Oleh: Rasid Rachman
Seorang relawan mengatakan begini kepada saya: “Di beberapa lokasi bencana yang pernah saya kunjungi, Mentawai adalah lokasi tersulit.” Pernyataan tersebut kemudian bukan pernyataan dari hanya seorang relawan. Beberapa relawan, baik medis maupun non-medis, juga mempunyai pendapat yang sama.
Beberapa relawan lain, termasuk yang bukan tim kami, juga mengatakan bahwa yang dibutuhkan bagi setiap relawan ke Mentawai bukan hanya kekuatan fisik, semangat tinggi, dan keberanian, tetapi juga keteguhan hati dan mental. Tentu di atas semua itu adalah ketulusan. Ombak setinggi 4-5 meter bukan kejadian langka di sini. Sehingga, ancaman demikian dapat menyurutkan langkah sebelum relawan berangkat ke lokasi pengungsian. Perubahan cuaca secara ekstrem dan cepat seringkali terjadi di sini. Panas, hujan, kemudian panas lagi bukan hal aneh. Laut tenang, laut tiba-tiba bergelombang, sangat biasa bagi masyarakat Mentawai.
Memang Mentawai penuh tantangan. Namun kami tidak sendiri. Orang-orang lain mendukung pelayanan kami. Selain dukungan beberapa penduduk Mentawai, Tim kami juga didukung oleh banyak doa yang diinfokan kepada kami melalui pesan-pesan singkat. SMS datang dari berbagai pihak: keluarga, teman, rekan pelayanan, jemaat, dan sebagainya. Selama menjadi relawan, mendapat setumpuk SMS inilah yang mendukung, menopang, dan menghibur kami.
Sengaja saya kumpulkan dan pilihkan beberapa SMS yang kiranya mewakili dukungan puluhan SMS lain yang tidak dimasukkan di sini. Kemudian saya susun menjadi sebuah cerita dengan keterangan pada sebelum atau setelah tulisan SMS.
Davidy (Minggu, 31 Okt, 11:33:19)
Untuk pengiriman barang bantuan ke lokasi bencana Mentawai: Untuk dari Padang Bpk Kol Indarto, Astap Lantamal 2, no HP …., untuk dari Jakarta Bpk Yusuf, no HP ….
Sejak sebelum keberangkatan, Sekum BPMSW Jabar membantu kami dalam penyiapan transportasi. Memang tidak ada kepastian bagaimana kami menuju Mentawai saat itu, namun informasi ini menguatkan bahwa kami tidak “dilepas” begitu saja.
Akhirnya memang kami memanfaatkan bantuan TNI AL untuk berangkat ke Mentawai pada 3 November. KRI Teluk Manado mengantar kami bersama 200-an penumpang sipil dan Polri ke Mentawai sejak pukul 08.00 dari Teluk Bayur. Bahkan ketika kembali ke Padang pada 9 November, kami juga memanfaatkan TNI AL dengan KRI Teluk Cirebon. Ikutnya kami di KRI punya kisah sendiri.
Yanti Lazuardi (Senin, 1 Nov, 11:37:55)
Pdt Rasid, ini Yanti Lazuardi …, kami doakan agar Tuhan pakai pelayanan bapak dan tim dengan sangat indah.
Setiba di Padang, saya langsung telepon Lantamal. Mencari info tentang keberangkatan KRI. Jawabnya: “KRI baru berangkat 3 November nanti.” Itu berarti dua malam lagi kami di Padang. Menurut info, feri akan berangkat 2 November malam.
Selasa pagi, 2 November, saya kembali mengontak Lantamal, masih menanyakan hal sama dengan harapan siapa tahu hari ini KRI berangkat. Tetapi jawabannya tetap sama bahwa KRI baru berangkat besok pagi. Saya bilang, “Baik Pak, kalau begitu saya hubungi bapak lagi besok.” Kami berpikir, sore ini feri berangkat, sehingga tidak perlu menumpang KRI besok. Ambil yang berangkat lebih dahulu.
