Minggu, Desember 06, 2009

KEARIFAN LOKAL

Oleh : Rasid Rachman

BENGAWAN SOLO
Baru-baru ini, November 2008, Penerbit KOMPAS menerbitkan buku tentang penelusuran sungai Bengawan Solo. Buku “Ekspedisi Bengawan Solo” tersebut berisi laporan jurnalistik penelusuran Tim Bengawan Solo yang diprakarsai oleh KOMPAS pada pertengahan tahun 2007. Saya telah membaca buku tersebut hingga selesai; itu awal tahun 2009. Itu pun salah satu buku yang saya idam-idamkan membacanya (sekaligus memilikinya) begitu ia diterbitkan.



Tulisan dengan gaya bahasa ringan dan dalam bentuk pendek-pendek ini: 2-5 halaman per-tulisan, memotivasi saya untuk terus-menerus membacanya. Bukan hanya di kala sekadar menunggu waktu berjalan, tetapi saya sengaja juga membaca bagian demi bagian tentang kehancuran peradaban sungai besar. Sungai sepanjang 527 kilometer (kira2 setengah dari jarak antara ujung Jawa Barat dan Jawa Timur) tersebut merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa sekaligus sungai tua.
Sungai yang (pernah) menyulam peradaban manusia, baik melalui transportasi, kehidupan prasejarah, maupun kerajaan itu, kini dalam kondisi memprihatinkan. Pendangkalan, air sungai terkontaminasi limbah pabrik, dan tempat pembuangan sampah turut andil menjatuhkan peradaban manusia dalam hal pencemaran sungai. Sungai ini tidak lagi diperlakukan sebagai bagian dari sejarah bumi dan manusia, tetapi sebagai bulan-bulanan manusia menata masa depannya.
Slogan yang membuat saya terhenyak ketika membaca buku ini adalah “kearifan lokal”. Yang dimaksud kira-kira adalah kearifan mandiri dari masyarakat sekitar sungai Bengawan Solo dalam menjaga sungai agar lestari. Lestarinya sungai adalah memberi kehidupan dan keseimbangan ekosistem. Muara dari kelestarian sungai tersebut adalah hidup manusia sendiri. Oleh karena itu, kelestarian sungai harus dijaga, pertama2 oleh masyarakat sekitar sungai sendiri.

JAKARTE
Tadi siang di pintu TOL Kebonjeruk Jakarta, di depan stasiun RCTI, saya memperhatikan pedagang makanan dan minuman. Ia sedang melepas bungkus plastik sedotan minuman mineral. Plastik2nya dibuang begitu saja di bawah kakinya - lantas tertiup angin atau tergerus air jika hujan kemudian masuk got di dekat situ. PADAHAL, tepat di sebelah lapaknya terdapat tong sampah besar. Jelas, contoh orang seperti ini memerlukan kearifan lokal.
Di beberapa tempat di Jakarta, kita dapat menjumnpai spanduk2 dengan slogan: JAKARTE, KALO BUKAN KITE2 YANG JAGE, SIAPE LAGI ...? Begitu kira2 slogan dan kampanye kearifan lokal.

PENUTUP
Kearifan lokal. Bukan hanya untuk mengelola Bengawan Solo atau kota2 besar semacam Jakarta, tetapi juga untuk kehidupan bergereja dan berjemaat, saya kira kita membutuhkan kearifan lokal. Sebagaimana masa depan Bengawan Solo dan Jakarta terletak di tangan masyarakat sekitar, demikian pula pembangunan jemaat terletak di tangan umat dan pengelolanya. °

Jumat, Oktober 23, 2009

MANCUNG DAN PANCUNG

Oleh : Rasid Rachman


Saya terperangah ketika membaca di Intisari edisi Agustus 2009 halaman 23 tentang Michael Jackson yang melakukan “pemancungan hidung”. Setelah berpikir agak lama, baru saya mengerti maksud kalimat tersebut. Sumber persoalanya adalah saya terancu antara kata-kata dasar mancung dan pancung.
Lema “mancung” (kata sifat) dan lema “pancung” (kata kerja) memang tidak saling berkaitan, karena mempunyai arti yang sangat berbeda. KKBI terbitan 1996, demikian pula KUBI terbitan 1986, menuliskan bahwa mancung berarti makin ke ujung makin kecil, runcing, lancip. Dalam praksis di masyarakat, kata “mancung” hampir pasti dikonotasikan pada hidung seseorang. “Hidung si A mancung,” untuk menyatakan hidung si A itu lancip sehingga terlihat agak panjang. Untuk yang bukan hidung, kata mancung agak janggal dikenakan. Orang mengatakan “jalan setapak itu menyempit,” tetapi bukan “jalan setapak itu mancung.” Atau “ujung pensil runcing,” bukan “ujung pensil mancung.” Untuk yang bukan orang, kata “mancung” juga jarang dikenakan. Hidung gajah atau anoa tidak disebut mancung, melainkan panjang atau agak menonjol keluar. Tetapi memang ada kera berhidung mancung.
Untuk kata pancung, kedua kamus tersebut menuliskan artinya, yaitu: menetak atau memenggal. Dalam praksis, pancung lazim dikonotasikan untuk memancung anggota tubuh baik manusia maupun hewan. Penjahat yang divonis hukum pancung, kepadanya akan dikenakan pemancungan oleh algojo.
Dalam kasus artikel Michael Jackson di atas, yang dimaksud “pemancungan hidung” pasti dalam arti membuat hidung Jackson menjadi mancung laksana Petruk atau Pinokio – bukan pemenggalan hidung. Hanya, pemakaian kata “pemancungan hidung” tidak segera dimengerti oleh pembaca semacam saya begitu kata tersebut terbaca. Lantas, bagaimana solusinya?
Sebaiknya pemancungan digunakan sebagai pembendaan dari kata kerja pancung. Mancung sendiri adalah kata sifat, sehingga sulit dimengerti jika dijadikan kata benda menjadi pemancungan. Atau sebagaimana halnya bagus (kata sifat) dapat menjadi membaguskan, mancung dapat menjadi memancungkan hidung. Tidak ada kata pembagusan, percantikan, perjelekan, demikian pula pemancungan dari kata dasar mancung.
Memancungkan hidung jelas berbeda arti dengan memancung hidung. Yang pertama berarti meruncingkan dan sedikit memperpanjang hidung, sedangkan yang kedua berarti memotong atau memesekkan hidung. Jadi kalimat dalam artikel tersebut sebaiknya: “Belum lagi jika ikut dibahas usaha yang kelewat maksa’ seperti memancungkan hidung, ....” °

