Minggu, Desember 02, 2007

PERAN PELAYAN MUSIK IBADAH MENURUT PANDANGAN PENDETA

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan
Judul makalah ini saya kurangi satu kata sebagaimana usul panitia. Bukan Peran Pelayan Musik dalam Ibadah, melainkan Peran Pelayan Musik Ibadah yang saya pilih. Dengan penyesuaian tersebut, saya menyatukan antara musik (termasuk pelayannya atau petugasnya) dengan ibadah. Bahwasanya musik yang dinyanyikan atau dimainkan dalam ibadah bukan sekadar (ber)musik dalam ibadah, melainkan musik ibadah. Dengan demikian, musik tidak berkesan tempelan, yakni memasukkan atau menempatkan musik ke dalam ibadah. Adanya musik atau nyanyian (dalam) ibadah adalah menyanyikan ibadah atau ibadah yang dinyanyikan oleh gereja.
Oleh karena itu, pelayan musik ibadah adalah sekaligus pelayan liturgi dalam bidang khusus musik. Ia atau mereka bukan pemusik yang hanya menampilkan atau menyanyikan nyanyian di dalam ibadah (sebanding dengan bermusik di dalam istana atau di gedung pesta). Pelayan musik berfungsi atau berperan sebagai pelayan ibadah, karena mereka menyanyikan ibadah.
Pelayan musik terdiri dari paduan suara, prokantor, dan pengiring. Mereka tidak mutlak harus ada dalam setiap peribadahan; dapat hanya satu-dua dari mereka atau bahkan tidak sama sekali. Para pelayan musik tersebut berfungsi untuk memandu jemaat menyanyikan nyanyian jemaat. Nyanyian jemaat harus dinyanyikan oleh jemaat; nyanyian jemaat adalah hak jemaat untuk menyanyikannya. Yang utama adalah jemaat menyanyikan nyanyian jemaat. Pelayan musik tidak berhak mengambil alih atau menghalangi hak jemaat tersebut. Yang patut dilakukan oleh setiap pelayan musik adalah memberperankan jemaat agar jemaat bernyanyi. Jemaat adalah penyanyi utama nyanyian jemaat.

I. Menyanyikan ibadah
Etimologi ibadah (bahasa Arab), liturgi (bahasa Yunani), atau kebaktian (bahasa Sansekerta) mempunyai arti dan menunjukkan hal yang sama, yakni perayaan ibadah dalam rangka mengenangkan (anamnesis) peristiwa Kristus melalui meniru (mimesis) tradisi gereja. Peristiwa Kristus dipersaksikan oleh para penulis Alkitab dan diulang-gulirkan oleh gereja. Oleh karena itu, selebrasi liturgi berkaitan dengan dua hal pokok, yaitu: Alkitab dan tradisi.
Alkitab, artinya menurut kesaksian atau informasi Alkitab yang tidak melulu ditiru informasi ritualnya. Alkitab juga berarti memberperankan Alkitab secara optimal dan proporsional dalam liturgi. Tradisi, artinya adanya benang merah dan historisitas antara liturgi zaman sekarang dan liturgi yang dirayakan oleh para pendahulu kita. Oleh karenanya, tidak ada liturgi tanpa tradisi sebagaimana tidak ada liturgi tanpa pendasaran dari Alkitab.
Alkitab dan tradisi ditampilkan dalam selebrasi liturgi. Penampilan kedua pokok tersebut bisa secara verbal melalui bacaan dan formula-formula liturgis, visual melalui tata ruang, tata busana, dan tata warna, atau melalui estetika musik. Melalui musik, Alkitab dan tradisi itu dinyanyikan. Menyanyikan nyanyian jemaat adalah menyanyikan ibadah.[1]

II. Nyanyian dari teks Alkitab
Nyanyian jemaat terdiri dari dua hal penting, yaitu syair dan lagu. Mana lebih penting? Sekalipun sementara pihak menekankan lebih penting lagu ketimbang syair atau mengatakan keduanya sama penting, namun menurut catatan historis[2] menyanyikan syair lebih dahulu ada daripada lagu tanpa syair (Lieder ohne Worte) atau syair tanpa lagu (abad ke-19) yang dikenal sebagai puisi modern. Oleh karena nyanyian jemaat adalah Alkitab yang dinyanyikan, maka syair yang baik adalah yang berdasarkan (based on) teks Alkitab. Bahkan di masa awal sejarah gereja, syair nyanyian jemaat adalah murni teks Alkitab yang dilagukan. Hal ini dikenal dengan nama resitasi (recitare = membacakan, mengisahkan).
Gaya musik resitatif adalah kata-kata dinyanyikan dalam satu nada. Di bagian akhir, awal atau tengah, ada sedikit variasi satu-dua nada lebih tinggi atau lebih rendah. Dengan resitasi ini, teks Alkitab atau biasanya ketika mendaraskan Mazmur-mazmur, ditampilkan dan dimusikkan semurni-murninya. Tetapi, jangan dulu mengatakan gaya pendarasan resitatif ini sudah kuno dan usang. Di zaman modern ini, beberapa komunitas[3] (melalui karya penyair) menciptakan dan mengembangkan lagu resitasi yang baru, di samping tetap menghargai yang konvensional seperti gaya Benediktin.
Pendarasan Mazmur-mazmur, terutama dalam ibadah-ibadah harian memunculkan variasi menyanyi. Model antifonal, yakni nyanyi bersahutan antara kelompok kiri dan kelompok kanan, lazim dilakukan oleh para pendaras Mazmur gaya resitatif. Syair-syair antifonal dibuka dan ditutup dengan nyanyian satu kalimat yang dinyanyikan secara unisono, yakni antifon.
Hingga kini, hampir tidak ada penyair Protestan yang menciptakan antifon-antifon untuk Mazmur-mazmur. Kendalanya pertama: Mazmur “murni” hampir tidak lagi dinyanyikan dalam peribadahan Gereja-gereja Protestan di Indonesia.[4] Kedua: meskipun ada antifon, liturgi Gereja Protestan tidak menyediakan tempat di mana menyanyikan “permata” tersebut. Maka, lenyaplah antifon dari perbendaharaan musik gereja kita.
Memang, jika menyanyikan teks murni Alkitab, akan terkesan gereja menjadi sangat kaku karena tertutup pada penafsiran sang penyair terhadap teks Alkitab. Beberapa penyair setelah Abad-abad Pertengahan mulai menciptakan dan menggubah teks Alkitab ke dalam syair. Isaac Watts adalah salah seorang tokoh yang memulai karnya dengan mengimitasi Mazmur sehingga menjadi warna kristen.[5] Melewati zaman Reformasi, syair nyanyian jemaat tidak lagi harus murni teks Alkitab, namun setidaknya berdasarkan teks Alkitab. Dewasa ini, Gereja-gereja Protestan di Indonesia malah lebih menyukai nyanyian jemaat berdasarkan teks Alkitab daripada teks murni Alkitab.

III. Nyanyian dari tradisi gereja
Dari tradisi, muncul juga jenis nyanyian ordinarium, yakni nyanyian dengan syair yang tetap. Nyanyian ordinarium, semisal: haleluya, amin, Kyrie, gloria, sanctus-benedictus, Pater noster, Agnus Dei, dsb. Nyanyian-nyanyian ordinarium ini berfungsi sebagai "penguat" selebrasi. Tanpa peran ordinarium secara optimal, liturgi menjadi kering. Sebagian besar jenis nyanyian ordinarium adalah bukan hymne.
Ordinarium konvensional melahirkan gaya-gaya musik yang agak berbeda dengan resitasi di atas, yaitu melismatis dan neumatis. Gaya bernyanyi melismatis dan neumatis adalah menyanyikan beberapa nada untuk satu suku kata dari teks nyanyian. Gaya melismatis dapat terdiri dari lima hingga lebih daripada duapuluh nada, sedangkan neumatis terdiri dari dua-tiga nada. Nada-nada tersebut memberikan tekanan rasa pada syair nyanyian permohonan atau pujian.
Dalam nyanyian gregorian, nyanyian Kyrie dan gloria umumnya bergaya melismatis. Beberapa nyanyian madah bergaya neumatis. Pengaruh gaya melismatis dan neumatis terdapat dalam beberapa nyanyian jemaat di zaman modern. Gaya ini juga terdapat dalam nyanyian-nyanyian rakyat.
Ordinarium inilah yang kemudian juga dikenal dengan nyanyian liturgi. Namun perkembangan kemudian, terutama setelah zaman Reformasi, nyanyian proprium diberi tempat dalam ibadah. Kini, tidak seorang pun yang mengatakan bahwa proprium tidak disebut sebagai nyanyian liturgi sebagaimana ordinarium.
Jenis nyanyian jemaat yang berkembang setelah zaman Reformasi adalah hymne. Hymne adalah nyanyian berbait, frasering dengan jumlah sama di setiap bait, dan metris yang sama pula di setiap baris dari bait. Sebagian besar (tidak semua!) nyanyian jemaat Gereja-gereja Protestan di Indonesia dari KJ, NKB, GB, dan PKJ adalah hymne. Oleh karena itu, umat Protestan sangat mengenal (familiar) nyanyian hymne.
Hanya persoalannya, familiar tidak identik dengan betul menyanyikannya. Tidak sedikit – alih-alih mengatakan hampir semua – jemaat diharuskan oleh penyelenggara ibadah untuk menyanyikan hymne dengan diskon bait. Juga semakin menular kesalahan dari Jemaat-jemaat di kota besar bahwa organis atau pianis selalu memainkan kembali intro – dengan klaim interlude – di setiap pengalihan bait, ketimbang release dan attack sebagaimana normalnya orang bernyanyi jika tanpa iringan organ atau piano.
Dari hymne modern ini juga berkembang dan bertahan gaya silabis, yakni menyanyikan satu suku kata dengan satu nada. Gaya silabis adalah paling umum kita jumpai dan nyanyikan, karena kenormalannya; sebagaimana orang berbicara: satu nada per-suku kata. Hampir semua nyanyian di dalam buku Mazmur Jenewa, KJ, NKB, GB, dan PKJ adalah silabis.
Nyanyian berbait ini juga melahirkan variasi menyanyi. Oleh karena jumlah bait bisa berjumlah lebih daripada empat, dan agar variasi musik bukan hanya dilakukan oleh pengiring, maka alternatim adalah cara terbaik. Jemaat tetap menyanyikan nyanyian secara utuh, tetapi tetap dapat menikmati. Alternatim adalah menyanyi bergilir ganti: bait pertama oleh paduan suara, bait kedua oleh perempuan, bait ketiga oleh pria, begitu seterusnya hingga bait terakhir dinyanyikan oleh semua. Cara ini memungkinkan jemaat juga saling mendengarkan dan menikmati nyanyian selain bernyanyi sendiri, sehingga kemampuan bernyanyi jemaat terjamin; bukankah ini sebuah metode pengajaran yang efektif?

Penutup
Demikian ada sejumlah jenis dan unsur dalam khazanah musik gereja. Semua jenis dan unsur nyanyian teramu sedemikian rupa sehingga tampil dalam perayaan liturgi. Ordinarium dan proprium, hymne dan non-hymne, tradisional dan modern, diharmonisasikan sehingga menjadi indah dalam liturgi. Liturgi menjadi kaya karena berwarna-warni. Merayakan liturgi berarti meramu semua jenis dan unsur Alkitab dan tradisi yang ada.
Konsekuensinya, para pelayan musik ibadah terpanggil untuk bukan hanya menjalankan tugas atau melampiaskan kesukaannya bernyanyi. Pada mereka ada panggilan untuk menggembalakan dan mencerdaskan jemaat bernyanyi. Pembuktiannya, harus ada proses pencerdasan pada jemaat setidaknya dalam hal menyanyikan nyanyian jemaat.
Setelah sekian tuntutan kepada para pelayan musik ibadah, kini adalah kendala yang dihadapi oleh sebagian besar gereja, yakni penghargaan terhadap pemusik ibadah yang masih sangat rendah.[6] Gereja-gereja Protestan di Indonesia masih menganggap pelayanan dalam ibadah merupakan kesukarelaan, artinya tanpa penghargaan materi alias gratisan. Padahal tuntutan kepada pemusik ibadah, baik pemain instrumen maupun pemimpin paduan suara, sangat banyak dan macam-macam. Semua tuntutan itu dilimpahkan tanpa berpikir bahwa menjadi pemusik dibutuhkan biaya sekolah yang tinggi dan sulit. °

Catatan-catatan
[1] Beberapa tradisi masih melakukan hal ini, semisal Gereja Orthodox dan biara-biara Benediktin. Komunitas OCSO di Rawaseneng dan Gedono menyampaikan unsur-unsur ibadah harian dengan cara menyanyikannya. Lihat contohnya dalam Frans Harjawiyata, Nyanyian Ibadat Harian, PML 1986.
[2] H.A. PAndopo, Menggubah Nyanyian Jemaat, 43-44, mengiformasikan bahwa pada awalnya nyanyian berarti melagukan syair atau menyanyikan puisi.
[3] Misalnya: Komunitas Trapis di Gedono-Salatiga dan salah satu Gereja Episcopal di Manila. Kebetulan saya menyaksikan sendiri dengan mengikuti ibadah-ibadah di kedua komunitas tersebut.
[4] Pengecualian pada Gereja Toraja, Gereja Toraja Mamahasa, Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, dan Huria Kristen Batak Protestan yang tetap biasa menyanyikan Mazmur Jenewa sampai hari ini.
[5] Tiliklah “Yesuslah Raja Yang Menang” yang merupakan imitasi Mazmur 72. Albert E. Bailey, The Gospel in Hymns, 53-54
[6] Lucie Kristinawati, Penghargaan kepada Pemusik Gereja: studi kasus di tiga Jemaat GKI, Skripsi S-1 STT Jakarta 2007 mengemukakan beberapa bentuk-bentuk penghargaan yang lazim bagi pemusik gereja, yaitu: materi, pembinaan, dan ucapan terima kasih.

Tidak ada komentar: