Senin, Desember 10, 2007

NYANYIAN GEREJA ABAD KE-20

(11)

Warna dan pola nyanyian jemaat abad ke-20 mulai menunjukkan kesan berbeda. Jika diperbandingkan dengan nyanyian jemaat abad-abad sebelumnya, maka syair-syair baru ini membuka tempat bagi ekspresi yang bersifat “horisontal membumi”. Yang dimaksud adalah diangkatnya pergumulan-pergumulan konkret manusia dan tata masyarakatnya dalam bahasa dan syair nyanyian yang terus terang namun tetap estetis. Ini merupakan hal baru dalam musik liturgi. Sebelumnya, bahasa nyanyian jemaat sebatas pada ungkapan keagungan makhluk-makhluk sorgawi dan kesalehan orang per orang.
Suatu topik “baru”, muncul dalam sejarah musik gereja. Ia melengkapi yang telah ada sebelumnya menjadi tiga tahap. Kita bersyukur bahwa regenerasi dalam nyanyian jemaat masih berlangsung. Ketiga tahap dalam nyanyian jemaat adalah sebagai berikut.

· Pada tahap pertama, keagungan Tuhan, kemuliaan Trinitas menjadi tema nyanyian yang menonjol. Syair nyanyian membicarakan makhluk-makhluk sorgawi dan melulu dalam bahasa agung, seperti : Te Deum Laudamus, Gloria Patri, Te Decet Laus, Magnificat, Agnus Dei, dsb. Nyanyian ini sangat dominan dalam musik Latin hingga Abad-abad Pertengahan dan bahkan memasuki zaman Reformasi.
· Tahap kedua, perilaku dan kesalehan manusia mulai terungkap secara lebih terbuka. Ungkapan aku dan Engkau – yakni terjadinya hubungan kesalehan antara manusia dan Allah – mengisi syair-syair dari tahap ini. Munculnya puritanisme, pietisme, ekspansi negara-negara tertentu, spiritualisme kulit hitam, dan sebagainya merupakan latar belakang tema-tema ini.
· Tahap ketiga, soal-soal konkret yang dialami manusia dan dunia mulai diungkapkan dalam bahasa manusia. Masalah keadilan, perdamaian, tata masyarakat, kemiskinan, kaum buruh, lingkungan hidup,[1] dibicarakan dalam nyanyian jemaat secara terbuka. Hal ini seperti yang dipersaksikan oleh pemazmur secara nyata, jujur dan terus terang.

Tahap kemudian tidak menggantikan tahap sebelumnya. Nyanyian jemaat dari abad-abad lalu tidak terbuang sama sekali dalam liturgi seiring munculnya tema-tema baru. Tahap kemudian justru memberikan alternatif dan keberbagaian corak. Kini, musik gereja memperoleh keanekaan dengan masuknya tema-tema baru tersebut.


Musik Gereja Asia
Negeri-negeri Timur dan belahan bumi bagian Selatan, yaitu negeri-negeri yang belum banyak disebut perannya dalam sejarah Gereja, banyak memberi sumbangsih. Indonesia, India, Jepang, Taiwan, Filipina, Muangthai, Cina, Korea, Australia, Pasifik, bahkan Afrika dan Amerika Latin, turut dalam proses kontekstualisasi ini. Walaupun nyanyian jemaat abad ke-20 ini belum semapan musik Barat, baik kini maupun sampai awal abad ke-21, namun tahap eksperimen ini akan menjadi gelombang baru dalam nyanyian jemaat beberapa dekade mendatang.

Hingga pertengahan abad ke-20 hampir semua negara Asia adalah objek kolonialisme. Setelah itu mereka merdeka dan membangun negeri sendiri. Budaya pribumi mendapat tempat. Bersama dengan itu pergumulan teologis juga mendapat ruang dalam inkulturasi. Musik gereja mendapat tantangan untuk muncul sebagai wujud ekspresi umat. Yang dicari ialah agar umat dapat mengekspresikan iman sesuai pergumulan sejarah dan pemahaman akan Allah menurut bahasanya.[2]

Nyanyian-nyanyian Indonesia dapat diwakili dan dilihat dalam KJ 333 “Sayur Kubis Jatuh Harga,” oleh S.G.Tarigan 1983; KJ 260 “Dalam Dunia Penuh Kerusuhan,” oleh H.A. Pandopo 1980; KJ 1 “Haleluya! Pujilah,” KJ 244 “Puji Allah Pencipta,” KJ 337 “Betapa Kita Tidak Bersyukur,” oleh Subronto Kusumo Atmodjo; KJ 415 “Gembala Baik Bersuling Nan Merdu,” oleh Celsius Akwan; NKB 214 “Tuhan, Kau Telah Kurniakan Kami,” oleh M. Karatem, dll. Mereka mempersaksikan berita Injil dari suatu locus yang khas kepada dunia. Perhatikan syair berikut dari NKB 214:

Tuhan ,’Kau telah kurniakan kami alam ini dan seisinya
Untuk kehidupan yang serasi, timbal balik saling memberi.

Oleh ulah yang tak terkendali, dan serakah yang memalukan;
Alam dikeruk, terkuras habis, tak peduli hari esoknya.

Alam tak lagi bersahabat, bangkitlah amarah mendera.
O, gempa dan banjir mahadahsyat, disebarnya maut dan resah.

Alam raya, Kaulah Penciptanya, Kau menata indah berseri.
Tuhan, bangkitkan semangat kami; cinta Dikau, cinta karya-Mu.


Syair ini cukup berterus terang, tegas, dan konkret berbicara tentang keretakan hubungan antara manusia dan Allah. Temanya bersifat “horisontal membumi”. Bahasanya bahasa rakyat. Alam menjadi rusak karena dosa.
Tentang India, dapat kita lihat kesaksian mereka dalam nyanyian di bawah ini.

Sound The Bamboo (STB) 91:1, 3. Come now, and lift up your hearts and sing, enter the courts of the King of kings. Come and rejoice in his woundrous works; thank him and praise him with joyous psalm … gentle and kind, the good shepherd he; we are the sheep of his pasture land … (dari Swedia dan India 1970-an)

[Angkat hatimu, bernyanyilah, masuk menghadap Sang Rajamu, Puji Dia kar’na karya-Nya; ucapkan syukur dengan mazmur … Dia Gembala sang domba-Nya; rumput segar disediakan.][3]


Bagi India, ekspresi kejayaan itu bukan hanya dominasi kerajaan Inggris, sehingga Tuhan yang disapa adalah “Tuhan Inggris”, India sendiri mempunyai ekspresi khas tentang Tuhan. Tuhan, bagi India, adalah Raja yang berkenan dihampiri sekalipun dengan mengangkat hati dan nyanyian; tak harus dengan sungkem dan sungkur. Allah dirasakan sangat merakyat, namun tetap agung. Kesan tersebut muncul dalam nyanyian “Jeya Ho” (STB 39)
Sumbangsih Korea adalah semangat kehidupan dan kehangatan dalam beribadah menurut cara setempat. Dinamika itu tercermin dalam nyanyian berikut.

STB 101. In God’s temple, praise to Yahweh! In the heavens, praise to Yahweh! God has acted, praise to Yahweh! Great the wonders, praise to Yahweh! Praise to Yahweh, God, the highest! Praise to Yahweh, God, most holy! Blow the fanfare on the trumpet! Pluck the zither, harp, and lyre! Sound the drum beat join the dancing! Strings and pipes give praise to Yahweh! Ting-a-ling, ting-a-ling, ring out the finger bells. Banging and clashing the cymbals and sounding gongs. Let ev’rything that lives and breathes come and give praise to Yahweh God. (Mazmur 150, dari Korea 1980-an)

Instrumentalia pengiring ialah gendang, sejenis bedug, atau perkusi lain. Corak formalitas seperti hal musik Eropa menjadi lenyap dalam nyanyian ini, tetapi tetap sederhana.

Selain itu, gendang adalah alat musik yang sangat merakyat bagi orang Indonesia (atau Asia dan Afrika). Dan “Haleluya” (NKB 223a oleh Abraham Maraire dari Zimbabwe 1970-an) pas dinyanyikan dengan iringan gendang. Nyanyian jemaat bagi dunia Timur menggambarkan hubungan “antara rakyat yang bergumul dan Tuhan”, bukan “antara bangsawan yang berkuasa dan Tuhan”.[4]


Pakistan tampil dengan gaya khasnya dalam mengungkapkan pengharapannya melalui litani Kyrie. STB 120 “Khudaya, Rahem Kar” (dari bahasa Urdu, artinya “Tuhan, Kasihanilah”) ternyata begitu dikenal oleh banyak pemusik gereja Asia dan disukai oleh pemusik gereja Barat. Iramanya yang kaya dan sederhana (dibuat oleh R.F. Liberius, Pakistan) rupanya mengisi kekosongan estetika rohaniah dari manusia. Nyanyian ini sangat menyentuh ketika digunakan dalam doa Kyrie.

STB 120. KHUDAYA, RAHEM KAR

la=d 4 ketuk

0 3 │ 6 . 6 . 7 │ 1 . 1 3 2 │ 1 . 7 . 7 │ 6 . .
. . . . . . .
Khu- da - ya, ra-hem kar. Khu-da - ya, ra-hem,

0 3 │ 3 . 3 2 3│ 4 . 3 . 3 │ 2 . 2 1 2 │ 3 . .
khu-da - ya, ra-hem kar. Khu-da - ya, ra-hem.

0 3 │ 6 . 6 . 7│ 1 . 1 3 2 │ 1 . 7 . 7 │ 6 . .│▌
. . . . . . .
Khu-da - ya, ra- hem kar, khu-da- ya, ra- hem. fine


0 3 │3 . 3 2 3│ 4 . 3 . 3 │2 . 2 1 2 │3 . .
Ma- si- ha, ra-hem kar, ma- si- ha, ra-hem.

0 3 │6 . 6 . 6 │ 5 . 4 . 4 │4 . 4 5 4 │3 . .
Ma- si- ha, ra-hem kar, ma- si- ha, ra- hem.

0 3 │6 . 6 . 7 │ 1 . 1 3 2 │1 . 7 . 7 │6 . .│▌
. . . . . . .
Ma- si- ha, ra-hem kar, ma- si- ha, ra- hem. ke atas


Hingga kini musik gereja Asia atau Timur, bersama negara-negara belahan Selatan, terus menerobos jalan masuk ke Gereja. Perkembangan dan perjuangannya melalui lokakarya, seminar, dan penerbitan buku-buku, belum berhenti. Sedikit demi sedikit dan lambat laun Gereja mulai memberi tempat untuk Musik Gereja Asia tanpa kecanggungan. Umat telah mampu memperluas pola pikirnya bahwa nyanyian gereja tidak berhenti sampai abad ke-19, dan datang hanya dari dunia Barat dan belahan Utara. Pada gilirannya, dari Gerejalah pemberitaan dan Injil itu disebarkan ke segala penjuru dunia (bnd. Matius 28:19 pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku …). Maka persekutuan umat yang dipanggil keluar menjadi tampak.

Catatan-catatan
[1] Lih. selengkapnya Rasid Rachman, “Ciptakanlah Terus Polusi, Supaya Kami dapat Terus Menyanyikan Lagu ini”; Upaya-upaya Kontekstualisasi Teologi dalam Musik Gereja Asia, Jurnal Teologi dan Gereja PENUNTUN, Vol 3, No 9, Oktober 1996 Refleksi dalam Konteks. GKI Jawa Barat, h 55-67. Isinya tentang sejarah, buku-buku, dan tema-tema rubrikasi musik gereja Asia antara tahun 1963 dan 1995. H.A.Pandopo, h 37-39, tentang motivasi dan keberadaan Yayasan Musik Gereja dalam mengembangkan nyanyian jemaat abad ke-20 dan ke-21 ini.
[2] Rachman.
[3] Angkat Hatimu, Bernyanyilah, terjemahan Rasid Rachman 1992.
[4] Rachman, op.cit.

Tidak ada komentar: