Jumat, Desember 07, 2007

PUASA

TANTANGAN BAGI MATERIALISME DAN HEDONISME

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan
Tradisi berpuasa adalah tradisi universal umat manusia yang telah ada sejak dahulu kala. Sehingga puasa bukan sesuatu yang tidak dikenal dan dialami oleh berbagai manusia. Keunikan berpuasa pada masing-masing budaya atau agama manusia juga tidak terlalu kentara. Pemahaman dan praktek berpuasa masing-masing budaya atau agama memliki banyak kesamaan atau bahkan keseragaman.
Inti dari berpuasa, sebagaimana arti puasa: upa (mendekatkan diri) dan Wasa (Tuhan), adalah semakin mencerminkan citra ilahi. Untuk menjadi dekat dengan Tuhan dan mencerminkan citra ilahi, berpuasa dilakukan dengan tidak makan dan berpantang. Tidak makan dan berpantang merupakan sarana pelatihan untuk menjadi dekat dengan Tuhan. Jadi, puasa adalah kegiatan kontemplatif (con = bersama dengan; templum = area Ilahi); sebuah latihan atau disiplin spiritualitas.

I. Berpuasa sebagai peredam hawa nafsu
Makan merupakan kebutuhan dasar manusia yang justru seringkali menjadi penyebab rusaknya citra ilahi dalam diri manusia. Makanan seringkali menjadi penyebab ketidakharmonisan relasi dan kehidupan antar manusia. Pikiran baik atau pikiran jahat diawali dari kenyang atau lapar seseorang. Memuji atau membunuh seseorang, dapat dilakukan dengan alasan soal makanan. Laksana vaksinasi, demikian pula berpuasa dilakukan agar seseorang mampu mengatasi dan mengendalikan hawa nafsunya. Dengan mengendalikan hawa nafsu, citra Ilahi terpancar dalam tutur kata, tindakan, sikap, dan tata olah tubuh seseorang yang berpuasa, sehiingga terbangun keharmonisan. Pokoknya, dengan berpuasa hawa nafsu insani terkendali atau setidaknya teredam.
Dua hal yang disorot sehubungan dengan hawa nafsu adalah materialisme (demi materi, kebendaan, jasmani) dan hedonisme (hedone: demi kesenangan, kenikmatan, hawa nafsu). Di zaman ini juga, materialisme dan hedonisme merupakan tantangan berat. Ia tampak menakutkan, tetapi asik ketika dialami sendiri. Bagi sementara pihak, kedua hal tersebut bahkan sudah menjadi gaya hidup atau nilai tertinggi, bisa jadi karena asiknya berkecimpung di sana.
Pihak-pihak yang menikmati gaya hidup materialisme dan hedonisme tersebut dapat berwujud personal atau pribadi, dapat pula berwujud komunal atau institusional. Contoh konkret, selain calon pacar, lembaga Gereja atau lembaga Pemerintahan juga dapat mempunyai sikap materialistis atau hedonistis. Tidak sedikit pribadi dan institusi yang membiasakan atau bahkan melegalkan budaya jor-joran untuk hal sehari-hari. Misal, membuang-buang makanan dengan sia-sia; memperlakukan kertas dan plastik; terlalu mudah dan cepat menyampahkan sisa pemakaian seperti air, stereoform, minyak, listrik, komunikasi; rapat dengan memboroskan biaya besar namun dengan hasil yang kecil; sangat kecilnya pengguna kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi; pengrusakan fasilitas umum dan pribadi dalam amok massa; dsb. Hal-hal tersebut ingin menyatakan bahwa kita bersikap tidak perduli dengan pengendalian hawa nafsu dan terhadap dampaknya kemudian.
Dalam rangka mengendalikan atau meredam hawa nafsu tersebut, puasa dikenakan baik kepada pribadi maupun kepada institusi. Kepada pribadi, karena jika tidak terkendali hawa nafsu pribadi dapat merusak tatanan masyarakat. Semisal, gonta ganti barang elektronik demi gaya-gayaan akan menyebabkan menggunungnya sampah elektronik. Kepada institusi, karena jika kelewat batas hawa nafsu institusi dapat membudayakan keburukan. Semisal, jumlah mal yang berlebih dan menyolok mata dapat memancing sikap konsumtifisme dan membunuh pedagang kecil.
Pada satu sisi, tidaklah salah apabila seseorang atau institusi melakukan jor-joran diri sendiri. Tokh, hasil keringat sendiri. Namun pada sisi lain, persoalan menjadi berbeda jika melihat pemaknaan puasa Kristen. Puasa Kristen adalah puasa: berprihatin karena Kristus wafat dan melakukan derma.

II. Mengenang Kristus wafat
Kristus (untungnya!) tidak mewajibkan orang berpuasa; Ia bahkan tidak menganjurkannya. Anjuran berpuasa dikatakan oleh Yesus dalam rangka sahabat-sahabat mempelai pria berduka karena "mempelai pria diambil dari antara mereka" (Mat 9:14-15). Peringatan "pengambilan mempelai pria" dilakukan oleh gereja dalam ibadah Jumat Agung. Itulah sebabnya, tidak ada makan dan perjamuan kudus pada hari Jumat Agung.
Waktu berpuasa pada Jumat Agung setiap tahun dipersering oleh umat menjadi setiap hari Jumat.
Setiap Jumat, terutama pada masa Prapaska, orang Kristen biasa berpuasa untuk mengenang Kristus wafat.
Dua hari sebelum Yesus disalib, ada informasi Yudas bersepakat dengan para Imam Yahudi untuk menjual Yesus dengan 20 keping perak. Beberapa orang Kristen juga biasa berpuasa pada hari Rabu untuk mengenang hal tersebut. Kebetulan, masa kemudian, pembuka 40 hari Prapaska jatuh pada hari Rabu. Maka Rabu dan Jumat - yang sebetulnya dipilih orang Kristen hanya agar berbeda dengan orang Yahudi yang berpuasa pada Senin dan Kamis - lazim diisi dengan berpuasa, terutama selama Prapaska. Jadi ini berpuasa di sini adalah berduka karena mengingat Kristus yang sedang sengsara, tetapi berpuasalah dengan "tidak muram mukamu."

III. Puasa untuk berbuat derma
Tradisi puasa derma kita peroleh dari disiplin spiritualitas kaum asket. Asket Aristides dari Spanyol mengatakan: "Apabila ada orang meminta bantuanmu, tetapi kamu tidak mampu membantunya, maka berpuasalah selama 2-3 hari. Dari bagian lebih puasamu itu, kamu dapat membantunya." Rahib Antonius dari Pispir-Mesir tidak memakan seluruh rotinya. Ia menyisihkan separo dari makanannya untuk ia berikan atau relakan bagi orang yang membutuhkan. Benediktus dari Nursia mengajarkan para rahib muridnya untuk berpuasa pada hari-hari Rabu dan Jumat, agar mereka dapat menolong kekurangan orang lain di luar tembok biara. Ajaran para asket ini merupakan sumber tentang berpuasa untuk bederma atau melakukan derma karena berpuasa.

IV. Penutup
Kedua landasan puasa di atas, jelas tidak terhubung dengan kebiasaan dan praktek puasa yang populer dipraktekkan, semisal:
1. Perjuangan terhadap sesuatu, seperti puasa Daud, Ester, usir setan, memilih MJ, dsb.
2. Mengejar kesalahen, seperti doa-puasa semalam suntuk.

Puasa dilakukan karena pengurbanan Kristus. Oleh karena itu, puasa Kristen seharusnya membawa manfaat atau menjadi berkat bagi penderitaan manusia.

*) Makalah ini disampaikan pada bulan Ramadhan atau 4 Oktober 2007 di aula STT Jakarta.

Tidak ada komentar: