Jumat, Januari 11, 2008

JAJAN ROHANI DAN ARTI BERGEREJA

Mengapa Orang Gereja Kristen Indonesia Suka “Jajan”

Oleh : Rasid Rachman

Pendahuluan
Ada minimal tiga tugas dan hakikat gereja, yaitu: bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia), dan melayani (diakonia). Ketiga tugas tersebut tidak dijalani satu persatu, melainkan secara serempak. Alasannya, hal yang satu tidak terlepas dari hal yang lain, dengan demikian ia disebut gereja. Oleh karena itu, mau tak mau makna bergereja dilihat sebagai adanya persekutuan (koinonia). Sekalipun diakonia atau marturia berjalan dengan baik, tanpa koinonia ia tidak menjadi gereja. Bahkan tanpa persekutuan, diakonia yang dijalankan hanya menjadi aksi sosial dan marturia hanya menjadi demonstrasi.
Saat ini, persekutuan kita katanya terancam. Keterancamannya disebabkan oleh karena sifat suka “jajan”; suka “mencicipi” gaya kerohanian ala gereja atau ala persekutuan lain. Mengapa demikian?

I. Sifat suka “jajan”
Kesukaan jajan rohani di kalangan umat bukan hanya baru terjadi sekarang-sekarang ini. Sejak dekade 1980-an (atau bahkan akhir tahun 1970an), umat Kristen anggota gereja arus utama sudah mulai coba mencicipi “makanan rohani” ala gereja atau persekutuan lain. Memang, waktu itu orang masih malu-malu dan takut.
Menurut hemat saya, fenomena “suka jajan” terjadi, pertama adalah karena munculnya kebangunan Gereja-gereja Pantekosta. Di dunia internasional dan terutama Amerika, gerakan pantekostal yang lahir pada akhir abad ke-19, mengalami kemunduran besar setelah PD 2. Kemunduran tersebut menyebabkan Gereja Pantekosta para dekade 1960-an, belajar cara beribadah dari Gereja arus utama. Tahun 1970-an, hasil pembelajaran itu diperoleh, antara lain: mengadakan persiapan ibadah, menyusun nyanyian jemaat, memperbaiki sistematika berkhotbah, dsb. Pokoknya dalam menyelenggarakan ibadahnya, gereja Pantekosta tidak lagi melulu "mengandalkan" dorongan Roh Kudus secara membabi buta.
Di Indonesia, kemajuan Gereja-gereja Pantekosta agak terlambat. Selama dekade 1970-an, Gereja-gereja Pantekosta masih “bergaya lama”; ibadah dijalankan dengan “bimbingan Roh Kudus” secara membabi buta. Dalam situasi demikian, hingga akhir dekade 1970an, umat dari Gereja-gereja Protestan di Indonesia tidak begitu tertarik dengan ibadah Gereja-gereja Pantekosta, demikian sebaliknya. Umat Gereja-gereja Protestan di Indonesia bergeming dengan nyanyian dari buku Mazmur dan Nyanyian Rohani.
Baru pada awal dekade 1980-an, di Indonesia ada kebangkitan gerakan pantekosta baru atau karismatik. Beberapa umat dari Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai tertarik dengan persekutuan-persekutuan karismatik tersebut. Sebagai fenonema baru, ibadah karismatik – baik melalui nyanyian dan khotbah, dan terutama mujizat kesembuhan – menjadi daya tarik tersendiri. Tak dipungkiri, beberapa orang GKI kemudian pindah “resmi” ke Gereja Karismatik; bukan ke Gereja-gereja Pantekosta. Mereka yang “resmi” pindah, tidak termasuk kategori “jajan” tersebut.
Pada dekade itu, umat dari Gereja-gereja arus utama – yang sebelumnya tidak memiliki alternatif selera beribadah kecuali ala Gereja-gereja Protestan di Indonesia – kini memiliki alternatif menyalurkan selera beribadah ala karismatik. Bertepatan, dengan rapinya sistem administrasi Gereja-gereja Protestan di Indonesia, kepindahan mereka menjadi lancar.
Walaupun kini karismatik mulai surut, gerakan karismatik tahun 1980-an tersebut adalah “pintu” bagi terbukanya gelombang cara beribadah pantekostal yang masuk ke Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Gereja dan gerakan pantekostal baru telah berwujud lain dengan awal munculnya gerakan pantekosta akhir abad ke-19. Kini ada Gereja Tiberias, Gereja Betani, Gereja Abba Love, Gereja Basilea, Gereja "dll". Oleh seorang peneliti liturgi di Amerika (Andy Langford: Transitions in Worship: Moving from Traditional to Cantemporary), Gereja-gereja “dll” tersebut digolongkan sebagai Gereja Seeker. Istilah seeker tersebut menandakan bahwa Gereja atau persekutuan tersebut “(seperti) terus menerus mencari bentuk” dan mencari jiwa.
Selain Pantekosta dan Karismatik – sebenarnya mereka tidak betul-betul menyerang GKI; hanya menawarkan secara umum – GKI (dan beberapa Gereja-gereja Protestan di Indonesia lain) mengalami serangan berat dari gerakan fundamentalisme (dengan nama: Gerakan Reformed Injili) pada akhir dekade 1980-an. Beberapa (mantan) orang GKI bukan tertarik dengan gerakan baru ini, tetapi juga secara militan mengobok-obok kehidupan GKI.
Menanggapi gerakan karismatik dan fundamentalis tersebut, GKI SW Jabar (dh GKI Jabar)menyusun strategi. Ada Pegangan Ajaran terhadap Karismatik sejak tahun 1980-an. Ada pula Pegangan Ajaran terhadap Pengkhotbah Non-GKI. Persidangan Majelis Klasis Jakarta Timur tahun 1986 (?) pernah mengangkat masalah “jajan” tersebut. Persidangan Majelis Sinode GKI Jabar tahun 1989 pernah mengangkat masalah fundamentalisme yang waktu itu “menyerang” GKI. Tujuan strategi tersebut bukan menyerang balik, melainkan “menjaga pintu” dan “menutup pintu” bagi masuknya gerakan-gerakan tersebut ke dalam GKI.

II. Kondisi peribadahan Gereja-gereja arus utama
Kondisi peribadahan baik di Gereja-gereja Protestan di Indonesia secara umum dan Gereja Kristen Indonesia secara khusus seringkali dijadikan “kambing hitam” atas pindah atau jajannya umat kita ke persekutuan pantekostal. Penyalahan bahwa cara beribadah kita lesu, nyanyian kita loyo, baptisan kita cuma percik, doa-doa dan khotbah kita kurang Roh Kudus, dan pemuda kita suka ibadah model demikian, adalah gejala umum; sifatnya lebih pada tuduhan ketimbang akal sehat dan fakta objektif. Gejala ini kemudian berkembang ke hal-hal yang tidak ada hubungannya, semisal: Pendeta tidak pernah melawat, Penatua kurang ramah kepada jemaat, Majelis cuma pandai rapat, dsb.
Klaim-klaim tersebut pernah membuat GKI salah tingkah. Awal tahun 1980-an, Tata Laksana GKI Jabar memasukkan Kebaktian Penyegaran Iman (KPI) alih-alih Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Dalam prakteknya, KPI memang KKR; bedanya KPI dilakukan di dalam GKI. Artinya, tanpa sadar GKI telah “memasukkan resmi” kebaktian pantekostal. Beberapa Jemaat melaksanakan KPI (bisa juga dengan nama lain: Malam Puji dan Doa [MPD] atau Malam Puji, Doa, dan Kesaksian [MPDK]) setahun sekali, setahun dua kali, atau bahkan setiap bulan. Hingga pernah ada beberapa Jemaat “mengubah” kebaktian hari Minggu (biasanya sore) dengan kebaktian ala pantekostal. Ada juga Jemaat yang “terpaksa” membeli alat musik band supaya pemudanya tetap di GKI. Satu dekade yang lalu, para Pendeta GKI pernah dianjurkan dan dilatih untuk berkhotbah gaya karismatik. Namun semua hal tersebut, baik klaimnya maupun upaya membenarkan klaim tersebut, tidak mampu mengubah (baca: membangun dan mengembangkan) GKI. Setelah lebih daripada 30 tahun KPI dan semua perangkat ibadahnya masuk di GKI, umat GKI tidak menjadi semakin pantekostal dan tidak semakin cerdas beribadah. Terbukti, KPI, MPD, atau MPDK, tidak berkembang di GKI (dan Gereja-gereja arus utama di Indonesia) dari dulu sampai sekarang.
Sebaliknya, pertambahan jumlah Jemaat dan anggota jemaat GKI tetap pesat. Tidak sedikit Jemaat GKI yang kewalahan mencari lahan parkir, kewalahan menambah jumlah ibadah hari Minggu, kekurangan ruang-ruang kegiatan, dan kekurangan bangku ibadah. Selain itu, GKI tidak pernah kekurangan orang yang loyal terhadap GKI. Ibadah-ibadah GKI dan Gereja-gereja Protestan di Indonesia tetap dihadiri oleh berbagai kalangan, termasuk orang-orang muda.
Walaupun jelas tidak benar klaim yang dilontarkan oleh anggota jemaat kita yang suka “jajan”, mengadakan introspeksi diri adalah tidak ada salahnya, supaya tidak cepat puas diri atau tidak waspada. Namun dalam introspeksi itu kita harus tetap memilah secara jernih antara persoalan sejati dan “dibuat-buat menjadi persoalan”.
Klaim-klaim tersebut di atas, menurut hemat saya, cuma hal yang “dibuat-buat menjadi persoalan”, padahal sesungguhnya bukan persoalan. Hal tersebut terbukti dengan paparan di atas juga bahwa jemaat GKI tidak berkurang, malahan bertambah.
Apakah persoalan kita? Saya akan menyoroti soal ibadah.
Pertama, gaya ibadah GKI sudah benar, walaupun belum sempurna. Bahkan dasar teologi ibadah GKI – termasuk pernak-perniknya – jauh lebih kaya daripada dasar teologi ibadah pantekostal.
Kedua, gaya ibadah GKI bukan barang lama atau masa lalu, demikian pula sebaliknya: gaya ibadah “yang lain” itu juga bukan barang modern. Gaya ibadah GKI sama modernnya dengan gaya ibadah “yang lain” itu, walaupun bentuknya memang berbeda. Buktinya, gaya ibadah GKI masih berkembang pesat hingga saat ini, sekalipun seringkali kita sangat terlambat mengetahuinya.
Ketiga, cara melaksanakan ibadah GKI memang harus diperbaiki. Cara itu tidak perlu mengganti gaya beribadah GKI. Mengganti gaya ibadah, misalnya: meniru gaya pantekostal atau Katolik, tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menambah masalah. Orang GKI memang “dari sononya” bergaya ibadah ala GKI. Lagipula tidak ada yang salah dari dasar ibadah GKI, sehingga tidak perlu diganti.

Penutup
Sebagai penutup, saya usul beberapa hal untuk perbaikan cara kita beribadah, antara lain:
1. Kurangi instruksi verbal: “Silahkan duduk,” “Marilah kita memulai ibadah dengan berdiri,” “dengan tetap berdiri,” “Marilah kita menyanyi dari nomor ….”
2. Nyanyian jemaat dinyanyikan utuh, semua bait. Cara alternatim (bergilir ganti: perempuan, laki-laki, semua) dapat digunakan sebagai cara mengatasi nyanyian berbait banyak.
3. Perbaiki cara menyampaikan simbol-simbol liturgis: tata tutur, tata gerak, dsb.
4. Jangan ikut-ikutan dan mengganti cara beribadah, melainkan memperbaiki cara beribadah kita sendiri. Tradisi ibadah GKI sudah jauh lebih kaya daripada tradisi ibadah pantekostal.

Sudah waktunya kita memotivasi diri dan anggota jemaat untuk semakin cerdas beribadah.

Tidak ada komentar: