Oleh : Rasid Rachman
Orang Nias biasa memanggil orang dewasa yang telah berkeluarga dan beranak dengan nama anak pertamanya. Misalnya, Pak Gea dan Bu Mendrofa mempunyai anak pertama bernama Rony. Bapak dan Ibu itu dipanggil dengan nama Ama Rony dan Ina Rony. Ama berarti bapak, dan Ina berarti ibu.
Nama “baru” itu nilainya setara dengan nama marga. Nama kecil seseorang justru semakin menghilang sejalan dengan munculnya nama “baru” tersebut. Jadi kalau seseorang ditanya namanya, maka ada dua kemungkinan jawaban yang diberikan, yaitu: nama aslinya (artinya nama marganya) atau nama “baru”nya itu. Apakah artinya? Tidak ada yang tahu pasti pemahaman filosofis di balik pemakaian “nama baru” tersebut. Mungkin untuk mengingat pentingnya kelanjutan generasi, selain berpegang pada nilai-nilai tradisi leluhur.
Untuk urusan administrasi kantor, pemerintahan, resmi tertulis, organisasi, diberlakukan nama asli, misalnya Andi Gea, atau Tilly Mendrofa. Untuk urusan sesehari, kekerabatan, personal, dan lain-lain, diberlakukan nama “baru” itu. Dan urusan yang menggunakan nama baru itu sangat banyak. Misalnya pemanggilan, kartu undangan, memperkenalkan atau diperkenalkan, pergaulan, dsb. Oleh karena itu nama “baru” seseorang jauh lebih dikenal ketimbang nama aslinya.
Yang istimewa dari nama “baru” ini adalah tidak adanya pembedaan jenis kelamin. Yang penting adalah anak sulung. Ama dan ina disebut dengan nama anak sulungnya. Misalnya, Ama Lianti, Ina Shinta, Ama Darmawan, atau Ina Leonard.
Orang dari luar Nias yang tidak terlalu memperdulikan kekhasan ini seringkali mengabaikannya. Televisi-televisi mencantumkan nama-nama secara keliru, semisal: Amavia atau Inawaty. Tampak seolah-olah, itu adalah namanya. Padahal seharusnya Ama Via atau Ina Waty. ¨
Jumat, November 30, 2007
2005 AMA - INA
Label:
relawan nias
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar