Senin, Desember 08, 2008

SEJARAH TAHUN BARU

Oleh: Rasid Rachman

Tahun baru dalam kalender umum atau kalender Gregorian dimulai pada tanggal 1 Januari. Dalam satu tahun, kelender Gregorian berlangsung dari 1 Januari hingga 31 Desember, atau 365 hari. Masyarakat seumumnya menyebut Januari sebagai bulan pertama, Februari sebagai bulan kedua, dan seterusnya hingga Desember sebagai bulan keduabelas. Kalender umum ini berasal dari Romawi. Agak aneh, sebab umumnya masyarakat empat musim memulai tahun baru pada musim semi dan menjelang bulan purnama. Padahal 1 Januari masih berada di musim dingin dan masih lama menuju bulan purnama penuh yang jatuh sekitar Maret atau bahkan April.
Bagaimanakah sejarah munculnya 1 Januari sebagai tahun baru? Sebelum tahun 708 AUC (waktu itu orang Romawi masih menggunakan kalender Ab Urbe Condita [AUC], yakni berdasarkan berdirinya kota Roma pada 753 tahun sebelum Masehi), orang Romawi memasuki tahun baru pada setiap 1 Maret. Maret adalah bulan pertama yang menandakan dimulainya musim semi dan menjelang bulan purnama penuh yang pertama dalam 365 hari itu. Musim semi selalu dijadikan patokan tahun baru, yang diartikan sebagai kehidupan baru. Orang Italia menyebut musim semi dengan la primavera, artinya kehidupan yang pertama.
Bukti bahwa bahwa Maret sebagai bulan pertama masih dapat dilihat hingga kini, yakni dengan nama bulan-bulan. Bulan ke-7 disebut September (septem = tujuh), bulan ke-8 disebut Oktober (octo = delapan), bulan ke-9 disebut November (novem = sembilan), dan bulan ke-10 disebut Desember (decem = sepuluh). Dahulu bulan Juli dan Agustus disebut Bulan Ke-5 (Mensis Quintilis) dan Bulan Ke-6 (Mensis Sextilis). Hingga jelasnya bahwa berdasarkan nama bulan-bulan tersebut akan urutan bulan dalam kalender.
Akhir tahun 46 SM, Julius Gaius Caesar (59 – 44 SM) menetapkan sistem kalender baru, yakni sistem solar (matahari) dari sebelumnya sistem lunar (bulan). Sistem kalender baru itu ditetapkan untuk diberlakukan pada 1 Januari, yang sebelum itu hanya merupakan hari biasa. Pada waktu itu, 1 Januari masih termasuk bulan ke-11 dan masih dalam tahun 46 SM. Dengan pemberlakuan kalender ala-Julius Caesar tersebut – kemudian dikenal sebagai kalender Julian – maka 1 Januari menjadi tahun baru. Sebenarnya, 1 Januari hanya merupakan peringatan pemberlakuan kalender baru tersebut. Untuk menghormatinya, bulan kelahiran Julius Caesar, yakni Bulan Ke-5, diubah dengan namanya, yakni Juli.
Sistem kalender Julian ini menghitung bahwa satu tahun terdiri dari 355,25 hari. Setiap empat tahun sekali, terjadilah perpanjangan bulan Februari. Yakni 24 Februari, atau dies sextilis (hari keenam sebelum permulaan Maret), terjadi dua hari berturut-turut untuk tanggal yang sama, misalnya 24 Februari hari Rabu dan keesokannya adalah 24 Februari hari Kamis. Bulan-bulan Maret, Mei, Juli, dan Oktober berjumlah 31 hari, sama hingga kini. Bulan Februari 28 hari. Sedangkan bulan-bulan April, Juni, Agustus, September, November, Desember, dan Januari berjumlah 29 hari.
Jumlah hari dalam bulan-bulan 29 hari, bulan kabisat, dan jumlah hari dalam setahun kemudian dibarui di zaman Kaisar Augustus pada tahun 6 SM. Untuk menghormati dan mengenang Kaisar Augutus, maka Bulan Ke-6 (Mensis Sextilis) diganti namanya menjadi Bulan Agustus.
Koreksi jumlah hari kembali dibarui oleh Gereja Roma pada tahun 1577 terhadap kalender Julian dan Augustan. Kali ini dilakukan oleh pihak Gereja Roma Katolik. Pada tahun 1582, atas perintah Konsili Trente (1545-1563) pada tahun 1577 oleh Paus Gregorius XIII (1502-1585) dikoreksi bahwa hari-hari dalam setahun berjumlah 365,2422 hari, bukan 365,25 hari sebagaimana kalender Julian. Akibatnya adalah waktu yang berjalan setiap tahun lebih lambat 11,25 menit. Nampaknya perbedaan waktu tidak terlalu berarti, namun jika dihitung sejak tahun 45 SM hingga tahun 1582, maka telah terjadi keterlambatan waktu 18.303,75 menit dalam 1.627 tahun, atau 12,7109375 hari. Perbedaan ini cukup signifikan, dan dapat menggantu pengaturan waktu pada masa-masa kemudian.
Penyesuaian segera dilakukan. Melalui keputusan inter gravissimas pada 24 Februari 1582, Paus Gregorius XIII menyatakan bahwa sesudah tanggal 4 Oktober 1582 (Kamis) langsung masuk ke tanggal 15 Oktober 1582 (Jumat) esok harinya. Jadi hanya dipercepat sepuluh hari, padahal seharusnya 12-13 hari keesokan harinya. Lantas tahun pergantian abad (semisal: 1700, 1800, 1900) yang tidak habis dibagi 400, ditiadakan dari kabisat dan dianggap tahun biasa. Maka jadilah kelender sebagaimana terpampang di rumah-rumah kita. °

Jumat, Oktober 03, 2008

IMITASI

Sebuah Karya Kreatif Anak-anak Manusia di Muka Bumi

Oleh: Rasid Rachman

Tentu saja, manusia modern memerlukan banyak hal yang imitasi, sekalipun tidak mutlak untuk semua hal. Yang penting harus jelas, mana yang asli dan mana yang imitasi, sekalipun barang imitasi seringkali “memperlihatkan sendiri” keimitasiannya. Katakanlah: mata imitasi, gigi imitasi, rambut imitasi, tulang imitasi, kaki imitasi, jantung imitasi. Sesehari, benda-benda imitasi yang banyak gunanya tersebut selalu disebut palsu: mata palsu, gigi palsu, tulang palsu, kaki palsu, jantung palsu, padahal benda-benda tersebut jelas adalah imitasi.
Imitasi (imitatio) artinya tiruan atau contoh. Dalam fungsinya, imitasi seringkali menjadi pengganti. Sesuatu diimitasi karena yang asli tidak lagi berfungsi, hilang, atau rusak. Imitasi jelas berbeda dengan palsu. Imitasi adalah hasil karya kreatif manusia, dan banyak yang berguna bagi manusia. Bayangkan apabila tidak ada kaki imitasi atau gigi imitasi (toothlike), atau manusia tidak menciptakan kuda imitasi yang bernama sepeda motor. Setiap calon pilot membutuhkan latihan dengan menggunakan kokpit imitasi atau pesawat simulasi sebelum menerbangkan pesawat sesungguhnya ke angkasa. Demikian pula siswa sekolah menengah yang mengenal dan mempelajari anatomi tubuh manusia melalui alat peraga di kelas, yakni imitasi tubuh manusia. Rambut imitasi berguna bukan hanya bagi penampilan, tetapi juga bagi mereka yang karena sakitnya menjadi tidak berambut. Jelas, imitasi sangat berguna bagi kehidupan manusia, teknologi, dan ilmu pengetahuan.
Imitasi akan menjadi persoalan besar jika diselewengkan fungsinya. Semisal istri atau suami imitasi sementara istri atau suami tidak lagi berfungsi atau hilang atau meninggal dunia. Istilahnya, selingkuh tidak setia pun tidak.
Imitasi juga akan menjadi persoalan jika barang imitasi diperlakukan sebagai barang tulen. Misal, kaki imitasi digunakan dengan tuntutan secanggih kaki tulen tentu dapat membuat pemiliknya frustrasi. Klep jantung imitasi tentu harus digunakan terbatas pada kemampuannya sebagai imitasi. Mata imitasi tidak secantik mata asli, tentu. Selama benda-benda imitasi itu diperlakukan secara proporsional, niscaya langgeng.
Imitasi diberlakukan dalam beberapa tingkat, dari terendah hingga tercanggih. Pada tingkat sesehari, imitasi suara binatang atau alam kerap digunakan untuk kepentingan musik, drama, atau film. Dalam tingkat yang tinggi, imitasi dapat berupa kloning, baik kloning hewan maupun mungkin akan menjadi kloning manusia. Soal berterimanya kloning manusia, menurut beberapa pendapat, adalah hanya soal waktu saja.

Rabu, September 24, 2008

DI NEGERI KITA: INDONESIA

NYAWA MANUSIA SETARA BARANG PALSU

Oleh: Rasid Rachman

Barang-barang palsu kembali mencuat di negeri ini. Akibatnya, ia juga mencoreng wajah indah nan elok permai negeri jambrut di khatulistiwa ini. Daging sapi palsu karena digelondong sebelum mati dan daging ayam palsu karena digelondong setelah mati meramaikan pasar-pasar kita.
Negara kita memang negara yang kaya akan kepalsuan. Lihat saja beberapa istilah yang menunjukkan kepalsuan: “aspal” untuk asli tapi palsu, “sepanyol” (bukan Spanyol) untuk separoh nyolong, barang haram (bukan makanan), asbun untuk asal bunyi, membohongi publik, plagiat, nyontek, oplos, dsb. Semua istilah dan terminologi tersebut berkaitan dengan hasil karya tipu menipu, mengelabui, bicara asal nyecplos, dan kerja asal-asalan. Hal-hal tersebut berhubungan dengan dunia pendidikan: ijazah aspal, gelar aspal, doktor plagiat, disertasi hasil plagiat; makanan: daging gelondongan, makanan kadaluarsa, tanggal kadaluarsa palsu, zat pengawet, zat pewarna pakaian, sampah daging, telur asin palsu; obat: obat kadaluarsa; minyak: solar oplosan, oli oplosan; moneter dan dokumen: uang palsu, SIM palsu, SUPERSEMAR beda versi, manipulasi data; orang: dukun palsu, dokter palsu, polisi gadungan; dsb. Ini belum termasuk para tukang tipu yang memberi janji palsu di iklan berhadiah palsu, penipu di telepon selular, berita palsu tentang ramalan atau nubuat, janji kampanye palsu, dsb. hal ini dapat dibandingkan dengan kisah di Alkitab, ada nabi palsu di Perjanjian Lama dan pengajar palsu di Perjanjian Baru; tetapi memang tidak ada barang palsu.
Memalsukan tampaknya soal main lihai-lihaian semata, namun ujung atau akibat dari berbagai kepalsuan tersebut adalah nyawa manusia. Oleh karenanya, menciptakan suatu yang palsu jelas bukan kreativitas dan bukan seni, tetapi kriminalitas. Bayangkan saja, jika orang batuk kemudian menelan obat kadaluarsa. Bukannya sembuh, dia malah menjadi lebih parah karena keracunan obat kadaluarsa tersebut. Atau, orang dengan dana pas-pasan ingin mengadakan sedikit pesta dengan membeli daging yang memakai label murah padahal daging itu mengandung bahan kimia berbahaya bagi tubuh. Korbannya adalah sekian banyak orang yang berpesta dan makan daging tersebut. Jelas, memalsukan sesuatu adalah sebuah kejahatan. Atau, bagaimana jika dokter yang akan mengoperasi Anda adalah dokter palsu, padahal Anda baru saja tahu ketika sudah mulai dibius di kamar operasi. Belum lagi yang “kecil-kecilan”, tetapi jelas merugikan seperti dalam kasus uang palsu yang sangat besar jumlah kasusnya di negara kita.
Pada sisi lain, pemalsuan yang dibuat oleh ulah bangsa sendiri mengingatkan betapa sangat tidak berharganya nyawa manusia di negeri ini. Ternyata, negeri yang katanya ramah tamah ini sangat meremehkan manusia dan kemanusiaan. Ancaman bagi Indonesia saat ini adalah bukan serangan militer, ekonomi, dan kebudayaan dari negara luar, tetapi bunuh membunuh di antara sesama anak bangsa sendiri. Tragis! Bagi saya, membuat kepalsuan adalah laksana aborsi bagi Bunda Teresa. Bunda Teresa dari Kolkata berkata: “Banyak orang prihatin dengan anak-anak India dan Afrika yang mati karena malnutrisi, kelaparan, dsb., tetapi jutaan anak mati karena keinginan orangtuanya. Jika orangtua dapat membuang dan membunuh bayinya sendiri, apa lagi yang tersisa?” Di tempat lain ia mengatakan: “Kita takut akan perang nuklir dan penyakit baru: AIDS, tetapi kita tidak pernah takut akan pembunuhan bayi-bayi yang tak bersalah. Saya berpikir bahwa masalah terbesar adalah aborsi yang telah menjadi perusak perdamaian terbesar dewasa ini.” Jika kepalsuan terus menerus diberlakukan, niscaya bangsa kita ini akan hancur oleh ulah kita sendiri.

Kamis, Mei 29, 2008

ANTARA PERUMNAS DAN SURYA UTAMA

oleh: Rasid Rachman

Baru sekitar dua bulan saya di GKI Jemaat Surya Utama. Kata orang-orang, dibandingkan dengan GKI Perumnas-Tangerang, Jemaat saya tahun 1997 sampai 2008, GKI Surya Utama bagai bumi dan langit. Maksudnya, kedua Jemaat tersebut sangat berbeda.
Memang, beberapa hal mereka saling sangat berbeda.

Dari segi lahan:
yang satu sempit, sementara yang lain luas.
Dari segi lokasi:
yang satu di Tangerang, sementara yang lain di Jakarta Barat.
Dari segi potensi:
yang satu kaya akan kebersamaan, sementara yang lain kaya akan aktivitas.
Dari segi kekurangan:
yang satu kurang dana, sementara yang lain kurang bernyanyi.
Dari segi usia:
yang satu baru 13 tahun, sementara yang lain baru 25 tahun.
Dari segi ... ups ... tanggal pendewasaan:
mereka sama-sama didewasakan sebagai Jemaat pada 31 Oktober!

Jelas, tanggal tersebut bukan hanya tanggal yang dipilih oleh Sinode GKI Jabar (waktu itu dan tanpa disengaja) sebagai tanggal pendewasaan. Tanggal 31 Oktober juga diakui oleh dunia sebagai hari lahirnya Reformasi, sehari sebelum All Saints' Day pada 1 November; tangga; bersejarah bagi pembaruan gereja.
Kemudian saya melihat beberapa kesamaan lain di kedua Jemaat ini. Kehangatan dalam pelayanan, kebersamaan antar Pendeta, kesulitan-kesulitan dalam membina dan menjaga kawanan domba Allah, mengatur "domba-domba" yang jalan maunya sendiri, sulitnya mencari program inovatif, ringan untuk memberi perhatian dan bantuan, dsb. merupakan sebagian kesamaan yang saya jumpai.

Begitulah dinamika berjemaat:

di dalam perbedaan, kita memperoleh keragaman
di dalam persamaan, kita mengalami kebersamaan

Semoga semangat membarui terus diupayakan, dipelihara, dan ditampakkan baik oleh Jemaat Perumnas maupun oleh Jemaat Surya Utama.

Senin, Mei 19, 2008

"SELAMAT," DARI PARA EMERITUS

oleh: Rasid Rachman

Pagi ini saya bangun sebelum pukul 5. Akhir-akhir ini memang saya sering terbangun sebelum surya terbit. Mungkin karena terlalu banyak kerja dan dikejar oleh tugas-tugas yang menumpuk, dan pikiran penuh terus untuk merancang kerangka makalah, maka tanda fisik mengingatkan "cukuplah kau tidur 4 - 5 jam" malam ini. Kebetulan, karena banyak tugas-tugas membuat makalah. Saya langsung buka komputer dan mulai menulis. Saya juga diingatkan bahwa tar malam saya diteguhkan sebagai Majelis Jemaat di GKI Surya Utama.
Surprisingly, beberapa Pendeta Emeritus mengontak saya. Mereka menyatakan "selamat" atas peneguhan nanti malam. Satu dari Bandung mengucapkannya melalui SMS, dua dari Jakarta melalui telepon. Sekalian mereka menyatakan tidak akan datang nanti malam, karena satu dan lain hal. Jujur saja, sekalipun ini peneguhan saya ketiga, keiniginan untuk dilihat oleh rekan dan teman tetap ada.
"Oke Pak, oke Bu, yang penting doa-doanya," respons saya.
"Pasti, saya doakan," begitu mereka mengatakannya - satu-persatu.
Bahkan satu mendoakan saya via telepon. Menyenangkan rasanya mendapatkan ucapan selamat secara istimewa dari orang-orang yang dituakan dan telah mencapai kehormatan emeritus.
Usia pelayanan saya baru mencapai 16 tahun. Masih 14-16 tahun lagi ke depan. Sekarang baru setengah jalan, walaupun Surya Utama adalah Jemaat saya yang ketiga. Bagi saya, emeritus adalah gelar kehormatan yang luar biasa. Susah mencapainya, bahkan "apakah kelak saya dapat mencapainya?" Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi untuk menyatakan tanda kesetiaan bahwa perziarahan sebagai Pendeta diakhiri dengan baik, agar seimbang bahwa dahulu dimulai dengan perjuangan berat. Semakin lama menjalani perziarahan ini, rasanya semakin jauh dari tanda kesetiaan tersebut.
Seandainya saya mencapai emeritus seperti mereka, lantas hikmat apakah yang dapat saya tunjukkan kepada gereja dan rekan Pengerja? Para emeritus ada yang tekun dan tak jemu mengucapkan selamat ulang tahun, selamat penahbisan, selamat perkawinan, selamat ulang tahun pernikahan - itu memerlukan kesediaan yang besar.

Jumat, April 04, 2008

DI TENGAH KEMACETAN JAKARTA, SAYA MEMILIH



NAIK MOBIL SAJA!



Oleh: Rasid Rachman



"Saya memilih naik mobil saja." Begitu jawab saya apabila saat ini saya diminta memutuskan untuk bepergian ke atau di Jakarta. Saya memilih naik mobil pribadi. Alat transportasi yang dapat digunakan di Jakarta dan milik orang Jakarta dan sekitarnya memang cukup beragam, dari yang paling murah dan malu-maluin kalau ditumpangi sampai yang paling bergengsi. Ada sepeda, becak, sepeda motor, bajaj, mobil, bis dan kereta. Ada kendaraan priabdi, ada kendaraan umum. Pertanyaan, seberapakah memuaskannya atau mengecewakannya alat-alat transportasi tersebut bagi pengguna dan pemiliknya?

1. Sepeda
Ada dua jenis alat transportasi bersepeda di Jakarta, yaitu: ojek sepeda dan sepeda pribadi. Semua orang tahu bahwa sepeda adalah alat transportasi paling ramah lingkungan, nir-BBM, dan menyehatkan. Untuk jarak lebih daripada 3 km, bersepeda memang melelahkan, tetapi menyegarkan badan karena ada unsur rekreasi dan olahraga. Dengan bersepeda, kita dapat berolahraga sekaligus menuju tempat kerja. Olah raga selesai, kita pun tiba di kantor. Hanya sayangnya, tata kota dan akses antar kota di Jabodetabek tidak menyediakan sarana untuk berkendara sepeda. Para pengelola perkantoran pun tidak menyediakan parkiran sepeda yang nyaman dan aman; hingga awal tahun 1970-an, masih banyak sekolah dan perkantoran yang menyediakan sarana parkir sepeda. Para pengendaraan kendaraan bermotor pun tidak memperdulikan sepeda. Kampanye bike to work yang dilakukan oleh segelintir orang rupanya masih jauh dari penerapan masyarakat yang bersepeda untuk pergi ke tempat kerja. Sebenarnya, udara kota akan menjadi bersih apabila mayoritas masyarakatnya banyak bersepeda untuk bekerja.

2. Becak
Dalam beberapa hal, becak lebih memadai daripada sepeda. Becak dapat dimuati oleh 2 orang dewasa atau 3 anak, berpelindung panas dan hujan, transportasi yang cocok juga bagi kaum lanjut usia, anak, orang sakit, hewan, dan barang. Pada waktu banjir, becak sangat efektif untuk alat mengungsikan manusia dan sepeda motor. Bandingkan dengan ojek sepeda yang hanya dapat mengangkut 1 orang dewasa (umumnya laki-laki) di bawah ketidaknyamanan karena panas dan hujan. Sayangnya, pemerintah telah melarang becak beroperasi di Jakarta. Alasannya, tidak manusiawi.
Tanah Jakarta yang datar sangat cocok untuk sepeda dan becak, selain menjaga kebersihan kota dan mengurangi kecelakaan lalu lintas. Ketimbang angkong (ricksha), atau menutup satu lagi kesempatan masyarakat untuk mencari nafkah, becak masih jauh lebih manusiawi dan demi hajat hidup orang banyak karena nir-BBM (tanpa bahan bakar minyak). Untuk menempuh jarak 1-4 km dengan 2-3 orang, becak merupakan sarana transportasi efektif, sekalipun agak mahal.



Angkong di Kolkata, India (2003)


3. Sepeda motor
Seperti halnya sepeda di atas, alat transportasi ini pun terbagi dalam dua jenis, antara lain: ojek motor dan motor pribadi. Kelebihan kendaraan ini dibanding dengan yang lain adalah kegesitannya dan kecepatannya dibanding sepeda atau becak. Sekalipun tidak terlalu murah dan tergantung pada BBM, namun kendaraan ini jauh lebih praktis. Lalu lintas di Jakarta akan lebih lengang, namun sedikit semrawut apabila sepeda motor terlalu banyak. Juga harus dipikirkan suara knalpot motor yang nyaring yang tentu menjadi polusi tersendiri bagi masyarakat. Bagi masyarakat, harga sepeda motor relatif terjangkau bagi masyarakat menengah bawah.
Namun kendaraan ini memiliki banyak kelemahan. Pada cuaca: panas, kepanasan dan hujan, kehujanan. Selain itu, resiko celaka bagi pengemudi dan pembonceng cukup besar dan resiko kehilangan bagi pemilik motor cukup besar. Suspensi sepeda motor cukup keras, sehingga pengendaranya harus siap dibanting-banting selama berkendara dan menyebabkan badan menjadi lelah dan konsentasi melemah. Untuk menempuh jarah lebih jauh daripada 15 km, pengemudi menjadi lebih lelah. Belum lagi, pengemudi sepeda motor selalu terancam masuk angin, tersengat sinar matahari, dan kemasukkan asap knalpot kendaraan.

4. Bajaj, bemo, dan kancil
Sedikit perbadaan sarana angkutan ini dengan becak adalah kecepatannya. Namun bemo (becak-motor) lebih murah karena dapat mengangkut 7 penumpang selain supir sekaligus. Namun berbeda dengan negara tetangga: Filipina, yang melestarikan jeepney dan menjadikannya salah satu ikon kendaraan nasional, pemerintah kita justru meniadakan bemo sejak beberapa puluh tahun lalu. Hingga kini masih ada bemo untuk jarak dan rute yang sangat terbatas di Jakarta, namun jumlahnya semakin berkurang. Bemo pun semakin tidak laik jalan, karena sulitnya mencari suku cadang kendaraan tua ini sehingga terjadi kanibalisme di sana-sini.
Bajaj dan kancil sebetulnya cukup efeksif dan efisien, walaupun agak mahal dan kurang nyaman karena suaranya yang nyaring. Tahun 1970-an ada pula beberapa “saudara” bajaj yaitu: helicak, minicar, dan mobed. Namun semuanya lenyap dari bumi Jakarta. Hanya saja bajaj menjadi kendaraan terlalu besar jika hanya dimuati oleh 1 penumpang. Berbeda dengan di kota Kolkata-India, bajaj dimuati oleh 3-4 orang dengan tujuan sama dan mereka yang tidak saling kenal satu sama lain.

5. Mobil
Yang termasuk jenis ini adalah: mobil pribadi, taksi, dan mikrolet. Taksi adalah angkutan yang selalu ada, tetapi mahal. Naik mobil pribadi, apalagi jika hanya dimuati oleh 1-2 orang, juga mahal. Harga bensin yang tidak murah lagi, belum resiko terjebak macet dan lagi apes tertangkap polisi di jalur 3 in 1. Mikrolet memang murah, namun ada resiko kecopetan, kehabisan mobil tumpangan, dan keterbatasan trayek. Lagipula, penumpang tidak bebas membawa banyak barang bawaan.
Memang naik mobil pribadi mahal, tetapi masih lebih murah daripada ongkos taksi. Kendalanya: ongkosnya menjadi lebih mahal lagi jika mobil diparkir di lahan parkir seharga Rp 3 ribu/jam. Kendala lain, pengemudi ikut stres jika terjebak macet.


Taxi dan trem di Kolkata, India (2003)
6. Bis
Angkutan massal yang mudah pengadaannya adalah bis. Dibanding trem di zaman Belanda dahulu, bis lebih “praktis” karena mudah dan cepat diatur ulang trayeknya. Naik bis untuk kondisi Jabodetak saat ini adalah ideal, asal tertib berhentinya, teratur jadwalnya, aman dan nyaman di dalam tanpa copet dan pengamen, jumlah tempat duduk cukup untuk semua penumpang ke dan di Jakarta. Artinya, asal ada penambahan jumlah armada dan kendaraan yang laik jalan.
Naik bis adalah ideal, karena murah. Namun kondisi bis – kecuali Transjakarta saat ini – di Jabodetabek sangat memprihatinkan. Bukan hanya bisnya yang tidak laik jalan, kadang-kadang pengemudinya pun tidak layak mengendarai karena menjadi ancaman tersendiri baik bagi penumpang maupun pengguna jalan yang lain.
Untuk sementara Transjakarta masih menjadi primadona bis, namun ia tidak menampilkan seperti idealnya bis kota. Jumlah armadanya sedikit, jalannya mulai diserobot kendaraan-kendaraan lain, fasilitas pendukungnya pun mulai rusak dan membahayakan.

7. Kereta
Semua orang tahu bahwa alat transportasi massal dan paling murah adalah kereta. Ratusan penumpang dapat diangkut sekaligus dan cepat. Di negara-negara lain yang pemerintahnya bertindak demi masyarakat luas, kelebihan moda angkutan ini ditambah dengan lebih cepat, lebih aman, lebih nyaman, dan dijamin tersedia hingga hampir tengah malam. Sayangnya di Jabodetabek penumpang kereta ditempatkan di atas hewan ternak dalam arti sebenarnya; hewan di dalam gerbong, sementara orang di atap gerbong. Hal ini menggambarkan bahwa pemerintah tidak memedulikan kereta sebagai moda angkutan massal yang efisien. Pemerintah juga tidak memperlakukan masyakat pengguna sebagai “raja”, penambah beban. Akibatnya, jalur dan stasiun kereta tidak dimanfaatkan secara efektif. Setelah waktu pergi-pulang kerja, jalur kereta dalam kota lebih banyak kosongnya, padahal jalan-jalan lain macet dengan aktivitas masyarakat berlalu-lintas.

Pilihan masyarakat
Hasil othak-athik-athuk, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutuskan. Pertama, masyarakat Jakarta cenderung mempertaruhkan hidup manusia secara hierarkis. Misalnya: sepeda adalah kendaraan yang paling tidak dianggap; mobil pribadi adalah kendaraan yang harus selalu difasilitasi dengan berbagai kemudahan akses; di wilayah tertentu ada raja jalanan; atau naik kendaraan yang satu lebih bergengsi ketimbang kendaraan yang lain. Hierarki ini bukan sekadar gengsi, tetapi masalah keselamatan berkendara. Artinya, mobil menyenggol sepeda atau sepeda motor masih dianggap lumrah ketimbang mobil menyenggol mobil atau bis. Oleh karenanya, nyawa pengemudi motor “lebih murah” ketimbang nyawa si pengemudi sedan.
Kedua, ada pilihan antara kendaraan pribadi dan kendaraan umum. Naik kendaraan umum, sangat tergantung pada trayek, ongkos yang lebih besar, waktu-waktu operasional kendaraan, siap membuang waktu karena kendaraan ngetem, siap berganti kendaraan beberapa kali sebelum tiba di tujuan, belum termasuk resiko kecopetan, diturunkan jauh sebelum terminal, atau tidak mendapat tempat duduk. Naik kendaraan pribadi, harus membelinya. Ada yang murah tetapi terbatas jarak tempuhnya seperti sepeda, atau yang mahal asal punya cukup uang. Selain harus merawat kendaraan pribadi, kita akan susah “hati” kalau sampai kehilangan kendaraan kesayangan. Jadi kendaraan jarak jauh untuk melakukan aktivitas ke dan di Jabodetabek adalah tidak termasuk sepeda. Yang lain, oke atau masih dianggap bisa.
Pencantuman judul tulisan ini tadinya membuat saya jengah. Masak sih saya egois memilih naik mobil pribadi, sementara orang-orang lain bersusah payah naik kendaraan umum. Namun setelah saya berpikir, ternyata yang egois itu bukan hanya saya. Para pejabat dan orang-orang di atas saya juga memilih naik mobil pribadi ketimbang kendaraan umum. Apalagi, naik mobil pribadi lantas dengan pengawalan pembuka jalan sehingga bisa kebut di jalan-jalan Jakarta. Orang-orang itu bahkan tidak pernah percaya pada laporan masyarakat bahwa Jakarta itu macet, karena bagi mereka Jakarta selalu lengang.
Anehnya, orang-orang yang tidak atau belum memiliki mobil pribadi pun maunya naik mobil pribadi untuk melakukan aktivitas di Jakarta. Kalau selama ini mereka naik kendaraan umum atau sepeda motor, hal itu hanya karena keterpaksaan dan tidak ada pilihan. Kalau boleh memilih, saya sangat yakin bahwa mereka memilih naik mobil pribadi, atau minilai motor pribadi.
Dalam kondisi Jabodetabek masih seperti saat ini, saya memiih naik mobil pribadi. Enak! Tak perlu ganti-ganti kendaraan, bebas waktu untuk berjalan dan berhenti, tidak ada tukang mengamen – kecuali masalah kecil di lampu-lampu lalu lintas – nyaman dan aman sejauh tidak mogok. Memang dengan mobil pribadi, ongkos menjadi lebih mahal, tetapi naik taksi jauh lebih mahal lagi. Bahkan jika dengan naik bajaj, ongkos naik mobil tidak terlalu jauh selisihnya. Maka sangat beralasan bahwa Jakarta selalu macet, bahkan di hari libur. ©

Jumat, Februari 29, 2008

KATANYA SIBUK, TAPI KOQ DI RUMAH ...?!

oleh : Rasid Rachman

Hidup di Jemaat itu selalu serba salah. Walaupun di Jemaat kota besar semacam Jakarta, Surabaya, atau Bandung, di mana umat biasanya tidak mengurusi hal-hal tetek bengek, tetapi kesan bahwa Pendeta itu laksana tinggal di "rumah kaca" tetap saja terjadi. Tidak satu-dua orang yang hobi menyelediki kehidupan Pendetanya.
Orang awam biasanya heran dan tidak mengerti dengan pola hidup Pendeta. Jadwal kerja tidak jelas, tempat kerja bukan di kantor, waktu kerja pun tidak terbatas. Biasanya, awam yang tidak mau mengerti dengan gaya hidup ini ambil rata berkesimpulan:
1. Pendeta itu waktu luangnya banyak. Seorang aktivis pernah curhat, begini: "Saya pernah melihat buku agenda Pendeta, banyak yang kosong. Berbeda dengan orang biasa, ngantor pukul 08.00 sampai pukul 17.00."
2. Pendeta itu kerjanya cuma hari Minggu. "Sepanjang pekan selama 6 hari, Pendeta di rumah saja. Mungkin santai-santai dan tidur-tiduran."
3. Pendeta selalu bilang sibuk, padahal "Kalau saya telepon di rumahnya, selalu ada. Kalau saya bertanya di telepon 'apakah sedang sibuk', jawabnya pasti 'tidak sibuk'."

Jeneralisasi semacam ini memang sulit diklarifikasi; juga sulit dikonfirmasi siapa yang yang bicara. Idealnya, ajak orang-orang itu menempel dengan Pendeta selama sepekan. Dari bangun pagi sampai malam tiba sebelum sebelum tidur, ajak orang-orang itu untuk bersama-sama Pendeta, baik di rumah maupun di luar rumah, kemana pun dan apa pun yang dilakukan Pendeta. Saya yakin, setelah seminggu orang-orang itu akan berubah pendapat. Namun melakukan hal ini bukan perkara mudah. Alasannya, hampir tidak diketahui siapa yang berpendapat seperti 3 point di atas itu. Kebanyakan orang saling menutupi siapa yang bicara; isu semacam itu sangat umum sehingga jeneralisasi pun diterima dengan lumrah; atau tidak ada yang mengaku karena tidak begitu kuat buktinya.
Bagi Pendeta yang masa pelayanannya lebih daripada 10 tahun, mungkin sudah dapat mengatasi isu-isu semacam itu dengan tenang, atau sudah berdamai dengan masalah itu. Bagi yang baru, atau calon Pendeta, isu semacam itu tak pelak bisa membuat gundah dan menghilangnya rasa percaya diri. Bagi saya, itulah yang konsekuensi menjadi Pendeta.
Sekali waktu sekitar pukul 10, ketika saya masih tinggal di pastori yang menyatu dengan kompleks gereja, seorang anggota jemaat datang memanggil-manggil saya dari depan pintu. "Pak, ... lagi tidur ya?" Itu bukan pertama kali ia berseru seperti itu di depan pintu rumah saya. Padahal orang itu belum melihat atau bertemu dengan saya yang di dalam rumah.
Saya buka pintu depan, lantas menjumpainya. Saya katakan dengan agak kesal: "Kalau kerja saya cuma tidur sepanjang hari, maka mana bisa saya lulus sekolah seperti sekarang ini(?)" Sejak itu, ia tidak lagi melakukan seruan-seruan semacam itu.

Senin, Februari 25, 2008

PERJAMUAN KUDUS DALAM TRADISI IBADAH

GEREJA-GEREJA DI INDONESIA


Oleh : Rasid Rachman
Pendahuluan
Perayaan perjamuan kudus telah diberlakukan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia sejak penginjilan membuahkan pembaptisan umat Kristen Indonesia awal. Penginjilan kepada orang-orang Indonesia dilakukan baik oleh lembaga-lembaga penginjilan Eropa maupun orang Kristen Indonesia sendiri.
Hal tersebut membentuk kesamaan dan keberbagaian bentuk perayaan perjamuan kudus. Persamaan bentuk perjamuan kudus, yaitu: jarangnya perayaan perjamuan kudus dilaksanakan dan tekanan pada pengampunan dosa. Keberbagaian bentuk perjamuan kudus, yaitu: bentuk cawan anggur dan tata komuni. Bentuk-bentuk ini, tanpa disadari, telah berjalan puluhan bahkan lebih dari seratus tahun, yakni selama Gereja-gereja tersebut eksis di Indonesia.

I. Persamaan bentuk
I.A. Perjamuan kudus tidak dirayakan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia pada setiap kebaktian hari Minggu. Bahkan kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia cenderung meniadakan perjamuan kudus dalam kebaktian hari Minggu. Sekalipun ada perjamuan kudus, seringkali perayaannya dipisahkan dari kebaktian umum. Dalam prakteknya, perjamuan kudus hanya dirayakan beberapa kali setahun, yaitu antara 1 – 4 kali setahun.
Kurangnya atau jarangnya perjamuan kudus dirayakan bertolak dari kebiasaan historis dan sedikitnya jumlah Pendeta di masa lalu, serta jarak wilayah yang saling berjauhan (bnd Th. Van den End, Ragi Carita I, 70). Namun hal jarangnya perjamuan kudus dirayakan ini masih berlangsung hingga kini, dan dianggap lazim, sekalipun jumlah Pendeta sudah memadai (terutama di perkotaan) dan jarak wilayah relatif tidak menjadi masalah lagi.
Calvin sendiri menghendaki agar perjamuan kudus selalu dirayakan pada setiap hari Minggu (Calvin, Institutio, 250; Ch. de Jonge, Calvinisme?, 228-229). Umat harus mengambil bagian dalam perjamuan kudus. Namun keinginan Calvin tidak terwujud, karena dua hal. Pada satu pihak, Pemda kota Jenewa menolak merayakan perjamuan kudus setiap hari Minggu kecuali empat kali setahun, yaitu: Natal, Paska, Pentakosta, dan hari Minggu pertama September. Pada pihak lain, umat tidak merasa diyakinkan untuk layak menerima komuni (Ch. De Jonge, Calvinisme?, 229-230). Hal kedua ini berhubungan dengan tidak adanya ajaran dalam Calvinisme tentang sakramen pengampunan dosa sebagaimana dalam Gereja Roma Katolik.
Selain itu sejarah awal Gereja-gereja Protestan di Indonesia (sekitar abad ke-17) diwarnai oleh kurangnya jumlah Pendeta, karena semuanya diatur secara paternalistik oleh VOC (Th. van den End, Ragi Carita I, 34-35). Hal ini menyebabkan perjamuan kudus memang sangat jarang diterimakan kepada umat. Ada kalanya umat hanya menerima komuni setahun sekali, dua-tiga tahun sekali, atau bahkan tidak sama sekali.

I.B. Hingga kini perjamuan kudus belum dipahami sepenuhnya oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia sebagai sebuah perayaan. Banyak orang – juga didukung oleh teologi Gereja tersebut yang diungkapkan melalui formula perjamuan kudus yang nyaris tidak berubah sejak semula – menganggap perjamuan kudus adalah sarana pengakuan dan pengampunan dosa. Hal ini juga ditopang dengan waktu perayaannya pada Jumat Agung, bukan pada Paska.
Bahwasanya perjamuan kudus begitu menakutkan, ini memang dari tradisi Calvinisme sendiri. Jemaat-jemaat Reformasi dari Gereja Protestan di Belanda abad ke-17 cenderung menghindari perjamuan kudus. Alasannya, perjamuan kudus hanya berguna bagi orang yang (telah) dipilih Allah (paham predestinasi). Sehingga hanya umat yang merasa cukup yakin bahwa telah dipilih Allahlah, yang berani menerima perjamuan kudus (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 230).
Suasana duka masih terlihat dominan dalam perjamuan kudus di Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Suasana duka ditampakkan dengan berpakaian serba hitam dan muka murung. Selain itu, ada juga rasa takut. Umat begitu takut merayakan perjamuan kudus, sebab waktu itu adalah “waktu malaikat maut mengambil anak-anak sulung orang Mesir” (bnd. H.A. van Dop, Penuntun, “ritual yang keramat dengan efek magis,” 175). Di beberapa daerah di Indonesia, menjelang dan pada hari perjamuan kudus dilayankan, perkampungan menjadi sunyi-sepi dan pintu-pintu rumah tertutup rapat. Kalau orang batuk atau tersedak pada saat komuni, hal itu dapat dianggap tanda bencana akibat dosa (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 234). Pokoknya, perjamuan belum dipahami sebagai perayaan yang secara antusias disambut dengan kerinduan dan sukacita, melainkan dengan ketakutan akan efek magis perjamuan itu.
Beberapa Gereja di kota-kota besar pada zaman modern ini bahkan masih menciptakan suasana takut tersebut dengan meningkatkan gairah kerohanian (baca: kesalehan) umat menjelang perjamuan kudus. Misalnya, majelis mengadakan perkunjungan khusus ke rumah-rumah, censura morum (= memeriksa kelakuan), dsb. Tentu, hal-hal khusus ini menuntut pengorbanan waktu sang pelayan. Kemungkinan itulah juga alasannya mengapa gereja cenderung tidak memperbanyak jumlah mengadakan perjamuan: repot.
Menekankan censura morum atau masa uji adalah ciptaan para penginjil berlatarbelakang pietisme. Tradisi Calvinis memang membuat hal ini menjadi ketat. Hanya mereka yang betul-betul telah melewati masa ujilah yang lulus dan boleh ikut perjamuan kudus (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 233-4).
Perjamuan kudus pada Jumat Agung sendiri merupakan suatu kekeliruan sejarah; telah diralat oleh Gereja-gereja ekumenis. Rasionalisme, pietisme, dan moralisme menguasai pola pikir Gereja-gereja di Eropa pada awal abad ke-19 (H.A. van Dop, Penuntun, 177). Oleh karena mati lebih masuk akal ketimbang bangkit, maka wafat Kristus lebih “dimeriahkan” daripada kebangkitan-Nya. Pada tahun 1825, Jemaat-jemaat di Belanda mulai merayakan perjamuan kudus pada Jumat Agung – menggantikan Paska – pertama kali di kota Delft. Kebiasaan inilah yang malah menjadikan perjamuan kudus pada Jumat Agung paling istimewa.
Paruh kedua abad ke-20, berangsur-angur ada pembaruan di Gereja-gereja ekumenis, termasuk Gereja-gereja Reformasi. Perjamuan kudus kembali dirayakan pada Paska, namun itu baru terjadi di luar negeri. Hingga awal abad ke-21, beberapa Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai kembali merayakan perjamuan kudus pada Paska, walaupun masih sedikit jumlahnya. Yang sedikit itu pun tetap diliputi keraguan benar tidaknya merayakan perjamuan kudus pada hari raya Paska.

II. Keberbagaian bentuk
II.A. Umumnya, Gereja-gereja Protestan di Indonesia menggunakan satu cawan besar yang diedarkan lalu umat meminum dari satu cawan tersebut, atau cawan kecil yang dibagikan lalu setiap orang meminum cawannya sendiri. Di Indonesia – juga diberlakukan oleh beberapa Gereja di luar negeri – cara satu cawan besar dianggap “cara lama”, karena berangsur-angsur Jemaat-jemaat menggantinya dengan menggunakan cawan-cawan kecil (sloki). Cara sloki ini adalah tiada alasan lain kecuali alasan higienis.
Cara sloki ini jelas bukan cara Calvin; bukan karena anti tetapi karena waktu itu belum ada pemikiran perjamuan kudus dengan cawan-cawan kecil. Namun dapat dipahami bahwa Calvin tidak mempersoalkan hal-hal lahiriah, praktis, dan sederhana (bnd Calvin, Institutuio, 249). Yang penting dari cara satu atau banyak cawan ini adalah adanya tampilan cawan utama yang besar ketika sakramen perjamuan kudus dimulai. Cawan utama tersebut menandakan bahwa dari cawan utama itulah tertuang anggur ke dalam cawan-cawan kecil. Hal yang sama dikenakan pada roti besar yang kemudian dipecah-pecahkan.

II.B. Umumnya, Gereja-gereja Protestan di Indonesia memakai cara-cara: menggunakan meja khusus (dengan memperbesar altar) di mana kepada umat diterimakan komuni; diam di tempat duduk dan menantikan datangnya roti dan anggur; umat maju ke depan ketika menerima komuni.
Cara pertama adalah menurut kebiasaan Calvin. Perjamuan kudus dirayakan dengan memakai meja di dekat mimbar (Ch. de Jonge, Calvinisme?, 231). Meja-meja tersebut bersambung dengan altar. Idenya adalah umat duduk di sekitar meja tersebut. Hal ini menggambarkan pemahaman bahwa perjamuan kudus adalah upacara makan bersama. Dalam Jemaat dengan jumlah ratusan orang, umat bergantian maju dan duduk di meja besar tersebut, sehingga waktu yamg digunakan pun menjadi lama dan bertele-tele.
Ada pula Jemaat yang menyiapkan meja khusus (tidak besar) di depan altar. Kemudian 5-8 orang diistimewakan duduk di sekitar meja tersebut. Mereka makan dan minum bersama dengan umat lain yang tetap duduk di tempatnya. Waktu untuk perjamuan kudus memang tidak menjadi lebih lama, tetapi secara simbolis menjadi lebih ribet dan membingungkan. Sebab ada 5-8 orang saja yang duduk terpisah dari yang lain, dan ditempatkan di meja – yang lain tidak menggunakan meja – yang juga di luar altar. Ide ini sama dengan cara di atas, hanya menggunakan sistem perwakilan.
Hingga abad ke-20 cara memperbesar atau menambah meja ini dianggap oleh beberapa Jemaat besar di kota-kota tidak praktis, sehingga muncul cara lain, yakni duduk atau diam di tempat duduk; tidak ada perubahan dengan meja yang ada. Juga tidak ada perubahan dengan sikap umat selama perjamuan: duduk saja. Cara ini menimbulkan kesan miskin dan keliru simbol. Miskin, karena tidak ada gerak simbolis lain kecuali duduk. Keliru, karena umat tidak diarahkan untuk melayani, melainkan dilayani. Cara duduk ini termasuk cara yang umum diberlakukan oleh Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Entah karena alasan praktis, entah alasan ingin mudahnya saja.
Dewasa ini, perjamuan kudus kembali ke cara lama gerakan liturgis di abad ke-20, yakni umat menerima komuni dengan maju ke altar. Umat Lutheran dan Methodis, biasanya berlutut ketika menerima komuni di dekat altar. Umat Katolik dan beberapa Protestan menerimanya dengan tetap berdiri di dekat altar. Tata gerak berdiri lebih menggambarkan kesukacitaan dan ungkapan syukur dalam perjamuan kudus, ketimbang berlutut yang menggambarkan pengakuan dosa.

III. Menuju pemakaian ibadah perjamuan kudus ekumenis
Kesamaan dan keberbagaian pelaksanaan perjamuan kudus tidak mengindikasikan kemajuan berteologi. Menurut hemat kami, hal yang perlu diwacanakan adalah liturgi ekumenis. Secara praktis juga, liturgi perjamuan kudus ekumenis menyoroti hal-hal berikut, yaitu: perjamuan sebagai persembahan, perjamuan dipimpin oleh para pejabat, dan penggunaan tata liturgi ekumenis.

III.A. Dalam perjamuan sebagai persembahan, roti dan anggur (beserta hasil persembahan lain) dibawa masuk dalam prosesi persembahan; tidak diletakkan di altar sejak sebelum ibadah (L.H. Stookey, Eucharist, 118-119). Yang membawa roti dan anggur tersebut adalah umat; diwakili oleh 2-3 orang. Roti dan anggur tersebut diserahkan kepada para petugas liturgi, dan diletakkan di altar.

III.B. Pemahaman dahulu bahwa perjamuan kudus hanya dipimpin oleh seorang Pendeta, kini tidak lagi berlaku. Perjamuan kudus dipimpin oleh para pejabat (dhi. Majelis Jemaat: Pendeta, Penatua, Diakon). Oleh karena itu, setelah selesai doa persembahan, dan selama doa perjamuan kudus (Doa Syukur Agung) dipanjatkan, para pejabat tersebut tetap berdiri di belakang altar (meja perjamuan) menghadap umat. Baik juga apabila para peraya perjamuan menaikkan tangannya setinggi dada sebagai sikap berdoa (L.H. Stookey, Eucharist, 120).
Hal ini tidak salahnya apabila dicoba, walaupun beberapa orang merasa canggung pada mulanya. Namun persiapan, sosialisasi, dan pembiasaan akan menghapuskan kecanggungan tersebut.

III.C. Menurut hemat kami, tata liturgi perjamuan kudus ekumenis merupakan jalan tengah bagi penampakan teologi dewasa ini. Liturgi ekumenis dapat menjadi jawaban bagi keterlambatan pembaruan liturgi sebagaimana telah diuraikan di bagian atas makalah ini. GKJ sebagai anggota dari beberapa lembaga ekumenis dapat mengacu pembaruan liturgi perjamuan kudus pada lembaga-lembaga seazas: WCC, WARC, CCA, dsb.). °

Jumat, Februari 22, 2008

FASTING AND ALMSGIVING

By : Rasid Rachman

Christians have been in Lent season since several weeks ago. During 4o days (is counted before Easter excluded Sundays) of Lent seasons, all Christians make themselves introspection by fasting, praying, and give alms. Fasting and praying are the way to do self-control. Self-control means thinking not of themselves but others. Fasting and praying are the way to do almsgiving.
Either The Bible or Jesus in the Gospel don’t teach how to fasting. He fasted for 40 days after His baptism (Matt 4), but He didn’t teach His disciples fast. There is no instruction or law for Christian fast, but for Jews in Old Testament tradition. Jesus even said, “Can the wedding guests mourn as long as the bridegroom is with them?” On the other way He taught that His followers don’t necessary to fast, because He still with them. And He also said, “The day will come, when the bridegroom is taken away from them, and then they will fast” (Matt 9:14-17). According to this passage, there is a time to fast, but not now.
Christians get fast teaching from monastic traditions around 3rd and 5th century in Egypt. Some desert fathers fasted, but others didn’t. Abba Poemen didn’t fast, but ate only a little, so as not to be satisfied. Some monks ate dry bread and, if they found any, green herbs and water. Theon ate vegetables but only those that didn’t need to be cooked. Elias, in his old age, ate three ounces of bread in ninth hour. In his youth, he ate only once a week. Pityrion ate twice a week, taking on Sundays and Thursdays a little soup made with corn meal. Anthony (3rd century) from Egypt didn’t finish whole his bread, but only a half; a half part of his bread was for the hunger.
Until now, fasting is not a law for Christian. Therefore, fasting is private worship. Any Christians can fast as long as they like. Therefore, Church doesn’t force people to fast. Church provides guidance for Christians who want to fast, either during Lent or whole years long on Wednesdays and Fridays. Those two days are laid as fast days; Wednesday because when the Jews held the council for betrayal of Jesus; and Friday because that is when He suffered for us. Fasting in Christian tradition is for remember Christ event.
Besides, fasting is a calling for Christian to give alms. There is no fasting that aim to itself. People get surplus as a results of fast. People use that surplus to help do anything good, such as do justice, help the poor, make school for street children, etc. Our neighbors in Indonesia, Muslims give an example. During fast season, that is Ramadhan, they also do almsgiving after fasting. Also, monks from first era of Christianity gave example how they do fasting and almsgiving at the same time.

One day someone gave St Macarius a bunch of grapes, and he sent them to another brother whom he taught was more delicate than himself. Then the recipient gave thanks to God for his brother’s gift, but he likewise didn’t think of himself but of others. He sent them to someone else, and this one to the next, and thus they passed through all the cells which are scattered about in the desert far from each other, each recipient ignorant of the original sender.
According to the example of this monk story, fasting means concern to others. In Indonesian word for fasting is puasa. It comes from Sanskrit: upa (means: come nearer to) and Wasa (means: God, or The Only Almighy God from Sang Hyang Widi Wasa in Hindu terminology). So, do fasting and alms giving in the one time means we make ourselves nearer to God. We make ourselves nearer to God when we prove neighbour to others. ®


From praying to fasting
From fasting to almsgiving
From almsgiving to self-control
Self-control makes thinking not of self, but others

Jumat, Februari 15, 2008

BERSALAM-SALAMAN

Oleh: Lina Susanawati B.

Saya suka mengamati sesuatu atau melakukan suatu studi banding kecil-kecilan.
Teringat akan saat-saat merayakan Imlek pada masa kecil, ceritanya sebagai berikut:
Bila Sin Tjia tiba, pada hari tahun baru itu pagi-pagi kami sudah mandi dan berpakaian baru.
Di rumah itu ada meja abu (Hiolow, Yolow(?)) dari para leluhur. Keluarga terdiri dari engkong, ema, papi dan mami, serta anak-anak. Pada pagi Sin Tjia itu engkong adalah orang yang pertama sembahyang (pakai hio), mula-mula menghadap ke arah jalan raya, katanya sembahyang pada Tuhan, lalu sembahyang pada para leluhur di meja abu. Setelah engkong, lalu anggota keluarga yang lain bersembahyang, tetapi hanya kepada leluhur. Sembahyang pada Tuhan hanya diwakili oleh engkong. Nah, setelah semua selesai bersembahyang, barulah kami pay-pay mengucapkan Sin Tjun Kiong Hie, anak-anak pada orang tua. Acara selanjutnya adalah paytjia, yaitu kunjungan pada keluarga-keluarga untuk mengucapkan Sin Tjun Kiong Hie, mulai dari keluarga yang paling dekat dan paling tua. Ketika tiba di rumah sebuah keluarga, begitu bertemu dengan tuan/nyonya rumah, kami tidak langsung pay-pay . Tetapi kami terlebih dahulu masuk ke dalam rumah menuju meja abu untuk bersembahyang di sana. Setelah itu baru kami pay mengucapkan Sin Tjun Kiong Hie, yang lebih muda pada yang lebih tua. Begitulah yang dilakukan pada setiap keluarga yang dikunjungi. Biasanya perkunjungan selesai dalam 2 hari.

Saya teringat juga akan saat-saat lebaran, saat mana saudara-saudara muslim merayakan Iedul Fitri. Biasanya pagi-pagi mereka ramai-ramai berjalan menuju mesjid atau lapangan tempat solat Ied dilakukan. Tetapi ketika mereka saling bertemu di jalan, saya tidak melihat mereka saling bersalaman. Baru setelah solat, mereka rakai saling bersalaman.

Lain lagi dengan pengalamanku di gereja. Bila malam Natal atau hari Natal atau Paska tiba, begitu bertemu di halaman gereja, umat sudah saling bersalaman mengucapkan selamat Natal atau selamat Paska. Nanti setelah kebaktian usai, kita bersalaman lagi mengucapkan selamat Natal atau Paska. Nanti kalau ada perayaan Natal, selamat Natal lagi . . . . Lain padang lain belalang ...... Saya tidak tahu di gereja lain, seperti itu atau seperti umat lain.

*) Artikel ini dikirim oleh penulis: Lina Susanawati, kepada saya untuk dimuat di dalam blog ZIARAH KEHIDUPAN.

Senin, Februari 11, 2008

LUNAR NEW YEAR

By Rasid Rachman

Although I was born with yellow skin and slant eyes, but the political situation of Indonesia have cut me out my Chinese root. We don’t speak Mandarin, neither have Chinese name. I feel Indonesians, and I don’t celebrate Chinese New Year. Only in our parent family in our childhood, during New Year, we regarded happy New Year to each other. Therefore there was no special rite, custom, or everything that showed that this is our New Year. Shortly, we don’t feel as Chinese in culture.
On the other way, we say that we don’t know how to celebrate Chinese New Year. Yes, we cook special food on Chinese New Year such as bandeng (milkfish), as well as we do on other festivals, such as on Idul Fitri or Christmas, only for our family. But we don’t do other things that related to celebration, custom, or rite. Not only Indonesian-Chinese don’t know how do celebrate, but many Indonesians don’t know what the Chinese New Year is as well. Many Indonesians couldn’t distinguish Chinese New Year (the Imlek) and Moslem Idul Fitri (the Lebaran). They made similarly Chinese New Year and Chinese Idul Fitri (or Lebaran Cina). They also called similarly basket taffy (kue keranjang) and dodol (kinds of taffy made of sticky rice, coconut milk, and palm sugar). Chinese New Year was the strange thing in the past of Indonesia.
Time has changed. Few years ago, when our past Presidents proclaimed the Chinese New Year as a national festival and holiday, everybody in this country openly celebrate Chinese New Year. Everybody, both Chinese descendent or not, have been freely celebrating Chinese New Year since 2001. Radio and television broadcast the festival and custom with red color, costumes, songs, films, accessories, and arts. Everything becomes Chinese cultural during Lunar New Year. But I don’t. Why?
Chinese New Year is a cultural festival. That is not religion or national celebration. According to the political situation and condition that I had had received in the past, Chinese New Year is a strange festival for me now. Somebody sometimes greets me: “Happy Chinese New Year,” and I usually say: “To you too,” while shaking hand or answering short message sender (the SMS) and email. It means, he/she reminds me that he/she celebrates Chinese New Year and I give him/her all good wishes. ®

Sabtu, Februari 09, 2008

SELALU (ADA HAL) UNIK



Oleh: Rasid Rachman

Di tengah hal-hal biasa, selalu saja ada hal-hal unik di dalam hidup berjemaat. Terutama menyangkut manusia, tetap ada inspirasi, gugahan, ide-ide, gejolak, atau bahkan konflik yang ujung-ujungnya menghantar saya sampai ke refleksi: hari ini saya memperoleh satu lagi hal baru. Hal tersebut dimungkinkan karena perjumpaan dengan berbagai macam orang.
Ada yang tidak bisa (alih-alih: tidak mau) beribadah hanya karena gereja kami panas, tidak ada AC-nya. Anak atau bayinya selalu gelisah selama kebaktian karena gerah, katanya. Tetapi untuk syukuran, ia selalu meminta gereja kamilah yang melayaninya. Ketika anggota keluarganya sakit, pertama dan tercepat pihak yang dihubungi adalah gereja, minta dilawat.
Ada yang datang ke gereja bukan kebaktian hari Minggu, melainkan hari-hari kerja biasa. Kebaktian hari Minggunya di gereja lain, tetapi untuk berdoa ketika bergumul atau hendak bertemu klien “numpang” di gereja kami.
Ada yang jarang sekali datang ke gereja kami, padahal ia adalah anggota. Mungkin hanya 1 kali setahun atau dua tahun. Kami tahu dia selalu beribadah di satu gereja. Kalau datang ke tempat kami, dia mengeluh bahwa gereja kami itu adalah gereja yang paling cocok dengan dia: dekat, waktunya pas, tidak bertele. Sementara gereja yang dikunjunginya secara rutin itu sama sekali tidak baik untuk dirinya: jauh, harus naik ke lantai 3 dengan tangga, dan tidak saling kenal. Ajaibnya, dia tetap menjadi pengunjung gereja itu selama hidupnya.
Ada juga yang “hobi” keliling gereja di wilayah kami. Minggu ini ke gereja A, Minggu depan ke gereja B, Minggu lain ke gereja C, begitu seterusnya sepanjang tahun. Semua gereja dikunjunginya. Dengan demikian, ia menjadikan dirinya tamu di gereja mana pun, termasuk di gereja kami di mana ia menjadi anggota. Apakah kriteria ia ke gereja-gereja itu? Kriterianya: asal menguntungkannya. Istilah saya: ngelaba. Ia datang ke suatu gereja di mana sedang berlangsung acara, termasuk kebaktian hari Minggu, yang menguntungkan dirinya.
Dalam kehidupan berjemaat, unik dan menyebalkan itu berada pada wilayah abu-abu. ®

Jumat, Februari 08, 2008

“T” VERSI SATU

Oleh : Rasid Rachman

“T” itu berwajah “ga enakeun”, kata orang Bandung. Wajah tertekuk, badan besar-bulat, berkacamata, dan tidak pernah senyum. Dia orang tua, pensiunan. Saya melihatnya pertama kali waktu saya pimpin ibadah; dia di bangku umat. Langsung saya terkesan dengan “ga enakeun” dipandang itu. Seperti wajah cantik itu enak dipandang, wajah sebaliknya pun menarik untuk terus dipandang. Yang biasa-biasa saja malah ga enak dipandangi. Saudara “T” ini termasuk yang kedua.
Kesan saya, orang ini tidak asik untuk diajak bicara, suka menekan, sadis, dan banyak usul. Apalagi untuk menjadi teman di Jemaat, akan menimbulkan siksaan. Mulitnya yang kecil, bibirnya tipis, kepalanya bundar, berkaca mata dengan gagang hitam. Bukan tipe ideal untuk curahan hati. Juga bukan tipe orang baik-baik. Pokoknya, saya berusaha untuk tidak bicara dan berkenalan dengannya.
Sebagai pensiunan, ia memiliki banyak waktu luang. Saya sering melihatnya di kantor gereja kalau siang hari. Tetapi saya tidak pernah melihatnya menghadiri acara-acara resmi gereja pada malam hari. Untung juga, saya akan jarang berkesempatan berkenalan dengannya.
Sekali waktu saya berpapasan dengan “T” di pintu kantor gereja; saya baru masuk, “T” hendak keluar. “Syukurlah,” pikir saya. “T” melihat saya, saya cukup mengangguk saja, terus menyelinap masuk ke dalam, berpura-pura sibuk dengan urusan lain. “T” pasti tahu saya, tetapi saya pura-pura tidak kenal dia. Memang saya tidak mengenalnya.
Beberapa waktu kemudian kami berpapasan lagi di tempat yang sama. Kali ini dia menyapa: “Apa kabar, Sid.” Sungguh, baru sekali itu saya mendengar suaranya. Halus, menyejukkan, penuh simpati. Namun saya bergetar disapanya. Bukan karena suaranya yang menyeramkan, namun karena prapaham saya tentang dia yang menyeramkan itu ternyata sangat berbeda dengan aslinya. Kata orang-orang, “T” itu orang yang baik, simpatik, suka menolong, dan tidak membuat-buat kalau memberi perhatian. Itulah yang membuat saya bergetar. °

BIOPORE






By : Rasid Rachman

We just made biopore-hole at home. Biopore-hole is a trying to make soil fertile by digging a ten centimetre middle line of hole. People make biopore-holes on land or in garden around habitat or city garden. You could make the distance among one hole to another each 100 centimetre. The aim of making biopore-hole is to loosen soil in order that rain-water could easily get into soil. Yes, this is about environment.
We are concerning to the flood problem around Jakarta nowadays and nature damage, we are concerning to recycle the organic rubbish to be a compost, and we are gardening as well. We are satisfied that from our small house and small garden could make ourselves involve in green campaign.





We are really aware with the benefit of biopore. That’s why we encourage digging some holes. Not only my wife and I, but our mother employee also love drill some new holes by our biopore-drill. She even has finished more holes than we have had. After finished one hundred centimetre of biopore-hole, we put one small chamber plantation at top of the hole to just in case nobody accident.
The biopore-hole are contented by us with organic rubbish every day. After three weeks, the rubbish will become compost. You could use compost to fertilize your plantation. Some other people even create compost to be their rice-winner. We get some benefits of biopore-holes, such as decrease rubbish from our kitchen, green environment, fertilizer soil, and hopefully no more flooding. ®

Kamis, Februari 07, 2008

JENDELA KACA


Oleh: Rasid Rachman

Selain arca Bunda Maria, hal unik lain di dalam kapel Gedono adalah jendela kaca. Ada dua, bulan dan besar-besar. Yang satu di sisi Timur dan yang lain di sisi Selatan; keduanya terletak tinggi di atas panti imam. Kedua kaca itu adalah painted-glass, yakni kaca dengan semprot cet. Tentu mahal harga cet kaca itu.


Dari arah umat, yakni jendela kaca di sisi Selatan, bewarna ungu kecoklak-coklatan. Dari arah komunitas, yakni jendela kaca di sisi Timur, terdiri dari berbagai warna seperti pelangi. Menurut Suster Martina, OCSO, ungu menyimbolkan kekelabuan, pergumulan, duka, muram, dan suram. Dengan kesuraman, umat menghadap Tuhan, berkumpul di sekitar altar. Warna-warni: biro, jingga, coklat muda, dsb., menggambarkan keceriaan, dinamika kehidupan, dan pengharapan. Komunitas menghayati hidup monastik secara indah dalam persekutuan.
Kedua jendela kaca tersebut menimbulkan kesan sangat indah selama berlangsung ibadah pagi (Laudes) ketika matahari terbit. Melalui kedua jendela besar yang tinggi di atas itu, sinar surya pagi masuk ke kapel, langsung menyinari altar, laksana kemuliaan Tuhan turun menyapa umat. Kehadiran-Nya dalam rupa sinar surya menciptakan kesemarakan ibadah sebelum mulai bekerja rutin.

Ibadah merupakan tampilan kesan keindahan dan keagungan Tuhan. Setiap kali pergi meninggalkannya, umat akan rindu untuk kembali mengalaminya.

“N”

Oleh : Rasid Rachman

“Halo,” begitu suaranya di telepon. Suaranya agak serak, rendah, dan seperti orang yang malas bicara banyak.
“Begini Romo,” jawab saya, “maksud saya menelepon adalah bla, bla, bla ....”
“Dari mana kamu tahu nama saya?” lanjutnya.
Itulah awal kontak saya dengan Romo “N”, di telepon.
Dia seorang yang introvers, menurut kesan saya. Ruang pribadinya di Komisi Liturgi KWI, terpencil. Ruang Komlit sendiri tidak terlalu kecil. Di situ ada beberapa ruang: ruang depan untuk menerima tamu, ruang administrasi, perpustakaan, dan ruang pribadi Direktur Komlit. Romo “N” bekerja dan mengatur ini-itu di ruang Direktur Komlit itu, sendiri. Di dalam ruang pribadinya itu ada sofa, meja kerja, dan televisi. Romo “N” kebanyakan berada di dalam ruang pribadinya itu. Jarang keluar. Ia keluar sebentar untuk menyambut atau menghantar tamunya. Lalu, masuk dan bekerja lagi di dalam.
Beberapa kali saya melakukan bimbingan skripsi di ruang itu. Kami berbicara di sofa, buka di meja kerja. Setelah beberapa waktu lamanya berkenalan, Romo adalah seorang yang enak diajak bicara. Bicaranya ceplas-ceplos, apa adanya, tegas, tetapi bersahabat. Namun, tetap saja kedalaman ilmunya tidak akan kita pahami hanya dengan beberapa kali bertemu. Kedalaman ilmunya semakin jelas ketika ia membaca dan memberi komentar sebuah tulisan. Atau, ketika ia menulis dengan topik yang menarik dan bahasa yang lugas. Ciri-ciri seorang introvers di dunianya.
Keterpencilannya itu memberikan kesan kepada saya akan bidang ilmunya: liturgi. Bahwasanya, ia mengidentifikasi dirinya dengan ilmu tersebut sebagai ilmu teologi yang terpencil. Sebagaimana banyak orang tidak terlalu (mau) mengenal ilmu liturgi, demikian pula Romo “N” yang tidak dikenal di antara para teolog yang tidak menekuni liturgi sebagai bidang utama. Saya kira, para teolog liturgi itu hanya dikenal dalam lingkungannya sendiri. ©

“E” VERSI DUA

Oleh : Rasid Rachman

“E” itu orang baik, pintar, dan halus budi. Pengalaman hidupnya cukup banyak dan beragam, tetapi ia tetap rendah hati. Orangnya low profile, alias ga memperlihatkan kepandaiannya. Dia pernah bekerja di beberapa tempat, namun muaranya yang terakhir adalah dosen Perjanjian Lama dan bahasa Ibrani di STT Jakarta, almamaternya. Saya kira, dia menikmati pengabdiannya sebagai dosen itu, selain sebagai Pendeta di gerejanya.
Selain anaknya lahir bertepatan dengan ulang tahun saya, “E” juga seorang yang enak dan nyaman diajak bicara. Bicaranya tiadk meledak-ledak, tetapi penuh terisi kata-kata bermakna. Selama berbicara dengannya, lawan bicara tidak merasa digurui atau diredahkan. Ia menempatkan diri setara dengan lawan bicaranya. Sekali waktu, ketika kami sedang berbincang di kantin STT, seorang mahasiswa menyela kami.
Mahasiswa itu berbicara kepada saya: “Pak, tiga kuliah kemarin itu tidak diberi nilai. Percuma dong.” Waktu itu saya memang baru saja menggantikan kuliah dosen yang berhalangan. Hanya tiga kali saya memberi kuliah di kelas mahasiswa tadi.
“Semua hal yang pernah kita pelajari, apalagi di dalam kuliah, tidak ada yang percuma. Nilai seorang mahasiswa bukan hanya karena sejumput angka di atas secarik kertas. Kuliah jangan dilakukan jika hanya untuk mendapat sejumput angka nilai,” jawab saya kepada mahasiswa itu.
Rupanya, “E” terkesan dengan jawaban itu. Dia menimpali saya: “Betul Sid, seharusnya mahasiswa menyadari bahwa dalam mempelajari sesuatu ia tidak tergantung pada ada atau tidak adanya angka nilai di kertas.” Sepertinya “E” ingin mengatakan bahwa mencintai ilmu itu jauh lebih utama ketimbang mengejar nilai “A” atau “B”. Kualitas seseorang tidak tergantung atau ditentukan pada angka-angka tersebut, tetapi pada kesukaannya terhadap ilmu yang ditekuninya.
““E”, kau benar.” ©

“E” VERSI SATU

Oleh : Rasid Rachman

Pemuda "E" (21) yang biasa-biasa ini memberikan kesan istimewa bagi saya, dan membekaskan pengalaman mendalam dalam hidup menggembala jemaat. Hal itu dimulai pada akhir Desember 2001 dan awal Januari 2002. Atau tepatnya, pada menjelang akhir hidupnya, “E” memberi kesan sangat mendalam.
Sakitnya sudah beberapa bulan sebelumnya. Dari perawatan di Tangerang, Jakarta, akhirnya dibawa ke Yogyakarta. Awal Desember, saya terdorong sekali untuk menghubunginya via SMS. Jawabnya: “Pak, saya sudah baikan, akan pulang menjelang Natal.” Legalah hati saya.
Natal ia tidak pulang. Malam, 30 Desember, SMS masuk dari beberapa umat. “Pak, segera ke Yogya atau utus jemaat supaya berdoa bagi “E”,” inti SMS beberapa umat itu. Malam itu saya tidak tenang tidur. Sejak pagi saya mulai atur supaya saya bisa pergi ke Yogya besok, 1 Januari, setelah ibadah Tahun Baru. Namun akhirnya, saya dimungkinkan berangkat 1 Januari pukul 04.0; MJ mendapat pengganti saya untuk memimpin ibadah.
Sebelum malam, saya siapkan tas untuk ke Yogya, termasuk kemeja yang biasa saya gunakan untuk ibadah. Semuanya masuk ke mobil. Setibanya di gereja untuk ibadah Tutup Tahun, Yoseph mengatakan bahwa mereka siap berangkat setelah ibadah malam ini. “Lho, bukankah tadi pagi kita sepakat berangkat besok subuh? sanggah saya. Memang, sebetulnya malam ini pun saya sudah siap berangkat. Yoseph, Bowo, Sukardi, dan saya, berangkat pukul 22.00 itu. Saya merasakan: didorong berangkat lebih cepat.
Tiba di Manisrenggo pukul 10.30 pada 1 Januari 2002. Kami berbincang sebentar dengan “E”, nyanyi-nyanyi lagu Natal dengan 10 eksemplar Kidung Jemaat yang sengaja kami bawa, berdoa, lalu pamit untuk pulang ke Tangerang.
Namun kami (harus!) tidak langsung pulang, karena diminta mampir di Wonosari dan Yogyakarta. Beberapa keluarga meminta kami untuk mampir ke rumah mereka. Akibatnya, kami bermalam di Yogya. Saya merasakan: ditahan lebih lama di Yogyakarta untuk tidak segera kembali ke Tangerang.
Ketika kami di Magelang dalam perjalanan pulang, 2 Januari pagi, masuk telepon dari Tangerang. Kami diminta kembali ke Manisrenggo. Tiba, “E” sudah berpulang. Saya merasakan: Tuhan telah memberikan kesempatan pada kami untuk berjumpa “E” di saat terakhirnya kemarin. ©

ASH WEDNESDAY






Rasid Rachman

Tonight, February 6th 2008, was the second time for my congregation celebrated Ash Wednesday. The first was last year, 2007. After sermon, people made a sign of cross on forehead with ash. Tonight, we celebrated with a little elaboration. Besides more people came, we celebrated the eucharist as well. I served sermon and my colleague, Rev Suryatie Ambarsari, led the euharist. Two pastors led one celebration. It was not something new for me, but for the people. They watched both of us led the celebration, and it was Ash Wednesday.



Most Protestant Churches in Indonesia don’t celebrated Ash Wednesday. They don’t know what Ash Wednesday is, how to celebrate it, or even when celebrate it as well. According to their knowledge that they get from the past, Ash Wednesday belongs to the Roman Catholic liturgy. Only Roman Catholic celebrates Ash Wednesday in Lent.
At the beginning of 21st century, some Protestant Churches in Indonesia started open their mind. The complicated traditions of liturgies do not only belong to the Roman Catholic, but also belong to them. Some of them celebrate some new style of liturgy, such as Ash Wednesday, Maundy Thursday, Palm Sunday, Christ the King, etc. But most other Protestant Churches still in their way of worship.
In the year of 2007, when we celebrated Ash Wednesday for the first time, some people fell weird. People needed socialization some weeks before. Elders had to inform what it is and how to do that. They provided the readings about Ash Wednesday and Easter. Even organizer had to know how to get the ash and people had to be known how sign ash on their forehead with thumb. I had to make myself comfortable because everybody thought I know everything to do that.
Tonight we finished Ash Wednesday safely. There was only once reading about Ash Wednesday, but no other practical information at all as we did last year. Hope, next year and the years to come, we celebrate Ash Wednesday in consciousness that it belongs to us as a Christians who begin the Lent. ©

Rabu, Februari 06, 2008

ARCA MARIA BERBUSANA KEBAYA

Oleh: Rasid Rachman

Salah satu yang khas dari biara Gedono adalah arca Bunda Maria. Begitu masuk ke dalam kapel, langsung terlihat pampangan arca Maria berbusana kain kebaya ala Jawa itu terletak di kapel. Rambut di kepalanya dikonde, lalu ia menggendong Bayi Yesus dengan kain gendongan yang dililitkan di pundaknya.









Suster Martina, OCSO mengisahkan kepada saya bahwa arca Bunda Maria menggendong Bayi Yesus itu dibuat setelah pemahatnya retret di Gedono selama 1 pekan. Arca terbuat dari tanah liat. Ketika pewarnaan, warnanya sama dengan warna lantai kape, kecoklat-coklatan mirip warna tanah liat. Hal ini menggambarkan kesehajaan seorang Maria.
Posisi tangan kanan Maria yg terbuka sebagai tanda ia menunjukkan kepada Yesus akan dunia, dan keterbukaannya bagi dunia untuk melihat Yesus. Memang, yang pertama dilihat oleh orang (dhi. Komunitas Gedono saja, karena arca tersebut menghadap ke area komunitas) adalah Sang Bayi itu. Yesuslah fokus dari arca tersebut.
Sebetulnya tidak seorang pun berkehendak Maria mengenakan busana Jawa. Namun, ketika perundingan terakhir yang dihadiri oleh seluruh komunitas untuk menilai dan memberi catatan tentang arca tersebut, semua orang dengan terkagum-kagum memandang Bayi Yesus dalam gendong Maria, lalu melihat wajah Bunda Maria. Memang akhirnya, tidak seorangpun yang mempersoalkan busana Maria.
Jika dilihat ruang ibadah, posisi Maria terlihat tidak terlalu lebih tinggi daripada posisi para rubiah. Hal ini mencerminkan bahwa Maria ikut berdoa bersama komunitas selama ibadah harian. Spiritualitas terlahir dari konteks. ©

BEKERJA ALA MONASTIK

Oleh : Rasid Rachman

“Suster sekarang sedang mengerjakan apa di biara ini?” tanya saya kepada Suster Paula, OCSO. Kala itu kami berkesempatan berbincang di ruang tamu. Tidak ada lagi grata seperti biara Abad-abad Pertengahan. Perbincangan kami hanya diantarai oleh sebuah meja pembatas. Saya bertanya hanya sekadar ingin tahu dengan cara apakah dan bagaimanakah para suster mengisi hari-mari mereka di dalam cloister di luar waktu ofisi.
“Saya membersihkan sarang laba-laba. Saya mendapat tugas dari Abdis,” jawabnya biasa-biasa saja.
“Oh, begitu. Seluruh rumah biara? Berapa lama suster dapat menyeselsaikannya?” saya bertanya kembali. Setahu saya, rumah biara itu begitu luas, tembok dan langit-langitnya tinggi, dan saling berjauhan antara antara satu ruang dengan ruang lain. Sementara itu, masih banyak bagian dari rumah biara itu yang tidak saya ketahui.
“Tidak ada target. Tugas yang diberikan kepada saya adalah membersihkan tembok biara. Lantas, saya membersihkannya terus menurut jadwal kerja harian, sampai bersih atau sampai mendapat tugas baru untuk mengerjakan yang lain lagi” begitu ia menjelaskan.

Dalam disiplin spiritualitas, hidup dengan segala sendi-sendinya adalah ziarah. Bekerja dengan tujuan, namun tanpa target. Tidak ada momok “kejar tayang” dan diburu waktu. Manusia tidak diperbudak oleh waktu, tetapi baiklah mengisi hari-harinya dengan bekerja dan berdoa, belajar dan makan, lantas memaknainya. ©

Minggu, Februari 03, 2008

SUSUNAN PM-GKI


Oleh : Rasid Rachman

Hingga 2-3 tahun setelah dilembagakan, susunan program dalam organisasi Majelis Jemaat adalah sebagai berikut:
1. Sarana-Prasarana
2. Pembinaan
3. Oikumene-Masyarakat
4. Kebersamaan

Susunan tersebut berbeda dengan prinsip Program Menyeluruh Gereja Kristen Indonesia (PM-GKI) yang menelurkan kegiatan Jemaat menurut bidang-bidang. Menurut buku PM-GKI, urutannya adalah sebagai berikut:
1. Oikumene-Masyarakat
2. Kebersamaan
3. Pembinaan
4. Sarana-Prasarana


Dengan penasaran saya bertanya-tanya. Eh, ternyata dasar pembidangan tersebut adalah berdasarkan inisial huruf S-P-O-K. Apakah dasar S-P-O-K tersebut? Mengapa bukan K-O-P-S supaya alfabetis?
Saya mengetahui S-P-O-K sewaktu mendapat pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dahulu kala. Dugaan saya, jangan-jangan Jemaat Perumnas memang terpengaruh dengan sistem Subjek-Predikat-Objek-Keterangan dalam bahasa Indonesia itu. Dugaan ini meleset, sebab seingat saya tidak ada lagi yang ingat pelajaran Bahasa Indonesia waktu SMP. Hingga kini, kecuali karena warisan, saya tidak tahu dari mana datangnya SPOK-nya GKI Perumnas-Tangerang tersebut. Wahahualam. ©

JANGAN DUDUK DEKAT PENDETA


Oleh : Rasid Rachman

Entah siapa yang memulai dan mengajarkan dengan menakut-nakutkan, umat di GKI Perumnas-Tangerang tidak mau duduk dekat saya. Hal ini berlaku juga bahkan bagi anak-anak. Ibu-ibu mereka akan menyuruh mereka pergi menjauh kalau saya duduk dengan mereka dalam satu acara, sekalipun anak-anak itu sudah duduk di situ lebih dahulu daripada saya.
Menurut mereka, hal tidak duduk dekat Pendeta itu menunjukkan sikap segan dan hormat. Tetapi menurut saya, hal itu merupakan bentuk penindasan kepada anak, tidak mendidik, dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi saya. Mirip-mirip pelecehan. Seolah-olah saya sedang mengidap penyakit yang mahaberbahaya karena muda sekali menulari orang-orang sekitar, sehingga harus dijauhi.

Terutama untuk anak. Kita harus mengatakan bahwa tidaklah benar anak-anak diteror dengan ketakutan pada seseorang atau sesuatu yang jelas tidak berbahaya. Apabila nakal, anak sering diteror “ditangkap polisi” atau “disuntik dokter atau “dipelototin pendeta”. Penanaman ancaman tanpa dasar tersebut jelas tidak sehat. Jelas, orang tua telah berbohong kepada anak. Selain itu, orangtua akan kesulitan sendiri apabila sekali waktu anaknya perlu berurusan dengan dokter, misalnya.
Untuk kasus saya, tindakan menjauhi saya menimbulkan kesepian di tengah keramaian. ©

Jumat, Februari 01, 2008

NAMA SUAMI-ISTRI

Oleh : Rasid Rachman

Percaya tidak percaya bahwa sebagian besar umat GKI Perumnas Tangerang menikah dengan pasangan yang bernama ”sama”. Pak Agus menikah dengan Bu Agus, Pak Budi menikah dengan Bu Budi, Pak Santi menikah dengan Bu Santi. Eee...h, contoh yang terakhir itu memang tidak ada di Perumnas. Semua nama mereka berjenis maskulin. Sekalipun senang karena meringankan 50% “beban” mengingat nama-nama umat, saya tetap berusaha mengingat dan mencari tahu nama kecil dari istri-istri tersebut.
Ternyata nama kecil ibu-ibu itu cukup baik dan keren. Ada Santi, Vony, Yulia, Sri (ini yang paling banyak di Perumnas-Tangerang), Monika, dsb. Namun di gereja, nama-nama bagus itu “tertutup” oleh nama suami mereka. Hal itu berlaku bukan hanya di dalam penyebutan, tetapi juga dalam tulisan atau cantuman nama di papan. Hanya ajaibnya, ketika memperkenalkan diri ke Jemaat-jemaat lain – waktu itu masih ada program pertukaran KW ke kebaktian-kebaktian wanita se-Klasis – ibu-ibu itu memperkenalkan diri dengan nama kecilnya sendiri, bukan nama suami. "Saya Ibu Sri," atau "Saya Ibu Yulia dari GKI Perumnas-Tangerang."
Sewaktu kami baru tiba di Jemaat Perumnas tahun 1997, istri saya diminta memperkenalkan diri.
“Silahkan Ibu Pendeta perkenalkan diri,” undang personalia Komisi Wanita waktu itu.
Istri saya berdiri, maju. “Nama saya Melinda; saya bukan Ibu Pendeta.” kata istri saya mengawali perkenalannya di persekutuan wanita itu.
Sejak itu semakin lazim ibu-ibu menyebut nama kecilnya. Namun ada juga pihak-pihak yang tetap tidak rela menerima itu, yakni beberapa suami. Kadang-kadang terdengar gumam mereka: “Istri saya koq masih menggunakan nama kecilnya, padahal sudah kawin sama saya lho” atau “Istri Pendeta memelopori para ibu menggunakan kembali nama kecil,” dan sebagainya.

Untung waktu itu, Presiden kita tidak disebut Ibu Taufik, melainkan Ibu Megawati. ©

JAM NGARET




Oleh : Rasid Rachman

Entah karena namanya: GKI Karet, entah memang “dari sononya”, Jemaat ini memang Jemaat ngaret. Hal ini telah terjadi sejak sebelum saya masuk pada tahun 1997. Sekali waktu saya pernah melayani persekutuan pemuda tahun 1996. Undangan untuk pukul 18.30, saya tiba pukul 18.00, mulai pukul 19.00 – itu pun setelah didesak dan diancam “saya pulang”. Pokoknya, jika dalam warta tertulis pukul 18.00, itu berarti acara dimulai pukul 18.30 atau bahkan pukul 19.00. Kebaktian remaja tertulis pukul 15.00, mulai pukul 15.30 setelah para remajanya dipanggil dan diingatkan.
Pada awal saya masuk, dan ketika beberapa aktivis tahu bahwa saya adalah orang yang tepat waktu, mereka membuat akal-akalan baru. Waktu di warta dibuat berbeda dengan waktu di surat permintaan kepada saya. Misalnya, di warta tertulis pukul 09.00, surat konfirmasi kepada saya pukul 09.30. “Yang penting, bapak tidak menunggu,” kilah mereka. Namun saya tidak menerima taktik semacam itu, karena jangan-jangan jemaat tahunya sayalah yang terlambat tiba di gereja sehingga acara terlambat dimulai. “Saya mengikuti waktu yang tertulis di warta,” begitu saya bilang.
Lambat laun keadaan ini berubah menjadi lebih baik. Acara dimulai sesuai dengan yang diwartakan dan tepat waktu. Hasilnya, beberapa orang yang dulunya agak segan mengikuti acara di gereja karena ngaret, kemudian mulai datang kembali. Acara apa pun dimulai dengan seberapa pun orang yang telah hadir. “Setiap orang yang terlambat datang ke gereja, punya alasannya sendiri. Kita tidak perlu menunggu mereka. Tetapi kita harus lebih menghargai mereka yang datang sebelum waktunya,” begitu penjelasan saya.
Disiplin pada waktu bukan hanya soal kerapihan organisasi dan kematangan spiritualitas, tetapi juga merupakan penghargaan terhadap manusia. ©

GKI KARET?



Oleh : Rasid Rachman

Baru saya ketahui bahwa surat pelembagaan (dh pendewasaan) Jemaat ini adalah GKI Perumnas-Tangerang. Namun selama ini, sejak saya masuk tahun 1997 hingga kini, nama yang populer adalah GKI Karet. Dahulu, saya juga terbiasa menyebutnya GKI Karet. Namun nama itu selalu menimbulkan masalah. Banyak orang keliru bahwa saya adalah Pendeta GKI Karet Belakang (Sudirman) yang kebetulan usia pelembagaannya cuma berbeda seminggu dengan GKI Perumnas-Tangerang. Oleh karena itu, saya selalu menyebut Jemaat ini dengan GKI Perumnas-Tangerang.
Soal nama GKI Karet itu, seseorang anggota jemaat menyadarkan saya. Ceritanya begini. Jemaat ini punya “tradisi” memperlambat hampir setiap waktu acara. Kalau tertulis di warta jemaat pukul 18.00, maka itu berarti acara dimulai pukul 18.30 atau bahkan 19.00. Suatu saat seorang anggota jemaat berkata: “Namanya sih GKI karet, makanya ngaret terus.” Sejak itu saya berusaha mengkonsistensikan waktu acara dengan pewartaan.
Sekarang, baik anggota jemaat maupun klasis dan sinode tahunya Jemaat ini adalah GKI Karet. Karet adalah nama jalan untuk Jemaat ini. Orang-orang berpegang pada ketentuan Tata Gereja GKI bahwa nama Jemaat diambil sesuai dengan nama jalan, bukan wilayah. Kalau sebut GKI Perumnas-Tangerang, malah didengar asing karena tidak lazim. Selain itu, nama GKI Perumnas-Tangerang juga kurang resmi bagi GKI. Rasanya hanya saya yang bertahan menyebut GKI Perumnas-Tangarang, bukan GKI Karet. Alasan saya: ketimbang menjadi momok jam ngaret terus alias ga tepat waktu, lebih baik memperbaiki citra dengan mengubah nama. ©

Jumat, Januari 11, 2008

MISTIK DALAM KEKRISTENAN


IMPLIKASINYA DI GKI

Oleh: Rasid Rachman

I. Mistik dan “mistik”: terminologi
Terminologi antara mistik dan “mistik” seringkali dirancukan oleh awam dalam kehidupan bergereja. Beberapa kalangan Kristen seringkali memahami istilah “mistik” sebagai hal-hal gaib. Sementara, pada pihak lain, terminologi mistik telah ada sejak awal dalam sejarah gereja. Untuk uraian ini, “mistik” gaib tidak dibahas. Uraian ini akan memaparkan mistik (yang sejati) dalam sejarah gereja dan implikasinya di zaman sekarang. Setelah uraian mistik dalam sejarah gereja, akan kita lihat bersama seberapa dalam atau ceteknya unsur-unsur mistik berpengaruh dalam Gereja Kristen Indonesia.

II. Mistik dalam sejarah gereja
Mistik berhubungan dengan upaya manusia menghayati tujuan hidup keagamaannya. Untuk mencapainya, seseorang menggunakan pelatihan atau askese. Oleh karena itu mistik hampir selalu dikaitkan dengan asketik personal atau pelatihan seseorang agar bersatu dengan Tuhan. Kebersatuan atau keintiman dengan Kristus menjadi tujuan mistik Kristen.
Dalam pelatihan tersebut seorang asket berhubungan, berjumpa, dan mengalami kesatuan dengan Kristus. Pengalaman berjumpa Kristus itu dilatih melalui doa, bermazmur, bermeditasi (merenungkan kata-kata Kitab Suci), berkontemplasi, berpuasa, dan bekerja untuk nafkahnya. Pelatihan atau askese ini telah dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam Alkitab dan awal sejarah gereja hingga kini.
Yohanes Pembaptis adalah salah seorang contoh mistikus dalam Alkitab. Namun secara spesifik bapa monastik yang dikenal dalam sejarah adalah Antonius dari Pispir-Mesir (251-356). Baginya, doa tak henti, bermazmur, dan kebaikan adalah kekuatannya untuk melawan setan dan kuasa kejahatan. Beberapa mistikus Kristen yang lain, antara lain: Benediktus Nursia, Bernard Clairvaux, Teresa Avila, Fransiskus Asisi, Thomas Aquinas, Thomas à Kempis, Martin Luther, Thomas Merton, Bunda Teresa dari Kolkata, Bruder Roger dari Taizé, adalah sebagian kecil mistikus yang memberikan inspirasi bagi dunia.
Bentuk askese kaum mistikus tidak statis. Ia selalu berubah sepanjang sejarah. Saat kini, masih ada bentuk-bentuk askese yang tetap bertahan, sekalipun dalam kemasan yang baru. Namun ada banyak juga bentuk-bentuk askese yang hilang di dalam sejarah.
Yang memiliki pengaruh khusus bagi Protestanisme adalah mistik Kristen pada abad ke-17 yang mengalami pergeseran pemaknaan. Pergeseran tersebut adalah memisahkan antara gerakan teologi moral dan teologi secara akademis. Teologi akademis dilakukan di seminari oleh para teolog, sementara teologi moral diterapkan di gereja. Teologi moral menekankan kesempurnaan kristiani dengan mengacu dari beberapa ayat saleh (Mat 5:20 “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ...”; Mat 5:48 “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga ...”).
Menjadi Kristen sempurna tidak melulu dilihat menjadi pribadi yang sempurna luar-dalam. Kesempurnaan luar-dalam ini disadari sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak normal. Kesempurnaan kristiani lebih dilihat secara interior, yakni jiwa yang bersih. Diyakini bahwa dari jiwa yang bersih (sempurna seperti Bapa si sorga) akan terpancar sikap dan tingkah yang baik – bukan sebaliknya.
Kaum mistik lebih dahulu menekankan kebersihan jiwa. Kebersihan jiwa diperoleh melalui disiplin atau beraskese. Disiplin atau pelatihan (askesis =latihan) tersebut dihayati sebagai ziarah iman. Artinya, semangat mistik adalah semangat dalam proses, bukan hasil. Sehingga kaum mistik tidak “kejar target” yang berorientasi pada hasil semata.
Secara praktis, kaum mistik senantiasa berlatih dalam bersikap terhadap tubuh, makanan, pakaian, alam, makhluk dan manusia sekitar. Kaum mistik mengatur dan menyadari kegunaan dan penggunaan setiap bagian di dalam dan di luar dirinya.
Pada pihak lain, banyak orang Kristen zaman kini mendahulukan sikap dan tingkah daripada kesempurnaan jiwa. Kata lain, hasil adalah terutama. Misalnya, orang Kristen tidak boleh merokok atau berambut gondrong, orang Kristen harus berkata-kata manis dan lemah lembut. Sementara kesempurnaan atau kebersihan jiwanya terabaikan. Dalam Protestanisme, pelatihan atau askese seringkali diabaikan. Bahkan doa pagi, kebaktian hari Minggu, persekutuan, rapat, gerakan sosial seringkali hanya dipandang sebagai program Gereja dan kewajiban orang Kristen – bukan proses pelatihan dan penyempurnaan menyerupai Kristus.

III. Mistisisme di GKI, bagaimana implikasinya?
Sebagai salah satu Gereja yang berada dalam tradisi Protestan, GKI – sebagaimana Gereja-gereja Protestan alami – berada antara menolak (secara sadar) dan terpengaruh (secara tak sadar) gerakan mistik. Secara jelas, ada dua sumber acuan GKI yang menggambarkan kontradiksi keberadaan GKI. Yaitu: Peraturan Khusus GKI untuk Lingkup Sinode Wilayah (PK) dan buku nyanyian Nyanyikanlah Kidung Baru.
Dalam PK Talak Pemilihan Penatua (hlm 22), GKI SW Jabar menetapkan seorang calon bersikap atau berkelakuan menghayati iman, memahami arti pelayanan, menyadari panggilannya, dan memiliki ciri-ciri kepemimpinan. Selain itu ada pula “hasil” dari sifat atau keadaan yang (hampir) tidak dapat berubah, yaitu:, berpola pikir gerejawi, dikenal jemaat. Hampir semuanya berorientasi pada hasil, bukan proses atau pelatihan. Tidak disyaratkan di PK bahwa calon penatua adalah orang yang gemar beribadah juga, gemar melayani, tidak boros, cinta damai (alih-alih bukan pemecah belah), atau gemar melakukan karya-karya sosial.
Pengaruh gerakan mistik abad ke-17 terdapat dalam syair NKB 138 “Makin serupa Yesus Tuhanku, inilah kerinduanku, doaku, dan cita-citaku”; NKB 122 “‘Ku ingin berperangai laksana Tuhanku”. Tanpa melihat dengan teliti dan lebih jujur bagaimana perangai Yesus menurut para penulis Injil, penulis syair tersebut menekankan sisi lain dari Yesus yang menurutnya lebih Kristen.
Berdasarkan kedua contoh tersebut, masih jauh untuk mengindikasikan bahwa kita berada di jalan setapak antara menerima atau menolak mistisisme. Secara resmi, mistisisme belum masuk “agenda” percakapan gerejawi, secara kasat mata ia ada di tengah GKI. Akibatnya, kita seringkali gamang dengan istilah mistik dan askese.
Contoh-contohnya: ke tanah suci Israel, tetapi tidak melakukan ziarah; bekerja keras, sekaligus boros juga; mau unik dan spesifik, tetapi enggan jalan sendiri; rapi, tetapi tidak bersih.
Belajar dari kaum mistik dan bentuk-bentuk askesenya akan banyak membantu kita menggali dan memperoleh khazanah spiritualitas Kristen untuk masa kini. °

JAJAN ROHANI DAN ARTI BERGEREJA

Mengapa Orang Gereja Kristen Indonesia Suka “Jajan”

Oleh : Rasid Rachman

Pendahuluan
Ada minimal tiga tugas dan hakikat gereja, yaitu: bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia), dan melayani (diakonia). Ketiga tugas tersebut tidak dijalani satu persatu, melainkan secara serempak. Alasannya, hal yang satu tidak terlepas dari hal yang lain, dengan demikian ia disebut gereja. Oleh karena itu, mau tak mau makna bergereja dilihat sebagai adanya persekutuan (koinonia). Sekalipun diakonia atau marturia berjalan dengan baik, tanpa koinonia ia tidak menjadi gereja. Bahkan tanpa persekutuan, diakonia yang dijalankan hanya menjadi aksi sosial dan marturia hanya menjadi demonstrasi.
Saat ini, persekutuan kita katanya terancam. Keterancamannya disebabkan oleh karena sifat suka “jajan”; suka “mencicipi” gaya kerohanian ala gereja atau ala persekutuan lain. Mengapa demikian?

I. Sifat suka “jajan”
Kesukaan jajan rohani di kalangan umat bukan hanya baru terjadi sekarang-sekarang ini. Sejak dekade 1980-an (atau bahkan akhir tahun 1970an), umat Kristen anggota gereja arus utama sudah mulai coba mencicipi “makanan rohani” ala gereja atau persekutuan lain. Memang, waktu itu orang masih malu-malu dan takut.
Menurut hemat saya, fenomena “suka jajan” terjadi, pertama adalah karena munculnya kebangunan Gereja-gereja Pantekosta. Di dunia internasional dan terutama Amerika, gerakan pantekostal yang lahir pada akhir abad ke-19, mengalami kemunduran besar setelah PD 2. Kemunduran tersebut menyebabkan Gereja Pantekosta para dekade 1960-an, belajar cara beribadah dari Gereja arus utama. Tahun 1970-an, hasil pembelajaran itu diperoleh, antara lain: mengadakan persiapan ibadah, menyusun nyanyian jemaat, memperbaiki sistematika berkhotbah, dsb. Pokoknya dalam menyelenggarakan ibadahnya, gereja Pantekosta tidak lagi melulu "mengandalkan" dorongan Roh Kudus secara membabi buta.
Di Indonesia, kemajuan Gereja-gereja Pantekosta agak terlambat. Selama dekade 1970-an, Gereja-gereja Pantekosta masih “bergaya lama”; ibadah dijalankan dengan “bimbingan Roh Kudus” secara membabi buta. Dalam situasi demikian, hingga akhir dekade 1970an, umat dari Gereja-gereja Protestan di Indonesia tidak begitu tertarik dengan ibadah Gereja-gereja Pantekosta, demikian sebaliknya. Umat Gereja-gereja Protestan di Indonesia bergeming dengan nyanyian dari buku Mazmur dan Nyanyian Rohani.
Baru pada awal dekade 1980-an, di Indonesia ada kebangkitan gerakan pantekosta baru atau karismatik. Beberapa umat dari Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai tertarik dengan persekutuan-persekutuan karismatik tersebut. Sebagai fenonema baru, ibadah karismatik – baik melalui nyanyian dan khotbah, dan terutama mujizat kesembuhan – menjadi daya tarik tersendiri. Tak dipungkiri, beberapa orang GKI kemudian pindah “resmi” ke Gereja Karismatik; bukan ke Gereja-gereja Pantekosta. Mereka yang “resmi” pindah, tidak termasuk kategori “jajan” tersebut.
Pada dekade itu, umat dari Gereja-gereja arus utama – yang sebelumnya tidak memiliki alternatif selera beribadah kecuali ala Gereja-gereja Protestan di Indonesia – kini memiliki alternatif menyalurkan selera beribadah ala karismatik. Bertepatan, dengan rapinya sistem administrasi Gereja-gereja Protestan di Indonesia, kepindahan mereka menjadi lancar.
Walaupun kini karismatik mulai surut, gerakan karismatik tahun 1980-an tersebut adalah “pintu” bagi terbukanya gelombang cara beribadah pantekostal yang masuk ke Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Gereja dan gerakan pantekostal baru telah berwujud lain dengan awal munculnya gerakan pantekosta akhir abad ke-19. Kini ada Gereja Tiberias, Gereja Betani, Gereja Abba Love, Gereja Basilea, Gereja "dll". Oleh seorang peneliti liturgi di Amerika (Andy Langford: Transitions in Worship: Moving from Traditional to Cantemporary), Gereja-gereja “dll” tersebut digolongkan sebagai Gereja Seeker. Istilah seeker tersebut menandakan bahwa Gereja atau persekutuan tersebut “(seperti) terus menerus mencari bentuk” dan mencari jiwa.
Selain Pantekosta dan Karismatik – sebenarnya mereka tidak betul-betul menyerang GKI; hanya menawarkan secara umum – GKI (dan beberapa Gereja-gereja Protestan di Indonesia lain) mengalami serangan berat dari gerakan fundamentalisme (dengan nama: Gerakan Reformed Injili) pada akhir dekade 1980-an. Beberapa (mantan) orang GKI bukan tertarik dengan gerakan baru ini, tetapi juga secara militan mengobok-obok kehidupan GKI.
Menanggapi gerakan karismatik dan fundamentalis tersebut, GKI SW Jabar (dh GKI Jabar)menyusun strategi. Ada Pegangan Ajaran terhadap Karismatik sejak tahun 1980-an. Ada pula Pegangan Ajaran terhadap Pengkhotbah Non-GKI. Persidangan Majelis Klasis Jakarta Timur tahun 1986 (?) pernah mengangkat masalah “jajan” tersebut. Persidangan Majelis Sinode GKI Jabar tahun 1989 pernah mengangkat masalah fundamentalisme yang waktu itu “menyerang” GKI. Tujuan strategi tersebut bukan menyerang balik, melainkan “menjaga pintu” dan “menutup pintu” bagi masuknya gerakan-gerakan tersebut ke dalam GKI.

II. Kondisi peribadahan Gereja-gereja arus utama
Kondisi peribadahan baik di Gereja-gereja Protestan di Indonesia secara umum dan Gereja Kristen Indonesia secara khusus seringkali dijadikan “kambing hitam” atas pindah atau jajannya umat kita ke persekutuan pantekostal. Penyalahan bahwa cara beribadah kita lesu, nyanyian kita loyo, baptisan kita cuma percik, doa-doa dan khotbah kita kurang Roh Kudus, dan pemuda kita suka ibadah model demikian, adalah gejala umum; sifatnya lebih pada tuduhan ketimbang akal sehat dan fakta objektif. Gejala ini kemudian berkembang ke hal-hal yang tidak ada hubungannya, semisal: Pendeta tidak pernah melawat, Penatua kurang ramah kepada jemaat, Majelis cuma pandai rapat, dsb.
Klaim-klaim tersebut pernah membuat GKI salah tingkah. Awal tahun 1980-an, Tata Laksana GKI Jabar memasukkan Kebaktian Penyegaran Iman (KPI) alih-alih Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Dalam prakteknya, KPI memang KKR; bedanya KPI dilakukan di dalam GKI. Artinya, tanpa sadar GKI telah “memasukkan resmi” kebaktian pantekostal. Beberapa Jemaat melaksanakan KPI (bisa juga dengan nama lain: Malam Puji dan Doa [MPD] atau Malam Puji, Doa, dan Kesaksian [MPDK]) setahun sekali, setahun dua kali, atau bahkan setiap bulan. Hingga pernah ada beberapa Jemaat “mengubah” kebaktian hari Minggu (biasanya sore) dengan kebaktian ala pantekostal. Ada juga Jemaat yang “terpaksa” membeli alat musik band supaya pemudanya tetap di GKI. Satu dekade yang lalu, para Pendeta GKI pernah dianjurkan dan dilatih untuk berkhotbah gaya karismatik. Namun semua hal tersebut, baik klaimnya maupun upaya membenarkan klaim tersebut, tidak mampu mengubah (baca: membangun dan mengembangkan) GKI. Setelah lebih daripada 30 tahun KPI dan semua perangkat ibadahnya masuk di GKI, umat GKI tidak menjadi semakin pantekostal dan tidak semakin cerdas beribadah. Terbukti, KPI, MPD, atau MPDK, tidak berkembang di GKI (dan Gereja-gereja arus utama di Indonesia) dari dulu sampai sekarang.
Sebaliknya, pertambahan jumlah Jemaat dan anggota jemaat GKI tetap pesat. Tidak sedikit Jemaat GKI yang kewalahan mencari lahan parkir, kewalahan menambah jumlah ibadah hari Minggu, kekurangan ruang-ruang kegiatan, dan kekurangan bangku ibadah. Selain itu, GKI tidak pernah kekurangan orang yang loyal terhadap GKI. Ibadah-ibadah GKI dan Gereja-gereja Protestan di Indonesia tetap dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk orang-orang muda.
Walaupun jelas tidak benar klaim yang dilontarkan oleh anggota jemaat kita yang suka “jajan”, mengadakan introspeksi diri adalah tidak ada salahnya, supaya tidak cepat puas diri atau tidak waspada. Namun dalam introspeksi itu kita harus tetap memilah secara jernih antara persoalan sejati dan “dibuat-buat menjadi persoalan”.
Klaim-klaim tersebut di atas, menurut hemat saya, cuma hal yang “dibuat-buat menjadi persoalan”, padahal sesungguhnya bukan persoalan. Hal tersebut terbukti dengan paparan di atas juga bahwa jemaat GKI tidak berkurang, malahan bertambah.
Apakah persoalan kita? Saya akan menyoroti soal ibadah.
Pertama, gaya ibadah GKI sudah benar, walaupun belum sempurna. Bahkan dasar teologi ibadah GKI – termasuk pernak-perniknya – jauh lebih kaya daripada dasar teologi ibadah pantekostal.
Kedua, gaya ibadah GKI bukan barang lama atau masa lalu, demikian pula sebaliknya: gaya ibadah “yang lain” itu juga bukan barang modern. Gaya ibadah GKI sama modernnya dengan gaya ibadah “yang lain” itu, walaupun bentuknya memang berbeda. Buktinya, gaya ibadah GKI masih berkembang pesat hingga saat ini, sekalipun seringkali kita sangat terlambat mengetahuinya.
Ketiga, cara melaksanakan ibadah GKI memang harus diperbaiki. Cara itu tidak perlu mengganti gaya beribadah GKI. Mengganti gaya ibadah, misalnya: meniru gaya pantekostal atau Katolik, tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah. Orang GKI memang “dari sononya” bergaya ibadah ala GKI. Lagipula tidak ada yang salah dari dasar ibadah GKI, sehingga tidak perlu diganti.

Penutup
Sebagai penutup, saya usul beberapa hal untuk perbaikan cara kita beribadah, antara lain:
1. Kurangi instruksi verbal: “Silahkan duduk,” “Marilah kita memulai ibadah dengan berdiri,” “dengan tetap berdiri,” “Marilah kita menyanyi dari nomor ….”
2. Nyanyian jemaat dinyanyikan utuh, semua bait. Cara alternatim (bergilir ganti: perempuan, laki-laki, semua) dapat digunakan sebagai cara mengatasi nyanyian berbait banyak.
3. Perbaiki cara menyampaikan simbol-simbol liturgis: tata tutur, tata gerak, dsb.
4. Jangan ikut-ikutan dan mengganti cara beribadah, melainkan memperbaiki cara beribadah kita sendiri. Tradisi ibadah GKI sudah jauh lebih kaya daripada tradisi ibadah pantekostal.

Sudah waktunya kita memotivasi diri dan anggota jemaat untuk semakin cerdas beribadah.