Siang itu kami habiskan dengan berbelanja segala keperluan bantuan. Beras, pakaian dalam, makanan bayi, biskuit, sarung, dsb., selain keperluan kami sendiri. Tengah hari kami menuju Teluk Bayur, dengan 2 kendaraan barang, untuk naik feri. Namun, feri tidak berangkat malam ini – cuaca masih berbahaya.
Gagal berangkat dengan feri menuju Mentawai karena gelombang tinggi, rekan-rekan sepelayanan memberikan kekuatan.
Teguh Putra (Selasa, 2 Nov, 16:04:02)
Teriring salam dan doa bagi rekan-rekan di sana, usahakan memakai kapal yang besar untuk tiba di tempat tujuan. Selamat bertugas dan Tuhan memberkati.
Adijanto Surjadi (2 Nov, 16:06:11)
Doa kami selalu. Dalam acara HUT GKI Surya Utama juga disampaikan bahwa Rasid persiapan menuju Mentawai. Semoga alam sedikit ramah, agar relawan dan bahan makanan dapat dikirim.
Sore itu, kembali saya mengontak Lantamal. Kami memutuskan naik KRI saja besok pagi. Responsnya: “Lho, saya sudah batalkan ketika bapak bilang akan menghubungi besok.”
Saya berusaha: “Tolonglah Pak, kami cuma bertiga.”
Kol Indarto bertanya: “Bawa barang?”
Saya jawab: “Beras, 1 ton dan beberapa barang bantuan.”
Jawabnya: “Saya akan coba usahakan, tetapi tidak bisa membawa barang. Kapal sudah penuh barang. Nanti saya hubungi lagi.”
Sekitar 20 menit kemudian, telepon seluler saya berbunyi. “Besok kapal berangkat pukul 08.00. Bapak temui saya di pelabuhan pukul 07.00. Jangan lupa bawa makan siang sendiri. KRI tidak menyediakan makan.”
Malam itu di hotel, kami menyiapkan barang bawaan. Sebanyak mungkin barang bantuan bisa dimuat di koper-koper dan semampu mungkin kami membawanya sendiri. Jadi harus sesedikit mungkin barang bawaan yang terlihat. Barang-barang besar terpaksa kami tinggalkan dulu di Padang.
Kuntadi (2 Nov, 18:01:27)
Di Sikakap nanti hubungi Ephorus GKPM. Banyak barang bantuan numpuk tak terdistribusi. Tadi saya bicara dengan beliau, Pdt Simanjuntak. Tetap sabar ya, keadaan memang tidak normal.
Setiawati (2 Nov, 19:24:37)
Wah penuh perjuangan nih, tapi pasti pimpinan Tuhan memampukan kamu dan Tim GKI. Selamat berjuang ya. Tuhan Yesus Kristus memberkati.
Rabu, 3 November, pukul 06.00 Tim GKI tiba di pelabuhan TNI AL. Ternyata kami belum terdaftar di Lantamal. Kami malah tidak tahu harus mendaftar dulu, sehingga kami tidak boleh ikut kapal. Saya langsung mengontak Kol Indarto: “Pak, kami tidak boleh ikut kapal, belum terdaftar.”
Kol Indarto menjawab tenang: “Kemarin kan saya bilang, tunggu dan temui saya pukul 07.00, sekarang masih 1 jam lagi.”
Pukul 07.00, peluit di kapal berbunyi, seorang Perwira Tinggi menaiki kapal. Tidak lama kemudian HP saya berbunyi: “Silakan naik sekarang,” kata suara di sana. Kami segera naik, mencari posisi yang baik untuk meletakkan barang. Baru saat itulah kami bertatap langsung dengan Kol Indarto.
Saya dan Kol Indarto sebelum KRI Teluk Manado berangkat ke Mentawai
Setelah barang mendapat tempat, semua calon penumpang diminta turun lagi. Sekarang baru boleh naik kapal setelah dipanggil namanya satu per-satu. Nama kami belum ada didaftar. Ketika pemanggilan nama hampir selesai, dari atas kapal Kol Indarto berseru: ”Pak Rasid, apakah tadi sudah mendaftar?” Pemanggilan nama para calon penumpang berhenti sejenak.
”Belum, pak,”jawab saya.
”Kalau begitu, nanti langsung masuk kapal saja,” katanya. Dialog kami didengar langsung oleh para anak buahnya yang sedang memanggil nama para calon penumpang.
Sebelum berangkat, saya mengirimkan SMS perihal keberangkatan kami. Cuaca di laut masih belum kondusif. Ketika kami terombang-ambing menuju Mentawai dengan KRI Teluk Manado, seorang rekan sempat mengirim SMS sebelum putus kontak telepon dan SMS di tengah laut.
Yolanda (3 Nov, 11:34:32)
Semoga selamat sampai tujuan Pak, semoga dapat melakukan tugas dengan baik, dan semoga selamat kembali ke rumah nanti.
SMS tersebut mengingatkan bahwa Mentawai bukan tujuan, melainkan baru setengah jalan kami, sebab kami harus kembali ke rumah setelah selesai pelayanan.
KRI merapat di Sikakap Pagai Utara pukul 18.00. Perjalanan laut selama 10 jam, kapal agak bergoyang karena gelombang lumayan tinggi, tetapi aman dan kami selamat. Keluarga Pak Celcius menjemput kami: Jeffry ”Anak Nabire” (Jenab), Jeffry ”Panjang” atau ”Jepang” – untuk membedakan dua Jeffry yang selalu bersama sejak mahasiswa, dan saya, dengan boat untuk tinggal di rumahnya di Pagai Selatan, 7 menit dengan boat. Kemudian Tim dari GKI Pangim Polim: Dokter Ricardo, Dokter Uli, Firman, dan Taufik, ikut tinggal di rumah ini juga. Besoknya ada kesepakatan Tim ini menjadi satu Tim di dalam pelayanan.
Kamis, 4 November kami isi dengan mencari informasi tentang kondisi Mentawai pasca tsunami, daerah yang belum banyak dijangkau, barang kebutuhan pengungsi, logistik kami sendiri, mengisi BBM boat, dan berbelanja beberapa barang lagi.
Siang saya berencana ikut dengan Pak Celcius keliling darat sejauh jangkauan mobil (hanya dapat menempuh 21 km dengan mobil; Pagai Selatan pada umumnya dihubungkan dengan laut) untuk melihat perumahan bekas gempa 2007. Nah, ketika kami sedang mengisi BBM, reporter MetroTV dan rombongan dokter dari Bandung memohon untuk mengevakuasi 2 korban luka di dusun yang hendak kami kunjungi. Okelah, kami berdua membantu.
Mengevakuasi korban ternyata tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Perjalanan ke rumah korban lumayan jauh; hujan pula waktu itu. Berliku dan turun naik. Setelah korban dibujuk-bujuk untuk bersedia menjalani perawatan intensif, karena luka dan penyakitnya lumayan serius, korban dipindahkan dari dipan dan tandu. Suasana dramatis, karena rintihan korban. Patah tulang kakinya menyebabkan memindahkannya harus ekstra hati-hati dan penuh perhitungan. Kemudian korban dibawa dengan tandu ke jembatan – untuk masyarakat ikut menandu – menaikkan ke mobil, lalu berkendara sejauh 21 km hingga di boat untuk kemudian diseberangkan ke Sikakap. Hari ini, sepanjang siang ini saya isi dengan pengalaman luar biasa.
Cuaca besok kemungkinan bagus. Kami berencana ke dusun Maonai, 3 jalan dengan boat. Kami siapkan segala barang bantuan, alat kedokteran, dan barang pribadi kalau-kalau kami harus bermalam di Maonai.
Menyiapkan sampan untuk ke Maonai.
Menjelang malam, saya menerima satu SMS lagi.
Gerard (4 Nov, 18:48:48)
Sehat kan, Pak? Keadaan bagaimana? Relawan di tenda juga tidurnya? Selamat bertugas.
Jumat pagi, 5 November, pukul 06.30 kami: 7 relawan Jakarta, Pak Celcius, Pak Takmim, dan Jimmy, telah siap berangkat ke Maonai dengan sampan 10 orang plus barang-barang bantuan. Kunjungan perdana Tim GKI ke dusun bencana ini laksana pasukan khusus menuju medan perang. Kepergian kami diantar oleh Ibu-ibu dari keluarga Celcius, didoakan, dibekali setermos nasi hangat, dan puluhan SMS dukungan dari Jakarta saya terima. Bu Celcius mengatakan: “Ini nasi dari beras lokal Mentawai, hangatnya bisa tahan hingga malam.” Maklum, sebetulnya cuaca Jumat itu belum diramalkan akan lebih baik, melainkan Sabtu. Namun penduduk di tempat kami menumpang, mereka sangat mengenal alam laut dan alam Mentawai, meyakinkan hari ini cukup baik.
Cuaca memang tidak ganas, tetapi kondisi boat pinjaman yang mudah oleng tidak memungkinkan kami banyak bergerak.
Sekitar pukul 10.00 kami tiba di Maonai. Ombak menuju pantai cukup menyulitkan boat merapat. Begitu merapat, 2 penduduk Maonai menyambut kami dengan informasi: “Masih 3 orang lagi belum ketemu.”
Dusun Maonai habis total. Rumah-rumah dan gereja, hewan, dan beberapa penduduk, dan entah apalagi hancur. Kepala dusun kehilangan anggota keluarganya: istri, anak, ibu, dan keponakan. Dia juga, dalam tanggungjawabnya, tetap harus memperhatikan dan mengurus penduduk yang sakit dan membutuhkan bantuan.
Penduduk mengungsi ke bukit. ”Berapa jauh?” tanya kami. ”900 meter,” jawab seorang penduduk. Kami menafsirkan, mungkin 1500 meter. Tidak begitu jauh, pikir kami. ”Kalau begitu,” respons saya, ”kita makan bersama di pantai ini nanti saja, setelah kita kembali dari pengungsian.” Ternyata ketika dijalani dengan turun-naik bukit dan terik matahari dengan membawa barang-barang kesehatan, jaraknya dapat mencapai 2500 meter. Sejauh itu kami tempuh sekitar 1 jam perjalanan.
Setiba di lokasi tengah hari, sudah ada 2 dokter dan 1 perawat dan Tim lain, dan 2 TNI AD dari Padang. Kami juga disambut dengan suguhan makan siang oleh penduduk pengungsi. Mereka serba kekurangan, makan pun mereka dapat dari kiriman beberapa hari sebelumnya, dan masih dalam suasana duka, namun mereka bisa memberikan perhatian kepada para relawan.
Jimmy dan pasien di Maonai
Setelah isitirahat dan makan, Tim mengadakan pelayanan kesehatan.
Kembali ke sampan di pantai pukul 15.00. Baru ingat, dua rekan kami: Jenab dan Pak Takmim, yang menunggu sampan dan menaati kesepakatan ”kita makan setelah kembali dari pengungsian”, belum makan!
Operator boat: Pak Takmim, menyiapkan boat untuk ke Eru Paraboat (kanan) hari ini, dan lebih dahulu akan mengembalikan boat yang kami gunakan ke Maonai (kiri) kemarin.
Kuntadi (6 Nov, 09:32:45)
Catatan kamu kami perhatikan. Komunikasi ini sangat berguna. Uniting terus menunggu berita Tim GKI Mentawai kamu.
Menanti turunnya bantuan dari tengah laut
Wajah2 masyarakat Eru Paraboat
Sabtu pagi, sebagian tim membawa barang bantuan ke Aru Paraboat, 2 jam dengan sampan, setengah perjalanan dibanding ke Maonai kemarin. Hanya kami berlima: Jenab, Dokter Ricardo, Pak Takmim sebagai operator perahu, Firman, dan saya. dengan sampan lebih kecil lagi. Satu jam perjalanan, laut sangat bagus, tenang. Satu jam sebelum tiba, gulungan ombak mencapai 4 meter. Begitu pun pulangnya, sekitar pukul 17.00. Mulai dengan ombak bergulung 1 jam, rasanya lebih dahsyat daripada tadi pagi.
Dokter Ricardo memeriksa telinga di Eru Paraboat
Dokter Ricardo bernyanyi-nyanyi sambil tiduran. Jenab cengir sambil terbanting-banting di bagian depan sampan. Firman sibuk membuangi air dari sampan. Operator, Pak Takmim, dengan tenang mengendalikan kecepatan motor sampan. Saya tidak sempat takut, tidak sempat mabuk, maunya cepat tiba di rumah penampungan.
Relawan juga siap siap menjadi tukan pijat.
Setibanya di rumah, sekitar pukul 19.00 seperti kemarin, Pak Celcius menyambut: ”Tadi ombak agak besar, ya, tetapi tidak berbahaya.”
Segera saya mengirim SMS ke istri dan teman bahwa kami telah tiba di Sikakap.
Kuntadi (6 Nov, 20:17:26)
Rasid yang baik, sori mengganggu di tengah kelelahan. Saya ingin kamu tahu bahwa di Jakarta kami mendoakan keselamatan kalian. Ini bukan hiburan klise. Tetapi ungkapan syukur kalian mewakili kami semua. Saya menerima email dari teman saya, Rev. Ken William, Moderator Uniting West Australia Synod, bahwa dia juga terus mendoakan kalian. Tolong beritahu hal ini kepada para dokter dan relawan bahwa mereka ada di dalam doa kami.
Belum selesai sambutan Pak Celcius. ”Tadi Pendeta kami menanyakan apakah Pendeta dari GKI bisa menggantikannya besok. Dia harus memimpin pembaptisan di Jemaat asuhannya yang lain, sehingga ibadah di gereja ini belum ada Pendetanya.” Saya menjawab: ”Tidak bisa saya bilang ’tidak’, pak, tetapi seadanya ya.”
Setiawati Sucipto (6 Nov, 22:00:20)
Tetap kuat ya, doa kami menyertai seluruh pelayanan kamu dan teman-teman semua.
Minggu, 7 November. Puncak ketegangan telah lewat. Data untuk Tim GKI lanjutan telah terkumpul. Setelah ibadah, Tim hanya membuka pemeriksaan kesehatan di rumah dan di kampung Jimmy; ia adalah relawan dan asisten operator sampan yang luar biasa. Jimmy, sedikit tidur, banyak beraktivitas dan kuat. Tim GKI banyak terbantu oleh karena kehadirannya. Kami menyiapkan dan membeli beberapa barang lagi di pasar Sikakap.
Gracia Simanjuntak (8 Nov, 05:21:21)
Tetap semangat melayani di sana ya Pak. Jaga kesehatan dan hati-hati. Pak Rasid dan teman-teman tetap dalam doa kami.
Senin, 8 November, sebagian Tim membawa beberapa barang lagi ke Maonai. Kali ini dengan sampan 2 mesin, pukul 15 sudah tiba kembali di rumah. Sebagian Tim mencari info untuk menumpang KRI ke Padang. Selasa pagi kami menuju Padang dengan KRI Teluk Cirebon.
Rabu, 10 November, kami di Jakarta dengan selamat.
Syennie (10 Nov, 14:34:18)
Pak Rasid bagaimana kabar di sana? Harapan kami semoga semua berjalan lancar dan seluruh Tim dalam keadaan sehat, walaupun mungkin capai dan lelah.
Syennie (10 Nov, 14:48:45)
Oh Syukurlah kalau semua berjalan lancer, senang mendengarnya Pak, dan sudah mau kembali ke Jakarta ya. Baik Pak, nanti saya sampaikan kepada rekan-rekan semua.
Sulistiani (10 Nov, 15:19:34)
Syukur alhamdulilah pak, kalau semua bisa menjadi berkat bagi warga Mentawai.
Tjutju Mutia (10 Nov, 16:08:48)
Sore Pak RR, tadi siang saya kirim 1 koli buku untuk remaja dan lansia. Mudah2an cepat nyampe.
Beberapa hari kemudian, setelah kami semua telah kembali beraktivitas di Jakarta, Jenab, relawan Tim GKI yang masih melanjutkan pekerjaannya membangun asrama di Mentawai mengirim pesan singkat.
Jenab (13 Nov, 20:31:53)
Pak, Bapak dapat salam dari Ketua Majelis di sini dan Kepala Dusun Maonai. ■
Senin, Desember 13, 2010
DUKUNGAN DARI JAUH
Label:
relawan mentawai
Langganan:
Postingan (Atom)