Oleh: Rasid Rachman
I. Mistik dan “mistik”: terminologi
Terminologi antara mistik dan “mistik” seringkali dirancukan oleh awam dalam kehidupan bergereja. Beberapa kalangan Kristen seringkali memahami istilah “mistik” sebagai hal-hal gaib. Sementara, pada pihak lain, terminologi mistik telah ada sejak awal dalam sejarah gereja. Untuk uraian ini, “mistik” gaib tidak dibahas. Uraian ini akan memaparkan mistik (yang sejati) dalam sejarah gereja dan implikasinya di zaman sekarang. Setelah uraian mistik dalam sejarah gereja, akan kita lihat bersama seberapa dalam atau ceteknya unsur-unsur mistik berpengaruh dalam Gereja Kristen Indonesia.
II. Mistik dalam sejarah gereja
Mistik berhubungan dengan upaya manusia menghayati tujuan hidup keagamaannya. Untuk mencapainya, seseorang menggunakan pelatihan atau askese. Oleh karena itu mistik hampir selalu dikaitkan dengan asketik personal atau pelatihan seseorang agar bersatu dengan Tuhan. Kebersatuan atau keintiman dengan Kristus menjadi tujuan mistik Kristen.
Dalam pelatihan tersebut seorang asket berhubungan, berjumpa, dan mengalami kesatuan dengan Kristus. Pengalaman berjumpa Kristus itu dilatih melalui doa, bermazmur, bermeditasi (merenungkan kata-kata Kitab Suci), berkontemplasi, berpuasa, dan bekerja untuk nafkahnya. Pelatihan atau askese ini telah dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam Alkitab dan awal sejarah gereja hingga kini.
Yohanes Pembaptis adalah salah seorang contoh mistikus dalam Alkitab. Namun secara spesifik bapa monastik yang dikenal dalam sejarah adalah Antonius dari Pispir-Mesir (251-356). Baginya, doa tak henti, bermazmur, dan kebaikan adalah kekuatannya untuk melawan setan dan kuasa kejahatan. Beberapa mistikus Kristen yang lain, antara lain: Benediktus Nursia, Bernard Clairvaux, Teresa Avila, Fransiskus Asisi, Thomas Aquinas, Thomas à Kempis, Martin Luther, Thomas Merton, Bunda Teresa dari Kolkata, Bruder Roger dari Taizé, adalah sebagian kecil mistikus yang memberikan inspirasi bagi dunia.
Bentuk askese kaum mistikus tidak statis. Ia selalu berubah sepanjang sejarah. Saat kini, masih ada bentuk-bentuk askese yang tetap bertahan, sekalipun dalam kemasan yang baru. Namun ada banyak juga bentuk-bentuk askese yang hilang di dalam sejarah.
Yang memiliki pengaruh khusus bagi Protestanisme adalah mistik Kristen pada abad ke-17 yang mengalami pergeseran pemaknaan. Pergeseran tersebut adalah memisahkan antara gerakan teologi moral dan teologi secara akademis. Teologi akademis dilakukan di seminari oleh para teolog, sementara teologi moral diterapkan di gereja. Teologi moral menekankan kesempurnaan kristiani dengan mengacu dari beberapa ayat saleh (Mat 5:20 “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ...”; Mat 5:48 “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga ...”).
Menjadi Kristen sempurna tidak melulu dilihat menjadi pribadi yang sempurna luar-dalam. Kesempurnaan luar-dalam ini disadari sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak normal. Kesempurnaan kristiani lebih dilihat secara interior, yakni jiwa yang bersih. Diyakini bahwa dari jiwa yang bersih (sempurna seperti Bapa si sorga) akan terpancar sikap dan tingkah yang baik – bukan sebaliknya.
Kaum mistik lebih dahulu menekankan kebersihan jiwa. Kebersihan jiwa diperoleh melalui disiplin atau beraskese. Disiplin atau pelatihan (askesis =latihan) tersebut dihayati sebagai ziarah iman. Artinya, semangat mistik adalah semangat dalam proses, bukan hasil. Sehingga kaum mistik tidak “kejar target” yang berorientasi pada hasil semata.
Secara praktis, kaum mistik senantiasa berlatih dalam bersikap terhadap tubuh, makanan, pakaian, alam, makhluk dan manusia sekitar. Kaum mistik mengatur dan menyadari kegunaan dan penggunaan setiap bagian di dalam dan di luar dirinya.
Pada pihak lain, banyak orang Kristen zaman kini mendahulukan sikap dan tingkah daripada kesempurnaan jiwa. Kata lain, hasil adalah terutama. Misalnya, orang Kristen tidak boleh merokok atau berambut gondrong, orang Kristen harus berkata-kata manis dan lemah lembut. Sementara kesempurnaan atau kebersihan jiwanya terabaikan. Dalam Protestanisme, pelatihan atau askese seringkali diabaikan. Bahkan doa pagi, kebaktian hari Minggu, persekutuan, rapat, gerakan sosial seringkali hanya dipandang sebagai program Gereja dan kewajiban orang Kristen – bukan proses pelatihan dan penyempurnaan menyerupai Kristus.
III. Mistisisme di GKI, bagaimana implikasinya?
Sebagai salah satu Gereja yang berada dalam tradisi Protestan, GKI – sebagaimana Gereja-gereja Protestan alami – berada antara menolak (secara sadar) dan terpengaruh (secara tak sadar) gerakan mistik. Secara jelas, ada dua sumber acuan GKI yang menggambarkan kontradiksi keberadaan GKI. Yaitu: Peraturan Khusus GKI untuk Lingkup Sinode Wilayah (PK) dan buku nyanyian Nyanyikanlah Kidung Baru.
Dalam PK Talak Pemilihan Penatua (hlm 22), GKI SW Jabar menetapkan seorang calon bersikap atau berkelakuan menghayati iman, memahami arti pelayanan, menyadari panggilannya, dan memiliki ciri-ciri kepemimpinan. Selain itu ada pula “hasil” dari sifat atau keadaan yang (hampir) tidak dapat berubah, yaitu:, berpola pikir gerejawi, dikenal jemaat. Hampir semuanya berorientasi pada hasil, bukan proses atau pelatihan. Tidak disyaratkan di PK bahwa calon penatua adalah orang yang gemar beribadah juga, gemar melayani, tidak boros, cinta damai (alih-alih bukan pemecah belah), atau gemar melakukan karya-karya sosial.
Pengaruh gerakan mistik abad ke-17 terdapat dalam syair NKB 138 “Makin serupa Yesus Tuhanku, inilah kerinduanku, doaku, dan cita-citaku”; NKB 122 “‘Ku ingin berperangai laksana Tuhanku”. Tanpa melihat dengan teliti dan lebih jujur bagaimana perangai Yesus menurut para penulis Injil, penulis syair tersebut menekankan sisi lain dari Yesus yang menurutnya lebih Kristen.
Berdasarkan kedua contoh tersebut, masih jauh untuk mengindikasikan bahwa kita berada di jalan setapak antara menerima atau menolak mistisisme. Secara resmi, mistisisme belum masuk “agenda” percakapan gerejawi, secara kasat mata ia ada di tengah GKI. Akibatnya, kita seringkali gamang dengan istilah mistik dan askese.
Contoh-contohnya: ke tanah suci Israel, tetapi tidak melakukan ziarah; bekerja keras, sekaligus boros juga; mau unik dan spesifik, tetapi enggan jalan sendiri; rapi, tetapi tidak bersih.
Belajar dari kaum mistik dan bentuk-bentuk askesenya akan banyak membantu kita menggali dan memperoleh khazanah spiritualitas Kristen untuk masa kini. °