*) tulisan ini telah dimuat di Intiasi terbitan Juni 2010.

Jumat, Oktober 02, 2009

ORANG INDONESIA DAN BAHASA INDONESIA

Oleh: Rasid Rachman


Usia penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa rakyat, dan bahasa sesehari di republik ini hampir mendekati satu abad. Dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain di sekitarnya, semisal Cina, Jepang, Thailand, dan Melayu, bahasa Indonesia tergolong bahasa muda. Oleh karena muda, maka wajarlah apabila susunan bahasa Indonesia masih berubah-ubah. Beberapa pendapat menyatakan bahwa seringnya perubahan tersebut mengindikasikan kelabilan, namun penulis sendiri cenderung mengatakan hal tersebut sebagai fleksibilitas bahasa Indonesia. Mungkin pemakainya memang labil, tetapi bahasanya sendiri fleksibel.
Sangat jelas pembuktiannya bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang fleksibel. Kalimat baku, semisal: “Badu membeli sekilo jeruk di toko swalayan tadi siang,” dapat diucapkan dengan berbagai bentuk kalimat tak baku, dan tetap dapat dimengerti, semisal: “Di toko swalayan tadi siang Badu membeli jeruk sekilo.” Bahkan kalau diucapkan “Beli jeruk di toko swalayan sekilo, Badu tadi siang” pun, orang masih mengerti, dan tidak menjadi masalah. Sekalipun “tadi siang” ditukar menjadi “siang tadi”, masih dapat pula dimengerti.
Hal perubahan susunan kalimat tersebut: dari S-P-O-K menjadi K-S-P-O atau P-O-K-S-K, tak dapat dilakukan terhadap bahasa-bahasa Eropa yang sangat terikat pada struktur baku. Jika tidak tetap pada struktur bahasa baku, maka tidak ada orang yang dapat mengerti perkataan anda. Penulis mempunyai pengalaman bercakap-cakap dengan dua orang asing di sebuah kota di Jawa Tengah. Salah seorang asing tersebut – dari Eropa – fasih berbahasa Indonesia, dan yang seorang lain – dari Amerika – masih dalam tingkat belajar. Si Amerika yang masih dalam tingkat belajar bahasa Indonesia tersebut bercakap-cakap dengan penulis dalam bahasa Inggris. Sebenarnya waktu itu penulis sendiri lebih suka menggunakan bahasa Indonesia, tetapi dia “memaksa” penulis berbahasa Inggris. Kepada orang-orang Indonesia yang lain pun, dia berbahasa Inggris. Anehnya, kepada si Eropa yang fasih berbahasa Indonesia tersebut (mereka saling berbeda bangsa dan bahasa ibu) dia bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Inggris! Heran campur mangkel (bukankah kalau mau belajar bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia, penulis jauh lebih fasih ketimbang si Eropa itu?), penulis mencari tahu alasannya. Rupanya, bukan karena penulis tidak fasih berbahasa Indonesia yang menjadi pokok alasannya, melainkan karena terlalu “fleksibel”nya bahasa Indonesia orang Indonesia, sehingga dia merasakan sulitnya berbahasa Indonesia dengan orang Indonesia. Dengan si Eropa, dia dapat memahami bahasa Indonesia, sebab keduanya menggunakan struktur bahasa baku.
Pada satu pihak, fleksibilitas tersebut merupakan salah satu keindahan bahasa Indonesia. Bahkan berbahasa Indonesia dengan bunga-bunganya dan gayanya pun dapat menjadi daya tarik tersendiri. Pengaruh bahasa kesusasteraan dalam bahasa Indonesia begitu kuat dalam bahasa sesehari.
Namun pada pihak lain, fleksibilitas tersebut bukan tanpa masalah. Banyak orang kemudian tidak merasa perlu memperhatikan bentuk-bentuk baku dalam berbahasa Indonesia, sebab pikirnya: “Tokh orang lain dapat mengerti apa yang saya bicarakan,” sekalipun susunannya sangat ngawur menurut kaidah. Tidak mengherankan apabila orang memandang enteng dan rendah bahasa Indonesia. Oleh karena begitu “mudahnya” bahasa Indonesia, menyebabkan orang cenderung tidak berhati-hati dalam bercakap-cakap. Selain pelajaran sejarah, rasanya pelajaran Bahasa Indonesia adalah mata ajar yang sangat tidak disukai oleh kebanyakan siswa sekolah. Oleh karena fleksibelnya, banyak orang Indonesia tidak bersikap teliti sehingga mengganggap bahwa telor hanya kesalahan pengucapan dari telur. Yang benar adalah telor berbeda sama sekali dengan telur, ubi berbeda sama sekali dengan obi, dan batak berbeda sama sekali dengan Batak, bang berbeda sama sekali dengan bank; sebagaimana khas berbeda dengan kas. Lomba memasak dan tanding memasak jelas berbeda, namun masih sering orang tidak memperhatikan perbedaan tersebut.
Sejauh masih di dalam aktivitas percakapan, bahasa Indonesia nyaris tidak bermasalah. Namun, hidup manusia tidak selamanya berada dalam “lingkungan” bercakap-cakap. Akibatnya, dalam hal tulis menulis, orang Indonesia sangat miskin dalam penguasaan bahasanya sendiri. Jangankan tulisan dalam buku atau naskah-naskah tebal, bahkan menulis dalam spanduk, undangan, atau vandel sekalipun (yang hanya menggunakan 10-20 kata) dijumpai begitu banyak kesalahan penulisan menurut kaidah bahasa Indonesia. Hal tersebut sungguh memprihatinkan, sebab mengakibatkan pembaca tidak mengerti atau salah mengerti. Terlebih lagi bahkan masih banyak masyakarat intelektual, pejabat pemerintah, public figure, kaum profesional, sarjana, bahkan penyiar televisi dan radio yang belum mampu menunjukkan penguasaannya akan bahasa Indonesia. Banyak karya tulis dan bahan kuliah yang menggunakan bahasa amburadul. Banyak pidato, wawancara, dan percakapan pembawa acara yang justru merusak bahasa Indonesia. Beberapa pihak dari kalangan eksekutif merasa lebih “terhormat” jika menggunakan bahasa Indonesia berlepotan dengan bahasa asing ketimbang berbahasa Indonesia secara benar dan murni. Sekadar contoh, rasanya hanya manusia langka yang mengucapkan teve ketimbang tivi untuk mengucapkan TVRI, MetroTV, TV7, GlobalTV, nonton TV, dan sebagainya. Hanya sedikit yang menyadari adanya perbedaan arti antara sanksi (ganjaran, akibat) dan sangsi (ragu-ragu), khidmat (khusyuk) dan hikmat (bijak), amin dan amen. Masih sering orang menulis M.P.R., R.R.I., atau R.I. untuk MPR, RRI, atau RI.
Campur aduknya penggunaan bahasa tersebut meluas (atau bermuara) juga pada pengenalan akan bahasa Indonesia yang baku dan benar. Orang Indonesia sendiri tidak begitu mengenal kosakata bahasa Indonesia. Pemborosan kata sering digunakan yang justru mengaburkan arti, semisal pasangan ganda dari seharusnya pemain ganda, anak remaja dari seharusnya remaja, semua buku-buku dari seharusnya semua buku, atau kota metropolitan dari seharusnya ibu kota (mater = ibu; polis = kota) atau metropolitan saja. Ada juga pemborosan kata yang paling konyol tetapi banyak orang menggunakannya akhir-akhir ini, semisal: mereka-mereka, kami-kami, kita-kita, padahal cukup mengatakan mereka, kami, atau kita. Parahnya, yang biasa “memperkenalkan” bahasa rusak tersebut adalah public figure atau tokoh masyarakat yang ucapannya bukan haya dianut tetapi juga ditiru seratus persen.
Tulisan atau pengucapan kata-kata secara keliru, semisal: tidak acuh, merubah, dan rubah, masih lazim terjadi di kehidupan sesehari untuk mengatakan acuh, mengubah, ubah. Dua kata bertentangan sering digunakan, semisal ”Hingga kini, dia masih belum menyelesaikan skripsinya.” Bagaimana mungkin kata masih dan belum berdampingan. Ada kalanya, kita juga dibingungkan sendiri dengan kata-kata: kualitas dan kwalitas, sualayan dan swalayan, jadual dan jadwal. Kata-kata tersebut bukan hafalan, melainkan harus dimengerti berdasarkan pemilahan suku-suku kata. Suku kata adalah salah satu yang khas dalam bahasa Indonesia. Bukan wang, mulya, dan iang, melainkan uang, mulia, dan yang, sebab pemilahannya adalah u-ang untuk uang, mu-li-a untuk mulia, dan bukan i-ang untuk yang. Demikian pula ku-a-li-tas bukan kwa-li-tas, swa-la-yan bukan su-a-la-yan, jad-wal bukan ja-du-al, kelapa pu-an bukan kelapa pwan, per-em-pu-an bukan per-em-pwan. Di pinggir jalan, masih lazim kita jumpai tulisan ganti oil, maksudnya adalah pasti ganti oli. Namun di surat kabar dan media eletronik pun masih digunakan secara rancu kata-kata jam, waktu, dan pukul. Perubahan jam tayang adalah berbeda arti dengan perubahan waktu tayang. Dalam kehidupan sehari-hari, sering dijumpai rancunya masyarakat menyebut foto, potret, dan kamera, atau masa dan massa.
Ketidakmampuan menulis menurut kaidah bahasa Indonesia bukan hanya menyangkut hal penulisan kalimat, tetapi juga penggunaan tanda baca, termasuk penempatan tanda titik, koma, titik-koma, imbuhan, dan sebagainya. Pemakaian istilah “tidak mampu” bagi orang Indonesia yang tidak menguasai bahasa Indonesia mungkin kurang tepat digunakan di sini. Jika mempertimbangkan waktu mempelajari bahasa Indonesia di sekolah, maka akan dijumpai masa belajar yang cukup lama. Sementara durasi orang asing belajar berbahasa Indonesia adalah sekitar 6 – 12 bulan, orang Indonesia mempelajari bahasanya sendiri sejak di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, bahkan hingga Perguruan Tinggi.
Mengapa bahasa Indonesia tidak populer bagi orang Indonesia sendiri? Mungkin orang Indonesia adalah orang yang malu menggunakan bahasanya sendiri. Bukan hanya malu bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia di negeri asing, tetapi juga malu dalam hal memperkenalkan bahasa Indonesia di negeri-negeri asing. Berbeda dengan banyak negara lainnya, bahkan dibanding dengan negeri-negeri kecil, pemerintah Indonesia ketinggalan dalam mendirikan pusat kebudayaan dan bahasa Indonesia di luar negeri. Ironisnya, setiap perwakilan Indonesia di luar negeri memiliki Atase Kebudayaan, dan sering mengadakan pergelaran budaya dan seni.
Di samping itu, bukan rahasia umum lagi bahwa orang Indonesia seringkali tidak menyukai bahasanya sendiri. Pengaruh bahasa daerah dan bahasa suku yang begitu banyak dan beragam di Indonesia menyebabkan orang mempertimbangkan beberapa kali sebelum mempelajari satu bahasa lagi, yakni bahasa Indonesia. Padahal banyaknya dan beragamnya bahasa suku dapat merupakan salah satu sumber konflik. Oleh karena itu bahasa-bahasa rakyat didamaikan dengan lingua franca, satu bahasa untuk berkomunikasi. Ironisnya, bahasa pemersatu itu justru tidak dikenal, dikuasai, dan disukai oleh pemakainya. Dalam percakapan sesehari sering dijumpai orang-orang berputar-putar membahas persoalan: “apa yang dimaksud olehnya”, padahal semuanya menggunakan bahasa Indonesia. Slogan kampanye untuk Pemilihan Umum yang adil, bebas dan rahasia saja dapat menimbulkan konflik karena “adil, bebas dan rahasia” ditafsirkan secara tidak baku. Bahkan istilah-istilah bebas dipahami dengan liar, reformasi dipahami dengan bebas, merdeka dipahami dengan menguasai, disiplin dipahami dengan keterikatan. Instruksi dan penjelasan dalam bahasa Indonesia seringkali harus dijelaskan ulang dan berulang-ulang karena pendengar belum memahami kalimatnya. Di dalam banyak penulisan pun, pembaca masih sering dibuat tidak mengerti dengan tulisan yang berkepanjangan, kesalahan dalam memberi tanda baca, kalimat beranak-cucu kalimat sehingga mengaburkan pokok pikiran yang hendak disampaikan. Tak mengherankan bahwa konflik sosial membesar oleh karena persoalan pembahasaan yang tidak dapat saling dimengerti sehingga disalahartikan oleh lawan bicara. Menyalahartikan kata terlihat dengan penggunaan kata penjarahan mengganti pencurian atau perampokan massal, mengadili mengganti mencari kemenangan di pengadilan, haram mengganti najis.
Rupanya kekeliruan pembahasaan menjadi persoalan penting di republik ini. Namun karena tidak dipermasalahkan, sehingga tidak ada perbaikan. Media tidak memberi ketegasan tentang penggunaan arti kata Fraksi (factio = memecahkan) di MPR, mengapa bukan Faksi (factio = partai, pertalian). Juga mengapa menulis paguyuban dan pagelaran, padahal seharusnya peguyuban dan pergelaran; tidak ada awalan pa- dalam bahasa Indonesia. Mengapa ditulis bus – bukan bis – padahal menyebutnya bis; bandingkan dengan orang Malaysia yang menulis minit untuk minute dan polis untuk police sesuai pengucapannya. Banyak tulisan resmi masih menulis penasehat tetapi bukan penasihat, hakekat tetapi bukan hakikat. Karena kebiasaan, semua orang merasa tidak mempunyai masalah menyebut tukang pos, sebab diterjemahkan dari bahasa Inggris postman, padahal seharusnya tukang giro (gyro = berkeliling, berputar), menyebut Senin sebagai hari pertama ketimbang hari kedua (sebab Minggu atau Ahad-lah hari pertama), Rumah Sakit ketimbang Rumah Rawat yang lebih dekat dengan pengertian hospital (hospitality = keramahan, hal menerima tamu), sekolahan dan jalanan ketimbang mengucapkan sekolah dan jalan, mengkilap ketimbang mengilap.
Seorang pakar bahasa Indonesia mensinyalir bahwa ada kemungkinan suatu saat timbul ketegasan arti antara seluruh, semua, dan segala, dapat dan bisa, secara dan dengan, usia dan umur, awal dan mula. Saat ini media mulai memilah antara tukang dan petugas, sehingga suatu saat bukan lagi tukang pos atau tukang giro, melainkan petugas giro. Sekarang saja dalam percakapan sesehari orang bingung dalam menggunakan ubin dan lantai, dinding dan tembok, atap dan genteng. Dalam penulisan, kamus tidak menginformasikan dengan tegas ejaan untuk kata-kata: praktek atau praktik, objektif atau obyektif. Dalam penulisan sesehari, masyarakat tetap menggunakan secara rancu kata-kata sistem dan sistim, konkret, konkrit, dan kongkrit, apotik dan apotek, Prancis dan Perancis, zaman dan jaman, azas dan asas, berkilap dan berkilat, musium dan museum, copilot atau kopilot, sebab ada koordinasi bukan coordinasi. Mengapa digunakan fundamental bukan fondamen, padahal ada kata fondasi yang akar katanya mempunyai arti yang sama, yakni dasar.
Kalangan agamawan belum sepakat dengan pemakaian kata-kata mujizat atau mukjizat, Paska atau Paskah, Adven atau Advent, mesjid atau masjid, Jumat atau Jum’at, doa atau do’a, setan atau syaitan, amin atau amien, surga atau sorga, jemaat atau jemaah. Kata-kata tersebut merupakan contoh adanya perbedaan antara Kamus Besar Bahasa Indonesia dan praktek sesehari di masyarakat.
Lantas, bagaimana solusi terhadap masalah yang memprihatinkan tersebut? Tentu, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa harus lebih mempopulerkan kosakata bahasa Indonesia yang baku. Sosialisasi bukan hanya soal frekuensi publikasi, tetapi juga soal metode yang lebih merakyat. Muara dari kerja keras lembaga tersebut – salah satunya – adalah memandang pentingnya keberadaan lembaga tersebut di tanah air ini. Sehingga, setiap perusahaan, organisasi sosial, pedagang, dan tim kerja apa pun selalu memanfaatkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk menanyakan kosakata yang belum dikenal padanannya dalam bahasa Indonesia. Timbal baliknya, lembaga ini pun lebih proaktif mensosialisasikan padanan kata-kata, semisal: tracking, fun rafting, climbing, diving, master of ceremony (MC), door prize, miss universe, time zone, dsb.
Namun, urusan bahasa Indonesia bukan melulu urusan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Bahasa Indonesia adalah urusan semua orang Indonesia. Bukan rahasia lagi bahwa pandangan masyarakat terhadap pendidikan bahasa adalah rendah. Jarang orangtua menganjurkan anaknya menempuhkan jurusan bahasa, apalagi di tingkat menengah. Banyak pengajar yang tidak mengindahkan penerapan bahasa Indonesia untuk bidang ampunya, dengan alasan “Ah, bahasa Indonesia adalah urusan guru bahasa Indonesia, bukan urusan guru kimia, matematika, sejarah dan pendidikan agama.” Padahal banyak orang tidak tahu bahwa kerapian kerangka berpikir logis, sebagaimana diupayakan dalam matematika, berawal dari pembahasan. Logis tidaknya kerangka berpikir dapat dilihat dari rapi tidaknya atau sistematis tidaknya seseorang berbahasa. Demikian pula di kehidupan sesehari, bahasa menandakan siapa seseorang itu. Jadi, solusinya ada pada orang Indonesia sendiri untuk memiliki dan menghargai bahasanya sendiri. Semua pihak wajib menyadari bahwa mencintai bahasa Indonesia adalah tanggungjawab bersama.
Mencintai bahasa Indonesia dimulai dari mencintai Indonesia sendiri. Orangtua memberikan nama anak-anaknya dengan nama Indonesia, bukan jiplakan utuh dari bahasa asing sebagaimana menjadi kecenderungan masyarakat di kota-kota dewasa ini. Apalagi, di beberapa daerah nama keluarga seorang anak ditiadakan dalam pencantuman nama resmi, maka jadilah Robert dari keluarga Sihotang, atau Sherly dari keluarga Lawalata menjadi Robert dan Sherly saja; Indonesia tidak, Barat pun tidak. Padahal ada begitu banyak nama Indonesia yang terdengar anggun dan tidak terikat pada nama suku, semisal: Satria, Wati, Budiman, Manda, dsb. •

Kamis, April 30, 2009

ADA PASKA, ADA TELUR

ADA PASKA, ADA TELUR

Oleh: Rasid Rachman

Jika Natal identik dengan hadiah, maka Paska identik dengan telur. Waktu masih kanak-kanak, setiap awal tahun saya membayangkan ingin cepat-cepat Paska supaya dapat makan telur rebus sampai puas. Sesudah dewasa, saya makan telur tetapi tak terasa hari itu adalah hari Paska.
Saya dapat makan telur hingga dua kali waktu kanak-kanak: di sekolah dan di gereja. Telurnya sama, tetapi jumlahnya berbeda. Saya bisa makan hingga 2-3 telur di sekolah karena telur adalah hasil menang lomba telur hias atau hasil perolehan mencari telur di kebun sekolah. Semakin banyak menang, semakin banyak telur yang diperoleh oleh seorang murid. Sementara di gereja, saya hanya bisa makan 1 telur karena semua murid Sekolah Minggu mendapat telur dari jatah anggaran gereja; 1 telur untuk 1 orang.
Kenapa ada telur di hari Paska? Jawaban umum biasanya sekadar merohanikan telur dengan Paska kebangkitan Kristus, sehingga penjelasannya seringkali tidak memuaskan orang dewasa.
Paska adalah perayaan menyambut musim semi di negara-negara empat musim. Musim semi mengingatkan orang akan mulainya kehidupan baru setelah “mati” di musim dingin. Bunga-bunga bermekaran, suhu udara sejuk, suasana alam cerah, suasana hati manusia pun menjadi ceria. Bagi sebagian orang, musim semi adalah masa romantis untuk saling memadu kasih. Beberapa orang memadu kasih hingga lupa diri – ujung-ujungnya bikin anak. Nah, sampai di sini semoga pembaca tahu hubungan antara telur (bakal anak) dan musim bencinta ini.
Ketika gereja berperan dalam perayaan musim semi dengan mengadopsi dan mengadaptasi Paska sebagai kebangkitan Kristus, telur diberikan arti tambahan. Sebelum Paska, yakni selama masa Prapaska, umat dianjurkan berpuasa. Telur adalah salah satu menu yang dianjurkan untuk tidak dimakan waktu puasa Prapaska. Ketika tiba hari Paska, orang mulai makan telur sebagai terbebasnya masa berpuasa.
Dengan demikian munculnya telur pada waktu Paska adalah sebagai penggembira suasana hati manusia di musim semi. Sebagai pelengkap musim bercinta itu, Paska juga dimeriahkan denan kelinci, selain telur. Maka korelasinya, semoga, menjadi semakin jelas. Ada telur Paska, ada pula kelinci Paska. Telur adalah bakal anak, sementara kelinci adalah lambang banyak anak; kelinci adalah hewan yang mampu memperanakan banyak anak dalam sekali beranak.
Mengapa hal ini tidak diketahui oleh sebagian kita? Pertama, kita adalah masyarakat yang tidak hidup di negara empat musim. Kita tidak memiliki perayaan musim semi yang dengan meriah dirayakan terutama di Eropa. Kedua, penjelasan telur dan kelinci tersebut bagi masyakarat kita adalah urusan “orang dewasa”, bukan anak. Padahal pesta telur Paska di Indonesia hanya dikenakan kepada anak-anak, bukan orang dewasa. Hingga dewasa, bekal pengetahuan kita tentang telur Paska adalah informasi yang diberikan pada waktu kita kanak-kanak – tentu bukan penjelasan dewasa. ˚

Sabtu, Maret 14, 2009

MARDI GRAS

olwh: Rasid Rachman

Le Mardi Gras (ucapkan gras tanpa melafalkan “s”) semakin dikenal. Bukan hanya Perancis, tetapi juga di negeri Paman Sam. Di Italia, ia disebut dengan nama Il Martedi Grasso. Cafe atau Bistro di Jakarta, dan iklan-iklan, bahkan nama cluster perumahan di Tangerang atau Bogor juga memperkenalkan dan menyebarkanluaskan Mardi Gras ini. Sebenarnya, apakah Mardi Gras?
Secara harfiah, le Mardi Gras adalah Selasa Daging. Setiap tahun sebelum Rabu Abu memasuki masa Prapaska, masyarakat di negara-negara Kristen tradisional merayakan hari terakhir mereka boleh makan daging. Hari terakhir tersebut adalah Selasa. Rabu keesokan harinya adalah masa Prapaska di mana gereja mempermaklumkan masa berpuasa selama 40 hari hingga Paska.
Pada masa puasa itu, orang berhenti atau membatasi diri dari makan daging dan telur. Maka hari Selasa sebelum Rabu Abu, yakni hari pertama berpuasa dalam Prapaska, orang puas-puaskan diri makan daging.
Dalam bahasa Latin, Mardi Gras disebut Carnivalle. Di dalam kata tersebut, ada kata carni. Kalau ingat carnivora atau karnivora maka tahulah bahwa carni adalah daging. Jadi arti dasar dari carnivalle adalah pesta daging sebelum berpuasa. Pesta masyarakat itulah yang di zaman modern kemudian disebut dengan karnaval – tentu saja arti harfiah ini tidak lagi tergambar di dalam bentuk pesta karnaval dewasa ini.
Dalam karnaval ada pawai, demo tarian massal, gemerlap lampu di jalan-jalan, kostum, kegembiraan, dsb. sebagaimana terjadi di Brazilia setiap akhir musim semi sebelum Prapaska. Beberapa negara yang bertradisi kuat pada kekristenan juga merayakan karnaval sebelum Rabu Abu. Bahkan karnaval ini juga dirayakan oleh masyarakat Amerika Serikat.
Selain pawai keliling kota, orang dengan kostum menarik menari dan berdansa. Ada kostum Indian, burung, ayam, Asterix,Obelix, atau bahkan kostum tak berbusana sekalipun, dsb. Film-film di televisi seringkali memasukan karnaval ini sebagai bagian dari ceritanya.
Tahun 2009 ini, Rabu Abu jatuh pada 25 Februari, maka Mardi Gras pada 24 Februari 2009. Apakah kita orang Kristen di Indonesia perlu mengadakan Mardi Gras seperti halnya masyarakat Indonesia merayapakan Happy Valentine 14 Februari? Saya kira tidak terlalu perlu dengan alasan sebagai berikut:
1. Mardi Gras, sekalipun bersifat sekuler, berhubungan dengan Rabu Abu dan masa berpuasa. Aneh rasanya, jika tidak berpuasa, tetapi merayakan makan daging terakhir kali.
2. Mardi Gras di negara-negara tersebut dewasa ini lebih dirayakan sebagai festival rakyat yang tidak berhubungan dengan Prapaska dan makan daging. Kalau hanya festival semacam itu, saya kira pawai 17 Agustusan juga sudah lama di Indonesia.

Tulisan ini bukan sebagai anjuran meniru mengadakan hal serupa di Indonesia. Namun kita dapat belajar bagaimana masyarakat menyelenggarakan sebuah perhelatan akbar. Semua pihak: tua-muda, perempuan-lelaki, kaya-miskin berbaur dalam Mardi Gras. Memang riskan tentang masalah keamanan di dalam kerumunan puluhan atau ratusan ribu manusia, tetapi selalu aman. Pencopetan kecil-kecilan tentu ada, tetapi itu juga karena keteledoran si korban. Juga menarik bahwa manajemen kebersihan kota selama berlangsungnya karnaval. Di belakang, sekitar 10 meter setelah barisan pawai terakhir, sepasukan penyapu jalan menyapu jalan. Sehingga, sekalipun puluhan atau bahwa ratusan ribu orang tumpah ruah di jalan, lingkungan tetap aman dan jalan-jalan tetap bersih. Masyarakat sendiri yang menjaga agar karnaval tersebut terus berlangsung setiap tahun.
Perhelatan besar, apa pun nama dan peristiwanya, membutuhkan bukan hanya manajemen yang canggih, tetapi juga kearifan massal.

Rabu, Januari 07, 2009

BEBAS FISKAL


TANTANGAN TAMBAHAN BAGI PARIWISATA INDONESIA

Oleh: Rasid Rachman

Tahun 2009 dibuka dengan kegembiraan berimbang yakni pembebasan fiskal sebagai konsekuensi dai wajib NPWP. Ini kabar baik yang berimbang - tak perlu dibesar-besarkan - namun sebuah tantangan tambahan bagi pariwisata di Indonesia.

Keberadaan objek wisata
Area tujuan wisata di Indonesia semakin hari semakin kecil lingkupnya, padahal negeri yang sangat luas ini menyimpan beribu dan beragam potensi pariwisata. Dibanding 10 tahun yang lalu, tujuan wisata semakin "berfokus" pada Bali dan Bunaken (Sulawesi Utara). Memang ada beberapa tujuan wisata yang bertahan, semisal Pulau Komodo, Gunung Anak Krakatau, Bromo, Tana Toraja, Lombok, Flores, dan Yogyakarya. Juga ada yang "baru" bangkit, semisal Raja Ampat (Papua) dan Karimun Jawa. Namun tidak sedikit objek wisata tanah air yang "mati suri", semisal: Carita, Danau Toba, Sumatera Barat, dan Pangandaran.

Bersamaan dengan itu, Lombok dan Tana Toraja dapat dikatakan mulai menyepi dalam 10 tahun terakhir ini. Kalimantan, Aceh, dan Nias sudah hampir tidak terdengar lagi geliat wisatanya. Jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke daerah-daerah tersebut semakin sedikit jumlahnya. Sebagai gambaran, Tana Toraja hanya dikunjungi oleh sekitar 200 ribu wisatawan asing sepanjang tahun; kurang lebih hanya 500 wisatawan perhari.

Beberapa objek wisata yang masih berpeluang dibangkitkan, misalnya cruise menyusurui Sungai Bengawan Solo, Musi, atau Mahakam. Jelajah Garut, Kuningan, dan Madura juga berpotensi pariwisata. Namun jangan dulu merencanakan untuk melahirkan objek-objek baru, karena objek-objek yang ada saja seringkali “dibunuh”.
Apa pasal pariwisata di Indonesia kian terpuruk?

Ada kendala intern mengenai sikap dan perilaku tuan rumah dalam menyambut wisatawan. Ada pula pola pikir “berat sebelah” tentang wisatawan hanya pada kelas berbintang.

Kendala intern
Tiada biang keladi yang pertama-tama patut dipersalahkan dalam mengelola industri pariwisata kecuali diri sendiri. Beberapa pihak mengeluhkan soal “ganasnya” para pedagang asongan dan vandalisme tangan-tangan jahil yang merusak keindahan objek wisata.

Orang berjualan tidak dapat dilepaskan dari pariwisata. Industri ini bukan hanya menjual objek wisata, semisal situs sejarah, festival atau perayaan, tetapi juga suvenir, makanan, dan minuman. Hal ini berlaku dalam pengelolaan pariwisata di mana pun di dunia ini. Hanya yang berbeda adalah cara menjajakannya. Kasus pedagang asong yang agak mendesak atau bahkan sedikit memaksa wisatawan di sekitar Candi Borobudur atau Kintamani-Bali, membuat perkunjungan wisata menjadi tidak nyaman.

Ketidaknyamanan bukan hanya dengan menempel terus wisatawan, tetapi juga dengan seloroh atau sapaan-sapaan yang membuat pengunjung sakit telinga, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Semisal, “Koh, beli barang ini koh” (tidak semua orang bermata sipit dan berkulit kuning suka disapa dengan koh atau ci); “Bule, ini barang bagus dengan good price.” Seloroh dan sapaan-sapaan tersebut membuat kenyamanan pengunjung terganggu.

Keluhan wisatawan telah lama didengar oleh pengelola. Pembinaan kepada pengasong juga katanya selalu dilakukan. Namun kalau hal tersebut terus-menerus berulang setelah masa “jinak” beberapa saat, maka ini sudah menjadi masalah besar.

Sikap vandalisme di sini mulai dari tangan-tangan jahil dan kurang kerjaan yang mencorat-coret objek-objek wisata hingga pencurian. Kepada orang yang melakukan vadalisme seharusnya sudah dikenakan sanksi yang berat mulai dari perilaku vadalistis yang ringan. Memang ada pula pelaku vadalisme adalah wisatawan iseng. Mereka bukan murni wisatawan, tidak menjiwai akan arti berwisata, maka kelakuannya merugikan banyak orang dan objek itu sendiri.

Vandalisme juga menyangkut penghancurkan – alih-alih peremajaan – bangunan-bangunan lama atau kawasan tertentu. Alasan bahwa bangunan bergaya arsitektur Belanda atau Cina di Indonesia harus dihancurkan untuk diganti dengan bangunan yang baru sama sekali, semacam Mal atau perkantoran adalah tindakan naïve. Banyak negara yang memperoleh banyak keuntungan pariwisata dengan mempertahankan dan memelihara terus bangunan-bangunan atau kawasan kuno (old quarter), semisal Hoi-An di Vietnam atau Roma di Italia.

Masalah yang juga krusial adalah premanisme dan sikap memusuhi orang asing. Premanisme berkaitan dengan sikap liar masyarakat sekitar objek wisata yang terkena langsung dampak positif dari pariwisata di daerahnya. Sikap memusuhi atau sekadar tidak senang muncul dari masyarakat sekitar terhadap orang asing yang masuk ke daerahnya; masyarakat ini biasanya tidak terkena dampak positif langsung pengadaan pariwisata di daerahnya.

Premanisme berkaitan dengan pemerasan, pencurian, memanfaatkan dengan jahat ketidaktahuan wisatawan akan informasi, dsb. Ironisnya, para preman ini seringkali adalah mereka yang justru berada di dalam pengelolaan pariwisata. Semisal, sopir taksi yang menipu atau mengelabui penumpangnya, petugas parkir yang merusak kendaraan, pedagang yang mengganggu kenyamanan wisatawan, dan penjual makanan yang menaikan harga sehingga menjadi sangat tidak wajar. Premanisme bukan hanya membuat wisatawan tidak berkutik, tetapi juga kapok datang lagi. Bagi wisatawan domestik, kapok mereka bisa berlangsung belasan tahun. Kapoknya wisatawan mancanegara bisa berlangsung sangat lama karena info di buku-buku wisata mereka menuliskan Indonesia sebagai wilayah “merah” untuk pariwisata.

Tidak ada pariwisata yang tidak melibatkan banyak orang atau aspek lain dalam perekonomian, baik langsung maupun tidak langsung. Sikap tidak ramah atau bahkan memusuhi wisatawan dengan memandangnya sebagai mangsa akan merugikan masyarakat sendiri. Sikap sebagian masyarakat di Puncak, Bogor-Cianjur dan perbatasan Tawangmangu-Sarangan terhadap pengendara adalah contoh paling gamblang. Mobil wisatawan dirusak atau “dituduh” rusak akan membuat wisatawan berpikir dua kali untuk melewati kembali jalur tersebut.

Memasuki kompleks hotel di area Candi Borobudur sungguh tidak nyaman. Pihak manajemen membiarkan kamar-kamar hotel dikuasai oleh Satpam dan calo. Setiap pengunjung yang masuk halaman, bukan dibukakan pintu gerbang supaya calon tamu hotel dapat langsung berhubungan dengan Receptionist hotel, tetapi justru diinterogasi oleh Satpam atau calo: “Apakah sudah pesan kamar,” atau “kamarnya harus di-booking dulu, kalau tidak booking tidak ada kamar,” dsb. Ini bukan cara baik menyambut tamu.

Sepatutnya sikap tidak welcome ini dikikis karena sangat merugikan pariwisata. Merugikan pariwisata adalah kerugian bagi devisa negara. Padahal masuknya wisatawan akan melancarkan ekonomi rumah makan, penginapan, transportasi, dan oleh-oleh. Ketimbang menggangu mobil-mobil wisatawan, lebih baik memanjakan wisatawan dengan membuka tempat istirahat yang ramah.

Mengapa hanya kelas berbintang?
Garapan pariwisata hanya melirik wisatawan kelas berbintang. Memang wisatawan kelas berbintang adalah wisatawan yang tidak terlalu perduli dengan perbedaan harga, memajukan hotel-hotel bintang 4 dan 5, dan meningkatkan pendapatan restaurant mewah. Namun wisatawan kelas berbintang terkendala pada keamanan yang sangat rapuh di negeri ini dan masa tinggal yang tidak terlalu lama di suatu daerah.

Lantas, mengapa tidak melirik wisatawan kelas melati alias backpacker? Wisatawan ranselan ini “tahan banting”. Mereka mampu tinggal lama di suatu daerah, asal daerah tersebut menyediakan sarana pariwisata yang menarik. Dengan harga kamar sekitar 80-200 ribu rupiah, mereka bisa menghabiskan waktu 1 bulan di Indonesia. Hitunglah berapa rupiah sehari yang wisatawan ranselan ini berikan untuk roda perekonomian kita.

Keuntungan meningkatkan pariwisata
Slogan bahwa hidupnya parisawata adalah hidupnya masyarakat perlu terus didengungkan. Oleh karena karena ini, beberapa sikap perlu diambil oleh semua pihak di negara ini. Yaitu:

1. Pemerintah harus bersikap menahan dan mengendalikan tujuan wisata yang mengrucut pada Bali. Daerah-daerah lain harus tetap dipertahankan, dikembangkan, dan bahkan dilahirkan sebagai tujuan wisata di tanah air.
2. Tertibkan dan jinakan setiap pengganggu wisatawan. Mereka adalah virus kemajuan ekonomi dan pembangunan bangsa.
3. Manjakan secara proposional para wisatawan dengan menyediakan fasilitas murah-mudah-meriah dalam transportasi, akomodasi, dan informasi.
4. Berlakukan perekonomian pariwisata yang jujur.

Hal-hal ini niscaya dapat menarik wisatawan domestik dan mancanegara agar tidak melulu mencari tujuan wisata di luar Indonesia. Bebasnya fiskal seharusnya semakin mempergiat semua pihak di negara ini untuk memanjakan setiap wisatawan berwisata di dalam negeri. Karena “pariwisata maju, rakyat dapat hidup.”