Senin, Desember 10, 2007

PADUAN SUARA GEREJA


(14)

Beberapa pimpinan gereja berpendapat bahwa paduan suara merupakan indikator keberhasilan pelayanan ibadah. Oleh karenanya beberapa gereja berjuang keras untuk menghasilkan paduan suara yang baik, bermutu, dan banyak peminat. Paduan suara harus mampu menyanyikan lagu “ini” dan “itu,” walaupun ironinya nyanyian jemaat menjadi melempem. Tidak sedikit gereja yang memiliki paduan suara juara, tetapi parah dalam nyanyian jemaat. Seolah-olah ada dua gerakan penyanyi. Yang pertama adalah kelompok umat yang dibiarkan bernyanyi dengan kekurangannya. Yang kedua adalah kelompok elite paduan suara dengan kemegahannya. Pesta-pesta Paduan Suara ditonjolkan dan diperhatikan sehingga lebih semarak daripada penampilan umat dalam ibadah. Keadaan ini tentu memprihatinkan kita. Rupanya kita perlu membicarakan secara khusus peran dan fungsi paduan suara dalam liturgi.
Secara sejajar, pembicaraan ini juga berlaku bagi vokal grup dan para penyanyi yakni kelompok-kelompok penyanyi dalam ibadah, yang sebenarnya sulit dibedakan dalam klasifikasi dengan paduan suara. Fungsinya di dalam ibadah adalah sama.


Sekilas latar belakang historis
Istilah paduan suara sendiri telah dikenal dalam liturgi sejak lama. Tetapi, diperbandingkan dengan masa kini, ia berbeda sama sekali dalam hal fungsi. Paduan suara berasal dari istilah khorus (Yun: barisan penari, yang dalam gereja menjadi penyanyi), atau choir, atau koor. Khorus, yaitu dua kelompok umat yang kedudukannya memungkinkan untuk menyanyi secara antifonal. Jadi sejak semula, gereja tidak mengadakan paduan suara yang terpisah dari umat sebagaimana praktek sekarang. Hal ini masih berlangsung hingga abad ke-3.

Pada abad ke-4 istilah “khorus” dialihkan dari jemaat kepada para penyanyi khusus. Itu terjadi oleh karena pada waktu itu jemaat tiba-tiba menjadi besar sekali. (Banyak orang yang mendadak menjadi Kristen. Mereka dibaptis, tetapi tanpa persiapan matang). … Tentu saja orang banyak yang baru dibaptis tidak sanggup untuk turut menyanyikan lagu-lagu Mazmur yang sulit. Mereka tinggal diam … sedangkan nyanyian Mazmur hanya dilagukan oleh para rohaniawan … Kemudian merekalah yang disebut “koor” … yakni “koor imam”…[1]

Lambat laun yang dipandang “koor” adalah koor para imam. Koor ini dipimpin oleh praecantor atau praecentor, yakni prokantor, artinya penyanyi pendahulu dalam menyanyikan nyanyian jemaat. Sejak itulah muncul konotasi bahwa paduan suara atau koor adalah sekelompok orang yang berdiri di suatu sudut dalam gereja dan bernyanyi. Mereka terpisah dari umat dalam nyanyian jemaat.
Pada perjalanan sejarah kemudian, bahkan paduan suara gereja seringkali berdiri di luar gereja dan liturgi. Mereka mengadakan konser di gedung-gedung teater. Ini terjadi pada setelah Abad-abad Pertengahan.
Praktek paduan suara gereja di dalam ibadah dewasa ini cukup memprihatinkan. Memang tidak sedikit paduan suara yang bermutu dalam segi teknik bernyanyi. Juga banyak dari mereka yang sanggup menyanyikan lagu-lagu berat karya komponis-komponis besar. Beberapa di antaranya bahkan dapat menyanyikannya dengan (nyaris) sempurna. Namun, apalah artinya jika semua itu tidak bermuara pada umat? Bukankah sama artinya dengan pengkhotbah yang kepandaiannya berpidato, tetapi tidak menyalurkan berkat bagi umat?
Fungsi paduan suara
Yang perlu ditekankan adalah bahwa fungsi utama paduan suara gereja di dalam ibadah bukan show semata. Fungsinya adalah melayankan liturgi. Muara paduan suara ialah kebaktian umat, bukan dirinya. Paduan suara bernyanyi bersama umat untuk mempersaksikan dan memberitakan karya besar, yang Allah buat, melalui nyanyian jemaat. Bandingkan dengan Mazmur 92:2-3: adalah baik menyanyikan syukur bagi TUHAN … untuk memberitakan kasih setia-MU, dan Mazmur 96:1-2: Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN … kabarkanlah keselamatan. Nyanyian adalah sarana pemberitaan.
Walaupun demikian janganlah dianggap bahwa kita tidak perlu memperhatikan kualitas suara paduan suara. Justru sebaliknya! Kualitas bernyanyi dari paduan suara harus lebih baik daripada umat, bahkan sedapat mungkin menandingi paduan suara umum.
Saat ini ada dua hal yang menjadi fungsi paduan suara dalam liturgi, yaitu:

1. Membimbing umat menyanyi secara baik. Cara bernyanyi alternatim, antifonal, responsoris, dengan aksesori deskantus atau kontrapung, memungkinkan hal tersebut diberlakukan.

… paduan suara … menyanyikan (= mengungkapkan) perasaan-perasaan yang dalam, yang tidak dapat diungkapkan oleh Jemaat. … Paduan suara mempersembahkan suaranya untuk pelayanan Jemaat. Ada permohonan yang begitu mesra, sorak-sorai yang begitu meluap-luap, puji-pujian yang begitu agung, yang kita sadari dan yang kita mau lahirkan (= ungkapkan), tetapi yang tidak dapat kita lakukan. Dalam hal-hal yang demkian kita ditolong oleh paduan suara …[2]

Pada satu pihak cara ini akan mengurangi kesempatan bershow bagi paduan suara di dalam ibadah. Pada pihak lain, ada tantangan baru bagi semua pihak untuk mengembangkan peribadahan kita.

2. Memperkenalkan nyanyian-nyanyian baru. Pada gilirannya, nyanyian-nyanyian baru tersebut sanggup dinyanyikan oleh umat. Misalnya nyanyian dari khazanah Musik Gereja Asia.

Seminar, eksperimen-eksperimen, lokakarya, latihan paduan suara dan vokal grup adalah sarana efektif untuk mencapai penjemaatan musik gereja Asia ini. Peserta diberi kesempatan untuk memahami musik secara kognitif dan menghayatinya secara afektif.[3]

Kembali, unsur pemberitaan dan kesaksian Injil melalui musik mendapat tekanan. Bahwasanya ada yang selalu baru sebagai sentuhan Allah kepada dunia, perlu diberitakan.
Ibadah akan menjadi hidup jika bidang musik ditangani langsung oleh para ahli musik dan orang-orang terlatih, yakni paduan suara. Ada peran dan tanggungjawab besar, tetapi mulia, bagi paduan suara. Namun di atas semua itu, unsur rendah hati dari pihak paduan suara dan persiapan yang matang dari pihak pengelola ibadah tetap menjadi syarat utama.

Catatan-catatan
[1] Pandopo, h 21-22. Kalimat dalam kurung adalah penjelasan saya.
[2] Abineno, h 108.
[3] Rachman.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Ada pro kontra tentang tepuk tangan pasca PS mnengisi saat teduh. bagaimana pendapat bapak?

Rasid Rachman mengatakan...

Pertama, betul ada pro-kontra tentang hal itu. Terimakasih atas konfirmasi ini.
Kedua, PS jangan mengambil hak umat untuk bersaat teduh. Banyak orang yang menilai bahwa berhening adalah salah satu kebutuhan - hargailah.
Terimakasih atas komentar Bapak/Ibu Anonim.