Teologi dan Ajaran GKI bagi Pengembangan Liturgi
Oleh : Rasid Rachman
Kontekstualisasi Liturgi
Hari Rabu lalu (19 Maret 2003), seorang peserta seminar nasional tentang liturgi yang diadakan di Jakarta bertanya kepada saya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penerapan liturgi kontekstual. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan umum yang lazim ditanyakan oleh banyak orang dengan latar belakang pemahaman bahwa kontekstualisasi liturgi merupakan fine atau “puncak acara” sebagaimana halnya orang menggelar hajatan. Padahal jawabnya tidak sesederhana pertanyaannya.
Ibadah kontekstual bukan merupakan hasil jadi, fine, atau “puncak acara” dari kontekstualisasi ibadah. Kontekstualisasi liturgi adalah proses yang terus berjalan sejak gereja mula-mula beribadah, baik secara otomatis (alamiah) maupun sengaja dilakukan penyesuaian. Oleh karena kontekstualisasi liturgi, maka liturgi tidak pernah seragam sejak zaman Gereja mula-mula. Juga tidak sah kalau ada Gereja mengklaim bahwa liturgi asli sejak zaman para Rasul. Keberbagaian liturgi tersebut menyangkut hal-hal kebiasaan, bahasa, tata liturgi, dsb.
Dengan kata lain, kontekstualisasi liturgi adalah upaya gereja – baik dilakukan secara alamiah maupun disengaja – untuk membuat penyesuaian liturgi bagi konteksnya. Dalam proses penyesuaian tersebut, muncul pembaruan liturgi. Kontekstualisasi liturgi adalah pembaruan liturgi. Ada beberapa metode penyesuaian, semisal: adaptasi, inkulturasi, penerjemahan, dll., termasuk kontekstualisasi liturgi. Jadi, ketika Gereja mengadakan evaluasi, atau mengkritisi, atau menggumuli bahwa liturginya perlu diperbaiki, maka di situ telah terjadi proses kontekstualisasi (sekalipun masih dalam bentuk yang paling awal).
Sebaliknya, kalau Gereja merasa bahwa liturginya sudah mantap (sekalipun mengetahui ada yang tidak pas secara praktis), puas, karena liturgi “turun dari langit”, maka Gereja itu bukan hanya status quo dalam liturgi, tetapi juga melangkah mundur. Mengapa demikian? Sebab, gerakan liturgis yang terjadi sejak hampir seabad lalu (marak setelah PD II) telah memacu dan memotivasi setiap denominasi Gereja untuk terus membarui liturginya.
Kontekstualisasi Liturgi dan Tradisi Gereja dalam kerangka kontekstualisasi
Gereja Kristen Indonesia bukan Gereja yang langsung turun dari sorga. GKI lahir dan terbentuk dalam proses sejarah, demikian pula liturginya. Seringkali liturgi GKI disebut sebagai liturgi Calvinis atau liturgi Reformasi (Reformed). Namun apakah liturgi Calvinis dimaksud? Liturgi Calvinis merupakan perkembangan (atau kemunduran?) dari liturgi Calvin. Liturgi Calvin merupakan “anak tidak langsung” dari Misa Roma, yakni liturgi yang digunakan oleh Gereja Roma Katolik Abad-abad Pertengahan. Calvin (1509-1564) berkarya dan melayani di dua kota, yaitu: Jenewa (Swis) dan Strasburg (Perancis). Di dua kota itu, Calvin berkarya menerbitkan buku-buku liturgi pada tahun 1542 – kedua bukunya juga tidak seragam satu sama lain – dan menyusun 150 Mazmur Jenewa. Singkat kata, tradisi Calvinisme kemudian berkembang ke Belanda. Liturgi GKI diambil (dengan terjemahan) pada tahun 1950-an dari salah satu tata cara kebaktian Gereja Reformed Belanda awal abad ke-20. Namun, liturgi GKI baru menjadi monumental dengan terbitnya Buku Tata Kebaktian hasil Tjioe Tjin Tjwan (T.S. Iskandar) tahun 1967; isinya pun sebagian besar adalah terjemahan Dienstboek voor de Nederlandse Hervormde Kerk 1950-an.
Uraian tersebut ingin mengemukakan bahwa “terjadinya” GKI adalah karena peran para “bapak” kita di dalam sejarah yang panjang. Memang objektif (selera khas orang GKI dan selera umum jemaat Kristen waktu itu), namun tidak lepas dari segi subjektifitasnya (memilih ini, bukan itu). Padahal situasi liturgi awal abad ke-20 itu identik dengan liturgi abad ke-18 dan ke-19. Mengapa? Sebab Gerakan Liturgis (Liturgical Movement), suatu kebangunan untuk mengembalikan liturgi kepada jemaat, baru lahir dan marak pada menjelang pertengahan abad ke-20 (akarnya dari abad ke-19). Di Indonesia, sekalipun telah ada tanda-tanda yang menunjukkan kebutuhan tersebut, namun gerakan liturgis belum masuk hingga awal abad ke-21 ini. Jadi hingga saat ini, liturgi GKI (dan liturgi kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia) masih merupakan liturgi satu-dua abad yang lalu. Bagaimana melakukan proses kontekstualisasi liturgi?
Menurut hemat saya, memperbaiki cara kita beribadah adalah solusinya. Bukan menukar atau mengganti cara beribadah, melainkan memperbaiki diri sendiri dari akar tradisi yang kita miliki. Hal memperbaiki liturgi sendiri dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa liturgi kita pada dasarnya adalah baik dan cocok dengan jiwa orang GKI.
Kontekstualisasi liturgi di Gereja Kristen Indonesia
Liturgi GKI saat ini perlu direvisi secara besar dan mendasar, sebab sudah sangat tidak kontekstual dan oikumenis. Alasannya? Liturgi yang GKI gunakan saat ini terjemahan tahun 1960-an, diambil dari buku liturgi Belanda tahun 1950-an, yang di Gereja Reformed Belanda sendiri sudah tidak digunakan sejak lama. Di Indonesia, kita dapat melihat dengan membandingkan dengan Gereja Roma Katolik. Sejak tahun 1970-an, sebagai hasil Konsili Vatikan II, Gereja Roma Katolik telah merevisi 3 kali (sedikitnya) liturginya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kontekstualisasi bukan hal “langsung jadi”, melainkan berproses. Jadi kontekstualisasi harus dengan sengaja dan terus menerus dilakukan oleh kita. Ada beberapa usul yang – menurut hemat saya – dapat diangkat untuk upaya kontekstualisasi liturgi, yaitu:
1) Adanya komisi liturgi yang “independen” dan langgeng (tidak hanya ad hoc, sebagaimana yang selalu dilakukan dalam GKI selama ini) untuk menjadi fasilitator, penasihat, peneliti, pengembang, dan memperlengkapi Jemaat.
2) Adakan kontekstualisasi liturgi dengan metode yang disiplin, bukan coba-coba (berkedok liturgi eksperimen). Belajar dari Gereja atau denominasi se-aliran dengan GKI adalah pilihan tepat, semisal: Presbyterian, atau lembaga-lembaga oikumenis di mana GKI menjadi anggota, semisal: Dewan Gereja se-Dunia (WCC), World Alliance of Reformed Churches (WARC), dsb. p
Jakarta, 22 Maret 2003
Oleh : Rasid Rachman
Kontekstualisasi Liturgi
Hari Rabu lalu (19 Maret 2003), seorang peserta seminar nasional tentang liturgi yang diadakan di Jakarta bertanya kepada saya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penerapan liturgi kontekstual. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan umum yang lazim ditanyakan oleh banyak orang dengan latar belakang pemahaman bahwa kontekstualisasi liturgi merupakan fine atau “puncak acara” sebagaimana halnya orang menggelar hajatan. Padahal jawabnya tidak sesederhana pertanyaannya.
Ibadah kontekstual bukan merupakan hasil jadi, fine, atau “puncak acara” dari kontekstualisasi ibadah. Kontekstualisasi liturgi adalah proses yang terus berjalan sejak gereja mula-mula beribadah, baik secara otomatis (alamiah) maupun sengaja dilakukan penyesuaian. Oleh karena kontekstualisasi liturgi, maka liturgi tidak pernah seragam sejak zaman Gereja mula-mula. Juga tidak sah kalau ada Gereja mengklaim bahwa liturgi asli sejak zaman para Rasul. Keberbagaian liturgi tersebut menyangkut hal-hal kebiasaan, bahasa, tata liturgi, dsb.
Dengan kata lain, kontekstualisasi liturgi adalah upaya gereja – baik dilakukan secara alamiah maupun disengaja – untuk membuat penyesuaian liturgi bagi konteksnya. Dalam proses penyesuaian tersebut, muncul pembaruan liturgi. Kontekstualisasi liturgi adalah pembaruan liturgi. Ada beberapa metode penyesuaian, semisal: adaptasi, inkulturasi, penerjemahan, dll., termasuk kontekstualisasi liturgi. Jadi, ketika Gereja mengadakan evaluasi, atau mengkritisi, atau menggumuli bahwa liturginya perlu diperbaiki, maka di situ telah terjadi proses kontekstualisasi (sekalipun masih dalam bentuk yang paling awal).
Sebaliknya, kalau Gereja merasa bahwa liturginya sudah mantap (sekalipun mengetahui ada yang tidak pas secara praktis), puas, karena liturgi “turun dari langit”, maka Gereja itu bukan hanya status quo dalam liturgi, tetapi juga melangkah mundur. Mengapa demikian? Sebab, gerakan liturgis yang terjadi sejak hampir seabad lalu (marak setelah PD II) telah memacu dan memotivasi setiap denominasi Gereja untuk terus membarui liturginya.
Kontekstualisasi Liturgi dan Tradisi Gereja dalam kerangka kontekstualisasi
Gereja Kristen Indonesia bukan Gereja yang langsung turun dari sorga. GKI lahir dan terbentuk dalam proses sejarah, demikian pula liturginya. Seringkali liturgi GKI disebut sebagai liturgi Calvinis atau liturgi Reformasi (Reformed). Namun apakah liturgi Calvinis dimaksud? Liturgi Calvinis merupakan perkembangan (atau kemunduran?) dari liturgi Calvin. Liturgi Calvin merupakan “anak tidak langsung” dari Misa Roma, yakni liturgi yang digunakan oleh Gereja Roma Katolik Abad-abad Pertengahan. Calvin (1509-1564) berkarya dan melayani di dua kota, yaitu: Jenewa (Swis) dan Strasburg (Perancis). Di dua kota itu, Calvin berkarya menerbitkan buku-buku liturgi pada tahun 1542 – kedua bukunya juga tidak seragam satu sama lain – dan menyusun 150 Mazmur Jenewa. Singkat kata, tradisi Calvinisme kemudian berkembang ke Belanda. Liturgi GKI diambil (dengan terjemahan) pada tahun 1950-an dari salah satu tata cara kebaktian Gereja Reformed Belanda awal abad ke-20. Namun, liturgi GKI baru menjadi monumental dengan terbitnya Buku Tata Kebaktian hasil Tjioe Tjin Tjwan (T.S. Iskandar) tahun 1967; isinya pun sebagian besar adalah terjemahan Dienstboek voor de Nederlandse Hervormde Kerk 1950-an.
Uraian tersebut ingin mengemukakan bahwa “terjadinya” GKI adalah karena peran para “bapak” kita di dalam sejarah yang panjang. Memang objektif (selera khas orang GKI dan selera umum jemaat Kristen waktu itu), namun tidak lepas dari segi subjektifitasnya (memilih ini, bukan itu). Padahal situasi liturgi awal abad ke-20 itu identik dengan liturgi abad ke-18 dan ke-19. Mengapa? Sebab Gerakan Liturgis (Liturgical Movement), suatu kebangunan untuk mengembalikan liturgi kepada jemaat, baru lahir dan marak pada menjelang pertengahan abad ke-20 (akarnya dari abad ke-19). Di Indonesia, sekalipun telah ada tanda-tanda yang menunjukkan kebutuhan tersebut, namun gerakan liturgis belum masuk hingga awal abad ke-21 ini. Jadi hingga saat ini, liturgi GKI (dan liturgi kebanyakan Gereja Protestan di Indonesia) masih merupakan liturgi satu-dua abad yang lalu. Bagaimana melakukan proses kontekstualisasi liturgi?
Menurut hemat saya, memperbaiki cara kita beribadah adalah solusinya. Bukan menukar atau mengganti cara beribadah, melainkan memperbaiki diri sendiri dari akar tradisi yang kita miliki. Hal memperbaiki liturgi sendiri dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa liturgi kita pada dasarnya adalah baik dan cocok dengan jiwa orang GKI.
Kontekstualisasi liturgi di Gereja Kristen Indonesia
Liturgi GKI saat ini perlu direvisi secara besar dan mendasar, sebab sudah sangat tidak kontekstual dan oikumenis. Alasannya? Liturgi yang GKI gunakan saat ini terjemahan tahun 1960-an, diambil dari buku liturgi Belanda tahun 1950-an, yang di Gereja Reformed Belanda sendiri sudah tidak digunakan sejak lama. Di Indonesia, kita dapat melihat dengan membandingkan dengan Gereja Roma Katolik. Sejak tahun 1970-an, sebagai hasil Konsili Vatikan II, Gereja Roma Katolik telah merevisi 3 kali (sedikitnya) liturginya. Hal tersebut menunjukkan bahwa kontekstualisasi bukan hal “langsung jadi”, melainkan berproses. Jadi kontekstualisasi harus dengan sengaja dan terus menerus dilakukan oleh kita. Ada beberapa usul yang – menurut hemat saya – dapat diangkat untuk upaya kontekstualisasi liturgi, yaitu:
1) Adanya komisi liturgi yang “independen” dan langgeng (tidak hanya ad hoc, sebagaimana yang selalu dilakukan dalam GKI selama ini) untuk menjadi fasilitator, penasihat, peneliti, pengembang, dan memperlengkapi Jemaat.
2) Adakan kontekstualisasi liturgi dengan metode yang disiplin, bukan coba-coba (berkedok liturgi eksperimen). Belajar dari Gereja atau denominasi se-aliran dengan GKI adalah pilihan tepat, semisal: Presbyterian, atau lembaga-lembaga oikumenis di mana GKI menjadi anggota, semisal: Dewan Gereja se-Dunia (WCC), World Alliance of Reformed Churches (WARC), dsb. p
Jakarta, 22 Maret 2003
2 komentar:
Terima kasih atas artikelnya, Pak Rasid. Apakah saya boleh mendapatkan satu contoh liturgi untuk ibadah kontekstual? Kalau ada, mohon dikirimkan ke alamat email saya dalsegno@gmail.com. Terima kasih.
Pak Danny, saya tidak punya contohnya. Tetapi ibadah kontestual bukan barang jadi-selesai; ini sebuah proses menjadi. Terimakasih atas komentarnya.
Posting Komentar