TANTANGAN BAGI MATERIALISME DAN HEDONISME
Oleh: Rasid Rachman
Pendahuluan
Tradisi berpuasa adalah tradisi universal umat manusia yang telah ada sejak dahulu kala. Sehingga puasa bukan sesuatu yang tidak dikenal dan dialami oleh berbagai manusia. Keunikan berpuasa pada masing-masing budaya atau agama manusia juga tidak terlalu kentara. Pemahaman dan praktek berpuasa masing-masing budaya atau agama memliki banyak kesamaan atau bahkan keseragaman.
Inti dari berpuasa, sebagaimana arti puasa: upa (mendekatkan diri) dan Wasa (Tuhan), adalah semakin mencerminkan citra ilahi. Untuk menjadi dekat dengan Tuhan dan mencerminkan citra ilahi, berpuasa dilakukan dengan tidak makan dan berpantang. Tidak makan dan berpantang merupakan sarana pelatihan untuk menjadi dekat dengan Tuhan. Jadi, puasa adalah kegiatan kontemplatif (con = bersama dengan; templum = area Ilahi); sebuah latihan atau disiplin spiritualitas.
I. Berpuasa sebagai peredam hawa nafsu
Makan merupakan kebutuhan dasar manusia yang justru seringkali menjadi penyebab rusaknya citra ilahi dalam diri manusia. Makanan seringkali menjadi penyebab ketidakharmonisan relasi dan kehidupan antar manusia. Pikiran baik atau pikiran jahat diawali dari kenyang atau lapar seseorang. Memuji atau membunuh seseorang, dapat dilakukan dengan alasan soal makanan. Laksana vaksinasi, demikian pula berpuasa dilakukan agar seseorang mampu mengatasi dan mengendalikan hawa nafsunya. Dengan mengendalikan hawa nafsu, citra Ilahi terpancar dalam tutur kata, tindakan, sikap, dan tata olah tubuh seseorang yang berpuasa, sehiingga terbangun keharmonisan. Pokoknya, dengan berpuasa hawa nafsu insani terkendali atau setidaknya teredam.
Dua hal yang disorot sehubungan dengan hawa nafsu adalah materialisme (demi materi, kebendaan, jasmani) dan hedonisme (hedone: demi kesenangan, kenikmatan, hawa nafsu). Di zaman ini juga, materialisme dan hedonisme merupakan tantangan berat. Ia tampak menakutkan, tetapi asik ketika dialami sendiri. Bagi sementara pihak, kedua hal tersebut bahkan sudah menjadi gaya hidup atau nilai tertinggi, bisa jadi karena asiknya berkecimpung di sana.
Pihak-pihak yang menikmati gaya hidup materialisme dan hedonisme tersebut dapat berwujud personal atau pribadi, dapat pula berwujud komunal atau institusional. Contoh konkret, selain calon pacar, lembaga Gereja atau lembaga Pemerintahan juga dapat mempunyai sikap materialistis atau hedonistis. Tidak sedikit pribadi dan institusi yang membiasakan atau bahkan melegalkan budaya jor-joran untuk hal sehari-hari. Misal, membuang-buang makanan dengan sia-sia; memperlakukan kertas dan plastik; terlalu mudah dan cepat menyampahkan sisa pemakaian seperti air, stereoform, minyak, listrik, komunikasi; rapat dengan memboroskan biaya besar namun dengan hasil yang kecil; sangat kecilnya pengguna kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi; pengrusakan fasilitas umum dan pribadi dalam amok massa; dsb. Hal-hal tersebut ingin menyatakan bahwa kita bersikap tidak perduli dengan pengendalian hawa nafsu dan terhadap dampaknya kemudian.
Dalam rangka mengendalikan atau meredam hawa nafsu tersebut, puasa dikenakan baik kepada pribadi maupun kepada institusi. Kepada pribadi, karena jika tidak terkendali hawa nafsu pribadi dapat merusak tatanan masyarakat. Semisal, gonta ganti barang elektronik demi gaya-gayaan akan menyebabkan menggunungnya sampah elektronik. Kepada institusi, karena jika kelewat batas hawa nafsu institusi dapat membudayakan keburukan. Semisal, jumlah mal yang berlebih dan menyolok mata dapat memancing sikap konsumtifisme dan membunuh pedagang kecil.
Pada satu sisi, tidaklah salah apabila seseorang atau institusi melakukan jor-joran diri sendiri. Tokh, hasil keringat sendiri. Namun pada sisi lain, persoalan menjadi berbeda jika melihat pemaknaan puasa Kristen. Puasa Kristen adalah puasa: berprihatin karena Kristus wafat dan melakukan derma.
II. Mengenang Kristus wafat
Kristus (untungnya!) tidak mewajibkan orang berpuasa; Ia bahkan tidak menganjurkannya. Anjuran berpuasa dikatakan oleh Yesus dalam rangka sahabat-sahabat mempelai pria berduka karena "mempelai pria diambil dari antara mereka" (Mat 9:14-15). Peringatan "pengambilan mempelai pria" dilakukan oleh gereja dalam ibadah Jumat Agung. Itulah sebabnya, tidak ada makan dan perjamuan kudus pada hari Jumat Agung.
Waktu berpuasa pada Jumat Agung setiap tahun dipersering oleh umat menjadi setiap hari Jumat.
Setiap Jumat, terutama pada masa Prapaska, orang Kristen biasa berpuasa untuk mengenang Kristus wafat.
Dua hari sebelum Yesus disalib, ada informasi Yudas bersepakat dengan para Imam Yahudi untuk menjual Yesus dengan 20 keping perak. Beberapa orang Kristen juga biasa berpuasa pada hari Rabu untuk mengenang hal tersebut. Kebetulan, masa kemudian, pembuka 40 hari Prapaska jatuh pada hari Rabu. Maka Rabu dan Jumat - yang sebetulnya dipilih orang Kristen hanya agar berbeda dengan orang Yahudi yang berpuasa pada Senin dan Kamis - lazim diisi dengan berpuasa, terutama selama Prapaska. Jadi ini berpuasa di sini adalah berduka karena mengingat Kristus yang sedang sengsara, tetapi berpuasalah dengan "tidak muram mukamu."
III. Puasa untuk berbuat derma
Tradisi puasa derma kita peroleh dari disiplin spiritualitas kaum asket. Asket Aristides dari Spanyol mengatakan: "Apabila ada orang meminta bantuanmu, tetapi kamu tidak mampu membantunya, maka berpuasalah selama 2-3 hari. Dari bagian lebih puasamu itu, kamu dapat membantunya." Rahib Antonius dari Pispir-Mesir tidak memakan seluruh rotinya. Ia menyisihkan separo dari makanannya untuk ia berikan atau relakan bagi orang yang membutuhkan. Benediktus dari Nursia mengajarkan para rahib muridnya untuk berpuasa pada hari-hari Rabu dan Jumat, agar mereka dapat menolong kekurangan orang lain di luar tembok biara. Ajaran para asket ini merupakan sumber tentang berpuasa untuk bederma atau melakukan derma karena berpuasa.
IV. Penutup
Kedua landasan puasa di atas, jelas tidak terhubung dengan kebiasaan dan praktek puasa yang populer dipraktekkan, semisal:
1. Perjuangan terhadap sesuatu, seperti puasa Daud, Ester, usir setan, memilih MJ, dsb.
2. Mengejar kesalahen, seperti doa-puasa semalam suntuk.
Puasa dilakukan karena pengurbanan Kristus. Oleh karena itu, puasa Kristen seharusnya membawa manfaat atau menjadi berkat bagi penderitaan manusia.
*) Makalah ini disampaikan pada bulan Ramadhan atau 4 Oktober 2007 di aula STT Jakarta.
Jumat, Desember 07, 2007
PUASA
LITURGI-LITURGI NATAL
Umumnya, Gereja-gereja merayakan Natal sebagai berikut:
1) Hari raya kelahiran Yesus pada senja antara pukul 18.00 dan tengah malam sekitar pukul 23.00 pada tanggal 24 Desember (missa in nocte, misa malam). Kebaktian Natal I Ini adalah satu dari tiga liturgi Malam. Dua yang lain ialah Paska (setelah Sabtu Sunyi) dan Pentakosta. Pembacaan pertama pada tahun liturgi A-B-C adalah kesaksian Yesaya tentang pemenuhan pengharapan mesianis dengan datangnya Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai (Yes 9:1-6). Pembacaan kedua tahun A-B-C adalah tentang kasih karunia yang menyelamatkan (Tit 2:11-14). Pembacaan Injil tang kelahiran Yesus menurut Lukas (Luk 2:1-20) untuk tiga tahun liturgi. Pemanggungan dengan dekorasi bayi Yesus dengan para gembala (sering ditambahkan dengan para majus) di sekitar kandang adalah pengaruh Fransiskus Asisi (1181-1226). Tujuan semula adalah untuk menggambarkan penyembahan pada sang Bayi kudus, bukan penjelasan detail peristiwa itu. Fransiskus ingin menampilkan tentang penderitaan yang berat atas Sang Bayi: “betapa Dia terbaring di palungan di kandang, dengan kawanan ternak di sekitar-Nya”.
Ketiga liturgi Natal dibuka dengan doa pembuka dan simbolis cahaya atau lilin: “Engkau membuat malam kudus ini berseri dengan kemulian Yesus Kristus, Terang kami, penglihatan yang bersinar dan yang baru dari kemulian-Mu “.
Doa Persembahan: “Kami dijadikan Putera-Mu, kemanusiaan (atau: kelemahan) kami disatukan dengan keilahian-Nya (atau: kemulian-Nya).” Sebuah antifonal dari Mazmur 2:7 dinyanyikan untuk menghantar kepada misteri Natal. Antifonal ini ditambahkan: “Tuhan berkata kepadaku, Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakan pada hari ini. “Lalu sambil berlutut umat mengucapkan pengakuan iman terutama pada bagian konsep dan kelahiran Yesus.
2) Kunjungan para gembala menjumpai Sang Bayi pada fajar (missa in aurora, misa surya). Ibadah Natal II ini dilaksanakan sekitar pukul 06.00. Secara kronologis, kebaktian kedua ini adalah kebaktian Natal terakhir yang dirayakan (pada abad ke-6), setelah kebaktian malam dan siang dilaksanakan.
Penekanan pada liturgi fajar untuk tahun A-B-C ialah Lukas 2:15-20, walaupun yang dibaca adalah 2:1-20. Liturgi ini sangat sederhana dengan memperlihatkan para gembala yang menyembah Bayi Kudus. Antifonal: Terang akan menerangi kami hari ini ¼.” Doa pembuka: “Kami diterangi/dipenuhi oleh cahaya baru dengan kedatangan firman-Mu di antara kami. Terang iman menerangi kata dan perbuatan kami, “Lalu Mazmur responsori (97:11): ‘Terang telah terbit bagi orang benar, dan suka cita bagi orang-orang tulus hati.” Pembacaan Perjanjian Lama dari Yesaya 62:6-12, dan Perjanjian Baru dari Titus 3:4-7 yang menekankan makna kelahiran Yesus sebagai kabar baik bagi orang miskin.
3) Inkarnasi Allah menjadi manusia berdasarkan Yohanes 1:1-14 pada tanggal 25 Desember (missa in die, misa siang). Ibadah Natal III ini dilangsungkan sekitar pukul 10.00. Tema ibadah untuk tiga tahun liturgi, yakni Yohanes 1:1-14, “ Pada mulanya adalah firman,” dibacakan sebagai pembacaan ketiga. Pembacaan Perjanjian Lama sebagai pembacaan pertama ialah Yesaya 52:7-10 tentang kedatangan pembawa berita keselamatan. Pembacaan Perjanjian Baru ialah Ibrani 1:1-12 “Anak-Nya adalah Raja”. Liturgi Natal siang bertema tentang kelahiran kembali Yesus, namun pusat liturgi Gereja ialah kebangkitan Yesus. Oleh sebab itu waktu Natal pun tersirat soal sengsara dan mati dan bangkit Tuhan.
Dewasa ini, lazimnya Gereja di Indonesia menyelenggarakan dua liturgi Natal. Gereja-gereja Protestan lazim melayankan liturgi senja atau malam dan liturgi pagi. Gereja Roma Katolik lazim melayankan liturgi senja atau malam dan liturgi siang.
Sementara Epifania 6 Januari dirayakan oleh Gereja Barat sebagai hari penebusan di dalam hubungan dengan orang Majus. Bagi Gereja Timur, 6 Januari sebagai hari pembaptisan Yesus, dan perkawinan di Kana. Perihal para orang Majus, sebagaimana kesaksian Alkitab, mereka tidak menjenguk Bayi Yesus di palungan pada malam kelahiran-Nya (apalagi berpapasan dengan para gembala), melainkan beberapa waktu sesudahnya (bnd Mat 2:11 “masuk mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya”).
Tentang legenda orang Majus, gereja kini lazim menyatakan ada tiga orang Majus. Ada pula yang menamakan hari Epifania ini dengan Perayaan Tiga Raja. Bahkan dikenal pula nama-nama ketiga Majus, yaitu: Kaspar, Melkior, dan Beltasar. Ketiga nama itu dikenal melalui drama-drama Natal yang muncul dan mulai digunakan pada abad ke-9. Alkitab (Mat 2:1-12) sendiri tidak menuliskan berapa jumlah orang Majus dari Timur itu. Alkitab hanya menuliskan tentang tiga persembahan mereka, yaitu: emas, kemenyan, dan mur (Mat 2:11).
Rabu, Desember 05, 2007
TAIZÉ
oleh : Rasid Rachman
Lokasi bagi komunitas oikumenis
Desa kecil Taizé: desa pertanian dan peternakan, tersembunyi di perbukitan Burgundy, di Perancis Timur tak seberapa jauh dari kota Cluny dan Cîteaux. Sejak tahun 1940 (waktu Roger Louis Schüte (21) pertama kali tiba di sana pada 20 Agustus), tempat itu telah menjadi komunitas oikumenis para bruder yang berdoa tiga kali sehari sebagai pusat kehidupan mereka: pagi, siang, dan senja. Tanpa sengaja namun disadari oleh Bruder Roger, tempat ini melambangkan corak Taizé yang diapit oleh dua tradisi biara yang pernah saling bertentangan dalam menafsirkan dan menerapkan Regula Santo Benediktus (± 530 – ± 540) menurut Benediktus Nursia (± 480 – ± 543). Biara Cluny pada abad ke-10 hingga ke-12 memegang kendali kehidupan biara, moral, budaya, dan politik, dalam semangat kesatuan umat manusia. Cîteaux adalah pewaris tradisi pertapaan dan kehidupan meditatif dalam rangka membangun pembaruan Gereja. Dari tempat inilah lahir tradisi cisterciensis pada abad ke-11 oleh Robert Molesme. Semangat berperan aktif dalam sejarah dunia (gaya Cluny) dan kehidupan meditatif (gaya Cîteaux) merupakan warna kehidupan di Taizé.
Dua hal utama bagi Bruder Roger adalah: 1) doa bersama dan saat-saat meditasi, dan 2) berbicara atau berjumpa dengan mereka yang tersisih untuk memahami kemanusiaan. Kedua hal ini mencerminkan semangat “ora et labora”, moto kehidupan monastik sejak gurun pasir.
Dewasa ini sebagaimana kebanyakan biara di dunia, Taizé adalah tempat bagi pengunjung dan peziarah yang berasal dari berbagai latar belakang dan usia. Mereka berpartisipasi di dalam pertemuan-pertemuan internasional melalui doa dan refleksi.
Forum oikumenis itu adalah impian Roger sendiri. Ia – dilahirkan pada 12 Mei 1919 dan wafat pada 2005 – mendambakan komunitas “bagi Kristus dan Injil”, yang menggumuli persoalan umat manusia. Roger menyadari bahaya dan risikonya, namun impian bahwa tempat kediamannya akan menjadi tempat kediaman bagi siapa pun yang membutuhkan jauh lebih besar daripada rasa takutnya. Waktu itu sedang berkecamuk perang dunia. Rumahnya menjadi tempat penampungan dan persembunyian para pengungsi, terutama orang Yahudi, yang melarikan diri dari kejaran Nazi. Tahun 1942, Gestapo Jerman mengusirnya. Roger melarikan diri ke Katedral Saint Pierre di Jenewa-Swiss, dan kembali ke Taizé pada tahun 1944. Di dalam kenangannya, ia menulis: Senja tahun 1942 itu, dengan rasa takut yang luar biasa, aku berdoa kepada Allah tanpa sungguh-sungguh mengerti ucapanku sendiri, “Ambillah hidupku jika Kauanggap pantas, tetapi biarlah apa yang telah dimulai di sini, dapat terus berlangsung.”
Dua tahun setelah ia sendirian, ikutlah seorang calon bruder, dan seorang lagi pada tahun berikutmya. Pada tahun 1949, tujuh bruder menyerahkan diri kepada kehidupan membiara dan mengucapkan kaul untuk hidup dalam komunitas dan berselibat. Salah seorang adalah Bruder Robert, penyusun musik Taizé. Roger sendiri menjadi Abas. Satu-dua tahun kemudian jumlah mereka mencapai belasan bruder. Kini, para bruder berjumlah 90-an orang hidup di Taizé dengan mengenakan jubah putih. Semangat menerima semua orang – termasuk pelarian komunis dan umat beragama lain – tetap menjadi corak Taizé.
Sesuai semangat membiara ora et labora dan pola kerasulan aktif gaya clunian (di samping kontemplatif gaya cisterciensis), tidak semua bruder selalu tinggal di biara Taizé. Beberapa di antaranya hidup di dalam kelompok-kelompok kecil, yakni di dalam frateran yang berlokasi di antara kaum miskin di berbagai benua. Salah satu frateran berlokasi di wilayah kumuh kota New York. Pada tahun 1952, dua belas bruder pergi ke daerah-daerah industri untuk menggumuli keadilan bersama kaum buruh. Di mana pun mereka berada, berdoa tiga kali sehari tetap dijalankan. Walaupun Taizé merayakan ibadah mingguan dan tahunan, namun sebagaimana kebiasaan biara ibadah harian atau ofisi tetap diutamakan. Dengan demikian, semangat ora et servitia dijalankan dengan taat dan tertib.
Panggilan hidup Taizé adalah memenangkan persekutuan dengan semua orang. Sejak semula, komunitas ini berupaya dalam rekonsiliasi antara sesama Kristen yang terpecah ke dalam berbagai denominasi. Namun, tujuan dari pekerjaan para bruder Taizé adalah umat manusia di dalam kesatuannya.
Taizé dan Gereja
Pada mulanya, para bruder Taizé berasal dari berbagai denominasi Protestan. Komposisi tersebut berangsur-angsur berubah. Sejak tahun 1968 hingga kini, sepertiga dari jumlah bruder Taizé berasal dari Roma Katolik. Juga bergabung beberapa biarawan Fransiskan (menurut Franciscus Asisi [1182-1226]) dan rahib Ortodoks. Warna utama Taizé adalah komunitas oikumenis dan internasional. Ada 90 bruder, berasal dari 25 negara di dunia, termasuk seorang dari Indonesia. Sejak tahun 1966, para anggota kongregasi suster Katolik internasional, yang hidup menurut Ignatius Loyola (1491-1556) turut mengambil bagian dalam pekerjaan para bruder Taizé. Biara susteran ini tidak berjauhan dengan biara bruderan.
Komunitas Taizé bercorak oikumenis. Oleh sebab itu, Taizé menjalin kerjasama dengan Vatikan-Roma (pusat Roma Katolik) dan Konstantinopel (pusat Ortodoks Timur). Bahkan beberapa bruer Taizé adalah staf Jenewa-Swiss (kantor Dewan Gereja se-Dunia), misalnya Max Thurian († 1996, salah seorang editor buku Baptism and Eucharist Ecumenical Convergence in Celebration). Dua bruder pernah mengikuti Konsili Vatikan II (1962-1965) sebagai pengamat. Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Taizé pada tahun 1986, sedangkan beberapa Uskup telah melakukannya sejak tahun 1970-an. Dengan Bunda Teresa († 1997) dari Kolkata-India pun Bruder Roger kerap saling berkisah.
Uskup Agung Canterbury-Inggris dari Gereja Anglican dan 1000 pemuda berziarah ke Taizé pada tahun 1992. Ini merupakan kelanjutan dari pertemuan dan diskusi beberapa Uskup Anglican di Taizé yang telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Momen-momen tersebut menandakan bahwa Taizé berterima bagi berbagai denominasi, vice-versa.
Taizé dan pemuda
Selama dua puluh tahun pertama, Taizé hidup terisolasi. Namun sejak tahun 1970-an, orang-orang muda mulai bertamu ke Taizé. Dari hari ke hari, jumlah tamu semakin bertambah. Mereka berasal dari berbagai negara, bergabung di dalam doa bersama dan sharing, sambil membarui komitmen hidup. Ada pula yang datang dengan pergumulan berat dan untuk mencari keheningan. Sekalipun jumlah orang yang tertarik mengunjungi Taizé hingga mencapai ribuan (pada masa Paska bisa mencapai ± 10 ribu), namun Taizé selalu menolak untuk membuat suatu “gerakan baru”.pada tanggal 30 Agustus 1974 diadakan pertemuan raya pemuda di Taizé. Suatu saat yang telah lama dirindukan oleh Bruder Roger. “Konsili Pemuda” ini diikuti oleh 40 ribu orang dengan tujuan memampukan orang muda membantu Gereja untuk melupakan rasa egoisme, kehormatan diri sendiri, dan kuasa. Rasanya mustahil membicarakan Taizé tanpa hubungannya dengan pemuda. Secara rutin para bruder dan pemuda saling bersurat dan memperhatikan. Walaupun beberapa tamu Taizé tidak lagi muda usia dan lanjut usia, namun jumlah terbesar adalah pemuda.
Setiap tahun, Bruder Roger – baik sendiri maupun grup – menulis surat yang mengusulkan kemungkinan konkret bagi komitmen. Beberapa hal menyangkut soal kehidupan. Surat-surat itu ditulisnya baik di Taizé maupun ketika berada di antara kaum papa dan pemukiman kumuh (Bangladesh, Kalkuta, Laut Cina Selatan, Afrika, Amerika Latin). Lalu dipublikasikan setiap akhir tahun dalam Pertemuan Raya Pemuda Eropa. Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar seratus ribu pemuda dari seluruh Eropa untuk berdoa dan berefleksi selama lima hari.
Selain surat, Bruder Roger juga membuat catatan harian (le journal). Di antaranya yang telah dibukukan, yaitu: Festival (La fête soit sans fin): Journal 1969-1970; A Life We Never dared Hope for (Vivre l’inespéré): Journal 1972-1974, dan The Wonder of Love (Étonnement d’un amour): Journal 1974-1976. Semuanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Isinya tentang pedoman yang bertolak dari pengalaman pribadi dan sejarah. Tak jarang, catatan harian itu bercerita tentang atau ditujukan bagi seseorang atau pasangan, yang ditulis baik nama inisialnya saja maupun nama sebenarnya.
Apakah pemuda Indonesia dapat bertamu ke Taizé? Mengapa tidak? Setiap pemuda, bahkan setiap orang, diundang untuk berefleksi dan berdoa di Taizé. Banyak orang memimpikannya, sebagian telah menjadi kenyataan. Adalah suatu kesempatan terindah jika kita berjumpa dan berbagi kisah dengan sesama pemuda dari berbagai penjuru dunia selama beberapa hari.
Musik Taizé
Semula musik Taizé diambil dari musik Gereja yang dikenal di Perancis. Misalnya Koral dan Mazmur dari abad ke-16. Beberapa psalmody kemudian ditambahkan oleh Joseph Gelineau. Lambat laun, perbendaharaan musik untuk ibadah Taizé semakin bertambah.
Kini, salah satu daya tarik Taizé adalah musiknya yang khas. Sangat jarang orang muda menyukai musik biara, namun lain halnya dengan musik Taizé. Iringan nyanyian dengan berbagai alat musik, semisal: trompet, organ, gitar, merukan daya tarik khas juga bagi kaum muda. Bahasa yang digunakan untuk sebagian besar nyanyian adalah Latin, Inggris, Perancis, dan Jerman. Ada juga beberapa nyanyian dalam bahasa Italia dan Spanyol. Nyanyian-nyanyian Taizé dinyanyikan dalam rangka ibadah harian, namun ada pula pribadi dan kelompok yang tidak memanfaatkannya sebagai musik ibadah.
Adalah Jaques Berthier dari Auxerre (1923-1994) yang banyak andil dalam menciptakan musik Taizé sejak Paska 1974. Nyanyiannya yang pertama adalah nyanyian Natal. Momennya adalah “konsili pemuda” itu, sehingga musik Taizé memang diciptakan sedemikian rupa agar supaya pemuda tertarik dengannya. Cantata Domino, Christus vincit, Magnificat (NKB 54) adalah nyanyian-nyanyian yang diciptakan untuk momen tersebut. Sejak itu, ia bersama Bruder Robert merencanakan dan menyusun nyanyian-nyanyian yang lain.
Pola nyanyian pendek secara kanon adalah pola pertama musik Taizé gaya Berthier. Namun, untuk menghindari kebosanan, maka dibuatlah ostinato (frase pendek dan berulang-ulang) delapan birama dan bersyair Latin di dalam kanon. Ostinato dinyanyikan oleh seluruh umat, dan di bagian resitasi ini dinyanyikan oleh solis atau prokantor. Demikian, ostinato dalam nyanyian itu menjadi refrein. Yang pertama adalah Miserere mei. Kemudian, oleh karena ada pula tamu Taizé yang berasal dari Inggris dan Amerika, maka dibuatlah pula nyanyian Jesus Remember Me pada tahun 1979. Kemudian menyusul nyanyian-nyanyian dalam bahasa-bahasa lain.
Musik Taizé yang khas: sederhana, meditatif, dan bermutu itu, dilatarbelakangi oleh berbagai musik Gereja yang lama telah ada. Berthier mengoleksi dan menyukai musik gregorian (± abad ke-9), musik Giovanni P. Palestrina (± 1525 – 1594), pola musik Klasik (1750-1830), dan nyanyian rakyat tradisional. Koleksinya berasal dari ayahnya dan ayah mertuanya yang adalah pemusik kondang pada zamannya. Kedua ayah itu adalah sekaligus guru musiknya.
Di samping itu, dedikasi Berthier yang mencintai musik liturgi sangat membantu pengembangan musik Taizé sehingga dikenal luas. Berthier sendiri bukan rahib, namun ia mencintai komunitas monastik. Ia memiliki hubungan dengan biara lain, selain Taizé, misalnya dengan Cistercian Francophone Liturgy Commission. Ia membantu pengembangan musik biara dengan sekali-sekali tinggal bertamu di biara. Di kala ia bertamu di biara dalam waktu singkat, ia bukan hanya suka memainkan organ, tetapi ia juga memberikan seorang organis bagi biara tersebut.
Musik-musik tersebut: musik modal dan musik tonal, melatarbelakangi musik Taizé. Dari antara sekian banyak nyanyian Taizé, ada puluhan nyanyian yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Empat puluh di antaranya diterjemahkan oleh Pendeta H.A. van Dop dan diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Beberapa puluh yang lain diterbitkan oleh pribadi atau lembaga yang tidak jelas informasinya, nama buku-bukunya dijual bebas di pasaran. Demikian pula dengan kaset-kaset musik Taizé bertebaran di beberapa toko buku-kaset rohani di Indonesia. Oleh karenanya, tidaklah terlalu sulit untuk mengenal dan menikmati musik Taizé dewasa ini.
Perziarahan
Natal 1982 di Libanon, Bruder Roger mempermaklumkan dimulainya “ziarah rekonsiliasi sedunia”, melalui pertemuan dan perkunjungan di antara orang Kristen dan semua orang yang berkehendak baik di seluruh dunia. Tujuan perziarahan ini adalah saling memberikan dukungan agar Injil menjadi nyata di dalam hidup manusia, mencari bentuk rekonsiliasi yang konkret di antara umat Kristen dan umat lain, dan mencari cara-cara untuk meringankan penderitaan dunia. Seruan ini bersambut dengan diadakannya beberapa pertemuan yang lebih besar. Pertemuan pertama diadakan di Madras India pada akhir tahun 1985.
Pertemuan sejenis ada di Bandung, di susteran Ursulin jalan Anggrek 60. Sesekali, susteran ini mengadakan pertemuan Taizé secara kolosal, seperti pada tahun 1995 dan tahun 1999, bahkan mungkin lebih sering daripada itu. Pertemuan-pertemuan ini dihadiri oleh ratusan pemuda dari kota-kota sekitar Bandung dan Jakarta, dan biasanya dipimpin oleh bruder Taizé. Ibadah harian di STT Jakarta juga bercorak Taizé. Beberapa kali bruder Taizé mengunjungi Indonesia dan mengadakan retret. Setiap tahun pula, mahasiswa STT Jakarta dan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana berpraktek selama sekitar tiga bulan di Taizé sejak tahun 1980-an. Hingga kini, dan ditopang oleh semakin banyaknya publikasi tentang komunitas yang satu ini, keberadaan Taizé tidak asing lagi.
Pustaka acuan
J.L. Gonzales Balado, The Story of Taizé, dalam Brother Robert, Music from Taizé, Colin 1986, h iv-xi.
Marie-Pierre Faure, Jacques Berthier, a Friend of God. Tanpa nama majalah, h 83-86.
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja IV. Cipta Loka Caraka 1994, h 345.
Pusat Musik Liturgi, Tokoh Kita: Jaques Berthier, Warta Musik 3/XXII/1997, terj.: Karl-Edmund Prier, h 81-82.
Brother Roger, Festival (La fête soit sans fin): Journal 1969-1970.
___________, A Life We Never dared Hope for (Vivre l’inespéré): Journal 1972-1974.
___________, The Wonder of Love (Étonnement d’un amour): Journal 1974-1976.
___________, Taizé, dalam Gordon S. Wakefield (editor), The Westminster Dictionary of Christian Spirituality. SCM Press 1983, h 368-369.
PEJABAT GEREJA DAN MAKNA PENAHBISAN PENATUA
Oleh : Rasid Rachman
Pendahuluan
Sebagai penganut sistem organisasi gereja Presbyterial, GKI memiliki jabatan Penatua. Namun jabatan Penatua sendiri bukan hasil ciptaan GKI. Walaupun telah mengalami beberapa kali pergeseran arti Penatua, namun jabatan ini telah ada sejak lama sekali dalam sejarah Gereja, bahkan akar-akarnya telah ada sejak zaman Alkitab dan Patristik, dan merupakan pengaruh dari budaya masyarakat pada zamannya. Pada pihak lain, kita juga menjumpai ritus penahbisan dalam Gereja. Ritus ini pun bukan hasil ciptaan Gereja, walaupun Gereja-gereja termasuk GKI telah lama lazim mempraktekkannya untuk Pendeta dan Penatua. Tulisan ini hendak memaparkan secara historis dan teologis kedua persoalan ini yang kemudian seolah-olah menjadi satu kesatuan dalam praktek Gereja, bahwa jabatan Gereja diikuti dengan penahbisan.
Dalam studi kecil ini, kami menggunakan istilah penahbisan Penatua ketimbang peneguhan Penatua. Maksudnya adalah bukan untuk “mengotak-atik” yang telah ada, namun untuk mendamaikan dua praktek yang berbeda, yaitu penahbisan (ordinarium) pejabat Gereja dan peneguhan (confirmatio) iman atau biasa disebut Sidi. Sekalipun pada akhir uraian ini, istilah peneguhan tetap digunakan di dalam praktek peneguhan Penatua – untuk sementara kami pun belum tiba pada kesimpulan untuk mengusulkan perubahan pengistilahan –, namun ritus itu dipahami sebagai ritus penahbisan.[1]
Tradisi Yahudi dan Gereja awal
Pejabat agama dalam tradisi Yahudi mengalami beberapa kali perkembangan. Zaman Israel kuno, posisi Imam tidak dibatasi secara profesi dan tugas. Kepala rumah tangga kerap menjadi Imam di rumah. Mereka memimpin doa-doa, kurban, dan hari-hari raya. Bahkan hingga di tanah Kanaan pemimpin bangsa, semisal Musa dan Daud, sesekali memimpin ibadah, walaupun telah terbentuk Imam-imam profesional. Imam-imam bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pemeliharaan “barang-barang kudus”, semisal ruang ibadah, waktu-waktu kudus, hari raya, dsb. Di zaman Kerajaan, muncul profesi Nabi. Para Nabi profesional melengkapi dan mengambil alih pekerjaan para Imam sebagai juru bicara Allah. Setelah zaman pembuangan, para Ahli Taurat dan Rabi mengisi bagian tugas pendidikan bagi umat. Terutama para Imam, Nabi, dan Rabi, di Yerusalem mereka dibantu oleh para Tua-tua dan kemudian kaum Farisi. Tua-tua dan Farisi berasal dari jemaat awam yang membentuk grup pelayan ibadah. Kaum awam sebagai Tua-tua dan Farisi masih mewarnai kehidupan gereja awal hingga akhir abad pertama.[2] Terutama Tua-tua, keberadaan mereka telah ada sejak awal sejarah Israel kuno, namun informasi tentang fungsi mereka sangat sedikit. Minimnya informasi ini kemudian menjadi salah satu indikasi bahwa fungsi mereka memang bukan sebagai pejabat, melainkan karena karisma dan informal. Seseorang yang dianggap senior dalam lingkungan keluarga atau klan, kemudian ia dituakan oleh keluarganya. Seorang Senior dari setiap keluarga dan klan berkumpul, maka kumpulan itu disebut Tua-tua (םירשׂ = sarim [Bil 22:44, Hk 8:6; Ezr 10:8] dan םישׁאר = rashim [Yos 24:1; 1Raj 8:1]; berbentuk kata kerja jamak). Demikian dipahami seseorang berfungsi sebagai Tua-tua hanya apabila ia berada di dalam korps Tua-tua yang lain. Para Tua-tua tidak melulu untuk segala hal dan tempat. Ada kalanya, Tua-tua berfungsi di tingkat kota, wilayah, atau suku.[3] Mereka tidak perlu tua usia, tetapi harus menaati Taurat dan hidup dengan benar menurut ukuran moral. Para Tua-tua ini mengatur peribadahan dan pemeliharaan sinagoge-sinagoge di daerah-daerah terpencil,[4] terutama ketika Imam dan Lewi tidak ada di tempat. Pada setiap hari Sabat, semua Imam berangkat ke Yerusalem selama 2-3 hari. Sebagai gantinya, kaum Farisi secara suka rela dan serius menggantikan tugas para Imam dalam memimpin ibadah.[5] Tugas para Tua-tua atau kaum Farisi ini berkelanjutan hingga zaman Perjanjian Baru, di mana status mereka menjadi mapan di mata umat dan Imam-imam Yahudi.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan teladan kepada para Rasul untuk melayani dan sebagai pelayan, namun bukan yang dilayani, walaupun dia lebih besar (ούχί ό άνακείμενος ;). Lukas 22:27 “Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan (διακονος).” Dengan menggunakan istilah pelayan atau diakon ini, penulis Injil mempersaksikan bahwa di dalam Gereja (atau sejak peristiwa Yesus) tak ada lagi pembedaan secara tegas antara jabatan Imam dan umat awam.[6] Petugas sebagai pelayan ini merupakan hal yang berbeda dengan yang dilakukan oleh umat Yahudi di Bait Allah di zaman penulis Injil, namun justru berakar dari tradisi Yahudi kuno ketika kepala rumah tangga adalah juga imam di keluarga. Kemungkinan terbesar, penulis Lukas dan Yohanes (13:1-17) melihat pada praktek ibadah Yahudi di Sinagoge setelah Bait Allah runtuh tahun 70. Tidak seperti di Bait Allah yang memiliki Imam Besar dan Imam-imam Kepala, di Sinagoge atau rumah doa tidak ada jabatan kelembaga-agamaan. Yang ada adalah para petugas yang tugasnya memang melayani umat dalam ibadah, yaitu kaum Farisi, Rabbi, Tua-tua, dsb.
Dalam perkembangan selanjutnya secara eksplisit dalam Gereja awal, Paulus menginformasikan tentang adanya jabatan kelembaga-agamaan. Yaitu para Rasul, para Nabi, para Pengajar (1Kor 12:28 άποστόλους, προφήτας, διδασκάλους; Gal 6:6), dan inilah yang disebut para Pemimpin (Rm 12:8 προϊστάμενος [t, nom]; 1Tes 5:12-13 προϊσταμένους [j, ak]) yang merupakan primus inter pares (yang terutama di antara yang sama). Selain itu ada pula para Penatua (1Pet 5:1; Yak 5:14; Kis 11:30 πρεσβυτέρους), para Penilik (Kis 20:28 έπισκόπους; Flp 1:1; 1Tim 3:1), dan para Diakon (Kis 6). Jabatan-jabatan tersebut dinilai sejajar kedudukannya, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Penyebutan pejabat tersebut tertulis dalam bentuk jamak bahasa Yunani, artinya tidak ada seseorang yang mengepalai semuanya (κύριος), melainkan suatu dewan atau kepemimpinan kolektif (κύριοι).[7] Hal tersebut dipahami bahwa para pejabat dan penyebutan jabatannya tidak serta merta berada bersama-sama dalam sebuah Jemaat. Bahkan jabatan presbuteros dan episkopos – sebutan yang jarang sekali disebut hingga akhir abad pertama – tidak menunjukkan dua perbedaan tingkat pelayanan.[8] Sebutan yang juga digunakan adalah saudara-saudara (άδελΦοί).
Pejabat-pejabat tersebut tidak jelas berhubungan dengan pelayanan liturgi dan jabatan lembaga. Walaupun Rasul, dan kemudian termasuk Diakon, kena mengena dengan pelayanan liturgi sebagai pelayan Firman, namun pekerjaan Rasul dan Diakon lebih dipahami sebagai gembala dan pemerhati bagi kawanan domba Allah.[9] Itulah juga sebabnya jabatan Imam (pemimpin ibadah) tidak disebut, sebab jemaat adalah imam (1Pet 2:9) dan umat Kristen adalah imam-imam bagi Kristus (Why 1:6 ίερείς [j, ak]). Surat Paulus tentang ketiga jabatan tersebut pun bukan merupakan sebuah gagasan deskriptif bahwa ketiga jabatan itu harus dimunculkan dalam Gereja, melainkan sebuah realitas yang telah lebih dahulu berlangsung di Korintus. Itu sebabnya, Paulus lebih menekankan karunia untuk melayani (1Kor 12:29-31 χαρίσματα).[10] Sayang, keadaan tersebut tidak berlangsung lama, setidaknya di Jemaat Antiokia. Pada awal abad ke-2, “muncul” ajaran Ignatius (± 35 – ± 107) akan seseorang tertinggi dari dewan Penatua dan Diakon, yang disebut Uskup. Jabatan Uskup ini kemudian ditahbiskan. Ia dipilih dari antara Penatua menjadi Uskup (sacerdos secundi ordinis).[11] Kepejabatan Uskup dalam suatu Jemaat menurut Ignatius – kemudian didukung oleh sejumlah Uskup – merupakan gambaran penyatu Gereja dari bahaya perpecahan oleh ajaran lain. Wewenang utama Uskup adalah pemimpin dalam perayaan ekaristi.[12] Hanya sejauh ini, penahbisan para pelayan tidak disinggung.
Penahbisan para pelayan hanya tertulis dalam kitab-kitab Lukas, masing-masing satu ayat, yaitu: Injil Lukas (± 80) dan Kisah Para Rasul (± 80 – 90). Penahbisan tersebut dilakukan dengan cara menumpangkan tangan (jamak) oleh para Rasul ke atas tujuh Diakon (6:6 έπέθηκαν, έπιτίθημι = meletakkan, menaruhkan, menambahkan; bnd Luk 24:50 έπάρας τάς χείρας). Perikop Lukas ini dapat pula dilihat sebagai penahbisan oleh Yesus kepada para Rasul. Penumpangan tangan merupakan tanda adanya “penambahan” pada orang yang ditumpangkan tangan.[13] Penambahan itu, selain dilihat sebagai penambahan tugas berdasarkan karisma seseorang atau wewenang pelayanan, juga dilihat sebagai tanda pencurahan karunia Roh Kudus (bnd 1Kor 12). Menurut dokumen Syria (± 400) lama di zaman kemudian, bukti penambahan itu adalah mereka yang ditahbiskan menerima kuasa dan otoritas berbarengan dengan penumpangan tangan dan pencurahan Roh Kudus (Luk 24:50 ⇔ Kis 1:8).[14] Pengangkatan yang disertai dengan penumpangan tangan tersebut juga menjelaskan tentang pekerjaan Rasul dan Diakon, yaitu: melayankan Firman Tuhan (Kis 6:4 διακονία τού λόγου) bagi Rasul dan melayankan meja Tuhan bagi Diakon (Kis 6:2 διακονείν τραπέζαις).
Sejauh ini ritus penahbisan “tidak populer” hingga abad ke-2 di Roma, sehingga sulit dibuktikan bahwa Kis 6 merupakan bukti awal pembentukkan jabatan Diakon. Apalagi, hingga abad ke-2, jabatan Diakon seakan “lenyap” dalam dokumen Gereja.[15] Juga sulit dibuktikan adanya hubungan langsung antara penahbisan dan tugas pelayanan. Hanya,
Sekalipun di Kis 6 tidak disebutkan bahwa ketujuh orang yang diberi tugas untuk melaksanakan pekerjaan diakonia seperti yang dimaksud di sini adalah diakonoi, namun mungkin sekali bahwa asal-usul nama diakonos yang tugasnya seperti tersebut di atas, dalam Gereja perdana berasal dari peristiwa yang terjadi di Yerusalem itu. Bahkan seluruh Perjanjian Baru, kecuali Kis 6 dan Rm 12:6-8, tidak memberi keterangan apa pun yang lengkap tentang pekerjaan Diakon.[16]
Bentuk pelayanan sebagai hamba rupanya lebih ditonjolkan ketimbang jabatan Diakon, walaupun di beberapa Jemaat sebutan Diakon dikemukakan secara eksplisit, sebab memang terdapat juga di dalam Alkitab (Flp 1:1; 1Tim 3:8-13). Namun apakah sebutan tersebut berada dalam pemahaman sejajar dengan jabatan dewasa ini, tidak ada penjelasan. Semua orang yang melakukan pekerjaan bagi Kristus disebut diakonos. Bahkan ketujuh Diakon (Kis 6) yang diangkat oleh para Rasul pun tidak secara tegas disebut sebagai pejabat Diakon, kecuali bahwa mereka membantu para Rasul dalam hal pelayanan meja supaya pelayanan Firman tidak terabaikan.[17]
Di antara berbagai jabatan Gereja sejak zaman Perjanjian Baru, jabatan Penatua (Presbuteros atau seniores) terlihat relatif lebih banyak disebut ketimbang jabatan-jabatan lain. Hal ini mengindikasikan pentingnya dan langgengnya jabatan tersebut dalam fungsinya di dalam Jemaat. Surat I Clemens 1:1 (± 96) dari Roma menuliskan bahwa mereka adalah para pemimpin Jemaat yang patut dihormati dan diteladani (έλλόγιμοι άνδρες).[18]
Sementara, jabatan Uskup baru muncul di masa awal abad ke-2 ini. Selain Ignatius, secara khusus dan berbeda Diadakhe (± 90 – ± 150) menyinggung soal jabatan Uskup. Pejabat Gereja ini dilihat fungsinya sebagai jabatan kelembaga-agamaan.
15:1 “Oleh karena itu, pilihlah bagimu para Uskup dan para Diakon yang layak dari Tuhan, orang-orang yang lemah lembut (meek) dan tidak tamak (covetous), benar dan diakui, sebab keberadaan mereka bagimu adalah melakukan pekerjaan para Nabi dan para Pengajar.”
15:2 “Oleh karena itu, janganlah kalian memandang rendah mereka, sebab mereka adalah yang terhormat di antaramu, bersama dengan para Nabi dan para Pengajar.“
Para Uskup (bukan individu!) dan para Diakon di dalam suatu Jemaat menjalankan fungsi atau melayani bersama Nabi dan Pengajar, bukan hierarki sebagai Imam atau seorang pemimpin sebagaimana Imam Besar di antara Imam-imam Kepala dalam Sanhedrin. Nabi dan Pengajar disinggung dalam Didakhe 13:1-2. Memperhatikan proses pemilihannya, besar kemungkinan para Uskup dan Diakon tersebut dipilih berdasarkan wibawa karismatis dari komunitas jemaat sendiri. Menengok ke zaman para Rasul, wibawa karismatis seseorang calon pemimpin Jemaat berhubungan dengan orang-orang yang pertama-tama bertobat (άπαρχαί = sulung [bnd 1Kor 16:15]) dalam Jemaat.[19] Dengan demikian jabatan tersebut masih sangat berbaur dan belum terlalu dibatasi menurut pengotakan yang beku:[20] baik di antara jenjang para pejabat, maupun antara Imam dan umat, apalagi gelar-gelar tertentu atau ritus penahbisan. Hierarki (hierarch = kepala ulama; ίερεως = imam, άρχή = pemerintah, permulaan, penguasa [άρχιερέα = Imam Besar, άρχιερείς = Imam-imam Kepala]; sacerdos = Uskup, pemegang jabatan kudus, terhormat) jabatan Gereja baru muncul pada zaman kemudian setelah abad ke-2 ini. Hingga abad ke-2, penamaan “jabatan” tersebut lebih mengindentitaskan bentuk pelayanan dan pekerjaan seseorang di dalam Gereja, tetapi bukan dalam pengertian jabatan atau pejabat Gereja seperti pemahaman masa kini.
Penahbisan pada zaman Patristik
Sejauh ini penahbisan atau penumpangan tangan tidak disinggung dalam Didakhe. Walaupun ada ritus penahbisan dalam lingkup terbatas di Jemaat-jemaat, namun hanya dikenakan bagi Uskup seorang. Pada abad ke-2 setelah Ignatius, Uskup ditahbiskan dan ia seorang diri dipandang sebagai gambaran kesatuan tubuh Kristus dan penerus asli pengajaran Kristus sebagaimana dikenakan kepada Rasul-rasul. Menurut catatan-catatan Patristik, semisal Ignatius Antiokia (± 35 – ± 117) dan I Clemens 16 (± 211), kehadiran Uskup dalam suatu Jemaat digambarkan sebagai Allah Bapa yang memiliki otoritas penuh. Sementara para Diakon menggambarkan Yesus, dan Presbyter sebagai para Rasul, yakni gembala bagi umat Allah. Ketiga jenis jabatan ini tidak disusun dengan alasan teologis tertentu, namun untuk memenuhi kebutuhan pelayanan Jemaat dan meniru fungsi pejabat yang pernah ada dalam sebagian Perjanjian Baru dan tradisi Yahudi,[21] serta menjadi penjaga keutuhan kawanan domba Allah dari “ajaran-ajaran sesat”. Ketiga jabatan menjalankan fungsi paralel dengan tradisi Yahudi, terutama komunitas Qumran. Yaitu Mebaqqer sebagai penjaga dan gembala kaum Eseni; sejajar dengan episkopos, Tua-tua yang membantu pelayanan Mebaqqer dan Imam.[22]
Praktek dan landasan teologis terhadap penahbisan baru dikemukakan oleh Hippolytus dari Roma (215), seabad lebih awal daripada naskah Syria. Sebelumnya, pemanggilan ke dalam jabatan pelayan Gereja dilakukan berdasarkan pemilihan untuk meneruskan pekerjaan para Rasul. Penahbisan (ordinatio) berhubungan erat dengan hierarki, yaitu bahwa penumpangan tangan hanya dikenakan bagi kaum Imam. Walaupun tradisi penumpangan tangan telah dilakukan oleh beberapa Rabi Yahudi kepada murid-muridnya, namun kebiasaan tersebut tidak berlaku umum. Sebab, selain penumpangan tangan, ada pula yang tidak ditumpangkan tangan. Dalam Kis 14:23 “menetapkan” dan 2Kor 8:19 “ditunjuk”, Penatua “ditunjuk” (χειροτονέω = mengangkat, menunjuk, memilih dengan mengacungkan tangan) untuk melayani.[23] Pada zaman Patristik ini, unsur penunjukkan atau pemilihan rupanya lebih kuat diberlakukan ketimbang penahbisan atau penumpangan tangan. Hingga abad ke-3, baik di Roma maupun di Syria, Uskup dan Presbyter dipilih oleh umat. Hanya di beberapa tempat, Uskup dipilih oleh umat, dan di beberapa tempat lain Uskup dipilih oleh dewan Presbyter.[24] Ada pun pengelompokan para pelayan di Gereja Roma adalah sebagai berikut:[25]
Imam, terdiri dari Uskup, Imam atau Presbyter, dan Diakon
- Uskup dan Imam ditahbiskan dengan penumpangan tangan oleh Imam-imam lain.
- Diakon ditahbiskan dengan penumpangan tangan hanya oleh Uskup.
Bukan Imam, terdiri dari : Subdiakon, Perawan, Pembaca atau Lektor, dan Penyembuh
- Mereka tidak ditumpangkan tangan, hanya dipilih dan diakui.
Memperhatikan bahwa hanya pejabat tertentu, yakni Imam, yang ditumpangkan tangan dan tradisi Yahudi sebelumnya, maka penumpangan tangan dikenakan ke atas pejabat yang memimpin liturgi sebagai Imam. Sedangkan kepada “para pembantu Imam”, penahbisan tidak dikenakan. Pada akhir abad ke-4, Gereja Syria melalui catatan Constitutiones Apostolicae (± 380) menjabarkan pembagian tugas para pelayan Gereja,[26] yaitu:
· Klerus (ditahbiskan), yaitu Uskup, Presbyter, dan Diakon (hanya Uskup yang sendiri dalam satu Jemaat). Uskup bertugas sebagai pelayan Firman, baptisan, dan ekaristi. Presbyter membacakan Injil menggantikan Diakon dan mendampingi Uskup di kiri-kanannya selama ekaristi. Diakon menyiapkan dan membagi roti-anggur perjamuan kudus, menjaga tingkah laku umat (pastoral), dan melantunkan doa-doa.
· Pejabat Minor (tidak ditahbiskan), yaitu Subdiakon, Diakon perempuan, lektor, procantor, kostor, pengusir setan. Tugas Subdiakon adalah mewakili umat dalam doa persembahan dan syafaat, dan membawakan baki pencuci tangan dalam ekiristi. Diakon perempuan membantu Uskup dalam pembaptisan perempuan. Lektor membacakan Perjanjian Lama dan Epistel. Procantor dan cantor menyanyikan Mazmur-mazmur dan nyanyian jemaat. Kostor menyiapkan ruang ibadah dan penjaga umat keluar-masuk ruang Gereja. Pengusir setan melakukan eksorsisme kepada calon baptis pada waktu pembaptisan.
· Umat, bertugas memberikan persembahan roti-anggur, komuni, dan partisipasi dalam liturgi.
Catatan-catatan Patristik ini memperlihatkan jenjang para pelayan dan munculnya hierarki pejabat Gereja, yakni kaum Klerus atau “kalangan terhormat” sejak awal abad ke-3. Penahbisan Imam dan hierarki kian marak dilakukan dalam ritus Roma. Sementara kaum bukan Imam, tetap menjadi awam aktif – semisal: Eksorsis, Lektor, Subdiakon, Diakon Perempuan (ministrae) – dan tidak ditahbiskan.[27] Pada masa maraknya ritus penahbisan tersebut, muncul pula pembedaan antara Imam dan awam di zaman Patristik.
Selain mengikuti tradisi Yahudi, penahbisan Imam merupakan fenomena umum dalam sebagian masyarakat. Penahbisan pun merupakan fenomena normal bahwa seseorang atau sekelompok orang yang bertugas sebagai perantara insani dan Ilahi perlu disakralkan. Pensakralan tersebut merupakan legitimasi bahwa orang tersebut – tanpa mempedulikan usia dan jenis kelamin – mengemban tugas khusus, bukan hanya berdasarkan pemilihan khalayak tetapi juga disahkan oleh Sang Transenden. Pensakralan tersebut dilakukan dengan cara semacam peresmian-pengakuan oleh khalayak untuk jabatan tersebut, yang kemudian dipraktekkan dalam upacara penahbisan dalam Gereja. Posisi khusus sebagai perantara insani dan Ilahi atau “mediator sakral” – entah ia disebut Shaman, Tetua Adat, Nabi, Imam, atau Uskup, dan lazimnya setelah melewati suatu proses pengujian – dapat berlangsung seumur hidupnya, dapat pula secara berkala. Fungsi mediator sakral memang tidak melulu soal perayaan ibadah atau kultis. Di dalam masyarakat tertentu, fungsinya juga mencakup soal-soal sosial dan politik, namun keberadaan mediator sakral dipandang bagaikan kehadiran Sang Transenden sendiri di tengah suatu masyarakat dan dalam perayaan ibadah. Mediator sakral memiliki wibawa dan otoritas untuk menyampaikan sabda dalam nama Sang Transenden. Hal ini dapat dibandingkan dengan Yesus, Yohanes Pembaptis, dan para Nabi Perjanjian Lama, yang berbeda dengan peran Guru atau Rabbi yang terbuka terhadap perbantahan dari para murid.[28] Absennya mediator sakral dapat merupakan mulai masuknya budaya sekular dalam masyarakat, sebab ia adalah penjaga dan pemelihara umat terhadap sekularisme dan moral. Dalam masyarakat lingkup kecil, peran dan fungsi mediator sakral ini terjadi dalam keluarga. Sang ayah – demikian dalam masyarakat Romawi kuno dan Yahudi kuno – berlaku sebagai imam dalam keluarga.[29]
Isi penahbisan adalah penumpangan tangan dengan resitasi doa-doa bagi si tertahbis oleh para Imam. Pada penahbisan Uskup menurut naskah Hippolytus, si tertahbis – mirip dengan penahbisan Pendeta di GKI dewasa ini – dikelilingi oleh para Uskup yang memberikan penumpangan tangannya atasnya, sementara para Presbyter berdiri bersama umat untuk mendoakannya dalam doa konsekrasi. Pada penahbisan Presbyter, Uskup dan para Presbyter menumpangkan tangan ke atas si tertahbis. Pada penahbisan Diakon – mirip dengan penahbisan Penatua di GKI dewasa ini – hanya Uskup yang menumpangkan tangannya ke atasnya.[30] Hingga abad ke-3, isi doa-doa penahbisan tersebut tidak seragam. Ada yang berisi permohonan agar tertahbis “mengenakan” hikmat dan otoritas Kristus dalam melayankan perjamuan kudus, ada pula permohonan akan kewibawaan sebagai pelayan Allah atau permohonan agar di tertahbis mampu mengenakan kemuliaan Kristus. Namun dengan adanya ritus penahbisan ini, seseorang yang ditahbis mulai dipandang “lain” dan lebih terhormat di antara kaum awam atau yang tidak ditahbiskan, seperti halnya Imam dan Lewi dalam tradisi Yahudi. Apalagi pada awal Abad-abad Pertengahan, penahbisan juga dipandang sebagai pemberian kuasa ke atas si tertahbis dan kedekatannya dengan kaum bangsawan. Ketika penahbisan di Gereja Roma, Imam bukan hanya menerima cawan dan piring perjamuan kudus, tetapi juga jubah dan aksesori busana yang kuat pengaruh kekaisarannya.[31] Kemudian hari, ke-“lain”-an atau keistimewaan para Imam juga disangkutpautkan dengan soal perilaku seksual dan perkawinan. Beberapa Imam mulai memberlakukan hidup selibat, meniru Paulus (1Kor 7:32-40; bnd Mat 19:12,29).[32] Lambat laun Gereja mulai menganjurkan setiap Imam untuk selibat. Bahkan kemudian Gereja Roma Katolik mewajibkan selibat bagi para Imamnya hingga kini (Presbyterorum Ordinis II:16), sedangkan Gereja-gereja Protestan dan Anglican tidak mewajibkannya, kecuali berdasarkan kehendak pribadi si Pendeta yang bersangkutan.
Keimaman awam dan penahbisan zaman Reformasi
Martin Luther (1483 – 1546) tidak menampik seluruh pengaruh Gereja Roma dan dukungan kekaisaran dalam hal kepemimpinan Gereja. Ia menolak Paus sebagai kepala Gereja Tuhan di dunia dan hierarki jabatan, namun di beberapa tempat para Uskup tetap diangkat sebagai penilik para Pendeta dan karena para Uskup telah ada sejak abad pertama. Hingga kini, Gereja Lutheran adalah salah satu Gereja Protestan yang memiliki Uskup atau Bishop (termasuk Denmark dan Indonesia?, kecuali Jerman). Peran dan fungsi Uskup adalah pelayan Tuhan yang sah bagi Gereja, tidak lebih. Ia bukan Imam karena tidak ada imamat lain di Gereja, namun Uskup adalah Imam bersama dengan jemaat sebagai pengemban “imamat am semua orang percaya”. Oleh sebab itu sebagai konsekuensi dari pemilihannya, Uskup dan Pendeta perlu ditahbiskan, namun penahbisannya tidak dinilai “setingkat” sakramen.[33]
Johannes Calvin (1509 - 1564) memahami pejabat Gereja secara fungsional sebagai pelayan liturgi dan sakramen, yang melaluinya iman umat ditanamkan, diperkokoh, dan dipelihara. Calvin menolak sebutan Imam bagi para pejabat Gereja, melainkan pimpinan kolektif. Pimpinan Gereja adalah sebuah dewan, yang terdiri dari para anggota jemaat dengan tugas atau keahlian khusus. Ada empat jabatan Gereja, yaitu: 1) Pastor (atau kemudian disebut Pendeta) bertugas memberitakan anugerah dan Injil, 2) Pengajar bertugas memberi penjelasan tentang nas-nas Alkitab dan menjadi teladan dari pengajarannya, 3) Penatua melakukan pekerjaan-pekerjaan penjaga atau pemelihara umat, administrasi Gereja, dan sesekali melayankan Firman, dan 4) Diakon melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial. Para pejabat ini ditahbiskan, namun bukan sebagai Imam atau seperti praktek Abad-abad Pertengahan, melainkan sebagaimana pemahaman Gereja awal yakni sebagai tanda legitimasi pemanggilan kepada jabatannya oleh Allah.[34] Dengan demikian baik Pendeta maupun Penatua sebagai Majelis Gereja adalah juga anggota jemaat, yang terpilih dari antara para anggota jemaat sendiri untuk melakukan tugas-tugas penggembalaan, disiplin Gereja, dan pengambilan keputusan. Itulah sebabnya di Gereja-gereja Reformasi terdapat consistorium atau ruang majelis, sebab ada majelis di Gereja (consistory = dewan atau majelis Gereja; ada hubungannya dengan consisto = berdiri, tetap, ajeg, konsisten).
Di dalam Gereja Tuhan, tak ada perbedaan antara Imam atau Rohaniwan dan Pendeta. Setiap Pendeta dan Penatua adalah anggota jemaat, dan setiap anggota jemaat mengemban tugas keimaman apabila dipilih dan sejauh mereka melakukan tugas.[35] Oleh sebab itu, tidak ada bangku khusus, pakaian khusus, mimbar khusus untuk Pendeta atau Penatua, atau hal-hal khusus yang menandakan bahwa seseorang adalah Imam atau bukan melalui tata gerak khusus (kecuali penumpangan tangan: menahbiskan dan peneguhan sidi) dan unsur-unsur liturgi khusus (kecuali sakramen). Bahkan dalam pemahaman Calvin ini, Penatua adalah anggota jemaat yang dipilih untuk menjalankan tugas penggembalaan atau pastoral, sedangkan Pendeta adalah “Penatua Khusus”. Hal ini dapat dibandingkan dengan Tata Laksana GKI[36] XVIII, 59:2 “Penatua adalah anggota sidi yang dipilih dan diteguhkan, dan 59:3 “Pendeta adalah Penatua yang dikhususkan”. Pejabat Gereja adalah alat yang Allah tetapkan untuk menjalankan pelayanan kepada umat dan Gereja. Mereka tidak lebih kudus daripada yang lain, sebab panggilan Allah berlaku untuk semua orang percaya, bukan hanya orang-orang tertentu menurut jabatan.
Walaupun Calvin sangat menekankan bahwa jabatan-jabatan gerejawi mutlak perlu supaya gereja dapat berfungsi dengan baik dan teratur, namun peranan para pejabat hanya untuk melayani, mengantarkan Firman dan sakramen kepada anggota-anggota Gereja. Mereka hanya berwenang sejauh mereka memberitakan Firman secara benar dan melayankan sakramen sesuai dengan kehendak Allah. Dengan demikian ditolak pemahaman bahwa tahbisan secara otomatis memberi wewenang di dalam Gereja. Memang tanpa tahbisan tidak ada wewenang. Tetapi juga, meskipun ada tahbisan, para anggota Gereja selalu harus memeriksa dengan kritis apakah pelayan-pelayan mereka masih dapat diandalkan.[37]
Penahbisan berhubungan dengan jabatan dan tugas-tugas di Gereja, sebab mereka yang tidak berjabatan tidak ditahbiskan, walaupun tetap melayani bahkan mungkin lebih giat daripada yang ditahbiskan. Dalam pandangan Reformasi, penahbisan sendiri bukan dipahami sebagai imamat, melainkan tanda penetapan pemilihan ke atas seseorang menurut jabatannya: Penatua atau Pendeta, untuk menjalankan tugas-tugas dan wewenang Gereja. Bahkan dalam proses menjadi pejabat Gereja, penahbisan hanya merupakan konsekuensi logis dalam tahap itu. Pada umunya, tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketika awal pemilihan dan penetapan, diadakan pengujian iman, moral, dan kesungguhan menyambut panggilan Tuhan akan tugas pelayanan terhadap calon.
2. Persiapan penahbisan melalui puasa dan doa oleh seluruh Jemaat.
3. Penahbisan dalam ibadah Minggu Biasa.
4. Doa penahbisan oleh umat dan Pendeta.[38]
Namun dalam prakteknya, kesan bahwa Pendeta sebagai seseorang yang “lebih” dibanding para Penatua dalam kemajelisan, tidak mudah dihilangkan dalam Gereja-gereja Reformasi. Secara tidak resmi masih banyak anggota jemaat meng-imam-kan atau bahkan men-sakral-kan Pendeta seperti layaknya Imam Besar dalam sebuah Sanhedrin Yahudi atau Uskup dan Imam dalam sebuah keuskupan dan umat awam dalam Gereja Roma Katolik.[39] Hal ini dapat pula dipahami dari teologi Calvin tentang kedua jabatan tersebut. Sekalipun di dalam satu dewan kemajelisan, namun di hadapan Pendeta, Penatua adalah pembantu dan pendamping Pendeta, sebagaimana kaum Lewi di dalam Perjanjian Lama yang mendampingi dan membantu Imam dalam ibadah Kemah Suci.[40] Kesan tersebut muncul bukan semata-mata karena tugas pelayanan mereka yang ditahbiskan, tetapi juga karena wewenang untuk mengerjakan hal-hal khusus ada pada mereka, semisal: Pendeta boleh menumpangkan tangan dan melakukan pelayanan perjamuan kudus, sementera Penatua sebagai pengatur dan pengawas jemaat.[41] Kedua perkara itu tidak diberikan pada umat atau pelayan yang tidak ditahbiskan, bahkan untuk pelayan pembaptisan sekalipun. Walaupun dalam sejarahnya, GKI Jabar (dh. THKTKH-KHDB) pernah mengeluarkan suatu keputusan klasikal tahun 1949 bahwa dalam keadaan tidak adanya Pendeta, maka seorang Toantosu (Guru Injil) dan Tiolo (Penatua) dapat melakukan pembaptisan (Peraturan Gereja, disahkan oleh Persidangan Khu Hwee Jawa Barat di Bandung),[42] namun hal tersebut hanya berlangsung dalam keadaan darurat. Tentang apakah peraturan tersebut pernah digunakan dalam praktek, sejauh ini tidak ada catatan atau orang yang mengingatnya. Peraturan itu sendiri sempat legal berjalan selama sebelas tahun, sebelum akhirnya dicabut melalui Persidangan Majelis Sinode XX tahun 1961. Wewenang pelayan baptisan dikembalikan kepada hanya Pendeta. Bersamaan dengan itu, jabatan Guru Injil pun dihapuskan dalam GKI Jabar.[43]
Wewenang Pendeta – bukan Penatua dan Diakon – untuk menumpangkan tangan dan memimpin perjamuan kudus dapat dilihat kesejajarannya dengan wewenang Uskup pada zaman Patristik. Memang dalam ajaran Ignatius terkesan bahwa Uskup menjadi sentra kehidupan Jemaat yang dibuktikan dengan wewenang tersebut, padahal ia hanya memimpin ekaristi.[44] Namun lambat laun, fungsi dan wewenang Uskup semakin bertambah dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan liturgis yang lain, sementara fungsi liturgis Penatua semakin berkurang. Hal wewenang tersebut diperlihatkan pula dalam formula penahbisan Uskup oleh Hippolytus (215) bahwa Allah telah memilih Uskup untuk memelihara jemaat, mengampuni dosa, dan lain-lain (Apos.Trad. 3). Sementara formula penahbisan Penatua hanya berupa pernyataan bahwa Allah akan mencurahkan Roh Kudus kepada Penatua untuk membimbing jemaat dengan hati yang murni (Apos.Trad. 7).[45]
Penatua dan Penahbisan di GKI
Tata Gereja[46] GKI Jabar pasal 8:1 menuliskan bahwa “Jemaat GKI Jabar dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat (= lembaga dewan) yang terdiri dari beberapa anggota jemaat yang dipilih dan diteguhkan (= dalam ritus penahbisan) untuk itu.” Kalimat dalam kurung adalah tulisan penulis. Pasal 9:1 menuliskan bahwa “Majelis Jemaat terdiri dari Penatua dan Pendeta, yaitu pejabat-pejabat gerejawi”. Hal ini sejajar dengan Tata Dasar GKI pasal 10:1-2 “Penatua dan Pendeta berfungsi memimpin Gereja”. Para pejabat atau Majelis menjalankan tugasnya berdasarkan jabatan “imamat am orang percaya” (9:3). Kalimat pasal 8:1 dan 9:1 ini merupakan indikasi bahwa kepenatuaan atau kemajelisan telah mentradisi di GKI Jabar seturut ajaran Calvin dan sejarah Gereja oikumenis. Ajaran Calvinisme terutama terlihat melalui dipilihnya beberapa anggota jemaat sebagai pimpinan Jemaat dalam kemajelisan dan menjalankan penggembalaan.
Fungsi kepemimpinan tersebut disuratkan dalam Tata Tertib 72 dan 73:1-6, dan sejajar dengan Penjelasan atas Tata Dasar GKI pasal 10:2, 11:2 “hakikat memimpin adalah melayani dan memperlengkapi”. Fungsi Majelis Jemaat adalah sebagai gembala (Tatib 73:2). Soal penahbisan Penatua hanya disebutkan pada tiga pasal Tata Tertib, yaitu 83:6, 84, dan 85, di antara sejumlah pasal tentang Penatua dan Majelis Jemaat (termasuk Tatib 81, 82, dan 85) dalam Tata Gereja dan Tata Tertib. Penahbisan Penatua dalam Tatib 83, 84, dan 85 erat dihubungkan dengan jabatan Penatua (83:5 “calon itu akan diteguhkan ke dalam jabatan Penatua”) dan masa jabatannya (84:1 “Penatua bermasa-jabatan dua tahun, sejak diteguhkan sampai peneguhan dua tahun berikutnya”; 84:2 “Penatua dapat dipilih dan diteguhkan lagi ke dalam jabatan Penatua untuk masa satu jabatan berikut”. Selanjutnya Tatib 85 “jika masa perpanjangannya di BPMS melebih dua tahun, maka Penatua wajib diteguhkan sebagai Penatua untuk satu masa jabatan lagi”.
Hal penahbisan Penatua ditegaskan dalam Tata Laksana Pemilihan Penatua pasal 6:3 “masa jabatan Penatua adalah terhitung mulai tanggal peneguhan yang pertama sampai dengan tanggal peneguhan Penatua dua tahun berikutnya". Tanggal penahbisan Penatua ditetapkan pada Minggu terdekat dengan tanggal 24 Maret (Talak 6:1), ulang tahun Sinode GKI Jabar, dan selalu jatuh pada Minggu-minggu Prapaska. Soal waktu penahbisan Penatua tersebut, rupanya harus ditinjau ulang agar tidak jatuh pada Prapaska. Tatib 83:6 telah membukakan peluang lain agar penahbisan dapat dilaksanakan pada waktu lain, asal “serentak pada bulan bersamaan” dan “ditetapkan oleh Majelis Sinode Wilayah”.
Di GKI Jabar, masa jabatan dua tahun (angka 2) rupanya menjadi normatif sebagai masa berlakunya penahbisan ke dalam jabatan Penatua, yang disebut dengan istilah peneguhan Penatua. Dengan demikian seseorang yang berjabatan Penatua dapat ditahbiskan lebih daripada satu kali, sekalipun ia tidak pernah berhenti dari jabatan tersebut. Kesan kami, GKI Jabar melihat penahbisan Penatua berhubungan dengan masa jabatan atau periode waktu (setidaknya empat ayat menyatakan hal tersebut), tetapi bukan pada jabatan Penatua (hanya Tatib 83:5) atau makna pelayanan seseorang sebagai Majelis Gereja. Guna menghindari kerancuan tersebut – kesan kami – GKI Jabar membedakan antara penahbisan bagi Pendeta dan peneguhan bagi Penatua untuk ritus-ritus yang sebenarnya bernilai sama dan sejajar, yakni menumpangkan tangan (έπέθηκαν τάς χείρας, ordinare). Orang yang tidak ditahbiskan – sekalipun diteguhkan – dalam pelayanan Gereja tidak dilayakkan untuk melakukan penumpangan tangan dan ekaristi; sejajar dengan wewenang Uskup di zaman Patristik dan GKI Jabar tahun 1940-an.
Tentang jabatan Diakon atau Syamas diberlakukan di GKI Jabar Klasis Priangan, sehingga ada Tata Laksana Pemilihan Syamas. Syamas, berasal dari שׁמשׁ = melayani (Dan 7:10); ישׁמשׁ = pelayan (♂), dekat dengan kata רמשׁ = penjaga atau Tuagama, yakni kostor (custos = penjaga), dalam tradisi Gereja Protestan Maluku. Apakah ada hubungan antara syamasy atau syamasyet (♀) dan syemesy (שׁמשׁ), yakni matahari?, kami tidak tahu. Dalam sejarahnya, GKI Jabar pernah memiliki jabatan Syamas (disebut: Tjipsu) hingga tahun 1950-an, namun kemudian dihapuskan.[47] Sebutan jabatan Syamas juga digunakan dalam Gereja Syria dan Gereja-gereja Timur seumumnya, dan Gereja-gereja di Indonesia bagian Timur seumumnya. Sebagaimana Penatua, jabatan Syamas juga ditahbiskan. Bahkan Talak V menuliskan bahwa penahbisan Syamas sama dengan penahbisan Penatua yang didahului oleh sejumlah pasal tentang proses pemilihan dan penunjukan Syamas. Dengan demikian, Syamas adalah salah satu pejabat Gereja yang berada dalam kemajelisan dan ditahbiskan pula, walaupun terkesan jabatan Syamas lebih rendah ketimbang jabatan Penatua dan Pendeta.[48]
Sejauh ini tentang bagaimana cara, siapa penahbis, dan makna teologis historis ritus penahbisan Penatua tidak tertuang, kecuali di beberapa Buku Liturgi dan Talak GKI. Talak GKI XVIII:6.b.3 menuliskan “peneguhan Penatua dilaksanakan dengan penumpangan tangan” oleh Pendeta. Hal ini mengindikasikan bahwa ritus penahbisan telah berterima di lingkungan GKI “seperti biasa”, sehingga semua orang dianggap mengetahuinya dan dapat melaksanakannya secara otomatis, tanpa petunjuk detail.
Dalam Buku-buku Liturgi GKI, penahbisan Pendeta dipisahkan dengan penahbisan Penatua. Jika ada Diakon dan atau Penatua Khusus, maka penahbisannya disatukan formulirnya dengan penahbisan Penatua. Rupanya Gereja menilai bahwa kedua jabatan tersebut: Penatua dan Diakon, memang sejajar dan tanpa wewenang untuk menumpangkan tangan dan memimpin perjamuan kudus. Namun sudah sangat berbeda dengan Hippolytus, dalam rancangan buku liturgi GKI yang akan datang – mengikuti Buku Kebaktian yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi Sinode GKI Jabar (Pdt. Tjioe Tjin Tjwan) tahun 1967 yang masih digunakan hingga kini – perbedaan formula penahbisan kedua jabatan tersebut semakin “dipertipis”.[49]
PENAHBISAN PENDETA PENAHBISAN PENATUA
Allah, Bapa yang di sorga, Allah, Bapa yang di sorga
telah memanggil engkau ke dalam telah memanggil engkau untuk
jabatan yang kudus ini, pekerjaan-Nya yang kudus ini
menerangi engkau dengan Roh Kudus, menerangi engkau dengan Roh Kudus
menguatkan engkau dengan tangan-Nya, menguatkan engkau dengan kuasa
memimpin engkau di dalam dan anugerah-Nya,
pelayananmu di Gereja, supaya engkau setia dalam melakukan
supaya engkau bekerja dalam kebenaran jabatan ini untuk kemuliaan-Nya
nama-Nya dan untuk Kerajaan-Nya. serta bagi pertumbuhan jemaat-Nya.
Amin. Amin.
Perbedaan yang menyolok ditandakan dengan huruf miring, yakni “jabatan” untuk Pendeta dan “pekerjaan” untuk Penatua. Cukup memadaikah perbedaan kedua kata tersebut untuk memahami bahwa kependetaan dikaitkan dengan jabatan (pemberian “gelar” Pendeta) yang berlangsung seumur hidup, sedangkan kepenatuaan dikaitkan dengan pekerjaan pelayanan dalam jangka waktu tertentu (bukan pada pemberian “gelar”)?
Penutup
Akhir dari suatu proses pengujian merupakan awal pemberian tampuk fungsionaris mediator sakral ditandai dengan ritus penahbisan. Latar belakang tradisi masyarakat ini mempengaruhi ritus penahbisan ke dalam jabatan gerejawi. Tahbisan gerejawi dipahami sebagai meterai pemberian karunia kepemimpinan dalam pelayanan Gereja, sehingga seseorang yang ditahbiskan menjadi “lebih lain” daripada sebelumnya dalam melakukan pekerjaan-pekeraan gerejawi. Semisal: anggota jemaat menjadi Pendeta, Imam menjadi Uskup, anggota jemaat menjadi Penatua, anggota jemaat menjadi Penatua Khusus. Bersama dengan tampuk jabatan tersebut, seseorang yang ditahbiskan dipahami sebagai “hanya ia yang berwenang” melakukakan hal-hal yang khusus dan sakral, semisal: penumpangan tangan dan sakramen. Namun, ritus penahbisan baru muncul lama sekali setelah adanya mediator sakral. Jabatan dan fungsi “penjabatan” mendahului ritus penahbisan. Kepala rumah tangga dalam tradisi Romawi dan Yahudi yang berfungsi sebagai Imam jelas tidak ditahbiskan. Rasul Paulus tidak ditahbiskan, tetapi menggembalakan Jemaat-jemaat. Para Rasul lain? Apakah Luther dan Calvin ditahbiskan sebagai Pendeta? Yesus tidak ditahbiskan, tetapi “membaptis” (Yoh 4:1-2 Ia tidak membaptis, melainkan murid-Nya), mengajar, membaca Alkitab (Luk 4:16), berkhotbah (Luk 4:20-30), mengutus (Mat 10:1-4), memimpin perjamuan (Mat 26:26-29), dan bahkan menahbiskan (Luk 24:50). Jika demikian halnya, maka melakukan pelayanan menurut fungsi gerejawi adalah lebih penting dihayati sebagai makna panggilan-Nya ketimbang ritus penahbisan.
Itulah juga salah satu alasan bahwa – menurut hemat kami dan memang tidak dituliskan dalam Tata Laksana GKI – melanjutkan tugas Penatua (untuk masa pelayanan berikutnya) dan Pendeta (karena mutasi dari Jemaat lain), tidak perlu ditahbiskan kembali. Bukan karena penahbisan tersebut menjadi salah, melainkan karena ia tidak memberikan nilai tambah kepada yang ditahbiskan.
Mengingat begitu jarangnya studi tentang jabatan Gereja, baik oikumenis maupun GKI, dan GKI belum memiliki pegangan ajaran tentang ini, sementara tantangan ke arah itu cukup besar, maka kami memandang perlunya studi mendalam dan intensif tentang teologi jabatan. Sinode dan Jemaat-jemaat hendaknya membuka peluang dn mendukung bagi mereka yang ingin menulis disertasi, tesis, atau skripsi tentang ini sebagai kelanjutan dari studi kecil ini.
Catatan-catatan
[1] Kami membandingkannya dengan liturgi Gereja Anglican, yaitu: 1) The Ordination of Deacons (penumpanan tangan tertahbis oleh Uskup); 2) The Ordination of Priests (penumpangan tangan oleh Uskup dibantu oleh para Imam lain di sekelilingnya); 3) The Ordination or Consecration of a Bishop (penumpangan tangan oleh Uskup Agung dibantu oleh para Uskup lain di selilingnya). The Alternative Service Book 1980, h 337-390.
[2] Joseph Martos, Doors to the Sacred: A Historical Introduction to Sacraments in the Catholic Church, h 465-466.
[3] R. Alastair Campbell, The Elders: Seniority within Earliest Christianity, h 20-21,24.
[4] Martos, h 459-460.
[5] Rasid Rachman, Ibadah Harian Zaman Patristik, h 18-19.
[6] Frank Hawkins, Orders and Ordination in the New Testament, The Study of Liturgy, h 290-291.
[7] Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, h 30-31.
[8] Hawkins, The Study, h 292-293.
[9] Ibid., The Study, h 294.
[10] Campbell, h 101-102
[11] Gregory Dix, The Shape of the Liturgy, h 33-34.
[12] Martos, h 466.
[13] H.J.M. Turner, Ordination and Vocation, Christine Hall & Robert Hannaford (para editor), Order and Ministry, h 126.
[14] J.H. Crehan, Theology and Rite A.D. 200 – 400, The Study, h 308-309.
[15] Hawkins, h 293.
[16] Andereas Hadi Simeon, Diakonos dalam Perjanjian Baru dan Organisasi Gereja Masa Kini, Penuntun I/3 1995, h 321.
[17] Ibid., h 322-334.
[18] Campbell, h 211-212.
[19] Benyamin A. Abednego, Jabatan Gereja pada Masa Perjanjian Baru, h 41-42.
[20] Ibid., h 53.
[21] Frank Hawkins, The Tradition of Ordination in the Second Century to the Time of Hippolytus, The Study, h 298-300.
[22] Ibid., h 297 dan Campbell, h 246.
[23] Hawkins, h 296-297, dan Martos, h 464.
[24] Martos, h 470.
[25] Rachman, h 34-35.
[26] Ibid., h 32-34.
[27] Josef A. Jungmann, The Early Liturgy: to the Time of Gregory the Great, h 60.
[28] Martos, h 460.
[29] Ibid., h 456-458.
[30] Jungmann, h 62-63.
[31] Ibid., h 63, Martos, h 492-493, dan Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, h 41-42.
[32] Martos, h 471-472.
[33] Ibid., h 501-502 dan Paul F. Bradshaw, Ordination in Reformation Churches, The Study, h 332.
[34] Martos, h 505-506.
[35] Chris de Jonge, Ekklesiologi, Penataan Gereja dan Jabatan Gerejawi menurut Johannes Calvin, Penuntun, h 240-241.
[36] Berdasarkan Tata Dasar, Tata Gereja, Tata Laksana GKI yang terdapat dalam Akta Persidangan Majelis Sinode Am Gereja Kristen Indonesia X, 1997.
[37] de Jonge, h 237.
[38] Bradshaw, The Study, h 331-332.
[39] Mardiatmadja, Fungsi Imam sebagai Pemuka Jemaah Katolik di dalam Perubahan-perubahan Sosial, Penuntun, h 256.
[40] Th. van den End (penyeleksi), Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, h 490-491.
[41] Ibid., h 491.
[42] Rasid Rachman, Liturgi Sakramen GKI Jabar, Skripsi S.Th. STT Jakarta (tidak diterbitkan), h 28-29.
[43] Ibid., Liturgi Sakramen, h 29-31.
[44] Campbell, h 219-220.
[45] Ibid., h 228-230.
[46] BPMS Wilayah GKI SW Jabar, Tata Gereja, Tata Tertib, dan Tata Laksana GKI Jabar, edisi XIV tahun 2000.
[47] Rachman, Liturgi Sakramen, h 35-36.
[48] Simeon, h 325.
[49] Berdasarkan rancangan BUKU LITURGI GEREJA KRISTEN INDONESIA (masih dalam perbaikan), edisi 3 Juli 2000.
*) Ini merupakan makalah untuk diskusi terbatas teologi, 2001.
LARANGAN MENGIKUTI PERJAMUAN KUDUS
MENURUT SEJARAH LITURGI
Oleh: Rasid Rachman
I. REKONSILIASI-TOBAT
Persoalan boleh tidaknya seseorang mengikuti perjamuan kudus terjadi ketika Gereja mulai memberlakukan siasat gereja, dan berbarengan dengan sikap eksklusivisme gereja terhadap mereka yang dinilai tidak beriman.[1] Mulai abad ke-2 (antara lain oleh Gembala Hermas [± 150], Clemens Aleksandria [± 180Y], Didascalia [abad ke-3], Tertullianus [± 160 – ± 220]), muncul kesadaran bahwa menjadi orang Kristen saleh tidak secara mudah dan otomatis terwujud. Ada banyak kendala – seperti: membunuh, berzinah, murtad, dsb. – yang menyebabkan seseorang jatuh ke dalam pencobaan dan dinilai berdosa. Setelah ada penyesalan (metanoia, metanoia) – dalam rangka penggembalaan (bukan penghukuman!) dan pengampunan (kecuali murtad kepada ajaran sah gereja) – maka dibuatlah tahap rekonsiliasi-tobat (poiew, poinh, [lat] poena, paenitentia, [ind] tobat, tebusan, denda)[2] bagi mereka yang sungguh menyesali perbuatan dosanya. Proses rekonsiliasi ini dilaksanakan setelah seseorang melakukan pengakuan dosa di hadapan umat (exomologew, eks-homologesis) atau di hadapan Imam secara personal. Ada tiga tahap yang ditempuh, yaitu:
1) Pendengar, yakni ia diperbolehkan mengikuti ibadah atau sinaksis (sunaciV),[3] tetapi tidak boleh mengikuti perjamuan kudus. Ia harus keluar sebelum liturgi ekaristi.
2) Berlutut, ia berdiam diri sejenak sebelum keluar untuk liturgi perjamuan kudus.
3) Penetap, ia boleh berada di dalam liturgi perjamuan, namun tidak boleh ambil bagian dalam komuni.[4]
Proses rekonsiliasi ini berjalan sejajar dengan syarat calon baptis atau katekumen,[5] walaupun bermula dari persoalan yang berbeda. Si pendosa atau petobat dikucilkan dari persekutuan umat (komuni) hingga saat penerimaan kembali. Rekonsiliasi ini juga dilengkapi dengan bersikap moral “lebih baik”, yaitu dengan menjalankan doa, puasa dan derma. Rekonsiliasi ini tidak semata dibebankan terhadap di pendosa. Pihak Gereja menanggung rekonsiliasi itu dengan doa-doa syafaat oleh Uskup (disebut ceiroqesia, kheirothesia: maksudnya adalah jamahan kuasa Uskup), pembacaan nas-nas Alkitab, dan menetapkan saat penerimaan kembali.[6] Keadaan ini berlangsung hingga selama Prapaska (40 hari) sejak Rabu Abu (berlaku sejak ± abad ke-5 hingga ± abad ke-9)[7] hingga waktu penerimaan kembali yang biasanya pada Kamis Putih, Jumat Agung, atau bahkan Sabtu Sunyi. Dengan demikian si petobat dapat berpartisipasi kembali dalam perjamuan kudus (komuni) pada hari Paska.
Terlihat bahwa partisipasi dalam perjamuan kudus dihubungkan dengan tindakan dosa seseorang. Sifat perjamuan kudus yang semula inklusif telah mengarah ke eksklusif, bahwa tidak semua orang dapat mengikutinya. Ia menjadi indikator berterimanya atau tidak berterimanya seseorang dalam lembaga Gereja.
II. EKS-KOMUNIKASI
Persoalan eks-komunikasi (excommunicatio) atau pengucilan sendiri baru muncul pada setelah pertengahan Abad-abad Pertengahan (± abad ke-11). Salah satu kasus terkenal adalah pengucilan terhadap Kaisar Henry IV (1056-1106) oleh Paus Gregorius VII (± 1033 – 1085) dengan latar belakang politik kekuasaan dan wewenang. Namun ini berakar langsung dari rekonsiliasi-tobat. Beberapa syarat diberlakukan secara sama dengan rekonsiliasi, yaitu: tidak ikut komuni (akoinonia), berdoa banyak, berpuasa dan berderma, bahkan lebih berat, sebab rekonsiliasi dirasa tidak mencukupi. Sebagai orang berdosa yang mengaku, ia mengenakan jubah khusus dan ditaburi abu di atas kepala oleh Uskup, sambil berkata: Ingatlah bahwa kamu berasal dari debu dan kembali menjadi debu. Lakukanlah pertobatan untuk memperoleh hidup yang kekal.[8] Apabila suami atau istrinya meninggal, maka ia tidak boleh menikah lagi.[9]
Eks-komunikasi ini dilatarbelakangi oleh persoalan jarangnya perjamuan kudus dilaksanakan di satu paroki. Keadaan kurang Imam, sementara persebaran gereja Roma begitu pesat ke luar Roma menjadi alasan inti. Masih syukur kalau umat dapat mengikuti perjamuan sekali dalam setahun, sebab ada beberapa kasus orang mengikutinya hanya sekali seumur hidup atau tidak sama sekali. Pemeliharaan iman kepada umat menjadi tidak terjamin.
Dalam situasi demikian, perjamuan kudus menjadi sangat sakral (tak lama kemudian ditetapkanlah jumlah sakramen, termasuk perjamuan kudus), dalam arti semakin menonjolkan pembatasan. Orang yang mengikutinya harus benar-benar layak dan “tanpa noda”. Maka muncullah prasyarat untuk mengikutinya. Yang tidak layak atau bidah, ia dieks-komunikasikan oleh Gereja. Kemudian persoalan rekonsiliasi-tobat ini diatur oleh Gereja dan Uskup dalam ordo poenitentium. Peraturan ini jelas terlihat bagi yang bertobat di hadapan umat, tetapi tidak terkontrol bagi petobat personal yang mengaku dosa di hadapan Imam.
Tujuan rekonsiliasi-tobat dan eks-komunikasi adalah penggembalaan atau pastoral. Sehingga proses pertobatan itu dibebankan juga kepada Gereja. Si petobat tidak menanggung tobatnya sendirian. Gereja ikut membimbing dan mengarahkan si petobat dalam menjalankan masa rekonsiliasinya. Sebab penekanan utama pertobatan bukan pada hukuman, melainkan pada pengampunan dan penerimaan kembali. Kemudian, tanda pengampunan dosa dan penerimaan kembali ditambahkan dalam baptisan. Itu terjadi sekali dalam hidup, sebab sebentar lagi akhir zaman tiba dan latar belakang baptisan hanya diterimakan sekali dalam hidup.[10]
II. KESIMPULAN DAN REFLEKSI
Ketiga hal yang telah diuraikan di atas, yakni: perjamuan, larangannya, dan pertobatan, perlu dilihat secara historis dalam kaitan dengan censura morum, siasat, dan “penggembalaan khusus”.[11] Namun liturgi juga memiliki sifat pastoral atau penggembalaan di samping sifat historis. Keduanya penting di dalam membahas persoalan dalam Gereja. Secara pastoral ada beberapa kesimpulan, yaitu:
1) Perjamuan kudus berarti tanda pemeliharaan Allah terhadap gereja dan umat setelah pembaptisannya. Justru umat di dalam keberdosaannyalah yang membutuhkan pemeliharaan dan penggembalaan Allah. Dengan pemeliharaan itu, diharapkan ada pertumbuhan dalam gereja dan umat-Nya.
2) Perjamuan kudus adalah sarana yang Tuhan sendiri berikan untuk umat agar dapat mengenangkan-Nya, bukan inisiatif gereja.
3) Semula, penyesalan oleh karena berdosa tidak ada hubungannya dengan larangan mengikuti perjamuan kudus. Baru pada abad ke-3 proses penyesalan itu dikaitkan dengan larangan mengikuti perjamuan kudus. Jadi, larangan untuk berpartisipasi dalam ekaristi merupakan ciptaan Gereja kemudian hari.
4) Nomor 3 di atas dilihat bahwa gereja terlibat aktif di dalam proses rekonsiliasi-tobat umat untuk menyatakan pengampunan Allah. Si pendosa atau petobat tidak dibiarkan menanggung dosa sendiri tanpa arahan dan dosa dari Gereja dan liturgi.
Dalam beberapa kasus, Jemaat-jemaat seringkali menggunakan alat censura morum untuk menolak mereka yang sedang dalam penggembalaan khusus atau bahkan mereka yang dinilai “tidak seazas” dengan Gereja tumpuan. Walaupun persiapan perjamuan kudus tidak identik dengan menolak atau membuat larangan bagi seseorang untuk ikut perjamuan, namun tetap saja ada orang yang tidak diperkenankan ikut karena (sah terkena) penggembalaan khusus menurut aturan Gereja. Sanksi atas pribadi seseorang tersebut dapat ”beranak-pinak” hingga merembet ke sanak keluarganya.
Persoalannya adalah siapakah yang dianggap layak ikut perjamuan kudus karena memang tidak (ketahuan) berbuat cemar? Berhakkah Gereja menilai bahwa seseorang ini boleh ikut perjamuan kudus, sedangkan seseorang itu dilarang? Dalam hal ini, belajar dari sejarah sangat diperlukan agar apa-apa yang didapat dari sejarah pun tidak berkurang nilainya.
Catatan-catatan
[1] Herman A.J.Wegman, Christian Worship in East and West, h 46-47.
[2] Andronikof C., Liturgie et Conversion, Liturgie Conversion et Vie Monastique, h 3-4, menjelaskan bahwa sanksi tersebut dapat juga berupa teguran. Hanya memang tidak terlihat adanya hubungan dengan perjamuan kudus.
[3] Ada dua bagian liturgi: sinaksis dan ekaristi. Peter G. Cobb, The Liturgy of the Word in the Early Church, ibid., h 184-188 menulis tentang unsur-unsur liturgi sinaksis yaitu: pembacaan Alkitab, nyanyian pengantara, homili, pengakuan iman, doa syafaat. Yakni unsur-unsur liturgi yang kita laksanakan setiap Minggu tanpa perjamuan kudus. Sementara E.J. Yarnold, The Liturgy the Faithful in the Fourth and Early Fifth Century, ibid., h 189-194 menguraikan tentang unsur-unsur liturgi yang kita kenal sebagai liturgi perjamuan kudus, yaitu: salam damai, persembahan, konsekrasi, doa syukur agung, pengenangan, epiklesis, dan komuni.
[4] Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, h 29.
[5] Martos, h 316-317.
[6] Wegman, h 47 menuliskan bahwa ritus ini kemudian (pada abad ke-12) menjadi akar sakramen tobat.
[7] Westerhoff III, h 154-155. Baca juga Enzo Lodi, La Conversion dans l’Ancien Lectionnaire Romain du Carême selon Saint Lèon le Grand, Liturgie Conversion, h 205-227 tentang tahap dan tempat pertobatan dengan puasa pada terutama Rabu dan Jumat dalam masa Prapaska pada masa Uskup Leo Agung (A 440 – = 461). Rachman, h 27-28.
[8] Wegman, h 199 menurut ordo Romanus 50 (setelah konsili Trente abad ke-16): Momento homo, quia pulvis es, et in pulverem reverteris: age poenitentiam, ut habeas vitam aeternam.
[9] ibid., h 136-137 tidak membedakan antara rekonsiliasi-tobat dan eks-komunikasi. Saya membedakan hanya dalam pembahasan topik ini untuk memperlihatkan peningkatan pembatasan umat dalam perjamuan. Rachman, h 65-66.
[10] Rachman, h 29-30.
[11] Sengaja istilah “penggembalaan khusus” saya beri tanda “…”. Saya sendiri merasa tidak sreg dengan istilah tersebut, sebab menimbulkan konotasi bahwa penggembalaan (pastoral) adalah buruk. Padahal yang dimaksud adalah pemeliharaan Allah yang sehari-hari. Liturgi umat adalah penggembalaan.
*) Artikel ini pernah dimuat dalam buletin bina di GKI Jemaat Citra I, tahun 2000.