Selasa, Desember 04, 2007

UPAYA PENYESUAIAN LITURGI


GEREJA-GEREJA REFORMASI DI INDONESIA

Oleh : Rasid Rachman

Pendahuluan
Geliat penyesuaian liturgi dalam Gereja-gereja Reformasi di Indonesia belum 25 tahun usianya. Sementara gerakan liturgis telah muncul sejak seabad sebelumnya, liturgi belum menggeliat hingga tahun 1980-an. Hingga kini pun, masih banyak Gereja Reformasi di Indonesia yang belum terbangun dari tidurnya untuk membarui dan menyesuaikan liturgi, sekalipun ada beberapa alasan untuk menyatakan keterlambatan (atau keterbelakangan) penyesuaian tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat dijadikan momen untuk dimulainya penyesuaian, yaitu: 1) terbitnya Kidung Jemaat; 2) seminar liturgi internasional; 3) seminar liturgi dalam negeri; dan 4) munculnya model-model ibadah kontemporer. Sekalipun lambat, geliat penyesuaian terus berjalan. Hasil penyesuaiannya mulai terasa di Jemaat-jemaat.

A. Penerbitan Kidung Jemaat
Momen awal yang menandakan dimulainya penyesuaian liturgi adalah terbitnya buku nyanyian Kidung Jemaat oleh Yayasan Musik Gereja (Yamuger) pada tahun 1984. Buku Kidung Jemaat (KJ) memang bukan sekadar buku hasil “fotokopi” khazanah nyanyian jemaat yang telah lama dan pertama dikenal oleh Gereja-gereja Reformasi di Indonesia. Dengan sengaja, Yamuger menciptakan “nyanyian-nyanyian baru yang memperlihatkan pergumulan rohani gereja-gereja di Indonesia,” baik melalui lagu maupun syair yang bernafaskan ciri budaya Indonesia.[1] Sekalipun tidak disebut tentang nyanyian jemaat untuk umat Protestan, kehadiran KJ memang bersambut dan berpengaruh kuat di Gereja-gereja Reformasi di Indonesia.
Buku KJ dikatakan bersambut dan berpengaruh bukan hanya diukur dari jumlah penggunaannya yang meluas, tetapi juga menyangkut isi buku tersebut dan karya-karya ikutannya setelah buku tersebut memasyarakat. Isinya diatur dengan rubrikasi liturgis dan ekumenis. Buku-buku ikutannya, antara lain: NKB dan PKJ; akan dibahas berikut.
Menyangkut jumlah penggunaannya, belum setahun kemudian (1985), KJ sudah dua kali terbit. Dalam 13 tahun (1997), KJ telah mengalami 33 kali cetak ulang.[2] Padahal KJ dipasarkan tanpa promosi dan iklan. Dewasa ini, KJ digunakan oleh hampir semua Gereja-gereja Reformasi di Indonesia. Artinya, KJ memang berterima di umat Protestan Indonesia.
Berterimanya KJ di kalangan Gereja-gereja Reformasi di Indonesia bukan hanya menyangkut bahasa syair yang lebih baik ketimbang buku-buku nyanyian sebelumnya, tetapi juga keanekaan dan ekumenisitas perbendaharaan nyanyian jemaat di dalamnya. KJ tetap memasukkan nyanyian konvensional dari Eropa abad ke-17 hingga ke-18. Yang ini telah dikenal oleh umat Protestan dari buku Nyanyian Rohani yang terbit pada tahun 1948 oleh penerbit Stichting Geestelijk Liederen uit den schat van de Kerk der Eeuwen dari Belanda. Prakarsanya adalah Pdt I.S. Kijne. Selain itu, nyanyian Amerika abad ke-19 dan nyanyian Asia dan Indonesia abad ke-20 pun masuk ke dalam perbendaharaan KJ.
Sebelum terbitnya buku KJ, penyesuaian perayaan liturgi di Gereja-gereja Reformasi di Indonesia hanya sebatas wacana, tontonan, atau teori di kelas sekolah teologi. Isi beberapa nyanyian KJ yang pribumi terasa lebih kontekstual. Isi-isi tersebut membuat umat Protestan tersadar bahwa liturgi – sekalipun masih terbatas pada nyanyian jemaat – bisa menjadi kontekstual. Rupanya, umat Protestan lebih kena apabila memulai penyesuaian liturgi dari nyanyian jemaat.
Karya-karya ikutan KJ yang kentara adalah buku Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB). Buku ini terbit pada tahun 1991 oleh dan untuk Jemaat-jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI); dalam rangka penyatuan tiga sinode GKI. Selain di sampul tertulis “sebuah pelengkap”, juga dituliskan dalam Pengantar bahwa NKB sebagai penambah khazanah nyanyian jemaat. [3] Kata “pelengkap” dan “khazanah” mengacu pada KJ, sehingga NKB tidak lagi memuat satu pun nyanyian yang sudah terdapat dalam KJ. Prosentase nyanyian jemaat Indonesia dalam NKB (11,3 % dari 230 judul)[4] lebih kecil daripada KJ (21,3 % dari 478 judul).[5]
Yamuger berkonsisten menggali khazanah nyanyian jemaat hasil karya Indonesia dalam rangka gerak keesaan Gereja. Tahun 1999, sebuah karya ikutannya: Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ), terbit. PKJ secara gamblang disebut sebagai pelengkap, sebab tidak ada nyanyian KJ yang dimasukkan ke dalam PKJ. Oleh karena itu, jumlah nyanyian jemaat Indonesia lebih banyak daripada kedua buku sebelumnya, yakni 56,2 % dari 308 judul.[6]
Berdasarkan informasi tertulis dari ketiga buku nyanyian tersebut, penggalian musik khazanah lokal disebutkan sejajar dengan gerak keesaan Gereja. Penyesuaian liturgi tidak dapat lepas dari gerakan ekumenis dan kebersamaan. Terbitnya KJ bukan melulu menyangkut pembaruan nyanyian jemaat, tetapi juga penyesuaian liturgi Gereja-gereja Reformasi di Indonesia melalui “pintu” nyanyian jemaat,

B. Seminar Liturgi Internasional
Seminar liturgi dan musik ekumenis di dunia internasional yang diadakan oleh Asian Institute for Liturgy and Music (AILM) di Manila tahun 1987 layak disebut sebagai seminar pertama menyangkut penyesuaian liturgi.[7] Beberapa orang Indonesia (9) ikut sebagai peserta di antara 19 negara peserta. Seminar ini: 1987 Asian Workshop on Liturgy and Music, berlangsung selama 12 hari.
Dua hal yang berkesan dari seminar ini, yaitu: sharing berliturgi dan dampaknya bagi liturgi di Indonesia. Salah satu yang menonjol dari acara seminar adalah berbagi pengalaman berliturgi, terutama corak penyesuaian. Melihat, menyanyikan, mendengarkan, dan berbagi adalah proses saling berbagi pengalaman berliturgi. Negara-negara peserta mendapat giliran menyelenggarakan ibadah-ibadah harian menurut corak budayanya dan pergumulan teologinya masing-masing. Selain itu, berbagi juga dapat dilakukan melalui malam apresiasi sebuah negara.
Salah satu ibadah harian adalah sharing melalui tampilan penyesuaian Liturgi Lima oleh Dewan Gereja se-Dunia (DGD).[8] Nanti di Indonesia, Liturgi Lima menjadi pola dasar bagi penyesuaian yang berterima. Liturgi ekumenis ini disusun dengan corak-corak penyesuaian nyanyian jemaat baru dari berbagai negara dan benua, yaitu: Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika. Berkumpulnya puluhan orang dan sumber material dari berbagai negara memungkinkan penyusun lebih mudah mengembangkan liturgi. Semakin banyak sumber, semakin ringan menerapkan penyesuaian liturgi.
Seminar internasional kedua terfenomenal diadakan di tempat sama para tahun 1992. Seminar ini: 2nd Ecumenical Seminar for Liturgy and Music, diikuti oleh lebih banyak peserta selama sebulan penuh. Penyelenggaranya pun bukan hanya AILM, tetapi juga DGD. Sharing dan pembelajaran lebih intens dialami oleh peserta.
Beberapa seminar internasional juga dilakukan oleh beberapa kalangan, namun skala gregetnya tidak luas lagi. Misalnya, di Singapura 1992, Rio Jenairo 1993, Cartigny 1993, Hongkong 1995, Tainan 1997, Manila 2002, Cipayung 2006, dsb. Hingga kini, masih ada seminar-seminar serupa, namun gema penyesuaian yang besar sebagaimana masa sebelumnya. Sejauh ini terlihat bahwa penyesuaian liturgi Gereja-gereja Reformasi di luar negeri telah terpola dalam bentuk baku..

C. Seminar Liturgi dalam Negeri
Seminar atau lokakarya liturgi di dalam negeri tidak dilakukan dalam skala besar. Biasanya tingkat Parokial, Klasikal, atau Sinodal. Beberapa lembaga pernah mengadakan lokakarya nasional, namun greget penyesuaiannya memang masih jauh dari lokakarya atau seminar internasional. Yamuger mengadakan semiloka nasional pada tahun 1997 di Kinasih. Nuansa akademis terasa dominan, ketimbang berbagi dan bernyanyi. Yayasan Komunikasi Masyarakat (Yakoma) mengadakan seminar liturgi pada tahun 2003. Pesertanya memang banyak sehingga harus dibuka gelombang kedua. Nuansa akademis dan teaterikal juga terasa,[9] karena terminologi penyesuaian liturgi belum merasuk ke dalam pola pikir para peserta dan penyelenggara. Cuplikan makalah ini dapat menjadi bukti pola pikir yang tertuang oleh penyelenggara:

Kalau sebuah ibadah diharapkan menjadi teateral, musik sangat penting untuk membangun sebuah suasana karena kemampuannya untuk merangsang emosi. Tetapi lebih dari itu juga untuk menjaga ritme dan tempo sebuah ibadah secara menyeluruh menjadi orkestra, sebuah hal yang sangat esensial dalam berteater.[10]

Seminar-seminar penyesuaian liturgi di kalangan Protestan baru dalam benak mempertunjukkan ibadah. Esensi teater dikenakan begitu saja ke dalam selebrasi liturgi, termasuk penggunaan karya pribumi.[11] Hal ini, menurut hemat kami, terkendala pada dua hal, yaitu: nara sumber dan peserta. Pada satu pihak, nara sumber, pelaku, dan penyelenggara liturgi adalah para ahli dan pemerhati liturgi. Kapasitas mereka (seringkali dianggap) jauh melampaui para peserta. Sementara pada lain pihak, para peserta seminar umumnya adalah orang-orang yang merasa “perlu diisi” oleh nara sumber dan penyelenggara. Terlihat dan terkesan, seminar-seminar nasional didominasi oleh para ahli yang memberikan dan didengarkan oleh para peserta yang “cukup” menerima. Hal ini berbeda dengan seminar di luar negeri, di mana baik nara sumber maupun peserta memiliki kapasitas pemahaman tentang liturgi yang relatif setara.
Oleh karenanya, menurut hemat kami, seminar atau lokakarya dalam negeri lebih efektif dilakukan oleh Jemaat, Klasis, atau Sinode. Untung, jumlah seminar yang diselenggarakan oleh Jemaat dan Klasis lumayan banyak. Hal ini tampak setidaknya dalam 15 tahun terakhir. Seminar-seminar tingkat “basis perayaan liturgi dilakukan” telah memampukan umat berpola pikir secara baru.

D. Munculnya liturgi-liturgi kontemporer
Tahun 1980-an diwarnai dengan fenomena munculnya liturgi-liturgi kontemporer. Yang dimaksud adalah lima model liturgi yang eksis dan berkembang dewasa ini, yaitu: 1) Liturgikal; 2) Tradisional; 3) Kebangunan (Revivalist); 4) Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship); 5) “Pencari Jiwa” (Seeker).[12] Dari kelima model tersebut, model-model liturgikal, tradisional, dan kebangunan – di mana Gereja-gereja arus utama berada pada salah satu dari ketiga model ini – memberi andil besar bagi penyesuaian liturgi dalam Gereja-gereja Reformasi di Indonesia.
Dari ketiga model tersebut, beberapa liturgi yang langsung mempengaruhi penyesuaian liturgi Gereja-gereja Reformasi di Indonesia ialah Roma Katolik, Pujian dan Penyembahan, Liturgi Lima.
Peribadahan Roma Katolik yang seringkali disiarkan oleh media elektronik telah ditonton oleh banyak orang, termasuk umat Protestan. Keanggunan, keagungan, dan keindahan liturgi Katolik menimbulkan kesan kagum bagi beberapa kalangan Protestan. Setelah menyadari akar historis antara Gereja Reformasi dan Roma Katolik dalam tradisi liturgi barat, tidaklah terlalu sulit memasukkan unsur-unsur liturgi Katolik ke dalam liturgi Protestan.
Beberapa wujud penyesuaian liturgi Gereja-gereja Reformasi di Indonesia karena pengaruh liturgi Roma Katolik, antara lain: penggunaan stola sejak beberapa dekade terakhir, penggunaan leksionari, tata gerak dan tata tutur liturgis (gestur) yang menunjukkan kekhidmatan dan keagungan, dan lambat laun mulai terlihat pengaturan pada penataan tahun liturgi yang semakin baik, adalah sebagian contoh dampak tersebut. Sementara penggunaan corak dan warna lokal dalam liturgi Roma Katolik masih menjadi wacana bagi sebagian Gereja-gereja Reformasi di Indonesia.
Sekalipun Pujian dan Penyembahan – biasa dikenal oleh sementara pihak sebagai kelompok Karismatik – secara resmi jelas ditolak oleh Gereja-gereja Reformasi di Indonesia, kekaguman terhadap peribadahan kelompok ini nyata melalui bentuk penyesuaian dalam liturgi Protestan. Setelah kagum, masuklah pengaruh Pujian dan Penyembahan ke dalam liturgi Gereja-gereja Reformasi di Indonesia.
Masuknya pengaruh tersebut disebabkan baik oleh perjumpaan personal maupun pengakuan bahwa Pujian dan Penyembahan memberikan dan mengisi bagian-bagian kosong dalam Gereja-gereja arus utama.[13] Bagian-bagian kosong yang diisi, antara lain: suasana batin, ekspresi penghayatan batin, dan non-formalitas ibadah. Namun bukan bagian-bagian ini yang tampil sebagai bentuk penyesuaian dalam ibadah Gereja-gereja Reformasi di Indonesia.
Sebagian unsur liturgi dan cara beribadah Pujian dan Penyembahan dimasukkan oleh Jemaat-jemaat Gereja-gereja Reformasi di Indonesia sendiri. Penampilan paduan suara yang lebih dominan daripada nyanyian jemaat, tata ruang yang mirip teater, tata busana Pendeta yang mengenakan pakaian resmi lengkap (jas) sementara busana paduan suara dengan toga, pemanfaatan LCD, dsb., adalah contoh masuknya pengaruh tersebut. Beberapa ruang dalam ibadah di Gereja-gereja Reformasi di Indonesia bahkan kemudian diubah dengan model ibadah Praise and Worship.
Pengaruh Liturgi Lima dan liturgi ekumenis seumumnya bagi Jemaat-jemaat Gereja-gereja Reformasi di Indonesia mulai terasa dalam 5 tahun terakhir. Ada dua hal yang langsung tampak bagi penyesuaian liturgi, yaitu tata perayaan dan pemakaian leksionari. Salah satu Gereja-gereja Reformasi di Indonesia, yakni Gereja Kristen Indonesia (GKI), mulai membarui tata perayaan liturginya, termasuk liturgi perjamuan kudus (ekaristi), seturut Liturgi Lima; dengan sedikit penyesuaian di sana-sini, tentu.[14] Walaupun baru satu Gereja, yakni: GKI, yang melakukannya, ini merupakan peluang bagi Gereja-gereja lain mengikutinya.
Selain ketiga model tersebut sebagaimana uraian Basden, model-model lain turut memberi andil bagi penyesuaian liturgi Gereja-gereja Reformasi di Indonesia. Menurut hemat kami, model-model tersebut adalah Taizé, Iona, dan nyanyian jemaat zaman modern. Model-model ini dapat disebut sebagai alternatif bagi kekakuan liturgi Gereja-gereja Reformasi di Indonesia hingga dekade yang lalu.
Publikasi Taizé yang gencar – baik dilakukan oleh Taizé sendiri maupun oleh penikmat Taizé – menyebabkan publik terkesan dan mudah mengakses model tersebut. Buku nyanyian NKB (54) memuat satu lagu Taizé: Magnificat, dan Kidung Muda-mudi (199) karya Yamuger tahun 1989 juga memuat satu lagu: Hosanna. STT Jakarta menjalin kerjasama sejak 1995 dengan Taizé. Sejak itu pula, ibadah pagi di kampus tersebut dibuat gaya Taizé dengan buku nyanyian Taizé . Nyanyian dan tata ruang Taizé tidak terlalu asing bagi para mahasiswa. Jalinan belasan tahun ini tentu memberi dampak bagi perubahan liturgi di Gereja-gereja Reformasi di Indonesia, sekembalinya alumni kampus tersebut ke Gerejanya masing-masing. Sejak 1999, umat Protestan dapat lebih banyak lagi menggunakan lagu Taizé yang terdapat dalam PKJ (298-308).
Nama komunitas Iona memang tidak sefamiliar bagi umat Protestan di Indonesia. Namun pancaran model ibadah Iona mulai tampak pengaruhnya dalam peribadahan di sejumlah kecil Jemaat. Pancaran Iona, antara lain: nyanyian-nyanyian jemaat dan dramaturgi (meliturgikan drama), dapat dilihat dalam peribadahan Protestan ekstra-gereja. Cara bernyanyi: ostinato dan kanon – dipadukan dengan gaya Taizé – mulai dilakukan oleh beberapa Gereja Reformasi di Indonesia sebagai bentuk alternatif.
Di dalam negeri, kami telah menyebut KJ, NKB, dan PKJ sebagai buku-buku nyanyian jemaat yang luas pengaruhnya bagi penyesuaian liturgi. Di dalam buku-buku tersebut, umat mengenal nyanyian jemaat zaman modern. Di dunia internasional, Sound the Bamboo (STB), patut disebut sebagai salah satu buku sumber bagi buku-buku nyanyian jemaat di Indonesia.
Buku ini adalah buku resmi Konferensi Gereja se-Asia (CCA) yang diterbitkan tahun 1990 dan 2000 sebagai edisi revisi. Warna pribumi dan konteks cukup ditonjolkan melalui syair, lagu, dan usul instrumen pengiring dalam STB.[15] Walaupun bagi sebagian Gereja Reformasi di Indonesia STB masih merupakan lompatan, beberapa nyanyiannya sudah masuk ke dalam ketiga buku sebelumnya.
Secara umum, nyanyian jemaat zaman modern (atau: musik gereja Asia [MGA]) turut memotivasi upaya penyesuaian liturgi. Ungkapan dan hasil karya konteks melalui nyanyian yang belum mendapat tempat hingga dua dekade lalu, misalnya, kini telah mendapat posisi cukup berharga dalam peribadahan.

Kesimpulan
Secara umum, Gereja-gereja Protestan lebih akrab menggunakan istilah pempribumian (indigenization) dan kontekstualisasi ketimbang adaptasi dan inkulturasi sebagaimana Gereja Roma Katolik.[16] Pembedaan di antara itu, rasanya terlalu jelas. Nyatanya dalam beberapa kasus, misalnya melalui nyanyian jemaat, yang terlihat adalah indigenisasi atau inkulturasi.
Bagaimana kami menilai langkah Gereja-gereja Reformasi di Indonesia hingga kini. Dalam hal ini, kami meneladan Rm Niko Hayon, guru dan pembimbing kami. Romo pemurah dengan nilai ini selalu mengatakan “sudah bagus sekali” untuk upaya dan proses studi liturgi. Tanpa terikat pada berbagai macam teori penyesuaian, kami mengendepankan perubahan demi pembaruan liturgi dalam Gereja-gereja Reformasi di Indonesia. Untuk sementara, teori penyesuaian yang dikenal dalam ilmu liturgi ditinggalkan dulu.
Awal dari penyesuaian, entah bernama adaptasi, akulturasi, inkulturasi, pempribumian, atau kontekstualiasasi, adalah kebernaian untuk membuat perubahan. Perubahan bukan sebatas meniru liturgi lain. Perubahan harus berdiri di atas dasar motivasi membarui. Dasar pijakan membarui itu akan memberi arah perubahan dengan penelusuran historis dan konteks di mana gereja berdiri.[17] Tradisi historis dipahami dengan mengenal sifat dasar liturgi tersebut: liturgikal, tradisional, atau pujian-penyembahan. Konteks dipahami sebagai upaya gereja membuat relevan teologinya dalam budaya, kebutuhan, pergumulan, dan harapan di mana ia berdiri.
Sejauh ini langkah penyesuaian liturgi dalam Gereja-gereja Reformasi di Indonesia telah mencakup nyanyian jemaat, arsitektur, tata busana, leksionari, tata perayaan, dan tahun liturgi. Walaupun hal-hal ini seringkali tidak disadari oleh umat Gereja-gereja Reformasi di Indonesia sendiri – kecuali musik – perubahan tersebut dapat dilihat melalui paparan historis. Langkah penyesuaian ini jangan dilihat secara keseluruhan, melainkan hanya terjadi di beberapa Jemaat dengan beberapa penyesuaian.
Nyanyian jemaat merupakan alat efektif untuk penyesuaian bagi kalangan Protestan. Hal ini terlihat bahwa nyanyian jemaat lebih mendominasi penyesuaian ketimbang alat-alat lain, seperti gambar, tata perayaan, gestur, dan teologi. Tak berlebihan apabila kami katakan bahwa penyesuaian liturgi baru sebatas nyanyian jemaat. Namun tidak semua Jemaat Protestan menyadari upaya ini, sehingga nyanyian jemaat yang digunakan dalam ibadah belum banyak yang menggunakan nyanyian jemaat zaman modern.
Ada jurang dalam penyesuaian antara pihak pemberi dan penerima: umat. Pihak pemberi adalah penyusun buku-buku nyanyian, penyelenggara ibadah, teolog, dan Pendeta. Pada mereka ada gagasan brilian tentang metode dan bentuk-bentuk penyesuaian. °

Catatan-catatan
[1] Yamuger, Mazmur dan Kidung Jemaat, 1999, h 4 dalam Kata Pengantar oleh Fridolin Ukur.
[2] Yamuger, Kidung Jemaat, 1997, hlm belakang judul dan Kata Pengantar.
[3] MH GKI, Nyanyikanlah Kidung Baru, 1991, v-vii.
[4] MH GKI, h 219-221, terhitung 26 judul asli Indonesia
[5] Mazmur dan Kidung Jemaat, h 592-596, mencantumkan 102 judul asli Indonesia.
[6] Yamuger, Pelengkap Kidung Jemaat, 1999, terhitung 173 judul asli Indonesia. Bnd Prakata menulis 60 % lagu karya para komponis Indonesia.
[7] AILM, Report of the 1987 Asian Workshop on Liturgy and Music, tanpa tahun, h 2-7.
[8] AILM, h 123-135.
[9] Terkesan kuat pada makalah Julius R. Siyaranamual, Liturgi dan Teater: Pada Dasarnya, Liturgi Itu Memang Sebuah Teater, dalam Rainy Hutabarat, Jahya Palenewen, Arthur Haroni, Liturgi dan Komunikasi, Yakoma 2005, h 123-124.
[10] Julius R. Siyaranamual, h 132.
[11] Bnd Mark P. Bangert: Dynamics of Liturgy and World Musics: A Methodology for Evaluation, S. Anita Stauffer (ed), Worship and Culture in Dialogue, h 183-184 menyatakan keheranannya bahwa tari dan gamelan tidak dilibatkan dalam liturgi di Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB) kecuali sebatas tontonan. Sementara umat menyanyikan nyanyian gereja konvensional (baca: barat) masa lalu.
[12] Lihat uraian dan tesis Paul Basden, The Worship Maze: Finding a Style to Fit Your Church, 1999, h 34-92.
[13] John Fenwick and Bryan Spinks, Worship in Transition: The Twentieth Century Liturgical Movement, 1995, h 109-110.
[14] Sebagai hasil Sidang Sinode GKI di Denpasar 2005.
[15] Rasid Rachman: Ciptakanlah Terus Polusi, Supaya Kami Dapat Terus Menyanyikan, GKI, Jurnal Teologi dan Gereja: Penuntun vol 3 no 9, 1996, 58-59. Juga disebutkan dan diuraikan tiga buku nyanyian Asia lain yang terbit sebelum STB, yaitu East Asia Christian Conference Hymnal, New Songs of Asian Cities, dan Hymns from the Four Winds, h 55-58.
[16] Fenwick, h 157-158.
[17] Sebagaimana Anscar J. Chupungco, Cultural Adaptation of the Liturgy, 1982, h 63, menuliskan bahwa tentang sifat dasar liturgi, menyangkut tradisi historis dan budaya.

*) Tulisan ini adalah salah satu artikel dalam Bernardus Boli Ujan dan Georg Kirchberger (editor), Liturgi Autentik dan Relevan: Penghormatan untuk P. Nikolaus Hayon, SVD pada Pesta Pancawindu Imamat dan Hari Ulang Tahun Kelahiran Ke-70, Ledalero-Maumere 2006.

Tidak ada komentar: