Jumat, April 04, 2008

DI TENGAH KEMACETAN JAKARTA, SAYA MEMILIH



NAIK MOBIL SAJA!



Oleh: Rasid Rachman



"Saya memilih naik mobil saja." Begitu jawab saya apabila saat ini saya diminta memutuskan untuk bepergian ke atau di Jakarta. Saya memilih naik mobil pribadi. Alat transportasi yang dapat digunakan di Jakarta dan milik orang Jakarta dan sekitarnya memang cukup beragam, dari yang paling murah dan malu-maluin kalau ditumpangi sampai yang paling bergengsi. Ada sepeda, becak, sepeda motor, bajaj, mobil, bis dan kereta. Ada kendaraan priabdi, ada kendaraan umum. Pertanyaan, seberapakah memuaskannya atau mengecewakannya alat-alat transportasi tersebut bagi pengguna dan pemiliknya?

1. Sepeda
Ada dua jenis alat transportasi bersepeda di Jakarta, yaitu: ojek sepeda dan sepeda pribadi. Semua orang tahu bahwa sepeda adalah alat transportasi paling ramah lingkungan, nir-BBM, dan menyehatkan. Untuk jarak lebih daripada 3 km, bersepeda memang melelahkan, tetapi menyegarkan badan karena ada unsur rekreasi dan olahraga. Dengan bersepeda, kita dapat berolahraga sekaligus menuju tempat kerja. Olah raga selesai, kita pun tiba di kantor. Hanya sayangnya, tata kota dan akses antar kota di Jabodetabek tidak menyediakan sarana untuk berkendara sepeda. Para pengelola perkantoran pun tidak menyediakan parkiran sepeda yang nyaman dan aman; hingga awal tahun 1970-an, masih banyak sekolah dan perkantoran yang menyediakan sarana parkir sepeda. Para pengendaraan kendaraan bermotor pun tidak memperdulikan sepeda. Kampanye bike to work yang dilakukan oleh segelintir orang rupanya masih jauh dari penerapan masyarakat yang bersepeda untuk pergi ke tempat kerja. Sebenarnya, udara kota akan menjadi bersih apabila mayoritas masyarakatnya banyak bersepeda untuk bekerja.

2. Becak
Dalam beberapa hal, becak lebih memadai daripada sepeda. Becak dapat dimuati oleh 2 orang dewasa atau 3 anak, berpelindung panas dan hujan, transportasi yang cocok juga bagi kaum lanjut usia, anak, orang sakit, hewan, dan barang. Pada waktu banjir, becak sangat efektif untuk alat mengungsikan manusia dan sepeda motor. Bandingkan dengan ojek sepeda yang hanya dapat mengangkut 1 orang dewasa (umumnya laki-laki) di bawah ketidaknyamanan karena panas dan hujan. Sayangnya, pemerintah telah melarang becak beroperasi di Jakarta. Alasannya, tidak manusiawi.
Tanah Jakarta yang datar sangat cocok untuk sepeda dan becak, selain menjaga kebersihan kota dan mengurangi kecelakaan lalu lintas. Ketimbang angkong (ricksha), atau menutup satu lagi kesempatan masyarakat untuk mencari nafkah, becak masih jauh lebih manusiawi dan demi hajat hidup orang banyak karena nir-BBM (tanpa bahan bakar minyak). Untuk menempuh jarak 1-4 km dengan 2-3 orang, becak merupakan sarana transportasi efektif, sekalipun agak mahal.



Angkong di Kolkata, India (2003)


3. Sepeda motor
Seperti halnya sepeda di atas, alat transportasi ini pun terbagi dalam dua jenis, antara lain: ojek motor dan motor pribadi. Kelebihan kendaraan ini dibanding dengan yang lain adalah kegesitannya dan kecepatannya dibanding sepeda atau becak. Sekalipun tidak terlalu murah dan tergantung pada BBM, namun kendaraan ini jauh lebih praktis. Lalu lintas di Jakarta akan lebih lengang, namun sedikit semrawut apabila sepeda motor terlalu banyak. Juga harus dipikirkan suara knalpot motor yang nyaring yang tentu menjadi polusi tersendiri bagi masyarakat. Bagi masyarakat, harga sepeda motor relatif terjangkau bagi masyarakat menengah bawah.
Namun kendaraan ini memiliki banyak kelemahan. Pada cuaca: panas, kepanasan dan hujan, kehujanan. Selain itu, resiko celaka bagi pengemudi dan pembonceng cukup besar dan resiko kehilangan bagi pemilik motor cukup besar. Suspensi sepeda motor cukup keras, sehingga pengendaranya harus siap dibanting-banting selama berkendara dan menyebabkan badan menjadi lelah dan konsentasi melemah. Untuk menempuh jarah lebih jauh daripada 15 km, pengemudi menjadi lebih lelah. Belum lagi, pengemudi sepeda motor selalu terancam masuk angin, tersengat sinar matahari, dan kemasukkan asap knalpot kendaraan.

4. Bajaj, bemo, dan kancil
Sedikit perbadaan sarana angkutan ini dengan becak adalah kecepatannya. Namun bemo (becak-motor) lebih murah karena dapat mengangkut 7 penumpang selain supir sekaligus. Namun berbeda dengan negara tetangga: Filipina, yang melestarikan jeepney dan menjadikannya salah satu ikon kendaraan nasional, pemerintah kita justru meniadakan bemo sejak beberapa puluh tahun lalu. Hingga kini masih ada bemo untuk jarak dan rute yang sangat terbatas di Jakarta, namun jumlahnya semakin berkurang. Bemo pun semakin tidak laik jalan, karena sulitnya mencari suku cadang kendaraan tua ini sehingga terjadi kanibalisme di sana-sini.
Bajaj dan kancil sebetulnya cukup efeksif dan efisien, walaupun agak mahal dan kurang nyaman karena suaranya yang nyaring. Tahun 1970-an ada pula beberapa “saudara” bajaj yaitu: helicak, minicar, dan mobed. Namun semuanya lenyap dari bumi Jakarta. Hanya saja bajaj menjadi kendaraan terlalu besar jika hanya dimuati oleh 1 penumpang. Berbeda dengan di kota Kolkata-India, bajaj dimuati oleh 3-4 orang dengan tujuan sama dan mereka yang tidak saling kenal satu sama lain.

5. Mobil
Yang termasuk jenis ini adalah: mobil pribadi, taksi, dan mikrolet. Taksi adalah angkutan yang selalu ada, tetapi mahal. Naik mobil pribadi, apalagi jika hanya dimuati oleh 1-2 orang, juga mahal. Harga bensin yang tidak murah lagi, belum resiko terjebak macet dan lagi apes tertangkap polisi di jalur 3 in 1. Mikrolet memang murah, namun ada resiko kecopetan, kehabisan mobil tumpangan, dan keterbatasan trayek. Lagipula, penumpang tidak bebas membawa banyak barang bawaan.
Memang naik mobil pribadi mahal, tetapi masih lebih murah daripada ongkos taksi. Kendalanya: ongkosnya menjadi lebih mahal lagi jika mobil diparkir di lahan parkir seharga Rp 3 ribu/jam. Kendala lain, pengemudi ikut stres jika terjebak macet.


Taxi dan trem di Kolkata, India (2003)
6. Bis
Angkutan massal yang mudah pengadaannya adalah bis. Dibanding trem di zaman Belanda dahulu, bis lebih “praktis” karena mudah dan cepat diatur ulang trayeknya. Naik bis untuk kondisi Jabodetak saat ini adalah ideal, asal tertib berhentinya, teratur jadwalnya, aman dan nyaman di dalam tanpa copet dan pengamen, jumlah tempat duduk cukup untuk semua penumpang ke dan di Jakarta. Artinya, asal ada penambahan jumlah armada dan kendaraan yang laik jalan.
Naik bis adalah ideal, karena murah. Namun kondisi bis – kecuali Transjakarta saat ini – di Jabodetabek sangat memprihatinkan. Bukan hanya bisnya yang tidak laik jalan, kadang-kadang pengemudinya pun tidak layak mengendarai karena menjadi ancaman tersendiri baik bagi penumpang maupun pengguna jalan yang lain.
Untuk sementara Transjakarta masih menjadi primadona bis, namun ia tidak menampilkan seperti idealnya bis kota. Jumlah armadanya sedikit, jalannya mulai diserobot kendaraan-kendaraan lain, fasilitas pendukungnya pun mulai rusak dan membahayakan.

7. Kereta
Semua orang tahu bahwa alat transportasi massal dan paling murah adalah kereta. Ratusan penumpang dapat diangkut sekaligus dan cepat. Di negara-negara lain yang pemerintahnya bertindak demi masyarakat luas, kelebihan moda angkutan ini ditambah dengan lebih cepat, lebih aman, lebih nyaman, dan dijamin tersedia hingga hampir tengah malam. Sayangnya di Jabodetabek penumpang kereta ditempatkan di atas hewan ternak dalam arti sebenarnya; hewan di dalam gerbong, sementara orang di atap gerbong. Hal ini menggambarkan bahwa pemerintah tidak memedulikan kereta sebagai moda angkutan massal yang efisien. Pemerintah juga tidak memperlakukan masyakat pengguna sebagai “raja”, penambah beban. Akibatnya, jalur dan stasiun kereta tidak dimanfaatkan secara efektif. Setelah waktu pergi-pulang kerja, jalur kereta dalam kota lebih banyak kosongnya, padahal jalan-jalan lain macet dengan aktivitas masyarakat berlalu-lintas.

Pilihan masyarakat
Hasil othak-athik-athuk, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutuskan. Pertama, masyarakat Jakarta cenderung mempertaruhkan hidup manusia secara hierarkis. Misalnya: sepeda adalah kendaraan yang paling tidak dianggap; mobil pribadi adalah kendaraan yang harus selalu difasilitasi dengan berbagai kemudahan akses; di wilayah tertentu ada raja jalanan; atau naik kendaraan yang satu lebih bergengsi ketimbang kendaraan yang lain. Hierarki ini bukan sekadar gengsi, tetapi masalah keselamatan berkendara. Artinya, mobil menyenggol sepeda atau sepeda motor masih dianggap lumrah ketimbang mobil menyenggol mobil atau bis. Oleh karenanya, nyawa pengemudi motor “lebih murah” ketimbang nyawa si pengemudi sedan.
Kedua, ada pilihan antara kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Naik kendaraan umum, sangat tergantung pada trayek, ongkos yang lebih besar, waktu-waktu operasional kendaraan, siap membuang waktu karena kendaraan ngetem, siap berganti kendaraan beberapa kali sebelum tiba di tujuan, belum termasuk resiko kecopetan, diturunkan jauh sebelum terminal, atau tidak mendapat tempat duduk. Naik kendaraan pribadi, harus membelinya. Ada yang murah tetapi terbatas jarak tempuhnya seperti sepeda, atau yang mahal asal punya cukup uang. Selain harus merawat kendaraan pribadi, kita akan susah “hati” kalau sampai kehilangan kendaraan kesayangan. Jadi kendaraan jarak jauh untuk melakukan aktivitas ke dan di Jabodetabek adalah tidak termasuk sepeda. Yang lain, oke atau masih dianggap bisa.
Pencantuman judul tulisan ini tadinya membuat saya jengah. Masak sih saya egois memilih naik mobil pribadi, sementara orang-orang lain bersusah payah naik kendaraan umum. Namun setelah saya berpikir, ternyata yang egois itu bukan hanya saya. Para pejabat dan orang-orang di atas saya juga memilih naik mobil pribadi ketimbang kendaraan umum. Apalagi, naik mobil pribadi lantas dengan pengawalan pembuka jalan sehingga bisa kebut di jalan-jalan Jakarta. Orang-orang itu bahkan tidak pernah percaya pada laporan masyarakat bahwa Jakarta itu macet, karena bagi mereka Jakarta selalu lengang.
Anehnya, orang-orang yang tidak atau belum memiliki mobil pribadi pun maunya naik mobil pribadi untuk melakukan aktivitas di Jakarta. Kalau selama ini mereka naik kendaraan umum atau sepeda motor, hal itu hanya karena keterpaksaan dan tidak ada pilihan. Kalau boleh memilih, saya sangat yakin bahwa mereka memilih naik mobil pribadi, atau minilai motor pribadi.
Dalam kondisi Jabodetabek masih seperti saat ini, saya memiih naik mobil pribadi. Enak! Tak perlu ganti-ganti kendaraan, bebas waktu untuk berjalan dan berhenti, tidak ada tukang mengamen – kecuali masalah kecil di lampu-lampu lalu lintas – nyaman dan aman sejauh tidak mogok. Memang dengan mobil pribadi, ongkos menjadi lebih mahal, tetapi naik taksi jauh lebih mahal lagi. Bahkan jika dengan naik bajaj, ongkos naik mobil tidak terlalu jauh selisihnya. Maka sangat beralasan bahwa Jakarta selalu macet, bahkan di hari libur. ©