oleh : Rasid Rachman
Hidup di Jemaat itu selalu serba salah. Walaupun di Jemaat kota besar semacam Jakarta, Surabaya, atau Bandung, di mana umat biasanya tidak mengurusi hal-hal tetek bengek, tetapi kesan bahwa Pendeta itu laksana tinggal di "rumah kaca" tetap saja terjadi. Tidak satu-dua orang yang hobi menyelediki kehidupan Pendetanya.
Orang awam biasanya heran dan tidak mengerti dengan pola hidup Pendeta. Jadwal kerja tidak jelas, tempat kerja bukan di kantor, waktu kerja pun tidak terbatas. Biasanya, awam yang tidak mau mengerti dengan gaya hidup ini ambil rata berkesimpulan:
1. Pendeta itu waktu luangnya banyak. Seorang aktivis pernah curhat, begini: "Saya pernah melihat buku agenda Pendeta, banyak yang kosong. Berbeda dengan orang biasa, ngantor pukul 08.00 sampai pukul 17.00."
2. Pendeta itu kerjanya cuma hari Minggu. "Sepanjang pekan selama 6 hari, Pendeta di rumah saja. Mungkin santai-santai dan tidur-tiduran."
3. Pendeta selalu bilang sibuk, padahal "Kalau saya telepon di rumahnya, selalu ada. Kalau saya bertanya di telepon 'apakah sedang sibuk', jawabnya pasti 'tidak sibuk'."
Jeneralisasi semacam ini memang sulit diklarifikasi; juga sulit dikonfirmasi siapa yang yang bicara. Idealnya, ajak orang-orang itu menempel dengan Pendeta selama sepekan. Dari bangun pagi sampai malam tiba sebelum sebelum tidur, ajak orang-orang itu untuk bersama-sama Pendeta, baik di rumah maupun di luar rumah, kemana pun dan apa pun yang dilakukan Pendeta. Saya yakin, setelah seminggu orang-orang itu akan berubah pendapat. Namun melakukan hal ini bukan perkara mudah. Alasannya, hampir tidak diketahui siapa yang berpendapat seperti 3 point di atas itu. Kebanyakan orang saling menutupi siapa yang bicara; isu semacam itu sangat umum sehingga jeneralisasi pun diterima dengan lumrah; atau tidak ada yang mengaku karena tidak begitu kuat buktinya.
Bagi Pendeta yang masa pelayanannya lebih daripada 10 tahun, mungkin sudah dapat mengatasi isu-isu semacam itu dengan tenang, atau sudah berdamai dengan masalah itu. Bagi yang baru, atau calon Pendeta, isu semacam itu tak pelak bisa membuat gundah dan menghilangnya rasa percaya diri. Bagi saya, itulah yang konsekuensi menjadi Pendeta.
Sekali waktu sekitar pukul 10, ketika saya masih tinggal di pastori yang menyatu dengan kompleks gereja, seorang anggota jemaat datang memanggil-manggil saya dari depan pintu. "Pak, ... lagi tidur ya?" Itu bukan pertama kali ia berseru seperti itu di depan pintu rumah saya. Padahal orang itu belum melihat atau bertemu dengan saya yang di dalam rumah.
Saya buka pintu depan, lantas menjumpainya. Saya katakan dengan agak kesal: "Kalau kerja saya cuma tidur sepanjang hari, maka mana bisa saya lulus sekolah seperti sekarang ini(?)" Sejak itu, ia tidak lagi melakukan seruan-seruan semacam itu.
Jumat, Februari 29, 2008
KATANYA SIBUK, TAPI KOQ DI RUMAH ...?!
Label:
refleksi gerejawi
Senin, Februari 25, 2008
PERJAMUAN KUDUS DALAM TRADISI IBADAH
GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
Oleh : Rasid Rachman
Pendahuluan
Perayaan perjamuan kudus telah diberlakukan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak penginjilan membuahkan pembaptisan umat Kristen Indonesia awal. Penginjilan kepada orang-orang Indonesia dilakukan baik oleh lembaga-lembaga penginjilan Eropa maupun orang Kristen Indonesia sendiri.
Hal tersebut membentuk kesamaan dan keberbagaian bentuk perayaan perjamuan kudus. Persamaan bentuk perjamuan kudus, yaitu: jarangnya perayaan perjamuan kudus dilaksanakan dan tekanan pada pengampunan dosa. Keberbagaian bentuk perjamuan kudus, yaitu: bentuk cawan anggur dan tata komuni. Bentuk-bentuk ini, tanpa disadari, telah berjalan puluhan bahkan lebih dari seratus tahun, yakni selama Gereja-gereja tersebut eksis di Indonesia.
I. Persamaan bentuk
I.A. Perjamuan kudus tidak dirayakan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia pada setiap kebaktian hari Minggu. Bahkan kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia cenderung meniadakan perjamuan kudus dalam kebaktian hari Minggu. Sekalipun ada perjamuan kudus, seringkali perayaannya dipisahkan dari kebaktian umum. Dalam prakteknya, perjamuan kudus hanya dirayakan beberapa kali setahun, yaitu antara 1 – 4 kali setahun.
Kurangnya atau jarangnya perjamuan kudus dirayakan bertolak dari kebiasaan historis dan sedikitnya jumlah Pendeta di masa lalu, serta jarak wilayah yang saling berjauhan (bnd Th. Van den End, Ragi Carita I, 70). Namun hal jarangnya perjamuan kudus dirayakan ini masih berlangsung hingga kini, dan dianggap lazim, sekalipun jumlah Pendeta sudah memadai (terutama di perkotaan) dan jarak wilayah relatif tidak menjadi masalah lagi.
Calvin sendiri menghendaki agar perjamuan kudus selalu dirayakan pada setiap hari Minggu (Calvin, Institutio, 250; Ch. de Jonge, Calvinisme?, 228-229). Umat harus mengambil bagian dalam perjamuan kudus. Namun keinginan Calvin tidak terwujud, karena dua hal. Pada satu pihak, Pemda kota Jenewa menolak merayakan perjamuan kudus setiap hari Minggu kecuali empat kali setahun, yaitu: Natal, Paska, Pentakosta, dan hari Minggu pertama September. Pada pihak lain, umat tidak merasa diyakinkan untuk layak menerima komuni (Ch. De Jonge, Calvinisme?, 229-230). Hal kedua ini berhubungan dengan tidak adanya ajaran dalam Calvinisme tentang sakramen pengampunan dosa sebagaimana dalam Gereja Roma Katolik.
Selain itu sejarah awal Gereja-gereja Protestan di Indonesia (sekitar abad ke-17) diwarnai oleh kurangnya jumlah Pendeta, karena semuanya diatur secara paternalistik oleh VOC (Th. van den End, Ragi Carita I, 34-35). Hal ini menyebabkan perjamuan kudus memang sangat jarang diterimakan kepada umat. Ada kalanya umat hanya menerima komuni setahun sekali, dua-tiga tahun sekali, atau bahkan tidak sama sekali.
I.B. Hingga kini perjamuan kudus belum dipahami sepenuhnya oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia sebagai sebuah perayaan. Banyak orang – juga didukung oleh teologi Gereja tersebut yang diungkapkan melalui formula perjamuan kudus yang nyaris tidak berubah sejak semula – menganggap perjamuan kudus adalah sarana pengakuan dan pengampunan dosa. Hal ini juga ditopang dengan waktu perayaannya pada Jumat Agung, bukan pada Paska.
Bahwasanya perjamuan kudus begitu menakutkan, ini memang dari tradisi Calvinisme sendiri. Jemaat-jemaat Reformasi dari Gereja Protestan di Belanda abad ke-17 cenderung menghindari perjamuan kudus. Alasannya, perjamuan kudus hanya berguna bagi orang yang (telah) dipilih Allah (paham predestinasi). Sehingga hanya umat yang merasa cukup yakin bahwa telah dipilih Allahlah, yang berani menerima perjamuan kudus (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 230).
Suasana duka masih terlihat dominan dalam perjamuan kudus di Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Suasana duka ditampakkan dengan berpakaian serba hitam dan muka murung. Selain itu, ada juga rasa takut. Umat begitu takut merayakan perjamuan kudus, sebab waktu itu adalah “waktu malaikat maut mengambil anak-anak sulung orang Mesir” (bnd. H.A. van Dop, Penuntun, “ritual yang keramat dengan efek magis,” 175). Di beberapa daerah di Indonesia, menjelang dan pada hari perjamuan kudus dilayankan, perkampungan menjadi sunyi-sepi dan pintu-pintu rumah tertutup rapat. Kalau orang batuk atau tersedak pada saat komuni, hal itu dapat dianggap tanda bencana akibat dosa (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 234). Pokoknya, perjamuan belum dipahami sebagai perayaan yang secara antusias disambut dengan kerinduan dan sukacita, melainkan dengan ketakutan akan efek magis perjamuan itu.
Beberapa Gereja di kota-kota besar pada zaman modern ini bahkan masih menciptakan suasana takut tersebut dengan meningkatkan gairah kerohanian (baca: kesalehan) umat menjelang perjamuan kudus. Misalnya, majelis mengadakan perkunjungan khusus ke rumah-rumah, censura morum (= memeriksa kelakuan), dsb. Tentu, hal-hal khusus ini menuntut pengorbanan waktu sang pelayan. Kemungkinan itulah juga alasannya mengapa gereja cenderung tidak memperbanyak jumlah mengadakan perjamuan: repot.
Menekankan censura morum atau masa uji adalah ciptaan para penginjil berlatarbelakang pietisme. Tradisi Calvinis memang membuat hal ini menjadi ketat. Hanya mereka yang betul-betul telah melewati masa ujilah yang lulus dan boleh ikut perjamuan kudus (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 233-4).
Perjamuan kudus pada Jumat Agung sendiri merupakan suatu kekeliruan sejarah; telah diralat oleh Gereja-gereja ekumenis. Rasionalisme, pietisme, dan moralisme menguasai pola pikir Gereja-gereja di Eropa pada awal abad ke-19 (H.A. van Dop, Penuntun, 177). Oleh karena mati lebih masuk akal ketimbang bangkit, maka wafat Kristus lebih “dimeriahkan” daripada kebangkitan-Nya. Pada tahun 1825, Jemaat-jemaat di Belanda mulai merayakan perjamuan kudus pada Jumat Agung – menggantikan Paska – pertama kali di kota Delft. Kebiasaan inilah yang malah menjadikan perjamuan kudus pada Jumat Agung paling istimewa.
Paruh kedua abad ke-20, berangsur-angur ada pembaruan di Gereja-gereja ekumenis, termasuk Gereja-gereja Reformasi. Perjamuan kudus kembali dirayakan pada Paska, namun itu baru terjadi di luar negeri. Hingga awal abad ke-21, beberapa Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai kembali merayakan perjamuan kudus pada Paska, walaupun masih sedikit jumlahnya. Yang sedikit itu pun tetap diliputi keraguan benar tidaknya merayakan perjamuan kudus pada hari raya Paska.
II. Keberbagaian bentuk
II.A. Umumnya, Gereja-gereja Protestan di Indonesia menggunakan satu cawan besar yang diedarkan lalu umat meminum dari satu cawan tersebut, atau cawan kecil yang dibagikan lalu setiap orang meminum cawannya sendiri. Di Indonesia – juga diberlakukan oleh beberapa Gereja di luar negeri – cara satu cawan besar dianggap “cara lama”, karena berangsur-angsur Jemaat-jemaat menggantinya dengan menggunakan cawan-cawan kecil (sloki). Cara sloki ini adalah tiada alasan lain kecuali alasan higienis.
Cara sloki ini jelas bukan cara Calvin; bukan karena anti tetapi karena waktu itu belum ada pemikiran perjamuan kudus dengan cawan-cawan kecil. Namun dapat dipahami bahwa Calvin tidak mempersoalkan hal-hal lahiriah, praktis, dan sederhana (bnd Calvin, Institutuio, 249). Yang penting dari cara satu atau banyak cawan ini adalah adanya tampilan cawan utama yang besar ketika sakramen perjamuan kudus dimulai. Cawan utama tersebut menandakan bahwa dari cawan utama itulah tertuang anggur ke dalam cawan-cawan kecil. Hal yang sama dikenakan pada roti besar yang kemudian dipecah-pecahkan.
II.B. Umumnya, Gereja-gereja Protestan di Indonesia memakai cara-cara: menggunakan meja khusus (dengan memperbesar altar) di mana kepada umat diterimakan komuni; diam di tempat duduk dan menantikan datangnya roti dan anggur; umat maju ke depan ketika menerima komuni.
Cara pertama adalah menurut kebiasaan Calvin. Perjamuan kudus dirayakan dengan memakai meja di dekat mimbar (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 231). Meja-meja tersebut bersambung dengan altar. Idenya adalah umat duduk di sekitar meja tersebut. Hal ini menggambarkan pemahaman bahwa perjamuan kudus adalah upacara makan bersama. Dalam Jemaat dengan jumlah ratusan orang, umat bergantian maju dan duduk di meja besar tersebut, sehingga waktu yamg digunakan pun menjadi lama dan bertele-tele.
Ada pula Jemaat yang menyiapkan meja khusus (tidak besar) di depan altar. Kemudian 5-8 orang diistimewakan duduk di sekitar meja tersebut. Mereka makan dan minum bersama dengan umat lain yang tetap duduk di tempatnya. Waktu untuk perjamuan kudus memang tidak menjadi lebih lama, tetapi secara simbolis menjadi lebih ribet dan membingungkan. Sebab ada 5-8 orang saja yang duduk terpisah dari yang lain, dan ditempatkan di meja – yang lain tidak menggunakan meja – yang juga di luar altar. Ide ini sama dengan cara di atas, hanya menggunakan sistem perwakilan.
Hingga abad ke-20 cara memperbesar atau menambah meja ini dianggap oleh beberapa Jemaat besar di kota-kota tidak praktis, sehingga muncul cara lain, yakni duduk atau diam di tempat duduk; tidak ada perubahan dengan meja yang ada. Juga tidak ada perubahan dengan sikap umat selama perjamuan: duduk saja. Cara ini menimbulkan kesan miskin dan keliru simbol. Miskin, karena tidak ada gerak simbolis lain kecuali duduk. Keliru, karena umat tidak diarahkan untuk melayani, melainkan dilayani. Cara duduk ini termasuk cara yang umum diberlakukan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Entah karena alasan praktis, entah alasan ingin mudahnya saja.
Dewasa ini, perjamuan kudus kembali ke cara lama gerakan liturgis di abad ke-20, yakni umat menerima komuni dengan maju ke altar. Umat Lutheran dan Methodis, biasanya berlutut ketika menerima komuni di dekat altar. Umat Katolik dan beberapa Protestan menerimanya dengan tetap berdiri di dekat altar. Tata gerak berdiri lebih menggambarkan kesukacitaan dan ungkapan syukur dalam perjamuan kudus, ketimbang berlutut yang menggambarkan pengakuan dosa.
III. Menuju pemakaian ibadah perjamuan kudus ekumenis
Kesamaan dan keberbagaian pelaksanaan perjamuan kudus tidak mengindikasikan kemajuan berteologi. Menurut hemat kami, hal yang perlu diwacanakan adalah liturgi ekumenis. Secara praktis juga, liturgi perjamuan kudus ekumenis menyoroti hal-hal berikut, yaitu: perjamuan sebagai persembahan, perjamuan dipimpin oleh para pejabat, dan penggunaan tata liturgi ekumenis.
III.A. Dalam perjamuan sebagai persembahan, roti dan anggur (beserta hasil persembahan lain) dibawa masuk dalam prosesi persembahan; tidak diletakkan di altar sejak sebelum ibadah (L.H. Stookey, Eucharist, 118-119). Yang membawa roti dan anggur tersebut adalah umat; diwakili oleh 2-3 orang. Roti dan anggur tersebut diserahkan kepada para petugas liturgi, dan diletakkan di altar.
III.B. Pemahaman dahulu bahwa perjamuan kudus hanya dipimpin oleh seorang Pendeta, kini tidak lagi berlaku. Perjamuan kudus dipimpin oleh para pejabat (dhi. Majelis Jemaat: Pendeta, Penatua, Diakon). Oleh karena itu, setelah selesai doa persembahan, dan selama doa perjamuan kudus (Doa Syukur Agung) dipanjatkan, para pejabat tersebut tetap berdiri di belakang altar (meja perjamuan) menghadap umat. Baik juga apabila para peraya perjamuan menaikkan tangannya setinggi dada sebagai sikap berdoa (L.H. Stookey, Eucharist, 120).
Hal ini tidak salahnya apabila dicoba, walaupun beberapa orang merasa canggung pada mulanya. Namun persiapan, sosialisasi, dan pembiasaan akan menghapuskan kecanggungan tersebut.
III.C. Menurut hemat kami, tata liturgi perjamuan kudus ekumenis merupakan jalan tengah bagi penampakan teologi dewasa ini. Liturgi ekumenis dapat menjadi jawaban bagi keterlambatan pembaruan liturgi sebagaimana telah diuraikan di bagian atas makalah ini. GKJ sebagai anggota dari beberapa lembaga ekumenis dapat mengacu pembaruan liturgi perjamuan kudus pada lembaga-lembaga seazas: WCC, WARC, CCA, dsb.). °
Perayaan perjamuan kudus telah diberlakukan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak penginjilan membuahkan pembaptisan umat Kristen Indonesia awal. Penginjilan kepada orang-orang Indonesia dilakukan baik oleh lembaga-lembaga penginjilan Eropa maupun orang Kristen Indonesia sendiri.
Hal tersebut membentuk kesamaan dan keberbagaian bentuk perayaan perjamuan kudus. Persamaan bentuk perjamuan kudus, yaitu: jarangnya perayaan perjamuan kudus dilaksanakan dan tekanan pada pengampunan dosa. Keberbagaian bentuk perjamuan kudus, yaitu: bentuk cawan anggur dan tata komuni. Bentuk-bentuk ini, tanpa disadari, telah berjalan puluhan bahkan lebih dari seratus tahun, yakni selama Gereja-gereja tersebut eksis di Indonesia.
I. Persamaan bentuk
I.A. Perjamuan kudus tidak dirayakan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia pada setiap kebaktian hari Minggu. Bahkan kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia cenderung meniadakan perjamuan kudus dalam kebaktian hari Minggu. Sekalipun ada perjamuan kudus, seringkali perayaannya dipisahkan dari kebaktian umum. Dalam prakteknya, perjamuan kudus hanya dirayakan beberapa kali setahun, yaitu antara 1 – 4 kali setahun.
Kurangnya atau jarangnya perjamuan kudus dirayakan bertolak dari kebiasaan historis dan sedikitnya jumlah Pendeta di masa lalu, serta jarak wilayah yang saling berjauhan (bnd Th. Van den End, Ragi Carita I, 70). Namun hal jarangnya perjamuan kudus dirayakan ini masih berlangsung hingga kini, dan dianggap lazim, sekalipun jumlah Pendeta sudah memadai (terutama di perkotaan) dan jarak wilayah relatif tidak menjadi masalah lagi.
Calvin sendiri menghendaki agar perjamuan kudus selalu dirayakan pada setiap hari Minggu (Calvin, Institutio, 250; Ch. de Jonge, Calvinisme?, 228-229). Umat harus mengambil bagian dalam perjamuan kudus. Namun keinginan Calvin tidak terwujud, karena dua hal. Pada satu pihak, Pemda kota Jenewa menolak merayakan perjamuan kudus setiap hari Minggu kecuali empat kali setahun, yaitu: Natal, Paska, Pentakosta, dan hari Minggu pertama September. Pada pihak lain, umat tidak merasa diyakinkan untuk layak menerima komuni (Ch. De Jonge, Calvinisme?, 229-230). Hal kedua ini berhubungan dengan tidak adanya ajaran dalam Calvinisme tentang sakramen pengampunan dosa sebagaimana dalam Gereja Roma Katolik.
Selain itu sejarah awal Gereja-gereja Protestan di Indonesia (sekitar abad ke-17) diwarnai oleh kurangnya jumlah Pendeta, karena semuanya diatur secara paternalistik oleh VOC (Th. van den End, Ragi Carita I, 34-35). Hal ini menyebabkan perjamuan kudus memang sangat jarang diterimakan kepada umat. Ada kalanya umat hanya menerima komuni setahun sekali, dua-tiga tahun sekali, atau bahkan tidak sama sekali.
I.B. Hingga kini perjamuan kudus belum dipahami sepenuhnya oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia sebagai sebuah perayaan. Banyak orang – juga didukung oleh teologi Gereja tersebut yang diungkapkan melalui formula perjamuan kudus yang nyaris tidak berubah sejak semula – menganggap perjamuan kudus adalah sarana pengakuan dan pengampunan dosa. Hal ini juga ditopang dengan waktu perayaannya pada Jumat Agung, bukan pada Paska.
Bahwasanya perjamuan kudus begitu menakutkan, ini memang dari tradisi Calvinisme sendiri. Jemaat-jemaat Reformasi dari Gereja Protestan di Belanda abad ke-17 cenderung menghindari perjamuan kudus. Alasannya, perjamuan kudus hanya berguna bagi orang yang (telah) dipilih Allah (paham predestinasi). Sehingga hanya umat yang merasa cukup yakin bahwa telah dipilih Allahlah, yang berani menerima perjamuan kudus (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 230).
Suasana duka masih terlihat dominan dalam perjamuan kudus di Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Suasana duka ditampakkan dengan berpakaian serba hitam dan muka murung. Selain itu, ada juga rasa takut. Umat begitu takut merayakan perjamuan kudus, sebab waktu itu adalah “waktu malaikat maut mengambil anak-anak sulung orang Mesir” (bnd. H.A. van Dop, Penuntun, “ritual yang keramat dengan efek magis,” 175). Di beberapa daerah di Indonesia, menjelang dan pada hari perjamuan kudus dilayankan, perkampungan menjadi sunyi-sepi dan pintu-pintu rumah tertutup rapat. Kalau orang batuk atau tersedak pada saat komuni, hal itu dapat dianggap tanda bencana akibat dosa (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 234). Pokoknya, perjamuan belum dipahami sebagai perayaan yang secara antusias disambut dengan kerinduan dan sukacita, melainkan dengan ketakutan akan efek magis perjamuan itu.
Beberapa Gereja di kota-kota besar pada zaman modern ini bahkan masih menciptakan suasana takut tersebut dengan meningkatkan gairah kerohanian (baca: kesalehan) umat menjelang perjamuan kudus. Misalnya, majelis mengadakan perkunjungan khusus ke rumah-rumah, censura morum (= memeriksa kelakuan), dsb. Tentu, hal-hal khusus ini menuntut pengorbanan waktu sang pelayan. Kemungkinan itulah juga alasannya mengapa gereja cenderung tidak memperbanyak jumlah mengadakan perjamuan: repot.
Menekankan censura morum atau masa uji adalah ciptaan para penginjil berlatarbelakang pietisme. Tradisi Calvinis memang membuat hal ini menjadi ketat. Hanya mereka yang betul-betul telah melewati masa ujilah yang lulus dan boleh ikut perjamuan kudus (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 233-4).
Perjamuan kudus pada Jumat Agung sendiri merupakan suatu kekeliruan sejarah; telah diralat oleh Gereja-gereja ekumenis. Rasionalisme, pietisme, dan moralisme menguasai pola pikir Gereja-gereja di Eropa pada awal abad ke-19 (H.A. van Dop, Penuntun, 177). Oleh karena mati lebih masuk akal ketimbang bangkit, maka wafat Kristus lebih “dimeriahkan” daripada kebangkitan-Nya. Pada tahun 1825, Jemaat-jemaat di Belanda mulai merayakan perjamuan kudus pada Jumat Agung – menggantikan Paska – pertama kali di kota Delft. Kebiasaan inilah yang malah menjadikan perjamuan kudus pada Jumat Agung paling istimewa.
Paruh kedua abad ke-20, berangsur-angur ada pembaruan di Gereja-gereja ekumenis, termasuk Gereja-gereja Reformasi. Perjamuan kudus kembali dirayakan pada Paska, namun itu baru terjadi di luar negeri. Hingga awal abad ke-21, beberapa Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai kembali merayakan perjamuan kudus pada Paska, walaupun masih sedikit jumlahnya. Yang sedikit itu pun tetap diliputi keraguan benar tidaknya merayakan perjamuan kudus pada hari raya Paska.
II. Keberbagaian bentuk
II.A. Umumnya, Gereja-gereja Protestan di Indonesia menggunakan satu cawan besar yang diedarkan lalu umat meminum dari satu cawan tersebut, atau cawan kecil yang dibagikan lalu setiap orang meminum cawannya sendiri. Di Indonesia – juga diberlakukan oleh beberapa Gereja di luar negeri – cara satu cawan besar dianggap “cara lama”, karena berangsur-angsur Jemaat-jemaat menggantinya dengan menggunakan cawan-cawan kecil (sloki). Cara sloki ini adalah tiada alasan lain kecuali alasan higienis.
Cara sloki ini jelas bukan cara Calvin; bukan karena anti tetapi karena waktu itu belum ada pemikiran perjamuan kudus dengan cawan-cawan kecil. Namun dapat dipahami bahwa Calvin tidak mempersoalkan hal-hal lahiriah, praktis, dan sederhana (bnd Calvin, Institutuio, 249). Yang penting dari cara satu atau banyak cawan ini adalah adanya tampilan cawan utama yang besar ketika sakramen perjamuan kudus dimulai. Cawan utama tersebut menandakan bahwa dari cawan utama itulah tertuang anggur ke dalam cawan-cawan kecil. Hal yang sama dikenakan pada roti besar yang kemudian dipecah-pecahkan.
II.B. Umumnya, Gereja-gereja Protestan di Indonesia memakai cara-cara: menggunakan meja khusus (dengan memperbesar altar) di mana kepada umat diterimakan komuni; diam di tempat duduk dan menantikan datangnya roti dan anggur; umat maju ke depan ketika menerima komuni.
Cara pertama adalah menurut kebiasaan Calvin. Perjamuan kudus dirayakan dengan memakai meja di dekat mimbar (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 231). Meja-meja tersebut bersambung dengan altar. Idenya adalah umat duduk di sekitar meja tersebut. Hal ini menggambarkan pemahaman bahwa perjamuan kudus adalah upacara makan bersama. Dalam Jemaat dengan jumlah ratusan orang, umat bergantian maju dan duduk di meja besar tersebut, sehingga waktu yamg digunakan pun menjadi lama dan bertele-tele.
Ada pula Jemaat yang menyiapkan meja khusus (tidak besar) di depan altar. Kemudian 5-8 orang diistimewakan duduk di sekitar meja tersebut. Mereka makan dan minum bersama dengan umat lain yang tetap duduk di tempatnya. Waktu untuk perjamuan kudus memang tidak menjadi lebih lama, tetapi secara simbolis menjadi lebih ribet dan membingungkan. Sebab ada 5-8 orang saja yang duduk terpisah dari yang lain, dan ditempatkan di meja – yang lain tidak menggunakan meja – yang juga di luar altar. Ide ini sama dengan cara di atas, hanya menggunakan sistem perwakilan.
Hingga abad ke-20 cara memperbesar atau menambah meja ini dianggap oleh beberapa Jemaat besar di kota-kota tidak praktis, sehingga muncul cara lain, yakni duduk atau diam di tempat duduk; tidak ada perubahan dengan meja yang ada. Juga tidak ada perubahan dengan sikap umat selama perjamuan: duduk saja. Cara ini menimbulkan kesan miskin dan keliru simbol. Miskin, karena tidak ada gerak simbolis lain kecuali duduk. Keliru, karena umat tidak diarahkan untuk melayani, melainkan dilayani. Cara duduk ini termasuk cara yang umum diberlakukan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Entah karena alasan praktis, entah alasan ingin mudahnya saja.
Dewasa ini, perjamuan kudus kembali ke cara lama gerakan liturgis di abad ke-20, yakni umat menerima komuni dengan maju ke altar. Umat Lutheran dan Methodis, biasanya berlutut ketika menerima komuni di dekat altar. Umat Katolik dan beberapa Protestan menerimanya dengan tetap berdiri di dekat altar. Tata gerak berdiri lebih menggambarkan kesukacitaan dan ungkapan syukur dalam perjamuan kudus, ketimbang berlutut yang menggambarkan pengakuan dosa.
III. Menuju pemakaian ibadah perjamuan kudus ekumenis
Kesamaan dan keberbagaian pelaksanaan perjamuan kudus tidak mengindikasikan kemajuan berteologi. Menurut hemat kami, hal yang perlu diwacanakan adalah liturgi ekumenis. Secara praktis juga, liturgi perjamuan kudus ekumenis menyoroti hal-hal berikut, yaitu: perjamuan sebagai persembahan, perjamuan dipimpin oleh para pejabat, dan penggunaan tata liturgi ekumenis.
III.A. Dalam perjamuan sebagai persembahan, roti dan anggur (beserta hasil persembahan lain) dibawa masuk dalam prosesi persembahan; tidak diletakkan di altar sejak sebelum ibadah (L.H. Stookey, Eucharist, 118-119). Yang membawa roti dan anggur tersebut adalah umat; diwakili oleh 2-3 orang. Roti dan anggur tersebut diserahkan kepada para petugas liturgi, dan diletakkan di altar.
III.B. Pemahaman dahulu bahwa perjamuan kudus hanya dipimpin oleh seorang Pendeta, kini tidak lagi berlaku. Perjamuan kudus dipimpin oleh para pejabat (dhi. Majelis Jemaat: Pendeta, Penatua, Diakon). Oleh karena itu, setelah selesai doa persembahan, dan selama doa perjamuan kudus (Doa Syukur Agung) dipanjatkan, para pejabat tersebut tetap berdiri di belakang altar (meja perjamuan) menghadap umat. Baik juga apabila para peraya perjamuan menaikkan tangannya setinggi dada sebagai sikap berdoa (L.H. Stookey, Eucharist, 120).
Hal ini tidak salahnya apabila dicoba, walaupun beberapa orang merasa canggung pada mulanya. Namun persiapan, sosialisasi, dan pembiasaan akan menghapuskan kecanggungan tersebut.
III.C. Menurut hemat kami, tata liturgi perjamuan kudus ekumenis merupakan jalan tengah bagi penampakan teologi dewasa ini. Liturgi ekumenis dapat menjadi jawaban bagi keterlambatan pembaruan liturgi sebagaimana telah diuraikan di bagian atas makalah ini. GKJ sebagai anggota dari beberapa lembaga ekumenis dapat mengacu pembaruan liturgi perjamuan kudus pada lembaga-lembaga seazas: WCC, WARC, CCA, dsb.). °
Label:
perjamuan kudus
Langganan:
Postingan (Atom)