Senin, Desember 10, 2007

HAKIKAT NYANYIAN JEMAAT


(1)

Gereja sebagai persekutuan umat percaya yang diutus keluar (Yun: ekklesia) oleh Tuhan Allah adalah persekutuan yang bernyanyi. Umat bernyanyi di dalam ibadah. Ini telah dilakukan sejak awal peribadahan Kristen. Di dalam Injil (Mat 26:30 // Mrk 14:26) diinformasikan bahwa Yesus dan murid-murid-Nya bernyanyi di dalam perjamuan malam itu. Perjamuan malam itu adalah perjamuan Paska. Dalam tradisi Yahudi, umat menyanyikan Mazmur 113-118 sebagai Mazmur Paska yang disebut Hallel.[1] Hampir dapat dipastikan bahwa ini menggambarkan keadaan umum jemaat waktu itu. Bahwasanya ibadah bernyanyi itu telah dikenal sejak awal Kekristenan.
Selanjutnya, beberapa unsur liturgi dinyanyikan. Pembacaan Alkitab, Mazmur, doa-doa, dan salam disampaikan dengan dinyanyikan, sehingga hampir seluruh liturgi terdiri dari nyanyian. Cara ini dikenal dengan istilah liturgi yang dinyanyikan; berbeda dengan menampilkan nyanyian dalam liturgi. Cara ini masih digunakan oleh beberapa gereja dan biara. Gereja Ortodoks menyampaikan instruksi liturgis, doa, dan pembacaan Alkitab dengan cara melantunkannya. Gereja Roma Katolik menyanyikan beberapa unsur liturginya. Kisah-kisah sengsara Kristus dituturkan melalui nyanyian pada Jumat Agung. Biara-biara Benediktin dan Trappist mendaraskan (yakni: melantunkan syair) Mazmur sebagai antifon dalam ibadah harian. Demikian pula komunitas Taizé di Perancis. Inilah hakikat nyanyian jemaat, yakni menyanyikan liturgi, bukan sekedar nyanyian di dalam liturgi.
Menyanyikan liturgi berbeda dengan nyanyian dalam liturgi. Menyanyikan liturgi berarti, unsur-unsur liturgi dilayankan dengan cara dinyanyikan atau didaraskan. Pengajaran, pemberitaan, perayaan liturgi disampaikan dengan nyanyian. Sedangkan nyanyian dalam liturgi adalah lebih bersifat tempelan dan tontonan. Nyanyian itu tidak lagi menjadi hal pokok, melainkan variasi semata. Oleh sebab itu ada cara-cara tertentu untuk menyanyikan liturgi, yang tentu saja bukan dengan cara entertainment atau teatrikal.
Oleh karena belum ada alat pengeras suara, melagukan kalimat menolong pendengaran orang banyak. Dengan melagukan instruksi-instruksi liturgis, maka suara instruktor atau pelayan liturgi menjadi jelas terdengar tanpa berteriak. Dengan mendaraskan naskah-naskah Alkitab, maka tempo pembacaan dapat diatur sedemikian rupa sehingga tidak terburu-buru. Dari alasan praktis ini: melantunkan naskah Alkitab dan instruksi liturgi agar terdengar baik, lahirlah karya seni yang bernilai. Peninggalannya masih dipraktekkan hingga kini.
Dalam Gereja-gereja Protestan, doa-doa, pembacaan Alkitab, instruksi-instruksi liturgis tidak dinyanyikan sebanyak di Gereja-gereja tersebut di atas. Unsur salam: Tuhan besertamu, kadang-kadang masih dinyanyikan di beberapa Gereja Prostestan. Namun hakikat nyanyian di dalam liturgi di Gereja-gereja apa pun adalah sama. Nyanyian jemaat adalah bukan sekedar nyanyian di dalam ibadah. Ia adalah ibadah yang dinyanyikan.
Jadi, nyanyian liturgi – terutama nyanyian jemaat – bukan hal asing atau hal baru di dalam kekristenan. Gereja telah mengenal dan memakainya sejak mula-mula, zaman para Rasul, zaman Patristik, dan hingga saat ini. Hanya cara, bentuk, jenis, isi, dan berita nyanyian jemaatlah yang mengalami perubahan dan pergeseran dari waktu ke waktu. Ini terjadi di dalam sejarah selama hampir 20 abad dalam sejarah Gereja.

Catatan
[1] H.A. Pandopo, Menggubah Nyanyian Jemaat. BPK Gunung Mulia 1984. Pasal 113 dan 114 dinyanyikan setelah meminum cawan pertama. Pasal 115-118 setelah cawan ke-3. Semuanya terjadi dalam perjamuan Paska.

Tidak ada komentar: