Sabtu, Februari 09, 2008

SELALU (ADA HAL) UNIK



Oleh: Rasid Rachman

Di tengah hal-hal biasa, selalu saja ada hal-hal unik di dalam hidup berjemaat. Terutama menyangkut manusia, tetap ada inspirasi, gugahan, ide-ide, gejolak, atau bahkan konflik yang ujung-ujungnya menghantar saya sampai ke refleksi: hari ini saya memperoleh satu lagi hal baru. Hal tersebut dimungkinkan karena perjumpaan dengan berbagai macam orang.
Ada yang tidak bisa (alih-alih: tidak mau) beribadah hanya karena gereja kami panas, tidak ada AC-nya. Anak atau bayinya selalu gelisah selama kebaktian karena gerah, katanya. Tetapi untuk syukuran, ia selalu meminta gereja kamilah yang melayaninya. Ketika anggota keluarganya sakit, pertama dan tercepat pihak yang dihubungi adalah gereja, minta dilawat.
Ada yang datang ke gereja bukan kebaktian hari Minggu, melainkan hari-hari kerja biasa. Kebaktian hari Minggunya di gereja lain, tetapi untuk berdoa ketika bergumul atau hendak bertemu klien “numpang” di gereja kami.
Ada yang jarang sekali datang ke gereja kami, padahal ia adalah anggota. Mungkin hanya 1 kali setahun atau dua tahun. Kami tahu dia selalu beribadah di satu gereja. Kalau datang ke tempat kami, dia mengeluh bahwa gereja kami itu adalah gereja yang paling cocok dengan dia: dekat, waktunya pas, tidak bertele. Sementara gereja yang dikunjunginya secara rutin itu sama sekali tidak baik untuk dirinya: jauh, harus naik ke lantai 3 dengan tangga, dan tidak saling kenal. Ajaibnya, dia tetap menjadi pengunjung gereja itu selama hidupnya.
Ada juga yang “hobi” keliling gereja di wilayah kami. Minggu ini ke gereja A, Minggu depan ke gereja B, Minggu lain ke gereja C, begitu seterusnya sepanjang tahun. Semua gereja dikunjunginya. Dengan demikian, ia menjadikan dirinya tamu di gereja mana pun, termasuk di gereja kami di mana ia menjadi anggota. Apakah kriteria ia ke gereja-gereja itu? Kriterianya: asal menguntungkannya. Istilah saya: ngelaba. Ia datang ke suatu gereja di mana sedang berlangsung acara, termasuk kebaktian hari Minggu, yang menguntungkan dirinya.
Dalam kehidupan berjemaat, unik dan menyebalkan itu berada pada wilayah abu-abu. ®

Jumat, Februari 08, 2008

“T” VERSI SATU

Oleh : Rasid Rachman

“T” itu berwajah “ga enakeun”, kata orang Bandung. Wajah tertekuk, badan besar-bulat, berkacamata, dan tidak pernah senyum. Dia orang tua, pensiunan. Saya melihatnya pertama kali waktu saya pimpin ibadah; dia di bangku umat. Langsung saya terkesan dengan “ga enakeun” dipandang itu. Seperti wajah cantik itu enak dipandang, wajah sebaliknya pun menarik untuk terus dipandang. Yang biasa-biasa saja malah ga enak dipandangi. Saudara “T” ini termasuk yang kedua.
Kesan saya, orang ini tidak asik untuk diajak bicara, suka menekan, sadis, dan banyak usul. Apalagi untuk menjadi teman di Jemaat, akan menimbulkan siksaan. Mulitnya yang kecil, bibirnya tipis, kepalanya bundar, berkaca mata dengan gagang hitam. Bukan tipe ideal untuk curahan hati. Juga bukan tipe orang baik-baik. Pokoknya, saya berusaha untuk tidak bicara dan berkenalan dengannya.
Sebagai pensiunan, ia memiliki banyak waktu luang. Saya sering melihatnya di kantor gereja kalau siang hari. Tetapi saya tidak pernah melihatnya menghadiri acara-acara resmi gereja pada malam hari. Untung juga, saya akan jarang berkesempatan berkenalan dengannya.
Sekali waktu saya berpapasan dengan “T” di pintu kantor gereja; saya baru masuk, “T” hendak keluar. “Syukurlah,” pikir saya. “T” melihat saya, saya cukup mengangguk saja, terus menyelinap masuk ke dalam, berpura-pura sibuk dengan urusan lain. “T” pasti tahu saya, tetapi saya pura-pura tidak kenal dia. Memang saya tidak mengenalnya.
Beberapa waktu kemudian kami berpapasan lagi di tempat yang sama. Kali ini dia menyapa: “Apa kabar, Sid.” Sungguh, baru sekali itu saya mendengar suaranya. Halus, menyejukkan, penuh simpati. Namun saya bergetar disapanya. Bukan karena suaranya yang menyeramkan, namun karena prapaham saya tentang dia yang menyeramkan itu ternyata sangat berbeda dengan aslinya. Kata orang-orang, “T” itu orang yang baik, simpatik, suka menolong, dan tidak membuat-buat kalau memberi perhatian. Itulah yang membuat saya bergetar. °

BIOPORE






By : Rasid Rachman

We just made biopore-hole at home. Biopore-hole is a trying to make soil fertile by digging a ten centimetre middle line of hole. People make biopore-holes on land or in garden around habitat or city garden. You could make the distance among one hole to another each 100 centimetre. The aim of making biopore-hole is to loosen soil in order that rain-water could easily get into soil. Yes, this is about environment.
We are concerning to the flood problem around Jakarta nowadays and nature damage, we are concerning to recycle the organic rubbish to be a compost, and we are gardening as well. We are satisfied that from our small house and small garden could make ourselves involve in green campaign.





We are really aware with the benefit of biopore. That’s why we encourage digging some holes. Not only my wife and I, but our mother employee also love drill some new holes by our biopore-drill. She even has finished more holes than we have had. After finished one hundred centimetre of biopore-hole, we put one small chamber plantation at top of the hole to just in case nobody accident.
The biopore-hole are contented by us with organic rubbish every day. After three weeks, the rubbish will become compost. You could use compost to fertilize your plantation. Some other people even create compost to be their rice-winner. We get some benefits of biopore-holes, such as decrease rubbish from our kitchen, green environment, fertilizer soil, and hopefully no more flooding. ®

Kamis, Februari 07, 2008

JENDELA KACA


Oleh: Rasid Rachman

Selain arca Bunda Maria, hal unik lain di dalam kapel Gedono adalah jendela kaca. Ada dua, bulan dan besar-besar. Yang satu di sisi Timur dan yang lain di sisi Selatan; keduanya terletak tinggi di atas panti imam. Kedua kaca itu adalah painted-glass, yakni kaca dengan semprot cet. Tentu mahal harga cet kaca itu.


Dari arah umat, yakni jendela kaca di sisi Selatan, bewarna ungu kecoklak-coklatan. Dari arah komunitas, yakni jendela kaca di sisi Timur, terdiri dari berbagai warna seperti pelangi. Menurut Suster Martina, OCSO, ungu menyimbolkan kekelabuan, pergumulan, duka, muram, dan suram. Dengan kesuraman, umat menghadap Tuhan, berkumpul di sekitar altar. Warna-warni: biro, jingga, coklat muda, dsb., menggambarkan keceriaan, dinamika kehidupan, dan pengharapan. Komunitas menghayati hidup monastik secara indah dalam persekutuan.
Kedua jendela kaca tersebut menimbulkan kesan sangat indah selama berlangsung ibadah pagi (Laudes) ketika matahari terbit. Melalui kedua jendela besar yang tinggi di atas itu, sinar surya pagi masuk ke kapel, langsung menyinari altar, laksana kemuliaan Tuhan turun menyapa umat. Kehadiran-Nya dalam rupa sinar surya menciptakan kesemarakan ibadah sebelum mulai bekerja rutin.

Ibadah merupakan tampilan kesan keindahan dan keagungan Tuhan. Setiap kali pergi meninggalkannya, umat akan rindu untuk kembali mengalaminya.

“N”

Oleh : Rasid Rachman

“Halo,” begitu suaranya di telepon. Suaranya agak serak, rendah, dan seperti orang yang malas bicara banyak.
“Begini Romo,” jawab saya, “maksud saya menelepon adalah bla, bla, bla ....”
“Dari mana kamu tahu nama saya?” lanjutnya.
Itulah awal kontak saya dengan Romo “N”, di telepon.
Dia seorang yang introvers, menurut kesan saya. Ruang pribadinya di Komisi Liturgi KWI, terpencil. Ruang Komlit sendiri tidak terlalu kecil. Di situ ada beberapa ruang: ruang depan untuk menerima tamu, ruang administrasi, perpustakaan, dan ruang pribadi Direktur Komlit. Romo “N” bekerja dan mengatur ini-itu di ruang Direktur Komlit itu, sendiri. Di dalam ruang pribadinya itu ada sofa, meja kerja, dan televisi. Romo “N” kebanyakan berada di dalam ruang pribadinya itu. Jarang keluar. Ia keluar sebentar untuk menyambut atau menghantar tamunya. Lalu, masuk dan bekerja lagi di dalam.
Beberapa kali saya melakukan bimbingan skripsi di ruang itu. Kami berbicara di sofa, buka di meja kerja. Setelah beberapa waktu lamanya berkenalan, Romo adalah seorang yang enak diajak bicara. Bicaranya ceplas-ceplos, apa adanya, tegas, tetapi bersahabat. Namun, tetap saja kedalaman ilmunya tidak akan kita pahami hanya dengan beberapa kali bertemu. Kedalaman ilmunya semakin jelas ketika ia membaca dan memberi komentar sebuah tulisan. Atau, ketika ia menulis dengan topik yang menarik dan bahasa yang lugas. Ciri-ciri seorang introvers di dunianya.
Keterpencilannya itu memberikan kesan kepada saya akan bidang ilmunya: liturgi. Bahwasanya, ia mengidentifikasi dirinya dengan ilmu tersebut sebagai ilmu teologi yang terpencil. Sebagaimana banyak orang tidak terlalu (mau) mengenal ilmu liturgi, demikian pula Romo “N” yang tidak dikenal di antara para teolog yang tidak menekuni liturgi sebagai bidang utama. Saya kira, para teolog liturgi itu hanya dikenal dalam lingkungannya sendiri. ©

“E” VERSI DUA

Oleh : Rasid Rachman

“E” itu orang baik, pintar, dan halus budi. Pengalaman hidupnya cukup banyak dan beragam, tetapi ia tetap rendah hati. Orangnya low profile, alias ga memperlihatkan kepandaiannya. Dia pernah bekerja di beberapa tempat, namun muaranya yang terakhir adalah dosen Perjanjian Lama dan bahasa Ibrani di STT Jakarta, almamaternya. Saya kira, dia menikmati pengabdiannya sebagai dosen itu, selain sebagai Pendeta di gerejanya.
Selain anaknya lahir bertepatan dengan ulang tahun saya, “E” juga seorang yang enak dan nyaman diajak bicara. Bicaranya tiadk meledak-ledak, tetapi penuh terisi kata-kata bermakna. Selama berbicara dengannya, lawan bicara tidak merasa digurui atau diredahkan. Ia menempatkan diri setara dengan lawan bicaranya. Sekali waktu, ketika kami sedang berbincang di kantin STT, seorang mahasiswa menyela kami.
Mahasiswa itu berbicara kepada saya: “Pak, tiga kuliah kemarin itu tidak diberi nilai. Percuma dong.” Waktu itu saya memang baru saja menggantikan kuliah dosen yang berhalangan. Hanya tiga kali saya memberi kuliah di kelas mahasiswa tadi.
“Semua hal yang pernah kita pelajari, apalagi di dalam kuliah, tidak ada yang percuma. Nilai seorang mahasiswa bukan hanya karena sejumput angka di atas secarik kertas. Kuliah jangan dilakukan jika hanya untuk mendapat sejumput angka nilai,” jawab saya kepada mahasiswa itu.
Rupanya, “E” terkesan dengan jawaban itu. Dia menimpali saya: “Betul Sid, seharusnya mahasiswa menyadari bahwa dalam mempelajari sesuatu ia tidak tergantung pada ada atau tidak adanya angka nilai di kertas.” Sepertinya “E” ingin mengatakan bahwa mencintai ilmu itu jauh lebih utama ketimbang mengejar nilai “A” atau “B”. Kualitas seseorang tidak tergantung atau ditentukan pada angka-angka tersebut, tetapi pada kesukaannya terhadap ilmu yang ditekuninya.
““E”, kau benar.” ©

“E” VERSI SATU

Oleh : Rasid Rachman

Pemuda "E" (21) yang biasa-biasa ini memberikan kesan istimewa bagi saya, dan membekaskan pengalaman mendalam dalam hidup menggembala jemaat. Hal itu dimulai pada akhir Desember 2001 dan awal Januari 2002. Atau tepatnya, pada menjelang akhir hidupnya, “E” memberi kesan sangat mendalam.
Sakitnya sudah beberapa bulan sebelumnya. Dari perawatan di Tangerang, Jakarta, akhirnya dibawa ke Yogyakarta. Awal Desember, saya terdorong sekali untuk menghubunginya via SMS. Jawabnya: “Pak, saya sudah baikan, akan pulang menjelang Natal.” Legalah hati saya.
Natal ia tidak pulang. Malam, 30 Desember, SMS masuk dari beberapa umat. “Pak, segera ke Yogya atau utus jemaat supaya berdoa bagi “E”,” inti SMS beberapa umat itu. Malam itu saya tidak tenang tidur. Sejak pagi saya mulai atur supaya saya bisa pergi ke Yogya besok, 1 Januari, setelah ibadah Tahun Baru. Namun akhirnya, saya dimungkinkan berangkat 1 Januari pukul 04.0; MJ mendapat pengganti saya untuk memimpin ibadah.
Sebelum malam, saya siapkan tas untuk ke Yogya, termasuk kemeja yang biasa saya gunakan untuk ibadah. Semuanya masuk ke mobil. Setibanya di gereja untuk ibadah Tutup Tahun, Yoseph mengatakan bahwa mereka siap berangkat setelah ibadah malam ini. “Lho, bukankah tadi pagi kita sepakat berangkat besok subuh? sanggah saya. Memang, sebetulnya malam ini pun saya sudah siap berangkat. Yoseph, Bowo, Sukardi, dan saya, berangkat pukul 22.00 itu. Saya merasakan: didorong berangkat lebih cepat.
Tiba di Manisrenggo pukul 10.30 pada 1 Januari 2002. Kami berbincang sebentar dengan “E”, nyanyi-nyanyi lagu Natal dengan 10 eksemplar Kidung Jemaat yang sengaja kami bawa, berdoa, lalu pamit untuk pulang ke Tangerang.
Namun kami (harus!) tidak langsung pulang, karena diminta mampir di Wonosari dan Yogyakarta. Beberapa keluarga meminta kami untuk mampir ke rumah mereka. Akibatnya, kami bermalam di Yogya. Saya merasakan: ditahan lebih lama di Yogyakarta untuk tidak segera kembali ke Tangerang.
Ketika kami di Magelang dalam perjalanan pulang, 2 Januari pagi, masuk telepon dari Tangerang. Kami diminta kembali ke Manisrenggo. Tiba, “E” sudah berpulang. Saya merasakan: Tuhan telah memberikan kesempatan pada kami untuk berjumpa “E” di saat terakhirnya kemarin. ©

ASH WEDNESDAY






Rasid Rachman

Tonight, February 6th 2008, was the second time for my congregation celebrated Ash Wednesday. The first was last year, 2007. After sermon, people made a sign of cross on forehead with ash. Tonight, we celebrated with a little elaboration. Besides more people came, we celebrated the eucharist as well. I served sermon and my colleague, Rev Suryatie Ambarsari, led the euharist. Two pastors led one celebration. It was not something new for me, but for the people. They watched both of us led the celebration, and it was Ash Wednesday.



Most Protestant Churches in Indonesia don’t celebrated Ash Wednesday. They don’t know what Ash Wednesday is, how to celebrate it, or even when celebrate it as well. According to their knowledge that they get from the past, Ash Wednesday belongs to the Roman Catholic liturgy. Only Roman Catholic celebrates Ash Wednesday in Lent.
At the beginning of 21st century, some Protestant Churches in Indonesia started open their mind. The complicated traditions of liturgies do not only belong to the Roman Catholic, but also belong to them. Some of them celebrate some new style of liturgy, such as Ash Wednesday, Maundy Thursday, Palm Sunday, Christ the King, etc. But most other Protestant Churches still in their way of worship.
In the year of 2007, when we celebrated Ash Wednesday for the first time, some people fell weird. People needed socialization some weeks before. Elders had to inform what it is and how to do that. They provided the readings about Ash Wednesday and Easter. Even organizer had to know how to get the ash and people had to be known how sign ash on their forehead with thumb. I had to make myself comfortable because everybody thought I know everything to do that.
Tonight we finished Ash Wednesday safely. There was only once reading about Ash Wednesday, but no other practical information at all as we did last year. Hope, next year and the years to come, we celebrate Ash Wednesday in consciousness that it belongs to us as a Christians who begin the Lent. ©

Rabu, Februari 06, 2008

ARCA MARIA BERBUSANA KEBAYA

Oleh: Rasid Rachman

Salah satu yang khas dari biara Gedono adalah arca Bunda Maria. Begitu masuk ke dalam kapel, langsung terlihat pampangan arca Maria berbusana kain kebaya ala Jawa itu terletak di kapel. Rambut di kepalanya dikonde, lalu ia menggendong Bayi Yesus dengan kain gendongan yang dililitkan di pundaknya.









Suster Martina, OCSO mengisahkan kepada saya bahwa arca Bunda Maria menggendong Bayi Yesus itu dibuat setelah pemahatnya retret di Gedono selama 1 pekan. Arca terbuat dari tanah liat. Ketika pewarnaan, warnanya sama dengan warna lantai kape, kecoklat-coklatan mirip warna tanah liat. Hal ini menggambarkan kesehajaan seorang Maria.
Posisi tangan kanan Maria yg terbuka sebagai tanda ia menunjukkan kepada Yesus akan dunia, dan keterbukaannya bagi dunia untuk melihat Yesus. Memang, yang pertama dilihat oleh orang (dhi. Komunitas Gedono saja, karena arca tersebut menghadap ke area komunitas) adalah Sang Bayi itu. Yesuslah fokus dari arca tersebut.
Sebetulnya tidak seorang pun berkehendak Maria mengenakan busana Jawa. Namun, ketika perundingan terakhir yang dihadiri oleh seluruh komunitas untuk menilai dan memberi catatan tentang arca tersebut, semua orang dengan terkagum-kagum memandang Bayi Yesus dalam gendong Maria, lalu melihat wajah Bunda Maria. Memang akhirnya, tidak seorangpun yang mempersoalkan busana Maria.
Jika dilihat ruang ibadah, posisi Maria terlihat tidak terlalu lebih tinggi daripada posisi para rubiah. Hal ini mencerminkan bahwa Maria ikut berdoa bersama komunitas selama ibadah harian. Spiritualitas terlahir dari konteks. ©

BEKERJA ALA MONASTIK

Oleh : Rasid Rachman

“Suster sekarang sedang mengerjakan apa di biara ini?” tanya saya kepada Suster Paula, OCSO. Kala itu kami berkesempatan berbincang di ruang tamu. Tidak ada lagi grata seperti biara Abad-abad Pertengahan. Perbincangan kami hanya diantarai oleh sebuah meja pembatas. Saya bertanya hanya sekadar ingin tahu dengan cara apakah dan bagaimanakah para suster mengisi hari-mari mereka di dalam cloister di luar waktu ofisi.
“Saya membersihkan sarang laba-laba. Saya mendapat tugas dari Abdis,” jawabnya biasa-biasa saja.
“Oh, begitu. Seluruh rumah biara? Berapa lama suster dapat menyeselsaikannya?” saya bertanya kembali. Setahu saya, rumah biara itu begitu luas, tembok dan langit-langitnya tinggi, dan saling berjauhan antara antara satu ruang dengan ruang lain. Sementara itu, masih banyak bagian dari rumah biara itu yang tidak saya ketahui.
“Tidak ada target. Tugas yang diberikan kepada saya adalah membersihkan tembok biara. Lantas, saya membersihkannya terus menurut jadwal kerja harian, sampai bersih atau sampai mendapat tugas baru untuk mengerjakan yang lain lagi” begitu ia menjelaskan.

Dalam disiplin spiritualitas, hidup dengan segala sendi-sendinya adalah ziarah. Bekerja dengan tujuan, namun tanpa target. Tidak ada momok “kejar tayang” dan diburu waktu. Manusia tidak diperbudak oleh waktu, tetapi baiklah mengisi hari-harinya dengan bekerja dan berdoa, belajar dan makan, lantas memaknainya. ©

Minggu, Februari 03, 2008

SUSUNAN PM-GKI


Oleh : Rasid Rachman

Hingga 2-3 tahun setelah dilembagakan, susunan program dalam organisasi Majelis Jemaat adalah sebagai berikut:
1. Sarana-Prasarana
2. Pembinaan
3. Oikumene-Masyarakat
4. Kebersamaan

Susunan tersebut berbeda dengan prinsip Program Menyeluruh Gereja Kristen Indonesia (PM-GKI) yang menelurkan kegiatan Jemaat menurut bidang-bidang. Menurut buku PM-GKI, urutannya adalah sebagai berikut:
1. Oikumene-Masyarakat
2. Kebersamaan
3. Pembinaan
4. Sarana-Prasarana


Dengan penasaran saya bertanya-tanya. Eh, ternyata dasar pembidangan tersebut adalah berdasarkan inisial huruf S-P-O-K. Apakah dasar S-P-O-K tersebut? Mengapa bukan K-O-P-S supaya alfabetis?
Saya mengetahui S-P-O-K sewaktu mendapat pelajaran Bahasa Indonesia di SMP dahulu kala. Dugaan saya, jangan-jangan Jemaat Perumnas memang terpengaruh dengan sistem Subjek-Predikat-Objek-Keterangan dalam bahasa Indonesia itu. Dugaan ini meleset, sebab seingat saya tidak ada lagi yang ingat pelajaran Bahasa Indonesia waktu SMP. Hingga kini, kecuali karena warisan, saya tidak tahu dari mana datangnya SPOK-nya GKI Perumnas-Tangerang tersebut. Wahahualam. ©

JANGAN DUDUK DEKAT PENDETA


Oleh : Rasid Rachman

Entah siapa yang memulai dan mengajarkan dengan menakut-nakutkan, umat di GKI Perumnas-Tangerang tidak mau duduk dekat saya. Hal ini berlaku juga bahkan bagi anak-anak. Ibu-ibu mereka akan menyuruh mereka pergi menjauh kalau saya duduk dengan mereka dalam satu acara, sekalipun anak-anak itu sudah duduk di situ lebih dahulu daripada saya.
Menurut mereka, hal tidak duduk dekat Pendeta itu menunjukkan sikap segan dan hormat. Tetapi menurut saya, hal itu merupakan bentuk penindasan kepada anak, tidak mendidik, dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi saya. Mirip-mirip pelecehan. Seolah-olah saya sedang mengidap penyakit yang mahaberbahaya karena muda sekali menulari orang-orang sekitar, sehingga harus dijauhi.

Terutama untuk anak. Kita harus mengatakan bahwa tidaklah benar anak-anak diteror dengan ketakutan pada seseorang atau sesuatu yang jelas tidak berbahaya. Apabila nakal, anak sering diteror “ditangkap polisi” atau “disuntik dokter atau “dipelototin pendeta”. Penanaman ancaman tanpa dasar tersebut jelas tidak sehat. Jelas, orang tua telah berbohong kepada anak. Selain itu, orangtua akan kesulitan sendiri apabila sekali waktu anaknya perlu berurusan dengan dokter, misalnya.
Untuk kasus saya, tindakan menjauhi saya menimbulkan kesepian di tengah keramaian. ©