Jumat, Februari 29, 2008

KATANYA SIBUK, TAPI KOQ DI RUMAH ...?!

oleh : Rasid Rachman

Hidup di Jemaat itu selalu serba salah. Walaupun di Jemaat kota besar semacam Jakarta, Surabaya, atau Bandung, di mana umat biasanya tidak mengurusi hal-hal tetek bengek, tetapi kesan bahwa Pendeta itu laksana tinggal di "rumah kaca" tetap saja terjadi. Tidak satu-dua orang yang hobi menyelediki kehidupan Pendetanya.
Orang awam biasanya heran dan tidak mengerti dengan pola hidup Pendeta. Jadwal kerja tidak jelas, tempat kerja bukan di kantor, waktu kerja pun tidak terbatas. Biasanya, awam yang tidak mau mengerti dengan gaya hidup ini ambil rata berkesimpulan:
1. Pendeta itu waktu luangnya banyak. Seorang aktivis pernah curhat, begini: "Saya pernah melihat buku agenda Pendeta, banyak yang kosong. Berbeda dengan orang biasa, ngantor pukul 08.00 sampai pukul 17.00."
2. Pendeta itu kerjanya cuma hari Minggu. "Sepanjang pekan selama 6 hari, Pendeta di rumah saja. Mungkin santai-santai dan tidur-tiduran."
3. Pendeta selalu bilang sibuk, padahal "Kalau saya telepon di rumahnya, selalu ada. Kalau saya bertanya di telepon 'apakah sedang sibuk', jawabnya pasti 'tidak sibuk'."

Jeneralisasi semacam ini memang sulit diklarifikasi; juga sulit dikonfirmasi siapa yang yang bicara. Idealnya, ajak orang-orang itu menempel dengan Pendeta selama sepekan. Dari bangun pagi sampai malam tiba sebelum sebelum tidur, ajak orang-orang itu untuk bersama-sama Pendeta, baik di rumah maupun di luar rumah, kemana pun dan apa pun yang dilakukan Pendeta. Saya yakin, setelah seminggu orang-orang itu akan berubah pendapat. Namun melakukan hal ini bukan perkara mudah. Alasannya, hampir tidak diketahui siapa yang berpendapat seperti 3 point di atas itu. Kebanyakan orang saling menutupi siapa yang bicara; isu semacam itu sangat umum sehingga jeneralisasi pun diterima dengan lumrah; atau tidak ada yang mengaku karena tidak begitu kuat buktinya.
Bagi Pendeta yang masa pelayanannya lebih daripada 10 tahun, mungkin sudah dapat mengatasi isu-isu semacam itu dengan tenang, atau sudah berdamai dengan masalah itu. Bagi yang baru, atau calon Pendeta, isu semacam itu tak pelak bisa membuat gundah dan menghilangnya rasa percaya diri. Bagi saya, itulah yang konsekuensi menjadi Pendeta.
Sekali waktu sekitar pukul 10, ketika saya masih tinggal di pastori yang menyatu dengan kompleks gereja, seorang anggota jemaat datang memanggil-manggil saya dari depan pintu. "Pak, ... lagi tidur ya?" Itu bukan pertama kali ia berseru seperti itu di depan pintu rumah saya. Padahal orang itu belum melihat atau bertemu dengan saya yang di dalam rumah.
Saya buka pintu depan, lantas menjumpainya. Saya katakan dengan agak kesal: "Kalau kerja saya cuma tidur sepanjang hari, maka mana bisa saya lulus sekolah seperti sekarang ini(?)" Sejak itu, ia tidak lagi melakukan seruan-seruan semacam itu.

2 komentar:

Titi Yuliaty Mangape mengatakan...

Kupikir, pendeta-pendeta di daerah aja yg seperti itu, terus-menerus dipantau dari berbagai sudut, ternyata yang di kota-kota besar juga demikian adanya? Cape deh

Rasid Rachman mengatakan...

Apa boleh buat, begitulah dinamika kehidupan Pendeta. Harus pandai2 tampil dan bicara memberi alasan logis.