Jumat, Februari 08, 2008

“T” VERSI SATU

Oleh : Rasid Rachman

“T” itu berwajah “ga enakeun”, kata orang Bandung. Wajah tertekuk, badan besar-bulat, berkacamata, dan tidak pernah senyum. Dia orang tua, pensiunan. Saya melihatnya pertama kali waktu saya pimpin ibadah; dia di bangku umat. Langsung saya terkesan dengan “ga enakeun” dipandang itu. Seperti wajah cantik itu enak dipandang, wajah sebaliknya pun menarik untuk terus dipandang. Yang biasa-biasa saja malah ga enak dipandangi. Saudara “T” ini termasuk yang kedua.
Kesan saya, orang ini tidak asik untuk diajak bicara, suka menekan, sadis, dan banyak usul. Apalagi untuk menjadi teman di Jemaat, akan menimbulkan siksaan. Mulitnya yang kecil, bibirnya tipis, kepalanya bundar, berkaca mata dengan gagang hitam. Bukan tipe ideal untuk curahan hati. Juga bukan tipe orang baik-baik. Pokoknya, saya berusaha untuk tidak bicara dan berkenalan dengannya.
Sebagai pensiunan, ia memiliki banyak waktu luang. Saya sering melihatnya di kantor gereja kalau siang hari. Tetapi saya tidak pernah melihatnya menghadiri acara-acara resmi gereja pada malam hari. Untung juga, saya akan jarang berkesempatan berkenalan dengannya.
Sekali waktu saya berpapasan dengan “T” di pintu kantor gereja; saya baru masuk, “T” hendak keluar. “Syukurlah,” pikir saya. “T” melihat saya, saya cukup mengangguk saja, terus menyelinap masuk ke dalam, berpura-pura sibuk dengan urusan lain. “T” pasti tahu saya, tetapi saya pura-pura tidak kenal dia. Memang saya tidak mengenalnya.
Beberapa waktu kemudian kami berpapasan lagi di tempat yang sama. Kali ini dia menyapa: “Apa kabar, Sid.” Sungguh, baru sekali itu saya mendengar suaranya. Halus, menyejukkan, penuh simpati. Namun saya bergetar disapanya. Bukan karena suaranya yang menyeramkan, namun karena prapaham saya tentang dia yang menyeramkan itu ternyata sangat berbeda dengan aslinya. Kata orang-orang, “T” itu orang yang baik, simpatik, suka menolong, dan tidak membuat-buat kalau memberi perhatian. Itulah yang membuat saya bergetar. °

Tidak ada komentar: