Senin, Desember 10, 2007

HYMNE AMBROSIAN DAN NYANYIAN GREGORIAN

(4)

Uskup Ambrosius dari Milano pada abad ke-4 mengakui musik hymne sebagai suatu kemungkinan yang praktis untuk nyanyian jemaat. Hymne ambrosian adalah kidung pujian dari kebudayaan Yunani. Unsur-unsur lagu rakyat digunakan di dalam peribadahan gereja. Hymne-hymne digunakan baik untuk perjamuan kudus maupun di dalam ibadah harian. Ambrosius dikenal sebagai Bapa hymne Barat hingga abad ke-6. Bentuk lagunya yang sederhana menyebabkan hymne ambrosian cukup terkenal di kalangan umat, walaupun tidak di semua wilayah memakainya.

Hymne liturgis tidak selalu diterima oleh semua Gereja … Pada tahun 563, konsili Braga I memutuskan bahwa kecuali Mazmur-mazmur atau nas-nas Alkitab dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, umat tidak diperbolehkan menyanyikan komposisi syair lain, yakni hymne-hymne, di dalam perkumpulan liturgi ... Namun larangan ini tidak menyebabkan hymne tidak berkembang dalam jumlah; diperkirakan sekitar 35 ribu hymne diciptakan setelah abad ke-4.[1]

Sekarang di Gereja-gereja jenis hymne justru yang banyak digunakan. Bahkan hymne-hymne tua dari abad ke-4 “Jurus’lamat, Datanglah” (Veni, redemptor gentium) oleh Aurelius Ambrosius (386), abad ke-9 “O Roh Pencipta, datanglah” (Veni Creator Spiritus), abad ke-13 “Datanglah, Ya Roh Kudus” (Veni, Sancte Spiritus), dan beberapa lagu yang lain terdapat di dalam KJ 82, 229, dan 228. Nyanyian ini “berdiri” di antara dan melengkapi nyanyian liturgi yang lain, seperti antifon-antifon.
Penggunaannya terutama di dalam perjamuan kudus dan meminta partisipasi aktif dari umat. Ambrosius mempertahankan pendapat dan praktek bahwa semua orang: tua dan muda, laki-laki dan perempuan, layak menyanyikan Mazmur di dalam ibadah. Sikap Ambrosius ini didasari oleh praktek ibadah abad-abad pertama, dan merupakan ketidaksetujuannya terhadap praktek liturgi sekitar abad ke-3 yang melarang perempuan terlibat di dalam nyanyian jemaat.[2] Hymne-hymne ini berkembang kembali setelah zaman Reformasi dan hingga kini, oleh karena citranya yang merakyat.
Nama gregorian mengingatkan gereja akan uskup Gregorius Agung dari Roma abad ke-6, walaupun bukan ia yang menciptakan nyanyian gregorian. [3] Ia mempunyai andil besar dalam menetapkan nyanyian gereja sebagai nyanyian liturgi yang agung. Tetapi nyanyiannya berkembang antara abad ke-6 dan ke-9, setelah ia mangkat. Terutama dalam surat kepada Abas Honoratus dari Paus Leo IV (847-855) muncul istilah carmen gregorianum, nyanyian gregorian.
Walaupun syair dalam gregorian lebih dipentingkan daripada melodi atau lagu, tetapi melodi gregorian pun penting dan bernilai seni tinggi. Syair gregorian berasal dari Alkitab dengan struktur puisi Ibrani. Sedangkan lagu gregorian berakar pada tradisi Yahudi dan digunakan oleh jemaat mula-mula.[4] Keduanya: syair dan lagu dalam gregorian, menjadi satu kesatuan.
Jelaslah kedua Uskup ini: Ambrosius dan Gregorius, bukan pencipta langsung nyanyian-nyanyian atau hymne-hymne tersebut. Namanya digunakan oleh karena prinsip pastoralianya tentang bentuk-bentuk dan cara-cara nyanyian liturgi tersebut digunakan dalam gereja. Bahwasanya nyanyian liturgi adalah nyanyian jemaat, dalam arti nyanyian yang merupakan hak umat untuk menyanyikannya. Oleh karenanya, nyanyian jemaat dinyanyikan oleh umat dalam melayankan liturgi.
Pola ambrosian berbeda dari gregorian. Dalam ambrosian, setiap bait mempunyai empat kalimat musik atau frasering. Empat kalimat musik tersebut kadang menjadi kelipatan empat atau delapan kalimat musik. Setiap kalimat musik terdiri dari delapan suku kata. Setiap suku kata hanya dinyanyikan dengan satu atau dua nada saja. Dan unsur yang sangat menonjol dibanding gregorian, jenis hymne ambrosian termasuk nyanyian berstrofe atau berbait, seperti kebanyakan nyanyian yang kita kenal. Beberapa nyanyian dalam buku Lux et Origo berupa hymne, antara lain: 31 “Veni Creator,” 116 “Adoro Te Devote,” 122 “Verbum Supernum,” 123 “Jesu Nostra Redemptio.”
Sebuah contoh hymne ambrosian dari Lux et Origo 116 dengan delapan kalimat musik di bawah ini. Lagu dimulai dengan nada fa dan berakhir dengan nada fa.


















Nyanyian gregorian dikenal dengan istilah plainsong, yakni bertutur dengan cara melantunkan atau meruminasikan tanpa iringan alat musik. Berbicara dengan cara bernyanyi. Garis bar, birama, dan metronom tidak terlalu dipentingkan. Aksentuasi dilakukan sesuai dengan aksentuasi bahasa Latin.
Sebuah contoh nyanyian gregorian dari Lux et Origo 82 di bawah ini. Lagu dimulai dengan nada la dan berakhir dengan nada re.








Irama cepat, pendek, tinggi, bertekanan, dan kuat, disebut arsis. Arsis atau percepatan, biasanya digunakan pada awal kalimat lagu atau hendak menuju puncak nada. Irama lambat, pelepasan, panjang, pengendoran, dan lemah, disebut tesis. Biasanya digunakan pada akhir kalimat lagu atau hendak menuruni puncak nada. Jadi, gregorian mengikuti irama naik atau turun, bukan birama. Irama merupakan suatu prinsip gerakan melodis yang penuh kehidupan, penuh dinamikan, penuh variasi. Bukankah nyanyian gregorian menyimbolkan kehidupan manusia secara normal? Seandainya semua orang Kristen masa kini kembali menyanyikan nyanyian gregorian sebagaimana jenis nyanyian jemaat yang lain, maka suasana kehidupan kembali muncul di dalam gereja.

Catatan-catatan
[1] Anscar Chupungco, Liturgical Musid and Its Early Cultural Settings, S. Anita Stauffer (editor), LWF Studies: Worship and Cultural in Dialogue. The Lutheran World Federation 1994, h 116-117. H.A. Pandopo, h 22-23 menuliskan bahwa ada yang menolak, ada pula yang menganjurkan penggunaan hymne.
[2] Chupungco, h 114-115. Hingga abad ke-2, perempuan bernyanyi di dalam ibadah. Setelah abad ke-3, muncul larangan bagi mereka untuk terlibat dalam paduan suara gereja. Larangan ini didukung oleh beberapa Bapa gereja zaman Patristik. H.A. Pandopo, h 23. Waktu itu, hanya bidatlah yang mempraktekkan laki-laki dan perempuan bernyanyi di dalam ibadah.
[3] Diambil dari nama Paus Gregorius Agung dari Roma (590-604). Masa pemerintahnnya juga dijadikan patokan dimulainya Abad-abad Pertengahan oleh para pakar sejarah gereja.
[4] Chupungco, h 115-116. H.A. Pandopo, h 23. Prier, h 86. Musikolog Abraham Zebi Idelsohn pada akhir abad ke-19, setelah melakukan penelitian serius, membuktikan adanya pengaruh langsung dan kesamaan musik sinagoge kepada nyanyian gregorian.

Tidak ada komentar: