Rabu, Desember 05, 2007

PEJABAT GEREJA DAN MAKNA PENAHBISAN PENATUA


DI GEREJA KRISTEN INDONESIA

Oleh : Rasid Rachman

Pendahuluan
Sebagai penganut sistem organisasi gereja Presbyterial, GKI memiliki jabatan Penatua. Namun jabatan Penatua sendiri bukan hasil ciptaan GKI. Walaupun telah mengalami beberapa kali pergeseran arti Penatua, namun jabatan ini telah ada sejak lama sekali dalam sejarah Gereja, bahkan akar-akarnya telah ada sejak zaman Alkitab dan Patristik, dan merupakan pengaruh dari budaya masyarakat pada zamannya. Pada pihak lain, kita juga menjumpai ritus penahbisan dalam Gereja. Ritus ini pun bukan hasil ciptaan Gereja, walaupun Gereja-gereja termasuk GKI telah lama lazim mempraktekkannya untuk Pendeta dan Penatua. Tulisan ini hendak memaparkan secara historis dan teologis kedua persoalan ini yang kemudian seolah-olah menjadi satu kesatuan dalam praktek Gereja, bahwa jabatan Gereja diikuti dengan penahbisan.
Dalam studi kecil ini, kami menggunakan istilah penahbisan Penatua ketimbang peneguhan Penatua. Maksudnya adalah bukan untuk “mengotak-atik” yang telah ada, namun untuk mendamaikan dua praktek yang berbeda, yaitu penahbisan (ordinarium) pejabat Gereja dan peneguhan (confirmatio) iman atau biasa disebut Sidi. Sekalipun pada akhir uraian ini, istilah peneguhan tetap digunakan di dalam praktek peneguhan Penatua – untuk sementara kami pun belum tiba pada kesimpulan untuk mengusulkan perubahan pengistilahan –, namun ritus itu dipahami sebagai ritus penahbisan.[1]

Tradisi Yahudi dan Gereja awal
Pejabat agama dalam tradisi Yahudi mengalami beberapa kali perkembangan. Zaman Israel kuno, posisi Imam tidak dibatasi secara profesi dan tugas. Kepala rumah tangga kerap menjadi Imam di rumah. Mereka memimpin doa-doa, kurban, dan hari-hari raya. Bahkan hingga di tanah Kanaan pemimpin bangsa, semisal Musa dan Daud, sesekali memimpin ibadah, walaupun telah terbentuk Imam-imam profesional. Imam-imam bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pemeliharaan “barang-barang kudus”, semisal ruang ibadah, waktu-waktu kudus, hari raya, dsb. Di zaman Kerajaan, muncul profesi Nabi. Para Nabi profesional melengkapi dan mengambil alih pekerjaan para Imam sebagai juru bicara Allah. Setelah zaman pembuangan, para Ahli Taurat dan Rabi mengisi bagian tugas pendidikan bagi umat. Terutama para Imam, Nabi, dan Rabi, di Yerusalem mereka dibantu oleh para Tua-tua dan kemudian kaum Farisi. Tua-tua dan Farisi berasal dari jemaat awam yang membentuk grup pelayan ibadah. Kaum awam sebagai Tua-tua dan Farisi masih mewarnai kehidupan gereja awal hingga akhir abad pertama.[2] Terutama Tua-tua, keberadaan mereka telah ada sejak awal sejarah Israel kuno, namun informasi tentang fungsi mereka sangat sedikit. Minimnya informasi ini kemudian menjadi salah satu indikasi bahwa fungsi mereka memang bukan sebagai pejabat, melainkan karena karisma dan informal. Seseorang yang dianggap senior dalam lingkungan keluarga atau klan, kemudian ia dituakan oleh keluarganya. Seorang Senior dari setiap keluarga dan klan berkumpul, maka kumpulan itu disebut Tua-tua (םירשׂ = sarim [Bil 22:44, Hk 8:6; Ezr 10:8] dan םישׁאר = rashim [Yos 24:1; 1Raj 8:1]; berbentuk kata kerja jamak). Demikian dipahami seseorang berfungsi sebagai Tua-tua hanya apabila ia berada di dalam korps Tua-tua yang lain. Para Tua-tua tidak melulu untuk segala hal dan tempat. Ada kalanya, Tua-tua berfungsi di tingkat kota, wilayah, atau suku.[3] Mereka tidak perlu tua usia, tetapi harus menaati Taurat dan hidup dengan benar menurut ukuran moral. Para Tua-tua ini mengatur peribadahan dan pemeliharaan sinagoge-sinagoge di daerah-daerah terpencil,[4] terutama ketika Imam dan Lewi tidak ada di tempat. Pada setiap hari Sabat, semua Imam berangkat ke Yerusalem selama 2-3 hari. Sebagai gantinya, kaum Farisi secara suka rela dan serius menggantikan tugas para Imam dalam memimpin ibadah.[5] Tugas para Tua-tua atau kaum Farisi ini berkelanjutan hingga zaman Perjanjian Baru, di mana status mereka menjadi mapan di mata umat dan Imam-imam Yahudi.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memberikan teladan kepada para Rasul untuk melayani dan sebagai pelayan, namun bukan yang dilayani, walaupun dia lebih besar (ούχί ό άνακείμενος ;). Lukas 22:27 “Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan (διακονος).” Dengan menggunakan istilah pelayan atau diakon ini, penulis Injil mempersaksikan bahwa di dalam Gereja (atau sejak peristiwa Yesus) tak ada lagi pembedaan secara tegas antara jabatan Imam dan umat awam.[6] Petugas sebagai pelayan ini merupakan hal yang berbeda dengan yang dilakukan oleh umat Yahudi di Bait Allah di zaman penulis Injil, namun justru berakar dari tradisi Yahudi kuno ketika kepala rumah tangga adalah juga imam di keluarga. Kemungkinan terbesar, penulis Lukas dan Yohanes (13:1-17) melihat pada praktek ibadah Yahudi di Sinagoge setelah Bait Allah runtuh tahun 70. Tidak seperti di Bait Allah yang memiliki Imam Besar dan Imam-imam Kepala, di Sinagoge atau rumah doa tidak ada jabatan kelembaga-agamaan. Yang ada adalah para petugas yang tugasnya memang melayani umat dalam ibadah, yaitu kaum Farisi, Rabbi, Tua-tua, dsb.
Dalam perkembangan selanjutnya secara eksplisit dalam Gereja awal, Paulus menginformasikan tentang adanya jabatan kelembaga-agamaan. Yaitu para Rasul, para Nabi, para Pengajar (1Kor 12:28 άποστόλους, προφήτας, διδασκάλους; Gal 6:6), dan inilah yang disebut para Pemimpin (Rm 12:8 προϊστάμενος [t, nom]; 1Tes 5:12-13 προϊσταμένους [j, ak]) yang merupakan primus inter pares (yang terutama di antara yang sama). Selain itu ada pula para Penatua (1Pet 5:1; Yak 5:14; Kis 11:30 πρεσβυτέρους), para Penilik (Kis 20:28 έπισκόπους; Flp 1:1; 1Tim 3:1), dan para Diakon (Kis 6). Jabatan-jabatan tersebut dinilai sejajar kedudukannya, tidak ada yang lebih tinggi daripada yang lain. Penyebutan pejabat tersebut tertulis dalam bentuk jamak bahasa Yunani, artinya tidak ada seseorang yang mengepalai semuanya (κύριος), melainkan suatu dewan atau kepemimpinan kolektif (κύριοι).[7] Hal tersebut dipahami bahwa para pejabat dan penyebutan jabatannya tidak serta merta berada bersama-sama dalam sebuah Jemaat. Bahkan jabatan presbuteros dan episkopos – sebutan yang jarang sekali disebut hingga akhir abad pertama – tidak menunjukkan dua perbedaan tingkat pelayanan.[8] Sebutan yang juga digunakan adalah saudara-saudara (άδελΦοί).
Pejabat-pejabat tersebut tidak jelas berhubungan dengan pelayanan liturgi dan jabatan lembaga. Walaupun Rasul, dan kemudian termasuk Diakon, kena mengena dengan pelayanan liturgi sebagai pelayan Firman, namun pekerjaan Rasul dan Diakon lebih dipahami sebagai gembala dan pemerhati bagi kawanan domba Allah.[9] Itulah juga sebabnya jabatan Imam (pemimpin ibadah) tidak disebut, sebab jemaat adalah imam (1Pet 2:9) dan umat Kristen adalah imam-imam bagi Kristus (Why 1:6 ίερείς [j, ak]). Surat Paulus tentang ketiga jabatan tersebut pun bukan merupakan sebuah gagasan deskriptif bahwa ketiga jabatan itu harus dimunculkan dalam Gereja, melainkan sebuah realitas yang telah lebih dahulu berlangsung di Korintus. Itu sebabnya, Paulus lebih menekankan karunia untuk melayani (1Kor 12:29-31 χαρίσματα).[10] Sayang, keadaan tersebut tidak berlangsung lama, setidaknya di Jemaat Antiokia. Pada awal abad ke-2, “muncul” ajaran Ignatius (± 35 – ± 107) akan seseorang tertinggi dari dewan Penatua dan Diakon, yang disebut Uskup. Jabatan Uskup ini kemudian ditahbiskan. Ia dipilih dari antara Penatua menjadi Uskup (sacerdos secundi ordinis).[11] Kepejabatan Uskup dalam suatu Jemaat menurut Ignatius – kemudian didukung oleh sejumlah Uskup – merupakan gambaran penyatu Gereja dari bahaya perpecahan oleh ajaran lain. Wewenang utama Uskup adalah pemimpin dalam perayaan ekaristi.[12] Hanya sejauh ini, penahbisan para pelayan tidak disinggung.
Penahbisan para pelayan hanya tertulis dalam kitab-kitab Lukas, masing-masing satu ayat, yaitu: Injil Lukas (± 80) dan Kisah Para Rasul (± 80 – 90). Penahbisan tersebut dilakukan dengan cara menumpangkan tangan (jamak) oleh para Rasul ke atas tujuh Diakon (6:6 έπέθηκαν, έπιτίθημι = meletakkan, menaruhkan, menambahkan; bnd Luk 24:50 έπάρας τάς χείρας). Perikop Lukas ini dapat pula dilihat sebagai penahbisan oleh Yesus kepada para Rasul. Penumpangan tangan merupakan tanda adanya “penambahan” pada orang yang ditumpangkan tangan.[13] Penambahan itu, selain dilihat sebagai penambahan tugas berdasarkan karisma seseorang atau wewenang pelayanan, juga dilihat sebagai tanda pencurahan karunia Roh Kudus (bnd 1Kor 12). Menurut dokumen Syria (± 400) lama di zaman kemudian, bukti penambahan itu adalah mereka yang ditahbiskan menerima kuasa dan otoritas berbarengan dengan penumpangan tangan dan pencurahan Roh Kudus (Luk 24:50 ⇔ Kis 1:8).[14] Pengangkatan yang disertai dengan penumpangan tangan tersebut juga menjelaskan tentang pekerjaan Rasul dan Diakon, yaitu: melayankan Firman Tuhan (Kis 6:4 διακονία τού λόγου) bagi Rasul dan melayankan meja Tuhan bagi Diakon (Kis 6:2 διακονείν τραπέζαις).
Sejauh ini ritus penahbisan “tidak populer” hingga abad ke-2 di Roma, sehingga sulit dibuktikan bahwa Kis 6 merupakan bukti awal pembentukkan jabatan Diakon. Apalagi, hingga abad ke-2, jabatan Diakon seakan “lenyap” dalam dokumen Gereja.[15] Juga sulit dibuktikan adanya hubungan langsung antara penahbisan dan tugas pelayanan. Hanya,

Sekalipun di Kis 6 tidak disebutkan bahwa ketujuh orang yang diberi tugas untuk melaksanakan pekerjaan diakonia seperti yang dimaksud di sini adalah diakonoi, namun mungkin sekali bahwa asal-usul nama diakonos yang tugasnya seperti tersebut di atas, dalam Gereja perdana berasal dari peristiwa yang terjadi di Yerusalem itu. Bahkan seluruh Perjanjian Baru, kecuali Kis 6 dan Rm 12:6-8, tidak memberi keterangan apa pun yang lengkap tentang pekerjaan Diakon.[16]

Bentuk pelayanan sebagai hamba rupanya lebih ditonjolkan ketimbang jabatan Diakon, walaupun di beberapa Jemaat sebutan Diakon dikemukakan secara eksplisit, sebab memang terdapat juga di dalam Alkitab (Flp 1:1; 1Tim 3:8-13). Namun apakah sebutan tersebut berada dalam pemahaman sejajar dengan jabatan dewasa ini, tidak ada penjelasan. Semua orang yang melakukan pekerjaan bagi Kristus disebut diakonos. Bahkan ketujuh Diakon (Kis 6) yang diangkat oleh para Rasul pun tidak secara tegas disebut sebagai pejabat Diakon, kecuali bahwa mereka membantu para Rasul dalam hal pelayanan meja supaya pelayanan Firman tidak terabaikan.[17]
Di antara berbagai jabatan Gereja sejak zaman Perjanjian Baru, jabatan Penatua (Presbuteros atau seniores) terlihat relatif lebih banyak disebut ketimbang jabatan-jabatan lain. Hal ini mengindikasikan pentingnya dan langgengnya jabatan tersebut dalam fungsinya di dalam Jemaat. Surat I Clemens 1:1 (± 96) dari Roma menuliskan bahwa mereka adalah para pemimpin Jemaat yang patut dihormati dan diteladani (έλλόγιμοι άνδρες).[18]
Sementara, jabatan Uskup baru muncul di masa awal abad ke-2 ini. Selain Ignatius, secara khusus dan berbeda Diadakhe (± 90 – ± 150) menyinggung soal jabatan Uskup. Pejabat Gereja ini dilihat fungsinya sebagai jabatan kelembaga-agamaan.

15:1 “Oleh karena itu, pilihlah bagimu para Uskup dan para Diakon yang layak dari Tuhan, orang-orang yang lemah lembut (meek) dan tidak tamak (covetous), benar dan diakui, sebab keberadaan mereka bagimu adalah melakukan pekerjaan para Nabi dan para Pengajar.”
15:2 “Oleh karena itu, janganlah kalian memandang rendah mereka, sebab mereka adalah yang terhormat di antaramu, bersama dengan para Nabi dan para Pengajar.“

Para Uskup (bukan individu!) dan para Diakon di dalam suatu Jemaat menjalankan fungsi atau melayani bersama Nabi dan Pengajar, bukan hierarki sebagai Imam atau seorang pemimpin sebagaimana Imam Besar di antara Imam-imam Kepala dalam Sanhedrin. Nabi dan Pengajar disinggung dalam Didakhe 13:1-2. Memperhatikan proses pemilihannya, besar kemungkinan para Uskup dan Diakon tersebut dipilih berdasarkan wibawa karismatis dari komunitas jemaat sendiri. Menengok ke zaman para Rasul, wibawa karismatis seseorang calon pemimpin Jemaat berhubungan dengan orang-orang yang pertama-tama bertobat (άπαρχαί = sulung [bnd 1Kor 16:15]) dalam Jemaat.[19] Dengan demikian jabatan tersebut masih sangat berbaur dan belum terlalu dibatasi menurut pengotakan yang beku:[20] baik di antara jenjang para pejabat, maupun antara Imam dan umat, apalagi gelar-gelar tertentu atau ritus penahbisan. Hierarki (hierarch = kepala ulama; ίερεως = imam, άρχή = pemerintah, permulaan, penguasa [άρχιερέα = Imam Besar, άρχιερείς = Imam-imam Kepala]; sacerdos = Uskup, pemegang jabatan kudus, terhormat) jabatan Gereja baru muncul pada zaman kemudian setelah abad ke-2 ini. Hingga abad ke-2, penamaan “jabatan” tersebut lebih mengindentitaskan bentuk pelayanan dan pekerjaan seseorang di dalam Gereja, tetapi bukan dalam pengertian jabatan atau pejabat Gereja seperti pemahaman masa kini.

Penahbisan pada zaman Patristik
Sejauh ini penahbisan atau penumpangan tangan tidak disinggung dalam Didakhe. Walaupun ada ritus penahbisan dalam lingkup terbatas di Jemaat-jemaat, namun hanya dikenakan bagi Uskup seorang. Pada abad ke-2 setelah Ignatius, Uskup ditahbiskan dan ia seorang diri dipandang sebagai gambaran kesatuan tubuh Kristus dan penerus asli pengajaran Kristus sebagaimana dikenakan kepada Rasul-rasul. Menurut catatan-catatan Patristik, semisal Ignatius Antiokia (± 35 – ± 117) dan I Clemens 16 (± 211), kehadiran Uskup dalam suatu Jemaat digambarkan sebagai Allah Bapa yang memiliki otoritas penuh. Sementara para Diakon menggambarkan Yesus, dan Presbyter sebagai para Rasul, yakni gembala bagi umat Allah. Ketiga jenis jabatan ini tidak disusun dengan alasan teologis tertentu, namun untuk memenuhi kebutuhan pelayanan Jemaat dan meniru fungsi pejabat yang pernah ada dalam sebagian Perjanjian Baru dan tradisi Yahudi,[21] serta menjadi penjaga keutuhan kawanan domba Allah dari “ajaran-ajaran sesat”. Ketiga jabatan menjalankan fungsi paralel dengan tradisi Yahudi, terutama komunitas Qumran. Yaitu Mebaqqer sebagai penjaga dan gembala kaum Eseni; sejajar dengan episkopos, Tua-tua yang membantu pelayanan Mebaqqer dan Imam.[22]
Praktek dan landasan teologis terhadap penahbisan baru dikemukakan oleh Hippolytus dari Roma (215), seabad lebih awal daripada naskah Syria. Sebelumnya, pemanggilan ke dalam jabatan pelayan Gereja dilakukan berdasarkan pemilihan untuk meneruskan pekerjaan para Rasul. Penahbisan (ordinatio) berhubungan erat dengan hierarki, yaitu bahwa penumpangan tangan hanya dikenakan bagi kaum Imam. Walaupun tradisi penumpangan tangan telah dilakukan oleh beberapa Rabi Yahudi kepada murid-muridnya, namun kebiasaan tersebut tidak berlaku umum. Sebab, selain penumpangan tangan, ada pula yang tidak ditumpangkan tangan. Dalam Kis 14:23 “menetapkan” dan 2Kor 8:19 “ditunjuk”, Penatua “ditunjuk” (χειροτονέω = mengangkat, menunjuk, memilih dengan mengacungkan tangan) untuk melayani.[23] Pada zaman Patristik ini, unsur penunjukkan atau pemilihan rupanya lebih kuat diberlakukan ketimbang penahbisan atau penumpangan tangan. Hingga abad ke-3, baik di Roma maupun di Syria, Uskup dan Presbyter dipilih oleh umat. Hanya di beberapa tempat, Uskup dipilih oleh umat, dan di beberapa tempat lain Uskup dipilih oleh dewan Presbyter.[24] Ada pun pengelompokan para pelayan di Gereja Roma adalah sebagai berikut:[25]

Imam, terdiri dari Uskup, Imam atau Presbyter, dan Diakon
- Uskup dan Imam ditahbiskan dengan penumpangan tangan oleh Imam-imam lain.
- Diakon ditahbiskan dengan penumpangan tangan hanya oleh Uskup.
Bukan Imam, terdiri dari : Subdiakon, Perawan, Pembaca atau Lektor, dan Penyembuh
- Mereka tidak ditumpangkan tangan, hanya dipilih dan diakui.

Memperhatikan bahwa hanya pejabat tertentu, yakni Imam, yang ditumpangkan tangan dan tradisi Yahudi sebelumnya, maka penumpangan tangan dikenakan ke atas pejabat yang memimpin liturgi sebagai Imam. Sedangkan kepada “para pembantu Imam”, penahbisan tidak dikenakan. Pada akhir abad ke-4, Gereja Syria melalui catatan Constitutiones Apostolicae (± 380) menjabarkan pembagian tugas para pelayan Gereja,[26] yaitu:

· Klerus (ditahbiskan), yaitu Uskup, Presbyter, dan Diakon (hanya Uskup yang sendiri dalam satu Jemaat). Uskup bertugas sebagai pelayan Firman, baptisan, dan ekaristi. Presbyter membacakan Injil menggantikan Diakon dan mendampingi Uskup di kiri-kanannya selama ekaristi. Diakon menyiapkan dan membagi roti-anggur perjamuan kudus, menjaga tingkah laku umat (pastoral), dan melantunkan doa-doa.
· Pejabat Minor (tidak ditahbiskan), yaitu Subdiakon, Diakon perempuan, lektor, procantor, kostor, pengusir setan. Tugas Subdiakon adalah mewakili umat dalam doa persembahan dan syafaat, dan membawakan baki pencuci tangan dalam ekiristi. Diakon perempuan membantu Uskup dalam pembaptisan perempuan. Lektor membacakan Perjanjian Lama dan Epistel. Procantor dan cantor menyanyikan Mazmur-mazmur dan nyanyian jemaat. Kostor menyiapkan ruang ibadah dan penjaga umat keluar-masuk ruang Gereja. Pengusir setan melakukan eksorsisme kepada calon baptis pada waktu pembaptisan.
· Umat, bertugas memberikan persembahan roti-anggur, komuni, dan partisipasi dalam liturgi.

Catatan-catatan Patristik ini memperlihatkan jenjang para pelayan dan munculnya hierarki pejabat Gereja, yakni kaum Klerus atau “kalangan terhormat” sejak awal abad ke-3. Penahbisan Imam dan hierarki kian marak dilakukan dalam ritus Roma. Sementara kaum bukan Imam, tetap menjadi awam aktif – semisal: Eksorsis, Lektor, Subdiakon, Diakon Perempuan (ministrae) – dan tidak ditahbiskan.[27] Pada masa maraknya ritus penahbisan tersebut, muncul pula pembedaan antara Imam dan awam di zaman Patristik.
Selain mengikuti tradisi Yahudi, penahbisan Imam merupakan fenomena umum dalam sebagian masyarakat. Penahbisan pun merupakan fenomena normal bahwa seseorang atau sekelompok orang yang bertugas sebagai perantara insani dan Ilahi perlu disakralkan. Pensakralan tersebut merupakan legitimasi bahwa orang tersebut – tanpa mempedulikan usia dan jenis kelamin – mengemban tugas khusus, bukan hanya berdasarkan pemilihan khalayak tetapi juga disahkan oleh Sang Transenden. Pensakralan tersebut dilakukan dengan cara semacam peresmian-pengakuan oleh khalayak untuk jabatan tersebut, yang kemudian dipraktekkan dalam upacara penahbisan dalam Gereja. Posisi khusus sebagai perantara insani dan Ilahi atau “mediator sakral” – entah ia disebut Shaman, Tetua Adat, Nabi, Imam, atau Uskup, dan lazimnya setelah melewati suatu proses pengujian – dapat berlangsung seumur hidupnya, dapat pula secara berkala. Fungsi mediator sakral memang tidak melulu soal perayaan ibadah atau kultis. Di dalam masyarakat tertentu, fungsinya juga mencakup soal-soal sosial dan politik, namun keberadaan mediator sakral dipandang bagaikan kehadiran Sang Transenden sendiri di tengah suatu masyarakat dan dalam perayaan ibadah. Mediator sakral memiliki wibawa dan otoritas untuk menyampaikan sabda dalam nama Sang Transenden. Hal ini dapat dibandingkan dengan Yesus, Yohanes Pembaptis, dan para Nabi Perjanjian Lama, yang berbeda dengan peran Guru atau Rabbi yang terbuka terhadap perbantahan dari para murid.[28] Absennya mediator sakral dapat merupakan mulai masuknya budaya sekular dalam masyarakat, sebab ia adalah penjaga dan pemelihara umat terhadap sekularisme dan moral. Dalam masyarakat lingkup kecil, peran dan fungsi mediator sakral ini terjadi dalam keluarga. Sang ayah – demikian dalam masyarakat Romawi kuno dan Yahudi kuno – berlaku sebagai imam dalam keluarga.[29]
Isi penahbisan adalah penumpangan tangan dengan resitasi doa-doa bagi si tertahbis oleh para Imam. Pada penahbisan Uskup menurut naskah Hippolytus, si tertahbis – mirip dengan penahbisan Pendeta di GKI dewasa ini – dikelilingi oleh para Uskup yang memberikan penumpangan tangannya atasnya, sementara para Presbyter berdiri bersama umat untuk mendoakannya dalam doa konsekrasi. Pada penahbisan Presbyter, Uskup dan para Presbyter menumpangkan tangan ke atas si tertahbis. Pada penahbisan Diakon – mirip dengan penahbisan Penatua di GKI dewasa ini – hanya Uskup yang menumpangkan tangannya ke atasnya.[30] Hingga abad ke-3, isi doa-doa penahbisan tersebut tidak seragam. Ada yang berisi permohonan agar tertahbis “mengenakan” hikmat dan otoritas Kristus dalam melayankan perjamuan kudus, ada pula permohonan akan kewibawaan sebagai pelayan Allah atau permohonan agar di tertahbis mampu mengenakan kemuliaan Kristus. Namun dengan adanya ritus penahbisan ini, seseorang yang ditahbis mulai dipandang “lain” dan lebih terhormat di antara kaum awam atau yang tidak ditahbiskan, seperti halnya Imam dan Lewi dalam tradisi Yahudi. Apalagi pada awal Abad-abad Pertengahan, penahbisan juga dipandang sebagai pemberian kuasa ke atas si tertahbis dan kedekatannya dengan kaum bangsawan. Ketika penahbisan di Gereja Roma, Imam bukan hanya menerima cawan dan piring perjamuan kudus, tetapi juga jubah dan aksesori busana yang kuat pengaruh kekaisarannya.[31] Kemudian hari, ke-“lain”-an atau keistimewaan para Imam juga disangkutpautkan dengan soal perilaku seksual dan perkawinan. Beberapa Imam mulai memberlakukan hidup selibat, meniru Paulus (1Kor 7:32-40; bnd Mat 19:12,29).[32] Lambat laun Gereja mulai menganjurkan setiap Imam untuk selibat. Bahkan kemudian Gereja Roma Katolik mewajibkan selibat bagi para Imamnya hingga kini (Presbyterorum Ordinis II:16), sedangkan Gereja-gereja Protestan dan Anglican tidak mewajibkannya, kecuali berdasarkan kehendak pribadi si Pendeta yang bersangkutan.

Keimaman awam dan penahbisan zaman Reformasi
Martin Luther (1483 – 1546) tidak menampik seluruh pengaruh Gereja Roma dan dukungan kekaisaran dalam hal kepemimpinan Gereja. Ia menolak Paus sebagai kepala Gereja Tuhan di dunia dan hierarki jabatan, namun di beberapa tempat para Uskup tetap diangkat sebagai penilik para Pendeta dan karena para Uskup telah ada sejak abad pertama. Hingga kini, Gereja Lutheran adalah salah satu Gereja Protestan yang memiliki Uskup atau Bishop (termasuk Denmark dan Indonesia?, kecuali Jerman). Peran dan fungsi Uskup adalah pelayan Tuhan yang sah bagi Gereja, tidak lebih. Ia bukan Imam karena tidak ada imamat lain di Gereja, namun Uskup adalah Imam bersama dengan jemaat sebagai pengemban “imamat am semua orang percaya”. Oleh sebab itu sebagai konsekuensi dari pemilihannya, Uskup dan Pendeta perlu ditahbiskan, namun penahbisannya tidak dinilai “setingkat” sakramen.[33]
Johannes Calvin (1509 - 1564) memahami pejabat Gereja secara fungsional sebagai pelayan liturgi dan sakramen, yang melaluinya iman umat ditanamkan, diperkokoh, dan dipelihara. Calvin menolak sebutan Imam bagi para pejabat Gereja, melainkan pimpinan kolektif. Pimpinan Gereja adalah sebuah dewan, yang terdiri dari para anggota jemaat dengan tugas atau keahlian khusus. Ada empat jabatan Gereja, yaitu: 1) Pastor (atau kemudian disebut Pendeta) bertugas memberitakan anugerah dan Injil, 2) Pengajar bertugas memberi penjelasan tentang nas-nas Alkitab dan menjadi teladan dari pengajarannya, 3) Penatua melakukan pekerjaan-pekerjaan penjaga atau pemelihara umat, administrasi Gereja, dan sesekali melayankan Firman, dan 4) Diakon melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial. Para pejabat ini ditahbiskan, namun bukan sebagai Imam atau seperti praktek Abad-abad Pertengahan, melainkan sebagaimana pemahaman Gereja awal yakni sebagai tanda legitimasi pemanggilan kepada jabatannya oleh Allah.[34] Dengan demikian baik Pendeta maupun Penatua sebagai Majelis Gereja adalah juga anggota jemaat, yang terpilih dari antara para anggota jemaat sendiri untuk melakukan tugas-tugas penggembalaan, disiplin Gereja, dan pengambilan keputusan. Itulah sebabnya di Gereja-gereja Reformasi terdapat consistorium atau ruang majelis, sebab ada majelis di Gereja (consistory = dewan atau majelis Gereja; ada hubungannya dengan consisto = berdiri, tetap, ajeg, konsisten).
Di dalam Gereja Tuhan, tak ada perbedaan antara Imam atau Rohaniwan dan Pendeta. Setiap Pendeta dan Penatua adalah anggota jemaat, dan setiap anggota jemaat mengemban tugas keimaman apabila dipilih dan sejauh mereka melakukan tugas.[35] Oleh sebab itu, tidak ada bangku khusus, pakaian khusus, mimbar khusus untuk Pendeta atau Penatua, atau hal-hal khusus yang menandakan bahwa seseorang adalah Imam atau bukan melalui tata gerak khusus (kecuali penumpangan tangan: menahbiskan dan peneguhan sidi) dan unsur-unsur liturgi khusus (kecuali sakramen). Bahkan dalam pemahaman Calvin ini, Penatua adalah anggota jemaat yang dipilih untuk menjalankan tugas penggembalaan atau pastoral, sedangkan Pendeta adalah “Penatua Khusus”. Hal ini dapat dibandingkan dengan Tata Laksana GKI[36] XVIII, 59:2 “Penatua adalah anggota sidi yang dipilih dan diteguhkan, dan 59:3 “Pendeta adalah Penatua yang dikhususkan”. Pejabat Gereja adalah alat yang Allah tetapkan untuk menjalankan pelayanan kepada umat dan Gereja. Mereka tidak lebih kudus daripada yang lain, sebab panggilan Allah berlaku untuk semua orang percaya, bukan hanya orang-orang tertentu menurut jabatan.

Walaupun Calvin sangat menekankan bahwa jabatan-jabatan gerejawi mutlak perlu supaya gereja dapat berfungsi dengan baik dan teratur, namun peranan para pejabat hanya untuk melayani, mengantarkan Firman dan sakramen kepada anggota-anggota Gereja. Mereka hanya berwenang sejauh mereka memberitakan Firman secara benar dan melayankan sakramen sesuai dengan kehendak Allah. Dengan demikian ditolak pemahaman bahwa tahbisan secara otomatis memberi wewenang di dalam Gereja. Memang tanpa tahbisan tidak ada wewenang. Tetapi juga, meskipun ada tahbisan, para anggota Gereja selalu harus memeriksa dengan kritis apakah pelayan-pelayan mereka masih dapat diandalkan.[37]

Penahbisan berhubungan dengan jabatan dan tugas-tugas di Gereja, sebab mereka yang tidak berjabatan tidak ditahbiskan, walaupun tetap melayani bahkan mungkin lebih giat daripada yang ditahbiskan. Dalam pandangan Reformasi, penahbisan sendiri bukan dipahami sebagai imamat, melainkan tanda penetapan pemilihan ke atas seseorang menurut jabatannya: Penatua atau Pendeta, untuk menjalankan tugas-tugas dan wewenang Gereja. Bahkan dalam proses menjadi pejabat Gereja, penahbisan hanya merupakan konsekuensi logis dalam tahap itu. Pada umunya, tahap-tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketika awal pemilihan dan penetapan, diadakan pengujian iman, moral, dan kesungguhan menyambut panggilan Tuhan akan tugas pelayanan terhadap calon.
2. Persiapan penahbisan melalui puasa dan doa oleh seluruh Jemaat.
3. Penahbisan dalam ibadah Minggu Biasa.
4. Doa penahbisan oleh umat dan Pendeta.[38]

Namun dalam prakteknya, kesan bahwa Pendeta sebagai seseorang yang “lebih” dibanding para Penatua dalam kemajelisan, tidak mudah dihilangkan dalam Gereja-gereja Reformasi. Secara tidak resmi masih banyak anggota jemaat meng-imam-kan atau bahkan men-sakral-kan Pendeta seperti layaknya Imam Besar dalam sebuah Sanhedrin Yahudi atau Uskup dan Imam dalam sebuah keuskupan dan umat awam dalam Gereja Roma Katolik.[39] Hal ini dapat pula dipahami dari teologi Calvin tentang kedua jabatan tersebut. Sekalipun di dalam satu dewan kemajelisan, namun di hadapan Pendeta, Penatua adalah pembantu dan pendamping Pendeta, sebagaimana kaum Lewi di dalam Perjanjian Lama yang mendampingi dan membantu Imam dalam ibadah Kemah Suci.[40] Kesan tersebut muncul bukan semata-mata karena tugas pelayanan mereka yang ditahbiskan, tetapi juga karena wewenang untuk mengerjakan hal-hal khusus ada pada mereka, semisal: Pendeta boleh menumpangkan tangan dan melakukan pelayanan perjamuan kudus, sementera Penatua sebagai pengatur dan pengawas jemaat.[41] Kedua perkara itu tidak diberikan pada umat atau pelayan yang tidak ditahbiskan, bahkan untuk pelayan pembaptisan sekalipun. Walaupun dalam sejarahnya, GKI Jabar (dh. THKTKH-KHDB) pernah mengeluarkan suatu keputusan klasikal tahun 1949 bahwa dalam keadaan tidak adanya Pendeta, maka seorang Toantosu (Guru Injil) dan Tiolo (Penatua) dapat melakukan pembaptisan (Peraturan Gereja, disahkan oleh Persidangan Khu Hwee Jawa Barat di Bandung),[42] namun hal tersebut hanya berlangsung dalam keadaan darurat. Tentang apakah peraturan tersebut pernah digunakan dalam praktek, sejauh ini tidak ada catatan atau orang yang mengingatnya. Peraturan itu sendiri sempat legal berjalan selama sebelas tahun, sebelum akhirnya dicabut melalui Persidangan Majelis Sinode XX tahun 1961. Wewenang pelayan baptisan dikembalikan kepada hanya Pendeta. Bersamaan dengan itu, jabatan Guru Injil pun dihapuskan dalam GKI Jabar.[43]
Wewenang Pendeta – bukan Penatua dan Diakon – untuk menumpangkan tangan dan memimpin perjamuan kudus dapat dilihat kesejajarannya dengan wewenang Uskup pada zaman Patristik. Memang dalam ajaran Ignatius terkesan bahwa Uskup menjadi sentra kehidupan Jemaat yang dibuktikan dengan wewenang tersebut, padahal ia hanya memimpin ekaristi.[44] Namun lambat laun, fungsi dan wewenang Uskup semakin bertambah dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan liturgis yang lain, sementara fungsi liturgis Penatua semakin berkurang. Hal wewenang tersebut diperlihatkan pula dalam formula penahbisan Uskup oleh Hippolytus (215) bahwa Allah telah memilih Uskup untuk memelihara jemaat, mengampuni dosa, dan lain-lain (Apos.Trad. 3). Sementara formula penahbisan Penatua hanya berupa pernyataan bahwa Allah akan mencurahkan Roh Kudus kepada Penatua untuk membimbing jemaat dengan hati yang murni (Apos.Trad. 7).[45]

Penatua dan Penahbisan di GKI
Tata Gereja[46] GKI Jabar pasal 8:1 menuliskan bahwa “Jemaat GKI Jabar dipimpin oleh sebuah Majelis Jemaat (= lembaga dewan) yang terdiri dari beberapa anggota jemaat yang dipilih dan diteguhkan (= dalam ritus penahbisan) untuk itu.” Kalimat dalam kurung adalah tulisan penulis. Pasal 9:1 menuliskan bahwa “Majelis Jemaat terdiri dari Penatua dan Pendeta, yaitu pejabat-pejabat gerejawi”. Hal ini sejajar dengan Tata Dasar GKI pasal 10:1-2 “Penatua dan Pendeta berfungsi memimpin Gereja”. Para pejabat atau Majelis menjalankan tugasnya berdasarkan jabatan “imamat am orang percaya” (9:3). Kalimat pasal 8:1 dan 9:1 ini merupakan indikasi bahwa kepenatuaan atau kemajelisan telah mentradisi di GKI Jabar seturut ajaran Calvin dan sejarah Gereja oikumenis. Ajaran Calvinisme terutama terlihat melalui dipilihnya beberapa anggota jemaat sebagai pimpinan Jemaat dalam kemajelisan dan menjalankan penggembalaan.
Fungsi kepemimpinan tersebut disuratkan dalam Tata Tertib 72 dan 73:1-6, dan sejajar dengan Penjelasan atas Tata Dasar GKI pasal 10:2, 11:2 “hakikat memimpin adalah melayani dan memperlengkapi”. Fungsi Majelis Jemaat adalah sebagai gembala (Tatib 73:2). Soal penahbisan Penatua hanya disebutkan pada tiga pasal Tata Tertib, yaitu 83:6, 84, dan 85, di antara sejumlah pasal tentang Penatua dan Majelis Jemaat (termasuk Tatib 81, 82, dan 85) dalam Tata Gereja dan Tata Tertib. Penahbisan Penatua dalam Tatib 83, 84, dan 85 erat dihubungkan dengan jabatan Penatua (83:5 “calon itu akan diteguhkan ke dalam jabatan Penatua”) dan masa jabatannya (84:1 “Penatua bermasa-jabatan dua tahun, sejak diteguhkan sampai peneguhan dua tahun berikutnya”; 84:2 “Penatua dapat dipilih dan diteguhkan lagi ke dalam jabatan Penatua untuk masa satu jabatan berikut”. Selanjutnya Tatib 85 “jika masa perpanjangannya di BPMS melebih dua tahun, maka Penatua wajib diteguhkan sebagai Penatua untuk satu masa jabatan lagi”.
Hal penahbisan Penatua ditegaskan dalam Tata Laksana Pemilihan Penatua pasal 6:3 “masa jabatan Penatua adalah terhitung mulai tanggal peneguhan yang pertama sampai dengan tanggal peneguhan Penatua dua tahun berikutnya". Tanggal penahbisan Penatua ditetapkan pada Minggu terdekat dengan tanggal 24 Maret (Talak 6:1), ulang tahun Sinode GKI Jabar, dan selalu jatuh pada Minggu-minggu Prapaska. Soal waktu penahbisan Penatua tersebut, rupanya harus ditinjau ulang agar tidak jatuh pada Prapaska. Tatib 83:6 telah membukakan peluang lain agar penahbisan dapat dilaksanakan pada waktu lain, asal “serentak pada bulan bersamaan” dan “ditetapkan oleh Majelis Sinode Wilayah”.
Di GKI Jabar, masa jabatan dua tahun (angka 2) rupanya menjadi normatif sebagai masa berlakunya penahbisan ke dalam jabatan Penatua, yang disebut dengan istilah peneguhan Penatua. Dengan demikian seseorang yang berjabatan Penatua dapat ditahbiskan lebih daripada satu kali, sekalipun ia tidak pernah berhenti dari jabatan tersebut. Kesan kami, GKI Jabar melihat penahbisan Penatua berhubungan dengan masa jabatan atau periode waktu (setidaknya empat ayat menyatakan hal tersebut), tetapi bukan pada jabatan Penatua (hanya Tatib 83:5) atau makna pelayanan seseorang sebagai Majelis Gereja. Guna menghindari kerancuan tersebut – kesan kami – GKI Jabar membedakan antara penahbisan bagi Pendeta dan peneguhan bagi Penatua untuk ritus-ritus yang sebenarnya bernilai sama dan sejajar, yakni menumpangkan tangan (έπέθηκαν τάς χείρας, ordinare). Orang yang tidak ditahbiskan – sekalipun diteguhkan – dalam pelayanan Gereja tidak dilayakkan untuk melakukan penumpangan tangan dan ekaristi; sejajar dengan wewenang Uskup di zaman Patristik dan GKI Jabar tahun 1940-an.
Tentang jabatan Diakon atau Syamas diberlakukan di GKI Jabar Klasis Priangan, sehingga ada Tata Laksana Pemilihan Syamas. Syamas, berasal dari שׁמשׁ = melayani (Dan 7:10); ישׁמשׁ = pelayan (♂), dekat dengan kata רמשׁ = penjaga atau Tuagama, yakni kostor (custos = penjaga), dalam tradisi Gereja Protestan Maluku. Apakah ada hubungan antara syamasy atau syamasyet (♀) dan syemesy (שׁמשׁ), yakni matahari?, kami tidak tahu. Dalam sejarahnya, GKI Jabar pernah memiliki jabatan Syamas (disebut: Tjipsu) hingga tahun 1950-an, namun kemudian dihapuskan.[47] Sebutan jabatan Syamas juga digunakan dalam Gereja Syria dan Gereja-gereja Timur seumumnya, dan Gereja-gereja di Indonesia bagian Timur seumumnya. Sebagaimana Penatua, jabatan Syamas juga ditahbiskan. Bahkan Talak V menuliskan bahwa penahbisan Syamas sama dengan penahbisan Penatua yang didahului oleh sejumlah pasal tentang proses pemilihan dan penunjukan Syamas. Dengan demikian, Syamas adalah salah satu pejabat Gereja yang berada dalam kemajelisan dan ditahbiskan pula, walaupun terkesan jabatan Syamas lebih rendah ketimbang jabatan Penatua dan Pendeta.[48]
Sejauh ini tentang bagaimana cara, siapa penahbis, dan makna teologis historis ritus penahbisan Penatua tidak tertuang, kecuali di beberapa Buku Liturgi dan Talak GKI. Talak GKI XVIII:6.b.3 menuliskan “peneguhan Penatua dilaksanakan dengan penumpangan tangan” oleh Pendeta. Hal ini mengindikasikan bahwa ritus penahbisan telah berterima di lingkungan GKI “seperti biasa”, sehingga semua orang dianggap mengetahuinya dan dapat melaksanakannya secara otomatis, tanpa petunjuk detail.
Dalam Buku-buku Liturgi GKI, penahbisan Pendeta dipisahkan dengan penahbisan Penatua. Jika ada Diakon dan atau Penatua Khusus, maka penahbisannya disatukan formulirnya dengan penahbisan Penatua. Rupanya Gereja menilai bahwa kedua jabatan tersebut: Penatua dan Diakon, memang sejajar dan tanpa wewenang untuk menumpangkan tangan dan memimpin perjamuan kudus. Namun sudah sangat berbeda dengan Hippolytus, dalam rancangan buku liturgi GKI yang akan datang – mengikuti Buku Kebaktian yang diterbitkan oleh Komisi Liturgi Sinode GKI Jabar (Pdt. Tjioe Tjin Tjwan) tahun 1967 yang masih digunakan hingga kini – perbedaan formula penahbisan kedua jabatan tersebut semakin “dipertipis”.[49]


PENAHBISAN PENDETA PENAHBISAN PENATUA
Allah, Bapa yang di sorga, Allah, Bapa yang di sorga
telah memanggil engkau ke dalam telah memanggil engkau untuk
jabatan yang kudus ini, pekerjaan-Nya yang kudus ini
menerangi engkau dengan Roh Kudus, menerangi engkau dengan Roh Kudus
menguatkan engkau dengan tangan-Nya, menguatkan engkau dengan kuasa
memimpin engkau di dalam dan anugerah-Nya,
pelayananmu di Gereja, supaya engkau setia dalam melakukan
supaya engkau bekerja dalam kebenaran jabatan ini untuk kemuliaan-Nya
nama-Nya dan untuk Kerajaan-Nya. serta bagi pertumbuhan jemaat-Nya.
Amin. Amin.


Perbedaan yang menyolok ditandakan dengan huruf miring, yakni “jabatan” untuk Pendeta dan “pekerjaan” untuk Penatua. Cukup memadaikah perbedaan kedua kata tersebut untuk memahami bahwa kependetaan dikaitkan dengan jabatan (pemberian “gelar” Pendeta) yang berlangsung seumur hidup, sedangkan kepenatuaan dikaitkan dengan pekerjaan pelayanan dalam jangka waktu tertentu (bukan pada pemberian “gelar”)?

Penutup
Akhir dari suatu proses pengujian merupakan awal pemberian tampuk fungsionaris mediator sakral ditandai dengan ritus penahbisan. Latar belakang tradisi masyarakat ini mempengaruhi ritus penahbisan ke dalam jabatan gerejawi. Tahbisan gerejawi dipahami sebagai meterai pemberian karunia kepemimpinan dalam pelayanan Gereja, sehingga seseorang yang ditahbiskan menjadi “lebih lain” daripada sebelumnya dalam melakukan pekerjaan-pekeraan gerejawi. Semisal: anggota jemaat menjadi Pendeta, Imam menjadi Uskup, anggota jemaat menjadi Penatua, anggota jemaat menjadi Penatua Khusus. Bersama dengan tampuk jabatan tersebut, seseorang yang ditahbiskan dipahami sebagai “hanya ia yang berwenang” melakukakan hal-hal yang khusus dan sakral, semisal: penumpangan tangan dan sakramen. Namun, ritus penahbisan baru muncul lama sekali setelah adanya mediator sakral. Jabatan dan fungsi “penjabatan” mendahului ritus penahbisan. Kepala rumah tangga dalam tradisi Romawi dan Yahudi yang berfungsi sebagai Imam jelas tidak ditahbiskan. Rasul Paulus tidak ditahbiskan, tetapi menggembalakan Jemaat-jemaat. Para Rasul lain? Apakah Luther dan Calvin ditahbiskan sebagai Pendeta? Yesus tidak ditahbiskan, tetapi “membaptis” (Yoh 4:1-2 Ia tidak membaptis, melainkan murid-Nya), mengajar, membaca Alkitab (Luk 4:16), berkhotbah (Luk 4:20-30), mengutus (Mat 10:1-4), memimpin perjamuan (Mat 26:26-29), dan bahkan menahbiskan (Luk 24:50). Jika demikian halnya, maka melakukan pelayanan menurut fungsi gerejawi adalah lebih penting dihayati sebagai makna panggilan-Nya ketimbang ritus penahbisan.
Itulah juga salah satu alasan bahwa – menurut hemat kami dan memang tidak dituliskan dalam Tata Laksana GKI – melanjutkan tugas Penatua (untuk masa pelayanan berikutnya) dan Pendeta (karena mutasi dari Jemaat lain), tidak perlu ditahbiskan kembali. Bukan karena penahbisan tersebut menjadi salah, melainkan karena ia tidak memberikan nilai tambah kepada yang ditahbiskan.
Mengingat begitu jarangnya studi tentang jabatan Gereja, baik oikumenis maupun GKI, dan GKI belum memiliki pegangan ajaran tentang ini, sementara tantangan ke arah itu cukup besar, maka kami memandang perlunya studi mendalam dan intensif tentang teologi jabatan. Sinode dan Jemaat-jemaat hendaknya membuka peluang dn mendukung bagi mereka yang ingin menulis disertasi, tesis, atau skripsi tentang ini sebagai kelanjutan dari studi kecil ini.

Catatan-catatan
[1] Kami membandingkannya dengan liturgi Gereja Anglican, yaitu: 1) The Ordination of Deacons (penumpanan tangan tertahbis oleh Uskup); 2) The Ordination of Priests (penumpangan tangan oleh Uskup dibantu oleh para Imam lain di sekelilingnya); 3) The Ordination or Consecration of a Bishop (penumpangan tangan oleh Uskup Agung dibantu oleh para Uskup lain di selilingnya). The Alternative Service Book 1980, h 337-390.
[2] Joseph Martos, Doors to the Sacred: A Historical Introduction to Sacraments in the Catholic Church, h 465-466.
[3] R. Alastair Campbell, The Elders: Seniority within Earliest Christianity, h 20-21,24.
[4] Martos, h 459-460.
[5] Rasid Rachman, Ibadah Harian Zaman Patristik, h 18-19.
[6] Frank Hawkins, Orders and Ordination in the New Testament, The Study of Liturgy, h 290-291.
[7] Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, h 30-31.
[8] Hawkins, The Study, h 292-293.
[9] Ibid., The Study, h 294.
[10] Campbell, h 101-102
[11] Gregory Dix, The Shape of the Liturgy, h 33-34.
[12] Martos, h 466.
[13] H.J.M. Turner, Ordination and Vocation, Christine Hall & Robert Hannaford (para editor), Order and Ministry, h 126.
[14] J.H. Crehan, Theology and Rite A.D. 200 – 400, The Study, h 308-309.
[15] Hawkins, h 293.
[16] Andereas Hadi Simeon, Diakonos dalam Perjanjian Baru dan Organisasi Gereja Masa Kini, Penuntun I/3 1995, h 321.
[17] Ibid., h 322-334.
[18] Campbell, h 211-212.
[19] Benyamin A. Abednego, Jabatan Gereja pada Masa Perjanjian Baru, h 41-42.
[20] Ibid., h 53.
[21] Frank Hawkins, The Tradition of Ordination in the Second Century to the Time of Hippolytus, The Study, h 298-300.
[22] Ibid., h 297 dan Campbell, h 246.
[23] Hawkins, h 296-297, dan Martos, h 464.
[24] Martos, h 470.
[25] Rachman, h 34-35.
[26] Ibid., h 32-34.
[27] Josef A. Jungmann, The Early Liturgy: to the Time of Gregory the Great, h 60.
[28] Martos, h 460.
[29] Ibid., h 456-458.
[30] Jungmann, h 62-63.
[31] Ibid., h 63, Martos, h 492-493, dan Rasid Rachman, Pengantar Sejarah Liturgi, h 41-42.
[32] Martos, h 471-472.
[33] Ibid., h 501-502 dan Paul F. Bradshaw, Ordination in Reformation Churches, The Study, h 332.
[34] Martos, h 505-506.
[35] Chris de Jonge, Ekklesiologi, Penataan Gereja dan Jabatan Gerejawi menurut Johannes Calvin, Penuntun, h 240-241.
[36] Berdasarkan Tata Dasar, Tata Gereja, Tata Laksana GKI yang terdapat dalam Akta Persidangan Majelis Sinode Am Gereja Kristen Indonesia X, 1997.
[37] de Jonge, h 237.
[38] Bradshaw, The Study, h 331-332.
[39] Mardiatmadja, Fungsi Imam sebagai Pemuka Jemaah Katolik di dalam Perubahan-perubahan Sosial, Penuntun, h 256.
[40] Th. van den End (penyeleksi), Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, h 490-491.
[41] Ibid., h 491.
[42] Rasid Rachman, Liturgi Sakramen GKI Jabar, Skripsi S.Th. STT Jakarta (tidak diterbitkan), h 28-29.
[43] Ibid., Liturgi Sakramen, h 29-31.
[44] Campbell, h 219-220.
[45] Ibid., h 228-230.
[46] BPMS Wilayah GKI SW Jabar, Tata Gereja, Tata Tertib, dan Tata Laksana GKI Jabar, edisi XIV tahun 2000.
[47] Rachman, Liturgi Sakramen, h 35-36.
[48] Simeon, h 325.
[49] Berdasarkan rancangan BUKU LITURGI GEREJA KRISTEN INDONESIA (masih dalam perbaikan), edisi 3 Juli 2000.

*) Ini merupakan makalah untuk diskusi terbatas teologi, 2001.

Tidak ada komentar: