(13)
Alkitab tidak membatasi penggunaan instrumen musik untuk kebaktian. Bukankah Mazmur 150 berbicara tentang sangkakala, gambus, kecapi, seruling, dan ceracap? Demikian pula I Tawarikh 25 menuliskan tentang berbagai alat musik sebagai pengiring ibadah. Mereka adalah alat musik rakyat. Alat tiup, petik, dan perkusi digunakan dalam nyanyian liturgi. Hanya sejarahlah yang membawa organ ke dalam gereja. Organ sendiri lahir di dunia non-Barat.[1] Kita bersyukur oleh karenanya. Tetapi sejarah tidak menetapkan bahwa hanya organlah yang dibolehkan di dalam liturgi.
Yang dimaksud dengan penggunaan instrumen musik di sini adalah musik pengiring nyanyian jemaat. Di dalam musik, kesunyian adalah juga termasuk musik. Ingat, pada bab terdahulu dikatakan bahwa musik gereja memberikan kesederhanaan iringan dalam bermusik. Dari latar belakang itulah muncul istilah a capella (berasal dari alla capella), yaitu bermusik dengan gaya musik gereja atau musik kapel.[2] Yang dimaksud ialah bernyanyi tanpa iringan. Beberapa nyanyian memang hanya merdu jika dinyanyikan tanpa iringan. Jadi buat apa memaksakan (?) iringan. Nyanyian-nyanyian dalam KJ 50a “Sabda-Mu Abadi,” NKB 80 “Di Bukit Golgota,” dan sebagainya, sebaiknya dinyanyikan secara a capella.
Nyanyikanlah lagu di bawah ini sesuai penempatannya dalam liturgi. Lalu bandingkanlah dengan dua cara: dengan iringan atau tanpa iringan. Manakah yang lebih merdu dan tepat?
NKB 27. TUHAN, AMPUNILAH
la=e 4 ketuk
3 6 │ 6 . 1 6 1 │ 6 .' 1 3 │ 2 . 3 1
. . . . .
Tu-han, am - pun-i- lah, Kris-tus, am - pun -
2 1 │ 6 .' 1 2 1 │ 6 . 5 6 6 │ 6 . │▌
. . . . . .
i - lah, Tu-han, am - pun- i- lah!
Lagu : melodi Saisiat-Taiwan; I-to Loh
Sekalipun ada alat musik mewah dan mahal, tetapi sebaiknya lagu di atas ini dinyanyikan tanpa iringan. Dengan demikian penggunaan alat musik sebagai pengiring tidak mutlak diperlukan dalam liturgi, apalagi memutlakkan satu alat musik sebagai pengiring. Namun adakalanya, ada pula nyanyian yang baik dinyanyikan jika diiringi. Maka, cobalah dengan instrumen pengiring yang terdekat dengan tubuh kita sendiri dan yang bunyinya paling sederhana.
Tubuh manusia menyimpan banyak bunyi-bunyian yang estetik. Jika diefektifkan, maka bobotnya tak kalah daripada alat musik canggih. Yang paling alami adalah bunyi-bunyian di sekitar mulut. Senandung pada nada dasar dapat menjadi iringan.
Sebagian umat menyanyikan bas (basso, berarti bawah atau rendah) atau suara pria dapat secara terus menerus menyenandungkan “Ooo …” (nada do), sementara anak-anak dan perempuan menyanyikan melodi KJ 291 “Mari Bersyukur Semua,” sebagaimana harmoni yang tersusun. Atau KJ 42 “Tuhan Kasihani” disenandungkan “Mmm …” (nada la) oleh sebagian umat, sementara yang lain menyanyikan melodi selama litani Kyrie. Senandung itu seolah-olah membuat benang merah dalam musik. Cara ini disebut basso continuo atau BC (continuo, artinya berjalan terus) atau Generalbass.[3]
Rongga mulut dapat mengumpulkan dan menyimpan udara. Prinsip dram dan tambur, yakni memukul rongga berudara, dapat digunakan oleh jari-jari tangan pada mulut. Perubahan bentuk mulut dapat menghasilkan perubahan suara dan nada. Bunyi pletak pletok sangat interesan untuk mengiringi lagu-lagu stacato dan cepat. Beberapa nyanyian dari Amerika Latin dan Afrika cocok diiringi dengan cara seperti ini.
Banyak hal dapat dilakukan terhadap kedua tangan kita untuk menghasilkan suara. Petik jari, tepuk tangan, gesek telapak, tepuk paha, dan lain-lain, dapat melahirkan keindahan tersendiri sebagai iringan. Orang Afrika sangat dinamis dan bervariasi dalam mengiringi jemaat dalam menggunakan tangan secara berirama. Pola permainan perkusi untuk musik gereja ini, menjadi baru kembali di awal abad ke-21. NKB 4 “Nyanyikanlah dengan Syukur,” NKB 7 “Nyanyikanlah Nyanyian Baru,” NKB 190 “Langit Bernyanyi Gembira,” NKB 223a “Haleluya,” misalnya, baik jika diiringi demikian.
Hal ini telah dimungkinkan dengan banyak terciptanya nyanyian jemaat pola baru. Alat musik konvensional: organ dan piano, tidak mampu lagi mengiringi nyanyian-nyanyian Afrika, Asia dan Amerika Latin yang dinamis. Alat-alat perkusi – misalnya: Glockenspiel, bel, gong, tambur, marimba,[4] dan lain-lain – menjadi alternatif yang bagus sebagai pengiring nyanyian. Tentu kita bersyukur seandainya ada pihak yang dengan serius menggeluti alat-alat musik pengiring nyanyian jemaat non-konvensional buatan sendiri.
Catatan-catatan
[1] Kennedy, Organ, h 468. Dibuat di Alesandria oleh Ktesibios oleh seorang ahli teknik berkebangsaan Yunani pada abad ke-3 SM.
[2] Ibid., A Cappella, Cappella, h 3, 115.
[3] ibid. Basso, Basso continuo, h 52-53. Juga dibahas oleh Prier, II, h 14-15. Mulai muncul pada permulaan abad ke-17. Dari basso continuo-lah kemudian lahir kebebasan ke arah improvisasi dan teknik ornamentasi, dan lambat laun menjadi harmoni.
[4] ibid. Percussion, h 486.
Senin, Desember 10, 2007
MENGGUNAKAN INSTRUMEN MUSIK
Label:
nyanyian jemaat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar