Senin, Desember 10, 2007

FUNGSI NYANYIAN JEMAAT

(5)

Berdasarkan uraian sebelum ini dituliskan bahwa fungsi nyanyian jemaat adalah di dalam liturgi. Ia berfungsi untuk melayankan liturgi. Ini muncul dalam sejarah. Jenis dan cara menyanyikan nyanyian jemaat yang kita kenal merupakan adopsi dari liturgi sinagoge dan peribadahan di rumah-rumah pada zaman gereja awal. Nyanyian untuk pemberitaan firman atau sinaksis (synaxis) berasal dari liturgi sinagoge. Nyanyian untuk perjamuan kudus atau ekaristi (eucharistia) berasal dari liturgi rumah. Karena itu bentuk dan iringan musiknya tidak semeriah liturgi Bait Allah. Bentuk dan iringan sederhana dianggap lebih pantas untuk sebuah liturgi sinagoge dan rumah.[1] Pada dasarnya bentuk dan iringan nyanyian jemaat – dengan fungsinya untuk melayankan ibadah – adalah sederhana, tetapi pantas dan bermutu tinggi.
Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan komunikasi zaman ini memungkinkan nyanyian jemaat dinyanyikan di luar liturgi, namun akibatnya adalah fungsi sesungguhnya menjadi hilang. Mungkin nyanyian jemaat jauh lebih indah dan merdu bila dinyanyikan oleh penyanyi dan paduan suara kondang untuk konser di gedung teater, namun ia tidak berfungsi secara semestinya. Bobot fungsi pastoralnya menjadi nyata jika dinyanyikan di dalam liturgi.
Ada tiga hal secara historis yang melahirkan fungsi nyanyian jemaat di dalam liturgi,[2] yaitu:

a. Nyanyian jemaat merangkai unsur-unsur liturgi yang satu dan yang lain, sehingga membentuk satu perayaan liturgi. Rangkaian liturgi akan terputus, apabila nyanyian jemaat tidak berfungsi secara benar.
Pada satu pihak, pemilihan nyanyian secara tidak sesuai dengan tahun atau tema liturgi, atau tidak sesuai dengan maksud dari unsur liturgi, atau penampilan paduan suara (vokal grup, paduan suara, penyanyi, instrumentalis, dll.) yang berlebihan dan berfungsi sebagai tontonan, dapat memutus rangkaian liturgi dimaksud.
Pada pihak lain, nyanyian yang berlebihan, yang sekadar sebagai penghias antar unsur atau sebagai pengisi waktu, dapat menimbulkan kesan bertele-tele. Ibadah dipenuhi oleh embel-embel.

b. Nyanyian jemaat mengandung fungsi dan peran simbolis. Ia mengungkapkan makna terdalam dari sikap iman gereja, yang dengannya dunia mengenal kita. Dengan demikian ada unsur pemberitaan dalam nyanyian jemaat. Sehubungan dengan itu, dan dengan tetap mengindahkan lagu, syair nyanyian memegang peran sangat besar.
Ini perlu menjadi perhatian para komponis, pencipta, dan penerjemah nyanyian jemaat. Ketrampilan, keahlian, dan pengetahuan tentang bentuk susunan syair memang sangat diperlukan.

c. Nyanyian jemaat memperoleh maknanya dari pelayanan liturgi. Maksud nyanyian jemaat dicipta dan dinyanyikan tidak terlepas dari maksud liturgi dilayankan. Nyanyian jemaat lahir dari liturgi. Ia pun berperan untuk melayankan ibadah sehingga menjadi khidmat.
Ini merupakan tantangan bagi para pemusik agar menciptakan nyanyian untuk keperluan pelayanan liturgi. Paduan suara gereja dan para penyanyi gereja diajak untuk kembali kepada fungsinya, yakni sebagai pelayan ibadah.

Berdasarkan maksud kemunculannya, fungsi nyanyian jemaat di dalam liturgi adalah sebagai alat pengajaran dan tanggapan gereja. Fungsinya yang cocok ini melahirkan kesaksian dan pemberitaan gereja kepada dunia. Fungsi ini lebih dalam bobotnya daripada sekadar ikut-ikutan, meniru,[3] dan demi nyanyian atau penyanyi itu sendiri.[4] Sebagai penanggap, peran persekutuan umat tidak dapat digantikan oleh siapapun. Paduan suara, vokal grup, penyanyi-penyanyi ahli, para pakar musik gereja, song leader, sound system, Imam atau Pendeta, dan sebagainya tidak dapat menggantikan peran umat ini. Persekutuan umat adalah gereja yang sejati.

Pada satu pihak ia [nyanyian jemaat – penulis] adalah wahana (=vehikel) pemberitaan Firman dan pada pihak lain ia adalah alat yang diberikan kepada Jemaat untuk mengaminkan pemberitaan itu. Kedua aspek ini erat berhubungan.[5]

Pengajaran itu ditujukan kepada umat dan gereja, dan disampaikan oleh umat dan gereja kepada dunia. Umat bernyanyi, umat mendengarkan, dan umat memberitakan. Pengajarannya ialah Tuhan Allah sendiri. Alatnya ialah Alkitab. Alkitab penuh berisi inspirasi dan kreatifitas. Banyak tema pengajaran yang berguna yang dapat dinyanyikan di dalamnya. Kalau saja gereja lebih mencintai isi firman Tuhan daripada praktek liturgi yang lebih menonjolkan pengkhotbah, maka gereja akan lebih kuat lagi dan lebih banyak berbuat daripada sekarang. Berbahagialah orang yang kesukaannnya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam (Mzm 1).
Keberbagaian tema pengajaran firman Tuhan tidak pantas di-press sedemikian rupa, sehingga hanya berkisar: “Kupuji Nama-Mu,” “’Ku menyenangkan hati Tuhan,” “Allah kita Besar dan Heran,” “Haleluya,” “Jiwaku Membumbung Tinggi di Angkasa,” “Aku anak Raja,” atau “Bersorak-sorai di dalam Tuhan” melulu. Gereja wajib bersikap terbuka dalam menerima dan menyampaikan firman Tuhan.
Tema-tema dalam Alkitab tidak seragam, selalu baru setiap hari (bnd. Rat 3:22-23 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!). Kitab Pengkhotbah menekankan hal yang berbeda daripada Ratapan. Kitab Yesaya memberitakan soal lain daripada Habakuk. Pasal-pasal dalam kitab Mazmur memiliki keberbagaian satu sama lain. Alkitab tidak hanya berisi pujian dan tentang kebesaran Tuhan. Setiap bagian adalah unik dalam kesaksian dan kaya dalam pengajaran. Alkitab berbicara secara utuh tentang manusia dan masalah dunia. Pergumulan terdalam, kesendirian (bnd. Mzm 22 Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?), ketidakadilan (Ayb), lingkungan hidup (Kej), dan lain-lain dibicarakan pula oleh Alkitab. Itulah yang harus diberitakan dan diajarkan oleh gereja secara terbuka dan utuh kepada dunia dan umat-Nya demi kemuliaan nama Tuhan.

Catatan-catatan
[1] Chupungco, h 104-106. Tradisi gereja mula-mula berasal dari tradisi Yahudi. Instrumen musik Bait Allah “terlalu mewah” untuk sinagoge dan rumah. Baru pada abad ke-3 dan ke-4, gereja melarang penggunaan instrumen yang berlebihan. Sebab instrumen-instrumen musik digunakan dalam ibadah masyarakat tradisional dan tidak bermoral.
[2] Ibid., h 103-104.
[3] Abineno, h 89-91. Umat bernyanyi bukan karena ikut-ikutan agama Yahudi, para Rasul, atau bangsa-bangsa kafir, melainkan menanggapi dan memberitakan perbuatan Tuhan. Lihat juga Austin C. Lovelace dan William C. Rice, Music and Worship in the Church, Abingdon 1976, h 153.
[4] Chupungco, h 103.
[5] Abineno, h 92. Oleh sebab itulah nyanyian jemaat berbeda daripada nyanyian yang lain.

Tidak ada komentar: