oleh : Rasid Rachman
Lokasi bagi komunitas oikumenis
Desa kecil Taizé: desa pertanian dan peternakan, tersembunyi di perbukitan Burgundy, di Perancis Timur tak seberapa jauh dari kota Cluny dan Cîteaux. Sejak tahun 1940 (waktu Roger Louis Schüte (21) pertama kali tiba di sana pada 20 Agustus), tempat itu telah menjadi komunitas oikumenis para bruder yang berdoa tiga kali sehari sebagai pusat kehidupan mereka: pagi, siang, dan senja. Tanpa sengaja namun disadari oleh Bruder Roger, tempat ini melambangkan corak Taizé yang diapit oleh dua tradisi biara yang pernah saling bertentangan dalam menafsirkan dan menerapkan Regula Santo Benediktus (± 530 – ± 540) menurut Benediktus Nursia (± 480 – ± 543). Biara Cluny pada abad ke-10 hingga ke-12 memegang kendali kehidupan biara, moral, budaya, dan politik, dalam semangat kesatuan umat manusia. Cîteaux adalah pewaris tradisi pertapaan dan kehidupan meditatif dalam rangka membangun pembaruan Gereja. Dari tempat inilah lahir tradisi cisterciensis pada abad ke-11 oleh Robert Molesme. Semangat berperan aktif dalam sejarah dunia (gaya Cluny) dan kehidupan meditatif (gaya Cîteaux) merupakan warna kehidupan di Taizé.
Dua hal utama bagi Bruder Roger adalah: 1) doa bersama dan saat-saat meditasi, dan 2) berbicara atau berjumpa dengan mereka yang tersisih untuk memahami kemanusiaan. Kedua hal ini mencerminkan semangat “ora et labora”, moto kehidupan monastik sejak gurun pasir.
Dewasa ini sebagaimana kebanyakan biara di dunia, Taizé adalah tempat bagi pengunjung dan peziarah yang berasal dari berbagai latar belakang dan usia. Mereka berpartisipasi di dalam pertemuan-pertemuan internasional melalui doa dan refleksi.
Forum oikumenis itu adalah impian Roger sendiri. Ia – dilahirkan pada 12 Mei 1919 dan wafat pada 2005 – mendambakan komunitas “bagi Kristus dan Injil”, yang menggumuli persoalan umat manusia. Roger menyadari bahaya dan risikonya, namun impian bahwa tempat kediamannya akan menjadi tempat kediaman bagi siapa pun yang membutuhkan jauh lebih besar daripada rasa takutnya. Waktu itu sedang berkecamuk perang dunia. Rumahnya menjadi tempat penampungan dan persembunyian para pengungsi, terutama orang Yahudi, yang melarikan diri dari kejaran Nazi. Tahun 1942, Gestapo Jerman mengusirnya. Roger melarikan diri ke Katedral Saint Pierre di Jenewa-Swiss, dan kembali ke Taizé pada tahun 1944. Di dalam kenangannya, ia menulis: Senja tahun 1942 itu, dengan rasa takut yang luar biasa, aku berdoa kepada Allah tanpa sungguh-sungguh mengerti ucapanku sendiri, “Ambillah hidupku jika Kauanggap pantas, tetapi biarlah apa yang telah dimulai di sini, dapat terus berlangsung.”
Dua tahun setelah ia sendirian, ikutlah seorang calon bruder, dan seorang lagi pada tahun berikutmya. Pada tahun 1949, tujuh bruder menyerahkan diri kepada kehidupan membiara dan mengucapkan kaul untuk hidup dalam komunitas dan berselibat. Salah seorang adalah Bruder Robert, penyusun musik Taizé. Roger sendiri menjadi Abas. Satu-dua tahun kemudian jumlah mereka mencapai belasan bruder. Kini, para bruder berjumlah 90-an orang hidup di Taizé dengan mengenakan jubah putih. Semangat menerima semua orang – termasuk pelarian komunis dan umat beragama lain – tetap menjadi corak Taizé.
