Senin, Desember 10, 2007

SETELAH SYAIR, LAGU PUN PENTING

(8)

Setelah secara panjang lebar kita membicarakan syair, maka yang juga penting adalah lagu. Syair tanpa lagu, belum menjadi nyanyian. Syair yang telah tersusun harus dilagukan, agar dapat dinyanyikan.
Jika syair mengungkapkan pengajaran dan pemberitaan, maka lagu memberikan ciri, rasa, dinamika, asal-usul, dan kebersamaan. Jika syair adalah baju, maka lagu adalah model dan aksesorinya. Syair yang sama dapat dinyanyikan dengan lagu yang berbeda menurut asal-usulnya, misalnya Kyrie eleison. Karena lagulah sebuah nyanyian akan dinyanyikan secara serupa dan serempak oleh siapa saja, dari tempat mana pun, dan secara bersama-sama. Ketika bernyanyi kita merasa bersatu dengan gereja-gereja masa lalu di belahan bumi dan zaman yang berbeda. Ini berbeda dengan puisi, di mana setiap orang dapat melagukannya sesuai penghayatan masing-masing dan tidak dapat dipuisikan secara bersama.
Berikut adalah contoh konkret tentang terciptanya sebuah nyanyian,[1] baik syair maupun lagu.

Dave Dargie, seorang musikolog dari Afrika Selatan, hanya diberi waktu tiga puluh menit untuk sebuah komposisi bersama enam puluhan peserta. Ia berbicara sebentar tentang apa-apa yang perlu untuk sebuah nyanyian, lalu meminta usul kalimat syair dari peserta.
Samson Prabhakar, seorang teolog dari India, mengusulkan The Spirit of the Lord is Upon Me (Luk 4:18) sebagai syair tema sebagaimana yang dimintakan oleh Dargie. Lalu peserta secara antifonal mengucapkan kalimat tersebut berulang-ulang. Kelompok kiri mengucapkan “the Spirit of the Lord is upon me”, lalu kelompok kanan mengucapkan kalimat yang sama sesudahnya; begitu seterusnya susul menyusul dan sambung menyambung selama beberapa saat. Dengan tanggap Lu Chen Tiong, musikolog dari Malaysia, merekam suara-suara pra-lagu tersebut.
Pengucapan prosa menciptakan aksentuasi. Aksentuasi menghasilkan lagu. Itu tercipta sebelum tiga puluh menit. Maka menit-menit terakhir itu digunakan untuk beberapa “sentuhan akhir” dan memberi tambahan bait. Terciptalah sebuah nyanyian baru yang pendek berbentuk refrein, demikian.


THE SPIRIT OF THE LORD

5 │ 3 3 3 4 │ 5 4 3 │ 4 2 │ 2 .
.
The spirit of the Lord is up-on me,

5 │ 2 2 2 3 │ 4 3 2 │ 2 1 │ 1 . :│▌
.
the spirit of the Lord is up–on me.

Syair membutuhkan lagu untuk menjadi sebuah nyanyian. Kyrie eleison dapat dinyanyikan dengan puluhan lagu. Ada yang cepat, ada yang lambat. Ada yang bernada dasar “la”, ada pula “mi” atau “do”. Semuanya memberikan ciri, warna, dan asal-usul. Haleluya, Pujilah merupakan syair umum, seperti halnya Kyrie eleison. Bagaimana menyanyikannya? Nah, lagulah yang membimbing umat menyanyikannya secara bersama. Oleh sebab itu, “Haleluya, Pujilah Tuhanmu” (KJ 328) dapat dinyanyikan sambil menarikan berdasarkan lagu Tebe O Nana ini. Suatu cara bernyanyi (dalam arti mengucapkan syair) yang berbeda daripada “biasanya”. Adalah baik apabila kita mengetahui sedikit tentang lagu dalam musik gereja.
[1] Pengalaman ini terjadi pada awal Maret 1997 dalam seminar tentang Kontekstualisasi Liturgi dan Musik, di Sekolah Tinggi Teologi Tainan, Taiwan. Diselenggarakan oleh Dewan Gereja se-Dunia, Konferensi Gereja Asia, dan STT Tainan.

Tidak ada komentar: