Rabu, Desember 05, 2007

LARANGAN MENGIKUTI PERJAMUAN KUDUS

MENURUT SEJARAH LITURGI

Oleh: Rasid Rachman

I. REKONSILIASI-TOBAT
Persoalan boleh tidaknya seseorang mengikuti perjamuan kudus terjadi ketika Gereja mulai memberlakukan siasat gereja, dan berbarengan dengan sikap eksklusivisme gereja terhadap mereka yang dinilai tidak beriman.[1] Mulai abad ke-2 (antara lain oleh Gembala Hermas [± 150], Clemens Aleksandria [± 180Y], Didascalia [abad ke-3], Tertullianus [± 160 – ± 220]), muncul kesadaran bahwa menjadi orang Kristen saleh tidak secara mudah dan otomatis terwujud. Ada banyak kendala – seperti: membunuh, berzinah, murtad, dsb. – yang menyebabkan seseorang jatuh ke dalam pencobaan dan dinilai berdosa. Setelah ada penyesalan (metanoia, metanoia) – dalam rangka penggembalaan (bukan penghukuman!) dan pengampunan (kecuali murtad kepada ajaran sah gereja) – maka dibuatlah tahap rekonsiliasi-tobat (poiew, poinh, [lat] poena, paenitentia, [ind] tobat, tebusan, denda)[2] bagi mereka yang sungguh menyesali perbuatan dosanya. Proses rekonsiliasi ini dilaksanakan setelah seseorang melakukan pengakuan dosa di hadapan umat (exomologew, eks-homologesis) atau di hadapan Imam secara personal. Ada tiga tahap yang ditempuh, yaitu:

1) Pendengar, yakni ia diperbolehkan mengikuti ibadah atau sinaksis (sunaciV),[3] tetapi tidak boleh mengikuti perjamuan kudus. Ia harus keluar sebelum liturgi ekaristi.
2) Berlutut, ia berdiam diri sejenak sebelum keluar untuk liturgi perjamuan kudus.
3) Penetap, ia boleh berada di dalam liturgi perjamuan, namun tidak boleh ambil bagian dalam komuni.[4]

Proses rekonsiliasi ini berjalan sejajar dengan syarat calon baptis atau katekumen,[5] walaupun bermula dari persoalan yang berbeda. Si pendosa atau petobat dikucilkan dari persekutuan umat (komuni) hingga saat penerimaan kembali. Rekonsiliasi ini juga dilengkapi dengan bersikap moral “lebih baik”, yaitu dengan menjalankan doa, puasa dan derma. Rekonsiliasi ini tidak semata dibebankan terhadap di pendosa. Pihak Gereja menanggung rekonsiliasi itu dengan doa-doa syafaat oleh Uskup (disebut ceiroqesia, kheirothesia: maksudnya adalah jamahan kuasa Uskup), pembacaan nas-nas Alkitab, dan menetapkan saat penerimaan kembali.[6] Keadaan ini berlangsung hingga selama Prapaska (40 hari) sejak Rabu Abu (berlaku sejak ± abad ke-5 hingga ± abad ke-9)[7] hingga waktu penerimaan kembali yang biasanya pada Kamis Putih, Jumat Agung, atau bahkan Sabtu Sunyi. Dengan demikian si petobat dapat berpartisipasi kembali dalam perjamuan kudus (komuni) pada hari Paska.
Terlihat bahwa partisipasi dalam perjamuan kudus dihubungkan dengan tindakan dosa seseorang. Sifat perjamuan kudus yang semula inklusif telah mengarah ke eksklusif, bahwa tidak semua orang dapat mengikutinya. Ia menjadi indikator berterimanya atau tidak berterimanya seseorang dalam lembaga Gereja.

II. EKS-KOMUNIKASI
Persoalan eks-komunikasi (excommunicatio) atau pengucilan sendiri baru muncul pada setelah pertengahan Abad-abad Pertengahan (± abad ke-11). Salah satu kasus terkenal adalah pengucilan terhadap Kaisar Henry IV (1056-1106) oleh Paus Gregorius VII (± 1033 – 1085) dengan latar belakang politik kekuasaan dan wewenang. Namun ini berakar langsung dari rekonsiliasi-tobat. Beberapa syarat diberlakukan secara sama dengan rekonsiliasi, yaitu: tidak ikut komuni (akoinonia), berdoa banyak, berpuasa dan berderma, bahkan lebih berat, sebab rekonsiliasi dirasa tidak mencukupi. Sebagai orang berdosa yang mengaku, ia mengenakan jubah khusus dan ditaburi abu di atas kepala oleh Uskup, sambil berkata: Ingatlah bahwa kamu berasal dari debu dan kembali menjadi debu. Lakukanlah pertobatan untuk memperoleh hidup yang kekal.[8] Apabila suami atau istrinya meninggal, maka ia tidak boleh menikah lagi.[9]
Eks-komunikasi ini dilatarbelakangi oleh persoalan jarangnya perjamuan kudus dilaksanakan di satu paroki. Keadaan kurang Imam, sementara persebaran gereja Roma begitu pesat ke luar Roma menjadi alasan inti. Masih syukur kalau umat dapat mengikuti perjamuan sekali dalam setahun, sebab ada beberapa kasus orang mengikutinya hanya sekali seumur hidup atau tidak sama sekali. Pemeliharaan iman kepada umat menjadi tidak terjamin.
Dalam situasi demikian, perjamuan kudus menjadi sangat sakral (tak lama kemudian ditetapkanlah jumlah sakramen, termasuk perjamuan kudus), dalam arti semakin menonjolkan pembatasan. Orang yang mengikutinya harus benar-benar layak dan “tanpa noda”. Maka muncullah prasyarat untuk mengikutinya. Yang tidak layak atau bidah, ia dieks-komunikasikan oleh Gereja. Kemudian persoalan rekonsiliasi-tobat ini diatur oleh Gereja dan Uskup dalam ordo poenitentium. Peraturan ini jelas terlihat bagi yang bertobat di hadapan umat, tetapi tidak terkontrol bagi petobat personal yang mengaku dosa di hadapan Imam.
Tujuan rekonsiliasi-tobat dan eks-komunikasi adalah penggembalaan atau pastoral. Sehingga proses pertobatan itu dibebankan juga kepada Gereja. Si petobat tidak menanggung tobatnya sendirian. Gereja ikut membimbing dan mengarahkan si petobat dalam menjalankan masa rekonsiliasinya. Sebab penekanan utama pertobatan bukan pada hukuman, melainkan pada pengampunan dan penerimaan kembali. Kemudian, tanda pengampunan dosa dan penerimaan kembali ditambahkan dalam baptisan. Itu terjadi sekali dalam hidup, sebab sebentar lagi akhir zaman tiba dan latar belakang baptisan hanya diterimakan sekali dalam hidup.[10]

II. KESIMPULAN DAN REFLEKSI
Ketiga hal yang telah diuraikan di atas, yakni: perjamuan, larangannya, dan pertobatan, perlu dilihat secara historis dalam kaitan dengan censura morum, siasat, dan “penggembalaan khusus”.[11] Namun liturgi juga memiliki sifat pastoral atau penggembalaan di samping sifat historis. Keduanya penting di dalam membahas persoalan dalam Gereja. Secara pastoral ada beberapa kesimpulan, yaitu:

1) Perjamuan kudus berarti tanda pemeliharaan Allah terhadap gereja dan umat setelah pembaptisannya. Justru umat di dalam keberdosaannyalah yang membutuhkan pemeliharaan dan penggembalaan Allah. Dengan pemeliharaan itu, diharapkan ada pertumbuhan dalam gereja dan umat-Nya.
2) Perjamuan kudus adalah sarana yang Tuhan sendiri berikan untuk umat agar dapat mengenangkan-Nya, bukan inisiatif gereja.
3) Semula, penyesalan oleh karena berdosa tidak ada hubungannya dengan larangan mengikuti perjamuan kudus. Baru pada abad ke-3 proses penyesalan itu dikaitkan dengan larangan mengikuti perjamuan kudus. Jadi, larangan untuk berpartisipasi dalam ekaristi merupakan ciptaan Gereja kemudian hari.
4) Nomor 3 di atas dilihat bahwa gereja terlibat aktif di dalam proses rekonsiliasi-tobat umat untuk menyatakan pengampunan Allah. Si pendosa atau petobat tidak dibiarkan menanggung dosa sendiri tanpa arahan dan dosa dari Gereja dan liturgi.

Dalam beberapa kasus, Jemaat-jemaat seringkali menggunakan alat censura morum untuk menolak mereka yang sedang dalam penggembalaan khusus atau bahkan mereka yang dinilai “tidak seazas” dengan Gereja tumpuan. Walaupun persiapan perjamuan kudus tidak identik dengan menolak atau membuat larangan bagi seseorang untuk ikut perjamuan, namun tetap saja ada orang yang tidak diperkenankan ikut karena (sah terkena) penggembalaan khusus menurut aturan Gereja. Sanksi atas pribadi seseorang tersebut dapat ”beranak-pinak” hingga merembet ke sanak keluarganya.
Persoalannya adalah siapakah yang dianggap layak ikut perjamuan kudus karena memang tidak (ketahuan) berbuat cemar? Berhakkah Gereja menilai bahwa seseorang ini boleh ikut perjamuan kudus, sedangkan seseorang itu dilarang? Dalam hal ini, belajar dari sejarah sangat diperlukan agar apa-apa yang didapat dari sejarah pun tidak berkurang nilainya.

Catatan-catatan
[1] Herman A.J.Wegman, Christian Worship in East and West, h 46-47.
[2] Andronikof C., Liturgie et Conversion, Liturgie Conversion et Vie Monastique, h 3-4, menjelaskan bahwa sanksi tersebut dapat juga berupa teguran. Hanya memang tidak terlihat adanya hubungan dengan perjamuan kudus.
[3] Ada dua bagian liturgi: sinaksis dan ekaristi. Peter G. Cobb, The Liturgy of the Word in the Early Church, ibid., h 184-188 menulis tentang unsur-unsur liturgi sinaksis yaitu: pembacaan Alkitab, nyanyian pengantara, homili, pengakuan iman, doa syafaat. Yakni unsur-unsur liturgi yang kita laksanakan setiap Minggu tanpa perjamuan kudus. Sementara E.J. Yarnold, The Liturgy the Faithful in the Fourth and Early Fifth Century, ibid., h 189-194 menguraikan tentang unsur-unsur liturgi yang kita kenal sebagai liturgi perjamuan kudus, yaitu: salam damai, persembahan, konsekrasi, doa syukur agung, pengenangan, epiklesis, dan komuni.
[4] Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, h 29.
[5] Martos, h 316-317.
[6] Wegman, h 47 menuliskan bahwa ritus ini kemudian (pada abad ke-12) menjadi akar sakramen tobat.
[7] Westerhoff III, h 154-155. Baca juga Enzo Lodi, La Conversion dans l’Ancien Lectionnaire Romain du Carême selon Saint Lèon le Grand, Liturgie Conversion, h 205-227 tentang tahap dan tempat pertobatan dengan puasa pada terutama Rabu dan Jumat dalam masa Prapaska pada masa Uskup Leo Agung (A 440 – = 461). Rachman, h 27-28.
[8] Wegman, h 199 menurut ordo Romanus 50 (setelah konsili Trente abad ke-16): Momento homo, quia pulvis es, et in pulverem reverteris: age poenitentiam, ut habeas vitam aeternam.
[9] ibid., h 136-137 tidak membedakan antara rekonsiliasi-tobat dan eks-komunikasi. Saya membedakan hanya dalam pembahasan topik ini untuk memperlihatkan peningkatan pembatasan umat dalam perjamuan. Rachman, h 65-66.
[10] Rachman, h 29-30.
[11] Sengaja istilah “penggembalaan khusus” saya beri tanda “…”. Saya sendiri merasa tidak sreg dengan istilah tersebut, sebab menimbulkan konotasi bahwa penggembalaan (pastoral) adalah buruk. Padahal yang dimaksud adalah pemeliharaan Allah yang sehari-hari. Liturgi umat adalah penggembalaan.

*) Artikel ini pernah dimuat dalam buletin bina di GKI Jemaat Citra I, tahun 2000.

Tidak ada komentar: