Oleh : Rasid Rachman
Entah karena namanya: GKI Karet, entah memang “dari sononya”, Jemaat ini memang Jemaat ngaret. Hal ini telah terjadi sejak sebelum saya masuk pada tahun 1997. Sekali waktu saya pernah melayani persekutuan pemuda tahun 1996. Undangan untuk pukul 18.30, saya tiba pukul 18.00, mulai pukul 19.00 – itu pun setelah didesak dan diancam “saya pulang”. Pokoknya, jika dalam warta tertulis pukul 18.00, itu berarti acara dimulai pukul 18.30 atau bahkan pukul 19.00. Kebaktian remaja tertulis pukul 15.00, mulai pukul 15.30 setelah para remajanya dipanggil dan diingatkan.
Pada awal saya masuk, dan ketika beberapa aktivis tahu bahwa saya adalah orang yang tepat waktu, mereka membuat akal-akalan baru. Waktu di warta dibuat berbeda dengan waktu di surat permintaan kepada saya. Misalnya, di warta tertulis pukul 09.00, surat konfirmasi kepada saya pukul 09.30. “Yang penting, bapak tidak menunggu,” kilah mereka. Namun saya tidak menerima taktik semacam itu, karena jangan-jangan jemaat tahunya sayalah yang terlambat tiba di gereja sehingga acara terlambat dimulai. “Saya mengikuti waktu yang tertulis di warta,” begitu saya bilang.
Lambat laun keadaan ini berubah menjadi lebih baik. Acara dimulai sesuai dengan yang diwartakan dan tepat waktu. Hasilnya, beberapa orang yang dulunya agak segan mengikuti acara di gereja karena ngaret, kemudian mulai datang kembali. Acara apa pun dimulai dengan seberapa pun orang yang telah hadir. “Setiap orang yang terlambat datang ke gereja, punya alasannya sendiri. Kita tidak perlu menunggu mereka. Tetapi kita harus lebih menghargai mereka yang datang sebelum waktunya,” begitu penjelasan saya.
Disiplin pada waktu bukan hanya soal kerapihan organisasi dan kematangan spiritualitas, tetapi juga merupakan penghargaan terhadap manusia. ©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar