Jumat, Februari 15, 2008

BERSALAM-SALAMAN

Oleh: Lina Susanawati B.

Saya suka mengamati sesuatu atau melakukan suatu studi banding kecil-kecilan.
Teringat akan saat-saat merayakan Imlek pada masa kecil, ceritanya sebagai berikut:
Bila Sin Tjia tiba, pada hari tahun baru itu pagi-pagi kami sudah mandi dan berpakaian baru.
Di rumah itu ada meja abu (Hiolow, Yolow(?)) dari para leluhur. Keluarga terdiri dari engkong, ema, papi dan mami, serta anak-anak. Pada pagi Sin Tjia itu engkong adalah orang yang pertama sembahyang (pakai hio), mula-mula menghadap ke arah jalan raya, katanya sembahyang pada Tuhan, lalu sembahyang pada para leluhur di meja abu. Setelah engkong, lalu anggota keluarga yang lain bersembahyang, tetapi hanya kepada leluhur. Sembahyang pada Tuhan hanya diwakili oleh engkong. Nah, setelah semua selesai bersembahyang, barulah kami pay-pay mengucapkan Sin Tjun Kiong Hie, anak-anak pada orang tua. Acara selanjutnya adalah paytjia, yaitu kunjungan pada keluarga-keluarga untuk mengucapkan Sin Tjun Kiong Hie, mulai dari keluarga yang paling dekat dan paling tua. Ketika tiba di rumah sebuah keluarga, begitu bertemu dengan tuan/nyonya rumah, kami tidak langsung pay-pay . Tetapi kami terlebih dahulu masuk ke dalam rumah menuju meja abu untuk bersembahyang di sana. Setelah itu baru kami pay mengucapkan Sin Tjun Kiong Hie, yang lebih muda pada yang lebih tua. Begitulah yang dilakukan pada setiap keluarga yang dikunjungi. Biasanya perkunjungan selesai dalam 2 hari.

Saya teringat juga akan saat-saat lebaran, saat mana saudara-saudara muslim merayakan Iedul Fitri. Biasanya pagi-pagi mereka ramai-ramai berjalan menuju mesjid atau lapangan tempat solat Ied dilakukan. Tetapi ketika mereka saling bertemu di jalan, saya tidak melihat mereka saling bersalaman. Baru setelah solat, mereka rakai saling bersalaman.

Lain lagi dengan pengalamanku di gereja. Bila malam Natal atau hari Natal atau Paska tiba, begitu bertemu di halaman gereja, umat sudah saling bersalaman mengucapkan selamat Natal atau selamat Paska. Nanti setelah kebaktian usai, kita bersalaman lagi mengucapkan selamat Natal atau Paska. Nanti kalau ada perayaan Natal, selamat Natal lagi . . . . Lain padang lain belalang ...... Saya tidak tahu di gereja lain, seperti itu atau seperti umat lain.

*) Artikel ini dikirim oleh penulis: Lina Susanawati, kepada saya untuk dimuat di dalam blog ZIARAH KEHIDUPAN.

Senin, Februari 11, 2008

LUNAR NEW YEAR

By Rasid Rachman

Although I was born with yellow skin and slant eyes, but the political situation of Indonesia have cut me out my Chinese root. We don’t speak Mandarin, neither have Chinese name. I feel Indonesians, and I don’t celebrate Chinese New Year. Only in our parent family in our childhood, during New Year, we regarded happy New Year to each other. Therefore there was no special rite, custom, or everything that showed that this is our New Year. Shortly, we don’t feel as Chinese in culture.
On the other way, we say that we don’t know how to celebrate Chinese New Year. Yes, we cook special food on Chinese New Year such as bandeng (milkfish), as well as we do on other festivals, such as on Idul Fitri or Christmas, only for our family. But we don’t do other things that related to celebration, custom, or rite. Not only Indonesian-Chinese don’t know how do celebrate, but many Indonesians don’t know what the Chinese New Year is as well. Many Indonesians couldn’t distinguish Chinese New Year (the Imlek) and Moslem Idul Fitri (the Lebaran). They made similarly Chinese New Year and Chinese Idul Fitri (or Lebaran Cina). They also called similarly basket taffy (kue keranjang) and dodol (kinds of taffy made of sticky rice, coconut milk, and palm sugar). Chinese New Year was the strange thing in the past of Indonesia.
Time has changed. Few years ago, when our past Presidents proclaimed the Chinese New Year as a national festival and holiday, everybody in this country openly celebrate Chinese New Year. Everybody, both Chinese descendent or not, have been freely celebrating Chinese New Year since 2001. Radio and television broadcast the festival and custom with red color, costumes, songs, films, accessories, and arts. Everything becomes Chinese cultural during Lunar New Year. But I don’t. Why?
Chinese New Year is a cultural festival. That is not religion or national celebration. According to the political situation and condition that I had had received in the past, Chinese New Year is a strange festival for me now. Somebody sometimes greets me: “Happy Chinese New Year,” and I usually say: “To you too,” while shaking hand or answering short message sender (the SMS) and email. It means, he/she reminds me that he/she celebrates Chinese New Year and I give him/her all good wishes. ®