkan untuk daerah perumahan karena sampah yang dibuatnya jauh lebih kecil ketimbang kendaraan bermotor. Tanpa peran pemerintah sebagai motivator dan pelindung kampanye STOP MEMBUAT SAMPAH, kelangsungan hidup manusia tidak akan terjamin dalam dua dekade mendatang.
Masyakat industri yang seringkali dituding sebagai pembuat sampah dan pencipta polusi terbesar harus disertai dengan sikap tegas, baik dalam hal mengolah bakal sampah maupun terhadap aparat yang bermain-main dengan Undang-undang Lingkungan Hidup. Perusahaan dan industri harus membuat anggaran daur ulang dan sedapat mungkin mengurangi membuat sampah industri termasuk pemakaian listrik dan bahan bakar. Terhadap tangan-tangan jahil yang terbiasa meminta sebagian anggaran, laporkan saja kepada yang berwajib. Lebih baik gunakan angaran tersebut untuk mengolah sampah dan membina kerja sama dengan industri rumahan atau kecil dalam memanfaatkan bakal sampah.
Selain orang kebanyakan atau rakyat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Lembaga Agama juga termasuk masyarakat pemakai barang konsumsi dan penghasil sampah. Pada mereka, atau pada kita, harus ada tanggung jawab terhadap tak terkendalinya terciptanya sampah. Ketimbang sensor paha dan dada, lebih baik kampanye stop menjadi pembuat sampah. Film atau iklan yang aktornya merokok sudah dilarang, kini film dan iklan yang aktornya dalam aksinya “rajin” membuat dan membuang sampah sembarangan juga sudah harus dilarang. Kita masih menunggu perang dan unjuk rasa para LSM yang tidak cuma pandai membakar ban, foto, dan bendera.
Lembaga Agama juga harus mewartakan hal-hal horinsontal ini. Agama jangan cuma perduli pada akhlak dan prilaku seksual, tetapi mengabaikan akhlak seenaknya pembuat sampah. Surat-menyurat, publikasi, notulensi, lembar pendidikan umat, dsb. – pokoknya masih dalam taraf sebelum final – dapat menggunakan kertas bekas. Ingat, kertas berasal dari pohon, bukan dari sorga. Pasti, ada ayat-ayat Kitab Suci dari tiap agama yang mendukung kampanye lingkungan hidup, tinggal bagaimana para agamawan menafsirkannya.
Masyarakat rumahan juga layak ikut menjaga barang: kertas, plastik, karet, dan bahan bakar. Selain listrik dan gas atau minyak serta sisa makanan yang – bagi orang-orang tertentu terbiasa melakukannya - membiasakan diri menggunakan satu kertas untuk berbagai keperluan sebelum menjadi sampah sejati adalah pembiasaan yang perlu diterapkan dalam rumah tangga. Tampaknya sepele, namun ada sekitar 4 juta rumah tangga di Jakarta saja. Pemborosan 100 watt listrik saja berarti pemborosan 400 juta watt hanya untuk listrik – betapa besar! Harus ada kampanye “Hemat Membeli, Hemat Membuat Sampah”. Pemborosan itu dimulai dari hal-hal yang terlihat kecil, semisal sampah dari rumah-rumah tangga.

Tugas bersama
Pada kita semua terletak tanggung jawab majunya negara yang telah memproklamasikan kemerdekaannya hampir 63 tahun lalu. Usia proklamasi Republik Indonesia ini kira-kira tidak jauh berbeda dengan Filipina, Taiwan, Singapura, India, bahkan Jepang sendiri. Masyarakat di negara-negara itu sudah sadar akan perlunya mengendalikan diri untuk membuat sampah. Masakan kita belum dapat mengurus sampah sendiri, padahal kita memiliki banyak ahli di bidang lingkungan hidup.
Memang tidak mungkin menghentikan sama sekali membuat sampah. Bukankah kita setuju bahwa manusia adalah makhluk pembuat sampah. Namun kesadaran untuk mengurangi membuat sampah adalah perlu. Dengan mengurangi naluri dan kebiasaan membuat sampah, kita turut menjaga kelangsungan planet bumi melalui hidup sejahtera tanpa banjir, bau busuk, dan bibit penyakit baru. Di samping itu, dampak buruk ekonomis karena sampah dapat ditekan dan dialihkan menjadi berkat karena menjaga lingkungan. °

Kamis, Januari 10, 2008

“KORIDOR” DALAM PRAKTEK


UPAYA GEREJA MENETAPKAN DAN MENERAPKAN AJARANNYA

Oleh : Rasid Rachman

Koridor dapat dijumpai dalam setiap hotel atau apartemen. Di koridor, mau tidak mau orang berjalan menurut alurnya. Namun alur koridor bukan titian yang hanya sebatas dan setebal garis. Dalam koridor, orang masih dapat berjalan kelak-kelok dan menyimpang ke kiri atau ke kanan, tetapi arah dan jalur berjalan tetap mengikuti alur korikor. Orang bebas berjalan di sisi kiri atau sisi kanan, cepat atau lambat, atau bahkan berhenti. Pokoknya, selama tidak mengganggu orang lain, orang berjalan di koridor boleh berlaku bebas asal tidak liar atau berjalan keluar korikor. Dengan demikian, berjalan di dalam koridor adalah berjalan di dalam kebebasan sebatas alur koridor.
Dalam menerapkan ajarannya, pimpinan dan para pendeta gereja seringkali mengucapkan: “Asal masih di dalam koridor,” dalam menjawab pertanyaan: “Apakah boleh bertepuk tangan dalam di kebaktian di gereja kita, padahal di gereja sana boleh”; “Apakah boleh mengundang pengkhotbah yang berbeda denominasi di kebaktian Remaja”; “Apakah boleh menggunakan nyanyian jemaat di luar buku-buku nyanyian dan kitab liturgi yang lain”; “Kenapa gereja A melarang baptis selam, sedangkan gereja B justru mendorong orang untuk baptis selam”; dsb. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, biasanya pimpinan atau pendeta gereja tidak berkata: “Boleh,” atau “Tidak boleh.” Jawaban yang umum adalah “Asal masih dalam koridor ajaran gereja kita.” Artinya: diperbolehkan, yang penting tidak keluar koridor.
Bagi sementara orang, jawaban semacam itu dianggap jawaban plin-plan, tidak tegas, dan tidak punya sikap. Sebenarnya, menurut hemat saya, jawaban semacam itu menunjukkan pola pikir koridor. Ada kebebasan, tetapi jangan kebablasan.
Apakah perbedaan antara koridor dan titian dalam praktek ajaran GKI? Ambil contoh di atas. Jawaban berdasarkan titian: “Tidak boleh tepuk tangan, tidak boleh ada Pendeta non-GKI, tidak boleh menggunakan nyanyian non-KJ dan non-NKB, tidak boleh baptis selam.” Jawaban-jawaban tersebut tegas, namun menunjukkan pola pikir berjalan di atas titian: tidak boleh menyimpang satu milimeter pun; kalau tidak mau terjerembab. Jawaban tersebut sebetulnya setali tiga uang dengan: “Bernyanyi harus bertepuk tangan, harus Pendeta gereja lain, harus tidak menggunakan buku nyanyian dan tidak menggunakan kitab liturgi kita, atau harus baptis lagi di gereja ini kalau pernah baptis selam sebelumnya.” Baik jawaban “Tidak boleh” maupun “Harus” terlihat menyelesaikan persoalan dengan cepat, tidak dibutuhkan lagi dialog, dan harga mati.
Dalam pola pikir koridor, dialog tetap dibutuhkan. Dengan dialog, artinya sebuah gereja bersikap terbuka dan masih menerima praktek agak berbeda yang kurang lazim.
Lantas, bagaimanakah ajaran yang keluar koridor ajaran gereja? Berdasarkan contoh-contoh pertanyaan di atas, ajaran yang keluar koridor adalah: “Boleh menyanyikan qasidahan dalam ibadah, sembarang orang boleh pimpin ibadah remaja, boleh menggunakan Puji Syukur atau Nafiri Iman sebagai ganti buku nyanyian atau kitab liturgi yang ditetapkan, dan boleh baptis ulang,” jawaban-jawaban tersebut jelas bukan ajaran yang baik.
Jadi sikap “titian” adalah penyempitan dari sikap “koridor”. Sekalipun masih berterima, beberapa gereja tidak bersikap “titian”, melainkan “koridor”. Sikap “koridor” memperlihatkan dan mendorong pertumbuhan ke arah kedewasaan jemaat.

Selasa, Januari 08, 2008

MENJADI RELAWAN DI NIAS




MENYELAMI OASIS MELALUI ZIARAH KEMANUSIAAN

Oleh : Rasid Rachman
(Relawan Nias dalam Tim 1 dan Tim 3)

Bagi saya, menjadi relawan Tim GKI yang diutus oleh Sinode ke daerah bencana gempa bumi dan gelombang tsunami di Nias adalah sebuah ziarah. Alasannya? Di lokasi bencana itulah, rahmat ilahi dirasakan dan dialami oleh banyak orang dan banyak pihak, baik korban maupun relawan. Oleh karena itu, menjadi relawan adalah bukan sekadar bertualang menolong korban bencana dan membagikan sumbangan ini-itu, melainkan menyerap dan menikmati rahmat Allah melalui kehadiran-Nya sebagai korban tsunami.
Ada beberapa hal yang mendorong saya menghayati tugas tersebut sebagai perjalanan ziarah, yaitu: pertemuan dengan berbagai macam orang; berkenalan dengan berbagai macam orang; tanpa tsunami, mungkin saya tidak ke Nias; dan kepuasan batin.
Semua hal tersebut di atas dimulai dari suatu pencarian. Ziarah diawali dari sebuah pencarian. Pencarian akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: Mengapa semua itu terjadi? Mengapa ada penghancuran oleh alam, dan Tuhan berdiam diri saja? Mengapa Nias lagi? Mengapa Aceh lagi? Misteri apa lagi yang ingin disampaikan-Nya? Atau mungkin Ia ingin menyampaikan pesan?
Sedikit demi sedikit, melalui ziarah kemanusiaan ke Nias, pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai mendapat jawab, sekalipun masih buram dan belum tuntas hingga kini.
Pertama, pertemuan dengan berbagai macam orang karena satu hal merupakan hal yang langka. Oleh karena itu, terlibat sebagai relawan di dalam peristiwa tersebut menjadi sangat berharga.
Mengapa menjadi relawan? Alasannya:
1) Saya bukan orang Nias, sehingga tidak ada alasan untuk ke Nias kecuali pelesir, menonton korban, atau relawan.
2) Untuk pelesir diperlukan cukup modal. Lagipula, rasanya bukan sekarang saatnya pelesiran ke Nias.
3) Menonton, rasanya tidak pas, sebab korban tsunami bukan objek tontonan. Sekalipun ada saja orang yang menonton, hanya lihat-lihat dan memotret sana-sini, saya tidak mau memilih itu.
4) Menjadi relawan rasanya pas buat saya kali ini. Ada hal yang dikerjakan dan mengerjakan sesuatu untuk korban bencana.

Kedua, berkenalan dengan berbagai macam orang merupakan hal menakjubkan. Dalam dunia sesehari, tidak mudah orang saling bertegur sapa tanpa perantara, berbincang bebas tanpa tata krama, apalagi berkenalan dan kemudian menjadi akrab. Namun hal tersebut sangat mungkin ketika komunitas manusia terbentuk oleh rasa keprihatinan yang sama karena tsunami. Batas-batas jabatan, pendidikan, agama, etnis, pandangan politik, bahkan denominasi Gereja (ironis memang!) menjadi cair. Orang tidak lagi berdebat, berwacana, dan menjunjung batas-batas tersebut, melainkan menjunjung nilai termulia dari kemanusiaan. Siapa pun yang terjun menjadi relawan kemanusiaan memahami bahwa di dalam keterbatasannya, manusia seharusnya membuka belenggu batas-batas yang menghalanginya untuk saling mengenal.
Kisah perkenalan yang menjadi akrab itu dapat dilihat dari cerita berikut ini.

Nama-nama Julukan

Tim 3 terdiri dari enam orang, termasuk saya. Katanya saya sebagai pimpinan tim 3, padahal saya hanya seminggu – dari seharusnya 12 hari – bersama di Nias. Oleh karena saya paling tua dibanding para anggota tim yang belasan tahun lebih muda daripada, maka Lucia memanggil saya: babe; Gerhard memanggil saya: bos.
Lucia, dipanggil Cia. Padahal nama depannya Henny. Tinggal dan bekerja bersama-sama, menimbulkan kreativitas tim. Nama orang diganti-ganti dengan mudah, julukannyalah yang lebih dikenal. Alasannya, demi keakraban. Bahasa Inggris Cia paling bagus di antara kami, sebab dia satu-satunya yang lulus sekolah tinggi bahasa Inggris.
Cia datang bersama Tina. Tina ini pengusaha dan penjual sepatu di Bandung. Selain lebih dewasa dibanding yang lain, Tina pandai memijit. Jasanya sangat diperlukan, gratis pula. Kedewasaannya itulah yang menolongnya untuk tidak diberi nama julukan.
Yang beda adalah Udin. Namanya aslinya Satya, tidak ada udin-udinnya. Rupanya ada selipan Syarifudin pada namanya, tapi tidak dikenal. Udin baru lulus sekolah teologi. Karena terlihat lebih serius dibanding yang lain, maka ia diberi nama yang terkesan tidak serius. Yah … Udin, itulah.
Termuda dari tim 3 adalah Gerhard. Dia lahir di Gunung Sitoli, jasanya sebagai penerjemah. Dia paling banyak tahu tentang Nias. Kemudaan dan badannya yang lebih kecil, tampak imut, sering juga dijuluki si bungsu. Namun karena rambutnya menjadi pirang beberapa bulan lalu, teman-teman memanggilnya Buceri, alias Bule Celup Sendiri atau Bule Cet Sendiri.
Murtopo paling ahli dalam urusan kemping. Dia sudah di tingkat pelatih para pencinta alam. Gayanya yang jaim, jaga image, justru menjerumuskan dia mendapat julukan Intruktur (tanpa “s”). Entah mengapa, waktu itu ucapannya terdengar intruktur, bukan instruktur. Padahal menurut pengakuannya, dia tidak pernah menyebut kata itu, melainkan Pelatih. Nah, sekali sebut, ternyata kurang “s”.

Ketiga, seorang relawan yang kebetulan orang Nias berkata kepada saya: “Kalau gak ada tsunami, mungkin Anda tidak ke Nias.” Setelah dipikirkan, perkataannya adalah betul. Nias, menurut hemat saya selama ini, bukan untuk orang Indonesia. Sebab objek wisatanya hanya berupa berselancar. Memang ada wisata budaya, yakni lompat batu dan tarian perang, tetapi masak sih saya ke Nias hanya untuk ke Teluk Dalam saja.
Akhir Desember lalu perziarahan ke Nias telah menghantar saya ke bagian-bagian Nias yang tidak tersentuh semangat pariwisata. Perziarahan saya justru menyentuh bagian-bagian kemanusiaan yang paling nyata. Yaitu, bagaimana penduduk berdialog, menghabiskan hari-harinya, menyambut tamu, berpisah dengan tamu, memanfaatkan orang asing, membantu dan menolong tanpa pamrih, bersikap jujur kepada orang lain dan diri sendiri. Kisah berikut ini kiranya dapat menyampaikan pesan tersebut.

“Bapak, agamanya apa?”

Kabupaten Nias berpendudukan mayoritas Kristen. Walaupun tidak seluruh penduduk beragama Kristen, di mana-mana dan hampir siapa saja beragama Kristen. Gereja ada di mana-mana. Di kota, desa, perbukitan, dan pesisir, kita menjumpai orang Kristen. Pramusaji restoran, pengayuh becak, pelayan hotel, pejabat pemerintah, hingga Walikota, dan Bupati, adalah Kristen.
Di daerah-daerah tertentu, semisal: Moawo, Afulu, Sirombu, seringkali kita jumpai umat beragama Islam. Namun karena mayoritas Nias adalah Kristen, dengan tetap mengingat bahwa ada pula yang Islam, maka bertanya kepada seseorang: Apakah agamamu?” merupakan hal lazim di daerah-daerah tersebut. Orang yang ditanya pun tidak merasa sedang diterogasi karena pertanyaan yang menyangkut hak azasi tersebut. Jawabannya pun santai: “Saya Kristen,” atau “Saya Islam.”
Dalam perjalanan sulit ke daerah Afulu menuju Desa Faekuna’a, saya “diinterogasi” oleh sopir ojek yang saya tumpangi.
Ojek: “Bapak dari mana?”
Saya: “Dari Jakarta.”
Ojek: “Bapak ke mari dari utusan mana?”
Saya: (sambil memancingnya ingin tahu) “Saya dari Gereja.”
Ojek: “Ooh, bapak Kristen? Saya juga Kristen. Tapi agama saya BNKP. Kalau agama bapak, apa?”
Saya: (masih dalam kebingunan) “Agama saya adalah GKI.” (setelah agak tenang sejenak, saya “menggodanya”). “Kalau begitu, agama kita berbeda ya.”
Ojek: “Ya, beda. Tetapi sama juga, sih. Cuma, saya yang agama BNKP, bapak yang agama GKI.”

Keempat, muara dari perziarahan kemanusiaan ini adalah kepuasan batin. Puas, bukan karena misi telah dijalankan, dikerjakan dan selesai. Puas, bukan karena ada perbuatan baik dan tulus yang telah diberikan. Puas, bukan karena ada harapan yang disampaikan kepada korban di tengah kegalauan bencana. Tetapi puas, karena telah meneguk rahmat ilahi melalui perjumpaan dengan Tuhan sendiri dan pengalaman kebersamaan dengan sesama.
Menjadi relawan dan bergabung dengan para relawan lain adalah kenikmatan tersendiri. Saling menghargai dan saling menjaga sebagai sesama orang yang mengerjakan sesuatu bagi korban merupakan nilai tertinggi bagi relawan.
Menjadi relawan dan bersama korban membangun kembali kehidupan baru setelah tsunami adalah keindahan yang tiada tara. Keletihan menghadapi medan dan mental yang berat terobati ketika mendengar korban berkata: “Ya, saya mau bekerja untuk membangun rumah dan perahu saya.” Hal-hal dan nilai-nilai tersebut laksana oasis di dunia yang serba melecehkan kemanusiaan. ¨