Senin, Desember 10, 2007

CARA-CARA BERNYANYI

(2)

Mempraktekkan cara menyanyikan nyanyian jemaat di dalam liturgi, sebagaimana praktek jemaat mula-mula dan beberapa komunitas dewasa ini, sangat menolong umat untuk menghayati isi pembacaan Alkitab. Irama nyanyian secara estetis akan mengatur tempo pembacaan dan pernafasan, sehingga orang tidak terdorong untuk membaca kilat tanpa pengertian dan penghayatan. Betapa sering umat tidak dapat mengikuti pembacaan dan pengucapan di dalam liturgi karena semua membaca terburu-buru. Yang terdengar hanya gaung yang melelahkan seolah-olah dikejar-kejar. Liturgi menjadi kurang khidmat.
Salah satu cara ialah melantunkan atau disebut juga pendarasan atau ruminasi. Biasanya yang dilantunkan adalah doa, perikop Alkitab, Mazmur, instruksi liturgis, atau salam. Cara ini memudahkan pendengaran dan pengertian umat, serta manusiawi. Perhatikan contoh berikut.[1]

MAZMUR 18

1 1 2 1 .
A-ku cinta pada-Mu, ya TUHAN, kekuatan-ku,
1 1 1
Tuhanlah pelindung dan pembelaku,
1 6 .
.
Allahku yang menyelamatkan daku.
1 1
Tuhanlah gunung pengungsianku,
1 1
perisai dan senjataku, bentengku
1 7 1 6 5 . │▌
. . .
sangat ter-puji.

1 1 1 2 1 .
A-ku berseru kepada Tuhan
1 1 1 7 1 6 5 . │▌
. . .
dan aku diselamatkan dari musuhku.

1 1 1 1
Maut mengancam aku bagaikan gelora ombak,
1 2 1 .
Malapetaka menyerbu aku bagaikan banjir.
1
Jerat pratala meliliti aku,
1 1 1 7 1 6 5 . │▌
. . .
perangkap neraka menganga di hadapanku.


Syair Mazmur ini dapat dinyanyikan secara antifonal, sebagai salah satu metode.[2] Lazimnya: antara kiri dan kanan, atau lelaki dan perempuan. Interior bangunan di banyak gereja tua, kapel biara, dan bahkan kapel di beberapa seminari modern, masih menggunakan sistem bangku berhadapan antara kiri dan kanan atau disebut choro. Sistem ini memang sengaja diperuntukkan bagi antifonal. Biasanya dilakukan dalam ibadah harian.
Pembagian dialognya terjadi sedemikan rupa sehingga memang sesuai dengan pemberian nomor ayat di kemudian hari. Yang ingin dituju dari cara-cara menyanyi seperti itu adalah keterlibatan umat secara aktif. Terlibat di dalam menyanyikan, terlibat pula dalam menghayati dan mengerti nas Alkitab. Jika kita memperhatikan Kidung Jemaat (KJ) 1 “Haleluya! Pujilah,” KJ 44 “Tuhan, Kasihanilah,” Mazmur-mazmur untuk ibadah harian, dan lain-lain dan tinggal bagaimana kita menghidupkan suasana ibadah, maka banyak nyanyian dapat dinyanyikan secara antifonal.
Dapat juga bernyanyi secara responsori, sebagai metode yang lain. Bernyanyi bersahutan antara pemimpin (solis) dan umat seperti dalam gereja Anglican, atau antara paduan suara dan umat, atau – sebagaimana perkembangannya dari motet – bersahutan antara solis dan paduan suara.[3] Biasanya sekelompok kecil menyanyikan lebih dahulu syair yang bersifat mengajak atau meminta respon. Lalu kelompok lebih besar, biasanya umat, memberikan respon.
Jika antifonal menekankan cara bernyanyi bersahutan antara dua kelompok penyanyi yang jumlahnya sama besar, maka responsori adalah nyanyian bersahutan antara satu-dua orang dan sekelompok besar orang. Jika ada refrein dalam suatu nyanyian, maka lazimnya refrein dinyanyikan oleh kelompok-kelompok tersebut secara bersama-sama.
Perhatikan nyanyian “Allah Bapa, Tuhan” (KJ 13) dari Zambia. Solo itu (dinyanyikan oleh seorang solis): Allah Bapa, Tuhan dimuliakanlah nama-Mu, merupakan ajakan bagi umat untuk mengulangi dan menyanyikan bagian yang sama. Lalu bagian penutup dinyanyikan secara bersama.
Hal yang sama dapat pula dilakukan pada “Pujilah! Pujilah!" (KJ 47), “Hai Musafir, Mau Ke Mana” (KJ 269), “Lihatlah Sekelilingmu” (KJ 428) dari Indonesia, dan masih banyak nyanyian lain.
Kedua cara bernyanyi dialogis ini telah digunakan oleh gereja sejak awal. Dan ternyata dikenal juga dalam kebudayaan masyarakat secara umum, baik di Indonesia maupun di beberapa penjuru dunia. Misalnya, lagu “Injit-injit Semut,” “Rasa Sayange,” dan beberapa kesenian Melayu di Sumatera, yang dinyanyikan secara dialogis antara satu orang yang mengajak dan sekelompok orang yang menanggapi.
Cara menyanyi yang lain telah digunakan dalam hymne Ambrosian sejak semula, yakni menyanyi secara alternatim. Artinya bergilir ganti antara dua atau beberapa kelompok untuk setiap bait. Dalam perkembangannya, nyanyian berbait dinyanyikan secara alternatim pada zaman Reformasi abad ke-16.[4] Misalnya, bait satu dinyanyikan oleh paduan suara, bait dua oleh pria, bait tiga oleh perempuan, bait empat oleh anak-anak, dan bait terakhir oleh semua. Apabila ada refrein, maka bagian itu selalu dinyanyikan secara bersama.
Cara bernyanyi alternatim ini mengatasi persoalan menyanyi hanya satu-dua bait dari seluruh lagu, terutama lagu-lagu yang berbait banyak seperti hymne. Memotong-motong jumlah bait yang dinyanyikan adalah suatu hal yang tidak terpuji dalam penggembalaan umat. Dengan cara alternatim ini, keutuhan suatu lagu, dengan tema dan pesan yang dikisahkan di dalam syairnya, tidak terpotong-potong. KJ 167 “Yesus, Tuhanku, Apakah Dosa-Mu” yang terdiri dari 13 bait atau KJ 165 “Jurus’lamat Dunia” (8 bait), yang setiap baitnya mengisahkan kisah sengsara Yesus secara bertahap, lengkap dan informatif, dapat disampaikan secara utuh kepada umat. Demikian pula KJ 98 “Jauh dari Sorga Datangku” (15 bait) dan KJ 129 “Dari Timur Jauh Benar” (5 bait), dibuat seperti dialog drama. Cara bernyanyi alternatim ini merupakan cara terbaik untuk nyanyian-nyanyian gereja yang sebagian besar adalah berbentuk hymne.
Zaman modern memberikan variasi lain dalam cara menyanyi. Beberapa nyanyian jemaat memungkinkan dinyanyikan secara kanon (canon) artinya beraturan secara bergaris atau berlini. Bunyi lagunya memang bersusulan antara dua, tiga, empat suara, sehingga membuat garis suara. Suara pertama menjadi “teladan” dari suara-suara berikutnya sebagai imitasi.[5] KJ 470 “Puji, Syukur, Hormat,” Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB) 45 “Pujian Malam Yang Tenang,” NKB 54 “Muliakanlah, Hai Jiwaku” (dari TaizĂ©), “Gloria” (TaizĂ©), dan lain-lain, dapat dinyanyikan secara kanon dan merdu.
Berbagai cara menyanyi ini memberikan alternatif dan variasi. Umat tidak selalu menyanyi secara unisono, yaitu semua orang menyanyi dalam satu suara.[6] seperti yang umum kita nyanyikan. Memang, ini semua memerlukan persiapan dengan seksama. Jika ingin baik atau bervariasi dalam hal bernyanyi, maka tidak mungkin melakukannya seperti memencet tombol tape recorder.
Menyanyi menjadi hal yang menyenangkan di dalam ibadah karena bervariasi caranya. Dengan demikian suasana kehidupan ada di dalam nyanyian ibadah. Bernyanyi adalah untuk orang hidup. Bandingkan dengan kesaksian pemazmur (Mzm 6:6): di dalam maut tidaklah orang ingat kepada-Mu; siapakah yang akan bersyukur kepada-Mu di dalam dunia orang mati?

Catatan-catatan
[1] Lagu diambil dari Frans Harjawiyata (pertapaan Rawaseneng), Nyanyian Ibadat Harian. Pusat Musik Liturgi 1986, h 28-29. Pendarasan Mazmur Ibadat Pagi B. Syair diambil dari Sebastianus, Mazmur & Kidung, h 26-30 untuk keperluan peribadatan pertapaan Gedono.
[2] Bnd. J.L.Ch. Abineno, dalam Dasar-dasar Theologis dari Nyanyian Gerejawi, dalam Gereja dan Ibadah Gereja, BPK Gunung Mulia 1986, h 96-97, Abineno menekankan bahwa antifonis sebagai cara bernyanyi yang terbaik, Michael Kennedy, Antiphonal Singing, The Concise Oxford Dictionary of Music, Oxford University Press 1985, h 22.
[3] Kennedy, Responses, Responsorio, ibid., h 538. H.A. Pandopo. h 21. Istilah “khorus” sejak dahulukala dipakai dalam gereja untuk kedua kelompok yang bernyanyi berbalasan dalam ibadah gereja.
[4] H.A. Pandopo, h 42.
[5] Kennedy, Canon, ibid., h 112. Ada beberapa jenis dan cara menyanyikan kanon dalam musik.
[6] Kennedy, Unison, ibid., h 673.

Tidak ada komentar: