Rabu, Desember 05, 2007

MEMANDANG IKON-IKON PASKA


MAKNANYA BAGI KEHIDUPAN KRISTEN

Oleh: Rasid Rachman

Pengantar: Ikon dan Paska
Dua hal yang harus ditelusuri untuk menghayati makna ikon-ikon Paska, yaitu: tentang ikon dan tentang Paskanya sendiri. Kedua objek tersebut tidak terlalu asli Kristen, namun menjadi Kristen karena proses sejarah yang bercampur dengan budaya-budaya masyarakat. Seni ikon baru muncul pada abad ke-4, sedangkan Paska Kristen pun baru dirayakan pada abad ke-2.
Ikon (είκών : arca, gambar, lukisan, penggambaran dengan kata-kata) cukup terkenal dalam tradisi spiritualitas Kristen Ortodoks. Objek-objek lukisan dalam ikon umumnya adalah Kristus dan kisah-kisah dalam Perjanjian Baru, Maria dengan Bayi Yesus, dan para Santo. Ada pula ikon-ikon bergambar kisah dan tokoh Perjanjian Lama, namun tidak banyak, semisal: Penciptaan, Adam, Nuh, dan Yunus. Sejak abad ke-4, Gereja-gereja Timur menggunakan ikon sebagai perlengkapan ibadah, diletakkan di area Imam dengan posisi iconostasis (ikon berdiri), memisahkan altar, gambaran sorga, dan area Imam, gambaran dunia. Dengan posisi demikian, ikon berdiri tersebut menyimbolkan Maria, Yesus, atau para kudus sebagai juru syafaat (pengantara) Allah dan manusia atau Allah dan gereja. Tak heran jika Bunda Maria cukup banyak tergambar dalam ikon-ikon.
Fungsi ikon adalah untuk membantu penghayatan ibadah. Sekalipun yang nampak adalah umat berdoa di depan ikon, namun umat tidak berdoa kepada ikon. Umat beribadah kepada Allah. Analoginya, kira-kira sama dengan umat beribadah dengan bantuan lilin untuk membantu penghayatan.
Sedemikian bagusnya lukisan yang tidak seperti lukisan umumnya tersebut, sehingga seringkali menjadi objek pemburuan benda antik bernilai tinggi. Di toko-toko suvenir ikon imitasi banyak dijumpai dalam berbagai bentuk, mulai dari pajangan dinding, pin, medali, hingga kartu-kartu ucapan. Ikon-ikon imitasi memang tidak indah, namun cukup memuaskan hasrat memiliki ikon sejati dengan harga murah.
Biasanya ikon terbuat dari minyak kayu, gading, batu, kaca, dan lain-lain. Konon setiap ikon berbeda dalam masing-masing pembuatannya, baik bahan maupun besaran kandungannya. Salah seorang sumber menyatakan bahwa ikon tak bisa direproduksi secara persis, sebab “satu resep” hanya untuk satu kali pembuatannya. Hasilnya memang bermacam-macam. Ada ikon yang kekuning-kuningan, berwarna perak, dan ada yang menyala merah, dsb.
Ikon bukan cuma bagus, sebab dibuat dengan cara yang istimewa. Gambar ikon juga unik sebab menyentuh kemanusiaan. Objek makhluk-makhluk sorgawi: orang-orang kudus, yang tergambar dalam ikon ditampilkan secara manusiawi. Misalnya: ikon “Bunda Maria dari Khazan”, ikon dari Rusia itu menampilkan wajah Maria yang memelas, sendu, syahdu, tetapi juga penuh kasih memandang Kanak-kanak Kristus. Wajah dan mata Maria tersebut menyentuh kemanusiaan orang yang berkontemplasi di kapel. Kesan itu akan berbeda apabila kita berkontemplasi dari ikon Bunda Maria Pendoa, ikon Rusia yang dibuat sekitar awal tahun 1200-an. Wajah Maria tampil agung, meditatif, dan khidmat dengan mata agak terkatup dan tangan terbentang.
Hari raya Paska sebagai hari raya kebangkitan Kristus dirayakan oleh Gereja sejak abad ke-2. Tentang tanggalnya, Gereja merayakannya selalu pada hari Minggu setelah Paska Yahudi 14 Nisan, bulan purnama yang pertama di musim semi. Pada mulanya, di abad ke-2 itu, dan hingga abad ke-7, Paska dirayakan sebagai hari kematian dan kebangkitan Kristus. Sebelum abad ke-7, Jumat Agung belum lazim dirayakan. Oleh sebab itu, pada masa itu tema-tema Paska, sebagaimana tergambar baik melalui pembacaan Alkitab, nyanyian, dan gambar berkisar pada kematian dan kebangkitan Kristus.

Ikon-ikon Paska
Sehubungan dengan ikon-ikon Paska, ikon penyaliban Kristus tergolong lebih banyak ketimbang ikon-ikon bertema Yesus Mencuci Kaki Para Rasul, Perjamuan Malam Terakhir, Yesus Naik ke Sorga, Kebangkitan Kristus, dan Transfigurasi.
Dalam ikon penyaliban Kristus dari abad ke-18, selain dikelilingi oleh beberapa murid dan perempuan, pada bagian atas di kiri kanan salib tergambar matahari dan bulan. Kedua benda tersebut menjadi penanda bahwa penyaliban itu berlangsung pada tengah hari.
Ikon abad ke-18 tersebut berbeda dengan ikon abad beberapa sebelumnya tentang tema yang sama. Batu-batu karang sebagai dasar salib ditonjolkan, menandakan bukit tengkorak atau gunung batu lokasi penyaliban-Nya. Selain itu, di atas salib tertulis-tulisan Rusia.
Dalam ikon Kebangkitan Kristus dari abad ke-16 tergambar seorang malaikat dengan jubah putih menyala dan bersayap menengadahkan tangan untuk membangunkan Yesus dari kematian-Nya. Sementara di latar atas berdiri dua malaikat berpakaian merah dan bersayap hitam. Para penjenguk kubur Yesus: para perempuan di kiri dan para murid di kanan gambar, tampak berada di sekitar-Nya. Gambaran tersebut menimbulkan kesan berbeda dengan cerita penulis Injil. Kebangkitan itu tidak terjadi dalam suasana sepi dan gelap karena masih pagi sekali, namun ramai. Sebagai salah satu bentuk ungkapan penghayatan manusia pembuatnya, sah-sah saja tafsiran kebangkitan Kristus dilukis semacam itu, sebagaimana halnya dengan penceritaan oleh penginjil maupun pahatan seorang pematung.

Ikon di Indonesia
Beberapa orang di Indonesia ternyata memiliki ikon asli. Tahun 1990 pernah diadakan pameran ikon di GPIB Imanuel, Gambir-Jakarta. Pameran yang dibuat bersamaan dengan konser paduan suara oleh Kursus Musik Gereja itu dibuat sedemikian rupa sehingga sangat tidak menonjol; mungkin memang disengaja. Tujuannya adalah masalah keamanan, sebab gereja tersebut begitu terbuka jika dibandingkan dengan keamanan sebuah museum. Beberapa kolektor ikon ikut serta meminjamkan ikon-ikonnya untuk dipamerkan. Agak mengejutkan, sebab dasar peminjaman harta tak ternilai harganya tersebut semata-mata adalah kepercayaan.
Hingga 6 tahun lalu di Jakarta terdapat museum ikon. Sebenarnya nama museum itu adalah Museum Adam Malik. Museum itu menyimpan sekamar ikon, sekitar 50 ikon dalam berbagai bentuk, tema, dan corak. Adam Malik adalah seorang kolektor benda-benda seni yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Rusia. Mungkin museum itu adalah koleksi ikon terbesar di Indonesia; sayang museum itu sudah tutup sekarang.
Hingga kini sebuah biara di kawasan Pacet-Cipanas memiliki koleksi ikon apik berwarna merah dan biru menyala. Ikon itu ditaruh di tempat yang tidak menonjol, oelh karena itu bagi yang tidak tahu menganggapnya hanya hiasan dinding biasa.
Kemajuan tekhnologi dan sikap ingin memiliki sesuatu secara mudah dari beberapa orang di zaman sekarang memungkinkan ikon-ikon imitasi atau tiruan ikon diproduksi dalam jumlah banyak dan dijual bebas. Harganya memang jauh sekali dari harga sebuah ikon asli. Tentu saja kepuasan untuk memandanginya jauh berbeda dari memandangi ikon asli, namun siapa yang sanggup memiliki yang asli.

Ikon dalam ibadah Gereja-gereja Protestan
Mungkinkah ikon menjadi salah satu perangkat liturgi di Gereja-gereja kita? Alasan dasar, ikon (dan semua alat lain) adalah sarana untuk mengangkat penghayatan umat dalam beribadah. Sampai batas itu, pada satu pihak ikon tidak menjadi takhyul sebagaimana pernah terjadi pada abad ke-8, yang kemudian disusul dengan gerakan anti-ikon (ikonoklasme). Pada pihak lain ikon pun tidak perlu ditakuti dengan alasan “mengandung” kekuatan magis. Penggunaan ikon dalam ibadah – sebagaimana lukisan, patung, dan lilin – dianggap berguna untuk pendukung suasana liturgis.
Hal kedua yang juga penting adalah penempatan ikon (dan benda-benda lainnya) dalam liturgi seharusnya proporsional: tidak berlebihan atau berkurangan. Tidak berlebihan, artinya menjadikan ikon laksana Tuhan sendiri: tanpa ikon ibadah tidak sah. Atau berkurangan, artinya ikon laksana pajangan yang ditempatkan di hadapan umat namun tak disentuh sama sekali. Jadi bagaimana menempatkan ikon secara proporsional dalam liturgi? Oleh karena berasal dari Gereja Ortodoks, maka belajarlah dari mereka perihal memperlakukan ikon agar tidak menjadikannya takhyul atau sekadar pajangan.

*) Artikel ini dimuat di majalah GKI Kwitang "SUAR BARU", edisi 15/IV/2004.

Tidak ada komentar: