Sabtu, Maret 14, 2009

MARDI GRAS

olwh: Rasid Rachman

Le Mardi Gras (ucapkan gras tanpa melafalkan “s”) semakin dikenal. Bukan hanya Perancis, tetapi juga di negeri Paman Sam. Di Italia, ia disebut dengan nama Il Martedi Grasso. Cafe atau Bistro di Jakarta, dan iklan-iklan, bahkan nama cluster perumahan di Tangerang atau Bogor juga memperkenalkan dan menyebarkanluaskan Mardi Gras ini. Sebenarnya, apakah Mardi Gras?
Secara harfiah, le Mardi Gras adalah Selasa Daging. Setiap tahun sebelum Rabu Abu memasuki masa Prapaska, masyarakat di negara-negara Kristen tradisional merayakan hari terakhir mereka boleh makan daging. Hari terakhir tersebut adalah Selasa. Rabu keesokan harinya adalah masa Prapaska di mana gereja mempermaklumkan masa berpuasa selama 40 hari hingga Paska.
Pada masa puasa itu, orang berhenti atau membatasi diri dari makan daging dan telur. Maka hari Selasa sebelum Rabu Abu, yakni hari pertama berpuasa dalam Prapaska, orang puas-puaskan diri makan daging.
Dalam bahasa Latin, Mardi Gras disebut Carnivalle. Di dalam kata tersebut, ada kata carni. Kalau ingat carnivora atau karnivora maka tahulah bahwa carni adalah daging. Jadi arti dasar dari carnivalle adalah pesta daging sebelum berpuasa. Pesta masyarakat itulah yang di zaman modern kemudian disebut dengan karnaval – tentu saja arti harfiah ini tidak lagi tergambar di dalam bentuk pesta karnaval dewasa ini.
Dalam karnaval ada pawai, demo tarian massal, gemerlap lampu di jalan-jalan, kostum, kegembiraan, dsb. sebagaimana terjadi di Brazilia setiap akhir musim semi sebelum Prapaska. Beberapa negara yang bertradisi kuat pada kekristenan juga merayakan karnaval sebelum Rabu Abu. Bahkan karnaval ini juga dirayakan oleh masyarakat Amerika Serikat.
Selain pawai keliling kota, orang dengan kostum menarik menari dan berdansa. Ada kostum Indian, burung, ayam, Asterix,Obelix, atau bahkan kostum tak berbusana sekalipun, dsb. Film-film di televisi seringkali memasukan karnaval ini sebagai bagian dari ceritanya.
Tahun 2009 ini, Rabu Abu jatuh pada 25 Februari, maka Mardi Gras pada 24 Februari 2009. Apakah kita orang Kristen di Indonesia perlu mengadakan Mardi Gras seperti halnya masyarakat Indonesia merayapakan Happy Valentine 14 Februari? Saya kira tidak terlalu perlu dengan alasan sebagai berikut:
1. Mardi Gras, sekalipun bersifat sekuler, berhubungan dengan Rabu Abu dan masa berpuasa. Aneh rasanya, jika tidak berpuasa, tetapi merayakan makan daging terakhir kali.
2. Mardi Gras di negara-negara tersebut dewasa ini lebih dirayakan sebagai festival rakyat yang tidak berhubungan dengan Prapaska dan makan daging. Kalau hanya festival semacam itu, saya kira pawai 17 Agustusan juga sudah lama di Indonesia.

Tulisan ini bukan sebagai anjuran meniru mengadakan hal serupa di Indonesia. Namun kita dapat belajar bagaimana masyarakat menyelenggarakan sebuah perhelatan akbar. Semua pihak: tua-muda, perempuan-lelaki, kaya-miskin berbaur dalam Mardi Gras. Memang riskan tentang masalah keamanan di dalam kerumunan puluhan atau ratusan ribu manusia, tetapi selalu aman. Pencopetan kecil-kecilan tentu ada, tetapi itu juga karena keteledoran si korban. Juga menarik bahwa manajemen kebersihan kota selama berlangsungnya karnaval. Di belakang, sekitar 10 meter setelah barisan pawai terakhir, sepasukan penyapu jalan menyapu jalan. Sehingga, sekalipun puluhan atau bahwa ratusan ribu orang tumpah ruah di jalan, lingkungan tetap aman dan jalan-jalan tetap bersih. Masyarakat sendiri yang menjaga agar karnaval tersebut terus berlangsung setiap tahun.
Perhelatan besar, apa pun nama dan peristiwanya, membutuhkan bukan hanya manajemen yang canggih, tetapi juga kearifan massal.