Sesuai semangat membiara ora et labora dan pola kerasulan aktif gaya clunian (di samping kontemplatif gaya cisterciensis), tidak semua bruder selalu tinggal di biara Taizé. Beberapa di antaranya hidup di dalam kelompok-kelompok kecil, yakni di dalam frateran yang berlokasi di antara kaum miskin di berbagai benua. Salah satu frateran berlokasi di wilayah kumuh kota New York. Pada tahun 1952, dua belas bruder pergi ke daerah-daerah industri untuk menggumuli keadilan bersama kaum buruh. Di mana pun mereka berada, berdoa tiga kali sehari tetap dijalankan. Walaupun Taizé merayakan ibadah mingguan dan tahunan, namun sebagaimana kebiasaan biara ibadah harian atau ofisi tetap diutamakan. Dengan demikian, semangat ora et servitia dijalankan dengan taat dan tertib.
Panggilan hidup Taizé adalah memenangkan persekutuan dengan semua orang. Sejak semula, komunitas ini berupaya dalam rekonsiliasi antara sesama Kristen yang terpecah ke dalam berbagai denominasi. Namun, tujuan dari pekerjaan para bruder Taizé adalah umat manusia di dalam kesatuannya.
Taizé dan Gereja
Pada mulanya, para bruder Taizé berasal dari berbagai denominasi Protestan. Komposisi tersebut berangsur-angsur berubah. Sejak tahun 1968 hingga kini, sepertiga dari jumlah bruder Taizé berasal dari Roma Katolik. Juga bergabung beberapa biarawan Fransiskan (menurut Franciscus Asisi [1182-1226]) dan rahib Ortodoks. Warna utama Taizé adalah komunitas oikumenis dan internasional. Ada 90 bruder, berasal dari 25 negara di dunia, termasuk seorang dari Indonesia. Sejak tahun 1966, para anggota kongregasi suster Katolik internasional, yang hidup menurut Ignatius Loyola (1491-1556) turut mengambil bagian dalam pekerjaan para bruder Taizé. Biara susteran ini tidak berjauhan dengan biara bruderan.
Komunitas Taizé bercorak oikumenis. Oleh sebab itu, Taizé menjalin kerjasama dengan Vatikan-Roma (pusat Roma Katolik) dan Konstantinopel (pusat Ortodoks Timur). Bahkan beberapa bruer Taizé adalah staf Jenewa-Swiss (kantor Dewan Gereja se-Dunia), misalnya Max Thurian († 1996, salah seorang editor buku Baptism and Eucharist Ecumenical Convergence in Celebration). Dua bruder pernah mengikuti Konsili Vatikan II (1962-1965) sebagai pengamat. Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Taizé pada tahun 1986, sedangkan beberapa Uskup telah melakukannya sejak tahun 1970-an. Dengan Bunda Teresa († 1997) dari Kolkata-India pun Bruder Roger kerap saling berkisah.
Uskup Agung Canterbury-Inggris dari Gereja Anglican dan 1000 pemuda berziarah ke Taizé pada tahun 1992. Ini merupakan kelanjutan dari pertemuan dan diskusi beberapa Uskup Anglican di Taizé yang telah dilakukan sejak tahun 1970-an. Momen-momen tersebut menandakan bahwa Taizé berterima bagi berbagai denominasi, vice-versa.
Taizé dan pemuda
Selama dua puluh tahun pertama, Taizé hidup terisolasi. Namun sejak tahun 1970-an, orang-orang muda mulai bertamu ke Taizé. Dari hari ke hari, jumlah tamu semakin bertambah. Mereka berasal dari berbagai negara, bergabung di dalam doa bersama dan sharing, sambil membarui komitmen hidup. Ada pula yang datang dengan pergumulan berat dan untuk mencari keheningan. Sekalipun jumlah orang yang tertarik mengunjungi Taizé hingga mencapai ribuan (pada masa Paska bisa mencapai ± 10 ribu), namun Taizé selalu menolak untuk membuat suatu “gerakan baru”.pada tanggal 30 Agustus 1974 diadakan pertemuan raya pemuda di Taizé. Suatu saat yang telah lama dirindukan oleh Bruder Roger. “Konsili Pemuda” ini diikuti oleh 40 ribu orang dengan tujuan memampukan orang muda membantu Gereja untuk melupakan rasa egoisme, kehormatan diri sendiri, dan kuasa. Rasanya mustahil membicarakan Taizé tanpa hubungannya dengan pemuda. Secara rutin para bruder dan pemuda saling bersurat dan memperhatikan. Walaupun beberapa tamu Taizé tidak lagi muda usia dan lanjut usia, namun jumlah terbesar adalah pemuda.
Setiap tahun, Bruder Roger – baik sendiri maupun grup – menulis surat yang mengusulkan kemungkinan konkret bagi komitmen. Beberapa hal menyangkut soal kehidupan. Surat-surat itu ditulisnya baik di Taizé maupun ketika berada di antara kaum papa dan pemukiman kumuh (Bangladesh, Kalkuta, Laut Cina Selatan, Afrika, Amerika Latin). Lalu dipublikasikan setiap akhir tahun dalam Pertemuan Raya Pemuda Eropa. Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar seratus ribu pemuda dari seluruh Eropa untuk berdoa dan berefleksi selama lima hari.
Selain surat, Bruder Roger juga membuat catatan harian (le journal). Di antaranya yang telah dibukukan, yaitu: Festival (La fête soit sans fin): Journal 1969-1970; A Life We Never dared Hope for (Vivre l’inespéré): Journal 1972-1974, dan The Wonder of Love (Étonnement d’un amour): Journal 1974-1976. Semuanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Isinya tentang pedoman yang bertolak dari pengalaman pribadi dan sejarah. Tak jarang, catatan harian itu bercerita tentang atau ditujukan bagi seseorang atau pasangan, yang ditulis baik nama inisialnya saja maupun nama sebenarnya.
Apakah pemuda Indonesia dapat bertamu ke Taizé? Mengapa tidak? Setiap pemuda, bahkan setiap orang, diundang untuk berefleksi dan berdoa di Taizé. Banyak orang memimpikannya, sebagian telah menjadi kenyataan. Adalah suatu kesempatan terindah jika kita berjumpa dan berbagi kisah dengan sesama pemuda dari berbagai penjuru dunia selama beberapa hari.
Musik Taizé
Semula musik Taizé diambil dari musik Gereja yang dikenal di Perancis. Misalnya Koral dan Mazmur dari abad ke-16. Beberapa psalmody kemudian ditambahkan oleh Joseph Gelineau. Lambat laun, perbendaharaan musik untuk ibadah Taizé semakin bertambah.
Kini, salah satu daya tarik Taizé adalah musiknya yang khas. Sangat jarang orang muda menyukai musik biara, namun lain halnya dengan musik Taizé. Iringan nyanyian dengan berbagai alat musik, semisal: trompet, organ, gitar, merukan daya tarik khas juga bagi kaum muda. Bahasa yang digunakan untuk sebagian besar nyanyian adalah Latin, Inggris, Perancis, dan Jerman. Ada juga beberapa nyanyian dalam bahasa Italia dan Spanyol. Nyanyian-nyanyian Taizé dinyanyikan dalam rangka ibadah harian, namun ada pula pribadi dan kelompok yang tidak memanfaatkannya sebagai musik ibadah.
Adalah Jaques Berthier dari Auxerre (1923-1994) yang banyak andil dalam menciptakan musik Taizé sejak Paska 1974. Nyanyiannya yang pertama adalah nyanyian Natal. Momennya adalah “konsili pemuda” itu, sehingga musik Taizé memang diciptakan sedemikian rupa agar supaya pemuda tertarik dengannya. Cantata Domino, Christus vincit, Magnificat (NKB 54) adalah nyanyian-nyanyian yang diciptakan untuk momen tersebut. Sejak itu, ia bersama Bruder Robert merencanakan dan menyusun nyanyian-nyanyian yang lain.
Pola nyanyian pendek secara kanon adalah pola pertama musik Taizé gaya Berthier. Namun, untuk menghindari kebosanan, maka dibuatlah ostinato (frase pendek dan berulang-ulang) delapan birama dan bersyair Latin di dalam kanon. Ostinato dinyanyikan oleh seluruh umat, dan di bagian resitasi ini dinyanyikan oleh solis atau prokantor. Demikian, ostinato dalam nyanyian itu menjadi refrein. Yang pertama adalah Miserere mei. Kemudian, oleh karena ada pula tamu Taizé yang berasal dari Inggris dan Amerika, maka dibuatlah pula nyanyian Jesus Remember Me pada tahun 1979. Kemudian menyusul nyanyian-nyanyian dalam bahasa-bahasa lain.
Musik Taizé yang khas: sederhana, meditatif, dan bermutu itu, dilatarbelakangi oleh berbagai musik Gereja yang lama telah ada. Berthier mengoleksi dan menyukai musik gregorian (± abad ke-9), musik Giovanni P. Palestrina (± 1525 – 1594), pola musik Klasik (1750-1830), dan nyanyian rakyat tradisional. Koleksinya berasal dari ayahnya dan ayah mertuanya yang adalah pemusik kondang pada zamannya. Kedua ayah itu adalah sekaligus guru musiknya.
Di samping itu, dedikasi Berthier yang mencintai musik liturgi sangat membantu pengembangan musik Taizé sehingga dikenal luas. Berthier sendiri bukan rahib, namun ia mencintai komunitas monastik. Ia memiliki hubungan dengan biara lain, selain Taizé, misalnya dengan Cistercian Francophone Liturgy Commission. Ia membantu pengembangan musik biara dengan sekali-sekali tinggal bertamu di biara. Di kala ia bertamu di biara dalam waktu singkat, ia bukan hanya suka memainkan organ, tetapi ia juga memberikan seorang organis bagi biara tersebut.
Musik-musik tersebut: musik modal dan musik tonal, melatarbelakangi musik Taizé. Dari antara sekian banyak nyanyian Taizé, ada puluhan nyanyian yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Empat puluh di antaranya diterjemahkan oleh Pendeta H.A. van Dop dan diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Beberapa puluh yang lain diterbitkan oleh pribadi atau lembaga yang tidak jelas informasinya, nama buku-bukunya dijual bebas di pasaran. Demikian pula dengan kaset-kaset musik Taizé bertebaran di beberapa toko buku-kaset rohani di Indonesia. Oleh karenanya, tidaklah terlalu sulit untuk mengenal dan menikmati musik Taizé dewasa ini.
Perziarahan
Natal 1982 di Libanon, Bruder Roger mempermaklumkan dimulainya “ziarah rekonsiliasi sedunia”, melalui pertemuan dan perkunjungan di antara orang Kristen dan semua orang yang berkehendak baik di seluruh dunia. Tujuan perziarahan ini adalah saling memberikan dukungan agar Injil menjadi nyata di dalam hidup manusia, mencari bentuk rekonsiliasi yang konkret di antara umat Kristen dan umat lain, dan mencari cara-cara untuk meringankan penderitaan dunia. Seruan ini bersambut dengan diadakannya beberapa pertemuan yang lebih besar. Pertemuan pertama diadakan di Madras India pada akhir tahun 1985.
Pertemuan sejenis ada di Bandung, di susteran Ursulin jalan Anggrek 60. Sesekali, susteran ini mengadakan pertemuan Taizé secara kolosal, seperti pada tahun 1995 dan tahun 1999, bahkan mungkin lebih sering daripada itu. Pertemuan-pertemuan ini dihadiri oleh ratusan pemuda dari kota-kota sekitar Bandung dan Jakarta, dan biasanya dipimpin oleh bruder Taizé. Ibadah harian di STT Jakarta juga bercorak Taizé. Beberapa kali bruder Taizé mengunjungi Indonesia dan mengadakan retret. Setiap tahun pula, mahasiswa STT Jakarta dan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana berpraktek selama sekitar tiga bulan di Taizé sejak tahun 1980-an. Hingga kini, dan ditopang oleh semakin banyaknya publikasi tentang komunitas yang satu ini, keberadaan Taizé tidak asing lagi.
Pustaka acuan
J.L. Gonzales Balado, The Story of Taizé, dalam Brother Robert, Music from Taizé, Colin 1986, h iv-xi.
Marie-Pierre Faure, Jacques Berthier, a Friend of God. Tanpa nama majalah, h 83-86.
Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja IV. Cipta Loka Caraka 1994, h 345.
Pusat Musik Liturgi, Tokoh Kita: Jaques Berthier, Warta Musik 3/XXII/1997, terj.: Karl-Edmund Prier, h 81-82.
Brother Roger, Festival (La fête soit sans fin): Journal 1969-1970.
___________, A Life We Never dared Hope for (Vivre l’inespéré): Journal 1972-1974.
___________, The Wonder of Love (Étonnement d’un amour): Journal 1974-1976.
___________, Taizé, dalam Gordon S. Wakefield (editor), The Westminster Dictionary of Christian Spirituality. SCM Press 1983, h 368-369.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar