Senin, Desember 10, 2007

PEMAHAMAN HISTORIS

(7)

Selain soal membaca syair, pengetahuan sejarah nyanyian jemaat pun cukup berperan dalam pengajaran dan pemberitaan. Seseorang atau Komisi Musik Gereja perlu melengkapi keahliannya dalam hal memahami sejarah musik Gereja.
Perjalanan nyanyian jemaat di Indonesia (dan di banyak negara) didominasi oleh musik Gereja Barat. Mayoritas dari daratan Inggris, Jerman, Belanda, dan Perancis antara abad ke-16 dan ke-19. Musik Amerika Utara muncul bersama dengan gerakan kebangunan antara abad ke-18 dan ke-19. Ada beberapa nyanyian di luar keempat negeri tersebut, misalnya: Swedia, Denmark, Spanyol, namun sedikit jumlahnya.
Asal nyanyian-nyanyian ini dapat dilihat dari buku-buku: Mazmur dan Nyanyian Rohani, Mazmur dan Tahlil, Dua Sahabat Lama, dan sebagainya. Ini adalah buku-buku nyanyian yang disusun hingga tahun 1960-an. Juga di buku-buku terbitan setelah 1980-an, masih terasa dominannya nyanyian-nyanyian tersebut.
Musik Gereja Barat tersebut – terutama syairnya – menjadi ekspresi umat Kristen di Indonesia selama beberapa abad, bahkan sampai sekarang. Ikut pula pergumulan, teologi, dan idealisme Gereja Barat sesuai locusnya (lokasinya). Pemahaman tersebut ada yang tidak cocok dengan kondisi di locus kita, ada pula yang sudah tidak relevan lagi karena zaman. Tak tertutup bagi teologi triumphans (kejayaan), kerajaan yang imperialis (penguasaan), dan pietisme (kesalehan dan mengutamakan devosi personal) yang tersurat dan tersirat dalam nyanyian antara abad ke-16 dan abad ke-19.
Memperhatikan syair-syair “kaum kudus tersungkur di depan takhta-Mu,” “mari sembah Yang Mahabesar,” “isi dunia sujud,” dan sebagainya, tersirat dan sangat terasa bahwa ada yang di “singasana” raja dan ada yang di “teras” rakyat. Di balik pemahaman dualisme ini, peran para penyair cukup besar. Mereka berasal dari negara-negara Inggris, Skotlandia, Jerman.[1] Kemungkinan besar bahkan di negara asalnya, nyanyian-nyanyian ini tidak lagi dinyanyikan sekarang. Atau setidaknya, mereka tidak lagi menjadi konsentrasi para ahli musik Gereja.

Tema kejayaan dan kerajaan imperialis dapat dipahami melalui pergumulan Inggris, Perancis, Austria, dan Jerman. Inggris adalah satu-satunya negara yang telah berjaya di Eropa sejak abad ke-16 tanpa kerusuhan agama. Ada perseteruan dalam gereja (antara Anglican dan Puritan), tetapi tidak menyulut dunia politik.[2]

Pengaruh ini sangat besar dan terasa hingga kini. Konotasi bahwa musik gereja adalah prototipe musik Barat masih ada. Bahkan paduan suara gereja masih saja hanya menyanyikan nyanyian dengan tema-tema tersebut. Rasanya hampir tidak ada paduan suara yang memulai “gelombang baru” dalam nyanyian jemaat.
Corak pietisme termasuk dominan sebagai nyanyian gereja di Indonesia. Pemunculannya seiring dengan lahirnya pietisme di Eropa dan berkembangnya kebangunan rohani di Amerika. Pietisme Eropa abad ke-17 berbeda daripada pietisme Amerika abad ke-19. Hal itu, setidaknya terlihat melalui syairnya. Syair-syair untuk kebutuhan devosi personal sangat terasa dalam nyanyian Eropa. Misalnya KJ 300 “Andaikan, Yesus, Kau Bukan Milikku,” KJ 324 “Kau Mutiara Hatiku,” KJ 329 “Tinggal Sertaku,” dan lain-lain. Dari Amerika, kesalehan pribadi dan pementingan kehidupan setelah kematian tersurat di dalamnya. Lihat saja syair-syair KJ 26 “Mampirlah, Dengar Doaku,” KJ 401 “Makin Dekat, Tuhan,” NKB 104 “Api-Nya Berkobar dalam Hatiku,” dan lain-lain.
Dari masa ini tidak lagi tercipta syair semacam Doksologi, Gloria Patri, yakni syair yang mengungkapkan keagungan makhluk-makhluk sorgawi, dan untuk keperluan liturgi. Atau dengan kata lain, syair yang bersifat horisontal bagian atas. Sebaliknya, kesalehan manusia secara individu mulai dimunculkan di sini. Syair nyanyiannya banyak yang bersifat devosi personal. Dari bumi (kesalehan manusia) dinaikkan secara vertikal menuju keagungan Ilahi. Ada dialog antara manusia dan Allah dalam ungkipan “aku dan Engkau”, antara kesalehan dan hidup beriman.
Beberapa nyanyian tersebut dibuat oleh (dari Eropa) Lyte, (dari Amerika) John W. Peterson 1921-…, Sarah Flower Adams 1841, Fanny Jane Crosby (1875), Doane, dan sebagainya. Melihat betapa besar pengaruhnya bagi Gereja di Indonesia, apakah tidak mungkin banyak penyair kita yang dipengaruhi oleh mereka?
Bagaimanakah sikap kita? Dilihat dari sudut khazanah musik, maka nyanyian jemaat tersebut cukup baik. Ini terbukti melalui kebertahanannya terhadap tempaan zaman selama berabad-abad, sehingga tetap eksis. Menurut karya seni musik, banyak dari nyanyian tersebut yang sangat bermutu sebagai nyanyian jemaat. Misalnya, tak seorang pun mengatakan bahwa “Kepala Yang Berdarah” (KJ 170) dan “Malam Kudus” (KJ 92) adalah lagu tak bermutu. Kenyataannya, memang tidak sedikit dari sekitar 800-an nyanyian tersebut yang mampu meramaikan gedung-gedung konser dan menimbulkan kesan mendalam bagi banyak orang.
Namun dilihat dari segi pengajaran dan pemberitaan, Gereja perlu membuka cakrawala berpikir umatnya akan tema-tema yang lain. Bukan tema-tema syair yang “itu-itu saja”, yang menjadi pengajaran dan pemberitaan Gereja. Ada berbagai syair yang lain. Ada fungsi yang lain dari nyanyian jemaat, yakni sebagai nyanyian liturgi. Misalnya dari Musik Gereja Asia atau musik Gereja zaman modern yakni musik Gereja yang muncul pada pertengahan kedua abad ke-20 ini. Bagian ini akan dijelaskan tersendiri pada uraian berikut.

Catatan-catatan
[1] Uraian panjang lebar, lihat Rasid Rachman, Sejarah Musik Gereja: Gelombang Baru Nyanyian Jemaat Abad ke-20, Jurnal Gema: Musik Gereja, Fakultas Teologi Duta Wacana 1995.
[2] ibid, berdasarkan Geoffrey Hindley (editor), The Larousse Encyclopedia of Music. Hamlyn Publishing Group Limited 1971, h 153-154

Tidak ada komentar: