Senin, Desember 10, 2007

BENTUK-BENTUK NYANYIAN JEMAAT

(3)


Hal yang terutama perlu diperhatikan dalam nyanyian jemaat adalah isi syair. Syair berfungsi sangat penting. Tradisi gereja dan ajaran para Bapa gereja hingga zaman Reformasi menekankan bahwa syair harus langsung dan utuh diambil dari Alkitab. Syair yang paling indah, berbobot, lengkap, kaya, sehingga layak diajarkan kepada umat dan diberitakan kepada dunia adalah syair Alkitab. Para penyair tidak boleh seenaknya sendiri menyusun syair nyanyian jemaat tanpa dasar Alkitab.
Lagu harus disesuaikan dengan syair. Bentuk ini sangat nyata dalam nyanyian yang disebut resitatif, yakni satu nada untuk sejumlah suku kata. Cara ini telah digunakan dalam liturgi sinagoge pada awal kekristenan. Contoh di halaman 3 menunjukkan bahwa nada “do” dominan digunakan dalam pembacaan Mazmur 18 itu. Ada juga model lagu lain, misalnya nada “la” (Mazmur 107), nada “re” (Mazmur 143),[1] dan lain-lain. Namun, syair diambil langsung dari naskah Alkitab. Ini sesuai dengan maksud recitativo, yakni menuturkan naskah Alkitab dengan cara mendaraskan atau menuturkan.[2] Dalam hal penuturan, syair lebih ditekankan daripada lagunya.
Dengan demikian terlihat bahwa nyanyian dan bernyanyi adalah alat untuk mengajarkan dan memberitakan firman. Nyanyian dan bernyanyi tidak bertujuan pada dirinya: ingin dipuji dan diagungkan. Nyanyian dan bernyanyi adalah sarana untuk mengajarkan dan memberitakan firman Allah dalam liturgi secara khidmat. Prinsip ini tetap dipegang oleh gereja hingga akhir Abad-abad Pertengahan, walaupun percikannya masih terasa hingga zaman Reformasi dan bahkan zaman ini.
Dalam nyanyian jemaat atau dalam liturgi masa kini, bentuk resitatif masih kita jumpai, misalnya di biara-biara Benediktin, Trappist, dan Ortodoks. Perannya terutama dalam pembacaan Alkitab atau Mazmur. Dalam beberapa lagu Taizé ternyata terdapat juga unsur nyanyian yang dinyanyikan secara dialogis. Seorang cantor (penyanyi) menyanyikan bagian-bagian penuturan secara resitatif dan umat menyanyikan refrein. Juga di dalam agama-agama dan kebudayaan masyarakat lain, bentuk ini lazim digunakan sebagai cara menuturkan pengajaran. Kata lain dari resitasi adalah ruminasi.
Bentuk lain yang juga lazim digunakan adalah melismatis. Dalam Bahasa Yunani melisma berarti nyanyian. Bentuknya berbalikan dari bentuk pertama, yakni beberapa nada untuk satu suku kata[3] yang dianggap penting sehingga perlu penegasan. Kita jumpai bentuk ini dalam nyanyian-nyanyian liturgi yang kemudian menjadi unsur-unsur Kyrie (Tuhan Kasihanilah) dan Gloria (Kemuliaan), Sanctus (Kudus), Agnus Dei (Anakdomba Allah), Haleluya, dan Amin. Jalinan notasi untuk satu suku kata dapat mencapai belasan atau bahkan puluhan nada dalam gregorian. Sebuah contoh dari gereja Ortodoks Yunani berdasarkan melodi biara Gunung Athos demikian.[4]





KYRIE ELESION

la=d Gunung Athos-Yunani

1 7 6 6 │ 2 3 3 . │ 5 5 5 4 5 │ 6 6
. . .
Ky-ri-e e- le- i-son, Ky-ri-e e - le- i -

3 4 3 2 1 7 6 7 1 2 │ 3 4 3 2 1 3 │ 2 1 7 6 . │▌
. . . . .
son, Ky - ri-e e- le-i - son.


Perhatikan bagian –son dari eleison, yang dilantunkan dalam sepuluh nada. Nyanyian ini dapat dinyanyikan dalam litani Kyrie sebagai respon umat setiap selesai pengucapan formula-formula doa. Nada “la” terakhir dapat terus disenandungkan secara piano (lirih) sementara formula doa diucapkan.
Sisa pengaruh unsur melismatis kita jumpai pula di dalam beberapa nyanyian hymne antara lain: “Alam Raya Berkumandang” (KJ 101) dan “Kristus Bangkit! Soraklah” (KJ 188). Bagian Gloria (Glo– dilantunkan dalam enam belas nada) dan Haleluya (Ha– dilantunkan dalam lima nada). Maksud dari penggunaan melisma adalah untuk memberi penekanan terhadap syair yang dianggap penting, selain tentu saja sebagai ornamen musik.
Bentuk melismatis tergolong cukup umum digunakan, baik dalam nyanyian jemaat modern maupun dalam masyarakat. Unsur ini terkandung juga dalam lagu-lagu Melayu, India, Cina, dan lagu-lagu rakyat lain seperti tembang. Misalnya, nyanyian “Ya Tuhanku, Ya Tuhanku” (NKB 29) dari Malaysia. Walaupun banyak di antaranya yang bentuk melismanya tidak sepanjang lagu-lagu gregorian, namun sepercik bukti ini menandakan adanya juga pola yang berlaku umum dalam masyarakat.
Bentuk lain yang sangat wajar dan paling banyak kita jumpai sebab sederhana, ialah silabis (bahasa Inggris sylable artinya suku kata). Yakni satu nada untuk satu suku kata. Seperti orang berbicara. Dalam bahasa berirama (seperti Mandarin dan Thailand) akan terlihat sangat jelas bahwa setiap suku kata mempunyai irama untuk satu arti.
Sebagian besar nyanyian di dalam Kidung Jemaat dan Nyanyikanlah Kidung Baru berbentuk silabis. Walaupun di dalam nyanyian semisal “Hai Dunia, Gembiralah” (KJ 119), terdapat melisma, atau di dalam nyanyian “ Suci, Suci, Suci" (KJ 2) terdapat resitasi, namun mereka tergolong bentuk silabis. Juga Mazmur Jenewa berbentuk silabis, kecuali Mazmur 6 yang merupakan gejala langka dan unik bagi Mazmur Jenewa, yang memiliki melisma.
Bagi umat dan gereja, tentu saja terbuka kemungkinan untuk menyanyikan bentuk-bentuk lain dari khazanah musik yang ada. Sangat disayangkan jika kita hanya mengambil bentuk yang satu dan menolak banyak yang lain dalam hal musik. Lebih parah lagi jika bersikap menolak semuanya, tetapi tidak mengambil apa pun sama sekali.
Dalam musik gereja, kedua bentuk yang pertama: resitatif dan melismatis, banyak kita jumpai dalam nyanyian gregorian. Tetapi bentuk ketiga: silabis, ini banyak terdapat dalam nyanyian atau hymne ambrosian. Secara historis, bentuk melismatis dan silabis berasal dari tradisi sinagoge.[5]

Catatan-catatan
[1] Harjawiyata, h 54-56, 68-69. Pendarasan Mazmur Ibadat Pagi D dan Ibadat Sore A. Bandingkan persamaan dan perbedaannya dalam Mazmur Jenewa.
[2] Kennedy, Recitative, h 522. Bentuk ini pun digunakan dalam beberapa opera abad ke-17 dan ke-18.
[3] ibid, M. Kennedy, Melisma, h 409.
[4] Diambil dari Georges Lemopoulos, Let Us Pray to the Lord : A Collection of Prayers from the Eastern and Oriental Orthodox, WCC 1996, h 89. Susunan lagu oleh Terry MacArthur. Lagu ini dinyanyikan untuk mengiringi litani Kyrie, berdasarkan liturgi St. Yakobus.
[5] Karl-Edmund Prier, Sejarah Musik Jilid 1. Pusat Musik Liturgi 1991, h 16-17.

Tidak ada komentar: