Minggu, Desember 02, 2007

PENDIDIKAN LITURGI

Relevansinya bagi Gereja DEWASA INI

Oleh : Rasid Rachman

Pendahuluan
Metode pendidikan berlangsung dalam beberapa bentuk. Umumnya dikenal metode pendidikan formal dan metode pendidikan non-formal. Demikian pula, dalam pendidikan liturgi dikenal metode atau bentuk-bentuk pendidikan liturgi secara formal dan pendidikan liturgi non-formal. Oleh karena keterbatasan bahasa tulisan di sini, maka pendidikan liturgi secara non-formal akan diuraikan lebih dahulu. Patut disadari bahwa baik bentuk pendidikan liturgi non-formal maupun bentuk pendidikan liturgi formal telah berlangsung sejak awal kekristenan; keduanya sama penting dan bergunanya.

1. Pendidikan liturgi non-formal
Yang dimaksud dengan pendidikan liturgi non-formal adalah proses pendidikan dengan melakukan atau mempertunjukkan, bukan dengan penjelasan teoretis di kelas. Pusat pendidikan liturgi non-formal adalah di ruang ibadah selama waktu beribadah. Pendidikan non-formal berliturgi telah dilakukan sejak zaman gereja awal, Abad-abad Pertengahan, dan zaman Reformasi.

1.1 Zaman gereja awal
Gereja awal memperoleh warisan dari tradisi sinagoge Yahudi dalam melakukan pendidikan liturgi non-formal kepada umat. Resitasi doa-doa dari Mazmur-mazmur dan penjelasan Kitab Suci dilakukan oleh umat Kristen. Umat meresitasikan Mazmur-mazmur secara benar, dan imam mengajarkan Kitab Suci menurut metode homiletik yang tepat. Dengan cara itu, umat beribadah dan bersekolah. Jelas, dimensi pedagogis dalam liturgi telah dipraktekkan oleh gereja awal.[1] Hal tersebut terlihat dengan mudah dari istilah sinagoge.

Sinagoge adalah didaskaleia, pengajaran, yaitu suatu tempat di mana pengajaran disampaikan. Apabila rumah ibadah itu disebut, maka disebut pula kegiatan yang terjadi di sana, yaitu mengajar. Kegiatan belajar-mengajar digabungkan dengan berdoa, sehingga terbentuklah pola pelopor kebaktian. Dengan demikian terjadi “perkawinan” antara pendidikan dan kebaktian.[2]

Dari informasi tersebut kita tahu bahwa umat yang beribadah dan para pelayan yang bertugas dalam ibadah memperoleh pengajaran liturgi dengan melihat dan mengalami sendiri. Pengajaran tersebut bukan melulu terjadi melalui homili, tetapi juga melalui pelaksanaan ibadah yang diperlihatkan dengan benar. Umat dan para petugas menjadi orang terlatih dalam pendarasan Mazmur-mazmur, pembacaan Taurat secara leksionaris,[3] tata gerak liturgis,[4] dan tata pengucapan kalimat liturgis. Selain disiapkan dan dilatih, umat memperoleh gambaran menyelenggarakan liturgi secara benar dari para imam yang memimpin ibadah.
Hasil panutan pendidikan liturgi tersebut, umat atau kaum awam bersama para tetua Yahudi dapat tetap memimpin dan melaksanakan ibadah di sinagoge, sekalipun tak ada imam profesional. Para relawan, disebut sheliach tsibbur (wakil umat), bahkan ada kalanya terdiri dari perempuan, menjadi pengantara umat dan Allah dalam peribadahan. Relawan yang berkemampuan bernyanyi, menjadi prokantor atau penyanyi dalam ibadah. Sebagai hasil pemahaman teologi dekatnya hubungan Allah dan manusia laksana ayah dan anak, umat dapat sendiri dan langsung berdoa tanpa perantaraan seorang imam.[5] Berbeda dengan peribadahan Bait Allah yang dipimpin oleh para imam profesional, peribadahan sinagoge adalah peribadahan berbasis umat.
Peribadahan Yahudi tersebut ditiru dan diwarisi oleh gereja awal. Pembelajaran liturgi dilakukan dengan menampilkan perayaan liturgi dan pelaksanaan unsur-unsurnya secara benar. Konsekuensinya, doa-doa bebas menurut keinginan si pendoa dan keberbagaian pengucapan formula liturgi menjadi warna liturgi gereja awal; gereja awal tidak menekankan keseragaman liturgis. Sebagaimana ibadah sinagoge, pembelajaran liturgi tersebut dilakukan oleh sheliach tsibbur Kristen.[6]

1.2 Abad-abad Pertengahan
Pada Abad-abad Pertengahan, proses dan cara pendidikan liturgi terus berlanjut dan bahkan berkembang dengan dimasukkannya simbolisasi. Simbol-simbol yang ditampilkan, antara lain: 1) benda-benda: Alkitab, lilin, dupa, garam, air, roti, cawan; 2) tata gerak: berjalan, eksorsisme, membuat tanda salib, berlutut; 3) tata perabot: bejana baptisan, altar; 4) tata respons: melihat warna-warni busana imam, mencium asap dupa, mendengar pendarasan Mazmur, mengecap komuni; 5) tata seni: lukisan dinding, lukisan kaca, fresko; dan 6) tata ruang: kiblat ke timur, area imam, area prosesi.
Tampilan liturgi dan sakramen dibuat sedemikian rupa sehingga menumbuhkan kekaguman. Ketika pengetahuan kognitif ― kemudian menjadi porsi dalam pendidikan formal ― belum dianggap penting, menampilkan kesan dan keindahan melalui simbolisasi diutamakan untuk mengajarkan dan menyalurkan tradisi iman. Menampilkan kesan dan keindahan tersebut diperoleh dengan menggali tradisi ritus yang telah ada sejak gereja awal.[7]
Menampilkan kesan dan keindahan liturgis hanya dapat diperoleh melalui tampilan para pelayan liturgi yang terampil, terlatih, dan memahami makna setiap unsur liturgi. Dengan demikian seluruh perayaan liturgi “merupakan persembahan suci kepada Tuhan dan sekaligus pula sebuah ‘kurikulum’ yang membina para warga Kristen.”[8] Pembinaan ini berdampak langsung bukan hanya pada pengenalan akan iman Kristen dan Kitab Suci, tetapi juga pada pembelajaran merayakan liturgi itu sendiri. Tampilan liturgi dengan sendirinya mengajarkan kepada umat ― sekalipun mereka buta huruf![9]― tentang liturgi.

1.3 Era Reformasi
Pendidikan liturgi non-formal berubah total pada zaman Reformasi. Dampaknya masih sangat dirasakan di gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini.
Martin Luther cenderung memfokuskan sarana pendidikan liturgi pada khotbah.[10] Bukan hanya dalam tiga kali ibadah Minggu, tetapi juga dalam ibadah-ibadah harian, khotbah mendominasi seluruh liturgi Luther.[11] Sepanjang pekan, yakni ibadah-ibadah harian, khotbah atau katekismus ― keduanya sama-sama menggunakan metode verbal dan oral, baik didengarkan maupun dibaca ― dilakukan di gereja secara komunal dan di rumah secara personal.
Yang bukan berbentuk khotbah, mungkin hanya musik atau nyanyian jemaat dalam bahasa pribumi umat yang menjadi sumbangan reformasi Luther dalam pendidikan liturgi non-formal.[12] Sayang, sebagian nyanyian jemaat tersebut bukanlah nyanyian liturgi.[13] Nyanyiannya lebih populer di dunia sehari-hari. Demikian pula dengan buku Katekismus, yang lebih merupakan “Alkitab orang awam”,[14] sehingga lebih baik membaca Katekismus itu ketimbang bermalasan karena tidak lagi mengikuti ibadah-ibadah harian.[15] Para orangtua bertugas untuk setiap hari mengajarkan Katekismus dan menguji pengetahuan anak-anak dan pembantu mereka tentang Katekismus; hal yang sama seperti dalam Ulangan 6:7. “Kita harus melatih anak-anak kita untuk mengulanginya setiap hari, ketika bangun tidur, hendak makan, dan hendak tidur. Setiap kepala keluarga wajib mengatur hamba-hambanya untuk mengetahui Katekismus,” kata Luther.[16] Rasionalisasi dan verbalisasi terhadap simbol-simbol menguasai pola pikir Luther.
Sumbangsih reformasi Johannes Calvin terhadap pendidikan liturgi non-formal tidak jauh berbeda dari Luther. Khotbah (dalam arti pemberitaan firman: pembacaan Alkitab dan pengajaran) dan nyanyian Mazmur, menjadi metodenya. Selebihnya, Calvin banyak menulis aturan dan ajaran tentang liturgi sebagaimana tertuang dalam Institutio, dokumen, formula liturgi, dan katekismus. Selain alasan keseragaman, hal tersebut dimaksudkan agar orang tidak bergantung pada misteri semata, melainkan pada penjelasan rasional. Penjelasan rasional itu harus menjadi pegangan bagi sakramen-sakramen, doa, nyanyian, Mazmur-mazmur, kebaktian nikah, dsb.[17] Umat bukan sekadar menjadi penonton di dalam liturgi; umat sebaiknya tidak mengaminkan hal yang tidak dimengertinya. Umat harus memahami maknanya. Oleh karena itu perlu ada ajaran yang menjelaskan apa yang ditandakan oleh liturgi.[18]
Luther dan Calvin sama sekali tidak menghilangkan unsur-unsur liturgi yang sudah digunakan oleh Gereja Roma. Beberapa hal yang baik atau yang memang tidak perlu diperdebatkan, tetap dipertahankan. Misalnya, Luther tetap menggunakan leksionari sebagaimana gereja saat itu, yakni pembacaan Surat dan Injil untuk hari Minggu.[19] Demikian pula Calvin memberikan peluang bagi doa bebas personal (doa hening) dalam ibadah umat; pengakuan dosa diikuti oleh berita anugerah (tidak diselingi nyanyian); di awal ibadah pendeta berdiri di depan altar; hanya ketika khotbah pendeta ke mimbar, dan kembali ke altar ketika perjamuan kudus.[20] Dengan demikian Calvin mendidik umat akan fungsi mimbar dan altar dalam ruang ibadah, dan yang utama dalam liturgi.
Pola pikir Calvin dari abad ke-16 ini kadang-kadang masih muncul dalam gereja-gereja Protestan di Indonesia aliran Reformed, bahwa liturgi lahir dari: 1) Ketetapan persidangan yang mengeluarkan aturan-aturan; 2) Keseragaman menurut kemauan persidangan.
Kebiasaan tersebut terbawa sampai di Indonesia. Liturgi seringkali tidak dipandang sebagai perayaan, melainkan sebagai “menjalankan aturan-aturan” yang ditetapkan oleh persidangan.
Rapat gereja di Batavia pada tahun 1624 menetapkan agar peribadahan gereja di Indonesia sedapat mungkin seragam dengan yang dilakukan oleh gereja Calvinis di Belanda. Hal yang sama terjadi pada Gereja Tapanuli yang mengikuti liturgi Gereja Uniert di Jerman.[21] Hingga pertengahan abad ke-20, mencari cara agar memiliki liturgi yang seragam masih menjadi salah satu ciri bagi sebagian gereja-gereja Protestan di Indonesia, sekalipun memakai sumber yang tidak tepat.[22] Alasan “demi keseragaman” itu seringkali mengorbankan azas pendidikan liturgi, yakni membuat jemaat hanya ikut-ikutan,[23] tidak melibatkan mereka langsung dalam pengayakkan keilmuan untuk menghasilkan liturgi sendiri.
Hingga kini, gereja-gereja Protestan di Indonesia lebih memfokuskan liturgi melulu pada khotbah atau musik gereja.[24] Khotbah tidak hanya menjelaskan Kitab Suci, tetapi juga memasukkan hal-hal lain yang enteng sehingga khotbah menjadi panjang, tidak proporsional. Bahkan dalam beberapa kasus, misalnya dalam persekutuan doa: bukan Kitab Suci, tetapi khotbahlah yang mendominasi ibadah. Liturgi dipahami oleh Gereja Ortodoks sebagai tempat belajar iman. Liturgi dipahami oleh Gereja Roma Katolik sebagai saat memperdalam pengetahuan iman. Sementara “Pendeta-pendeta Protestan biasanya menggunakan khotbah untuk tujuan mendidik umat.”[25] Hal ini telah terjadi sejak zaman Gereja Reformed Belanda mengikuti Zwingli dan Farel dengan membuat ibadah utama menjadi ibadah khotbah. Sakramen-sakramen menjadi tidak terlalu penting. Unsur-unsur liturgi pada umumnya lebih bersifat verbalisme.[26]

2. Pendidikan liturgi formal
Pendidikan formal atau akademis untuk bidang liturgi, baik tradisional maupun modern, telah berlangsung pula sejak awal kekristenan. Pusat pendidikan liturgi formal tradisional biasanya diselenggarakan oleh gereja di gedung gereja atau biara; bukan di ruang ibadah. Sekolah-sekolah calon rabi, calon imam, dan calon ahli Taurat mengisi kurikulum dengan mata ajar memimpin ibadah, selain mata-mata ajar membaca Taurat dan menafsirkan kitab para nabi. Hal ini hampir mirip dengan sistem pesantren; pendidikan membaca dan menafsirkan Kitab Suci sejak masih kanak-kanak hingga kelak menjadi Ahli Kitab.
Pusat pendidikan liturgi formal modern adalah sekolah-sekolah teologi atau semacam itu. Pendidikan liturgi tersebut merupakan dampak dari gerakan liturgis. Pendidikan formal modern berbasis pada kurikulum sejarah liturgi dan penjelasan makna liturgi. Ada kalanya, satu sekolah menambahkan mata ajar lain, sehingga menjadi unik. Namun mata ajar sejarah liturgi dan atau makna-makna liturgi menjadi umum diberikan di seminari-seminari, baik di luar negeri maupun dalam negeri.

2.1 Pendidikan liturgi di luar negeri
Di negara-negara lain, semisal: Italia, Amerika Serikat, dan Belanda, pendidikan liturgi secara formal sangat kuat. Hal itu dapat dipahami sebab pendidikan liturgi di Eropa telah dimulai sejak hampir seabad lalu. Bermula dari gerakan liturgis. Studi liturgi diminati oleh beberapa teolog-rahib dan teolog secara pribadi, antara lain: Dom Guéranger (1805-1875) dari Solesmes-Perancis, diikuti oleh Möler (1796-1838) dari Kongregasi Benediktin Beuron-Jerman, dan menyebar ke biara Maredsous-Belgia.[27] Oleh karena telah lebih dahulu diadakan, maka pendidikan liturgi modern secara formal juga telah berada jauh lebih di depan daripada di Indonesia. Hal ini dilihat bukan hanya dari kualifikasi dosen-dosen, tetapi juga dari buku-buku yang diterbitkannya.
Dalam segi bahasa modern yang menopang studi liturgi, bahasa Inggris, Perancis dan Jerman menjadi bahasa tulisan yang menempati urutan pertama. Sebagian besar buku (80 - 90 %) ditulis dalam salah satu dari tiga bahasa tersebut.[28] Urutan kedua adalah bahasa Italia, Spanyol, dan Belanda; sekitar 10-15 % dari jumlah buku. Urutan ketiga adalah bahasa-bahasa lain, semisal Indonesia, dan lain-lain. Bahasa-bahasa tersebut di luar bahasa Latin dan bahasa Yunani yang diwajibkan kepada setiap mahasiswa. Dalam studi-studi khusus, semisal ibadah Israel atau ibadah Ortodoks, mahasiswa harus juga menguasai bahasa-bahasa Ibrani, Arab, atau Koptik. Di zaman yang serba global ini, kekhasan kultur locus justru menduduki posisi sangat penting.
Selain itu, bentuk penekanan disiplin ilmunya pun beragam. Dari keberagaman tersebut saya memperoleh kesan bahwa studi liturgi mencakup:
1. Studi naskah, yakni penelitian, penelusuran, dan penemuan tradisi di mana tersimpan kandungan teologi. Naskah-naskah Athanasius, Hippolytus, Cyrillus, dan Etheria, menjadi pokok studi ini. Ragam studi ini umumnya dilakukan oleh sekolah-sekolah di Italia, yang merupakan kelanjutan dari biara Maria Laach, Jerman.[29] Studi naskah memang tidak praktis, namun berguna untuk penelitian. Hasil dari studi naskah akan sangat bermanfaat bagi penerapan praktis dan pastoral.
2. Studi pastoral, yakni menangkap dan mengangkat makna-makna yang terkandung dalam liturgi. Dasar-dasar teologis setiap bentuk perayaan, sejarah pembentukan tradisi, pergumulan dan tantangan liturgi, menjadi pokok perkuliahan. Ragam studi ini umumnya dilakukan oleh sekolah-sekolah di Belanda, yang merupakan kelanjutan dari sekolah-sekolah di Perancis sebagai pusat kajian liturgi pastoral.[30] Studi pastoral sangat berguna, oleh karena itu memang jadi populer. Pelaksanaan liturgi yang dipahami secara pastoral akan mampu memberikan gambaran kepada umat tentang liturgi sebagai sumber kehidupan beriman. Liturgi pastoral juga akan menginspirasikan dan memotivasi umat untuk mewujudkan iman mereka.
3. Studi praktis, yakni menyangkut penyelenggaraan liturgi yang anggun dan menawan. Cara menjalankan unsur-unsur liturgi: yakni membaca Alkitab, berjalan dalam prosesi dan mengarak Alkitab, berdiri di depan microphone, memimpin perayaan liturgi, menyanyikan Mazmur dan nyanyian lain, menempatkan nyanyian dalam liturgi, semuanya dilatih secara praktis dan menjelimet. Ragam studi ini umumnya dilakukan oleh sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Hasil studi praktis akan dimanfaatkan secara langsung oleh umat yang melihat dan mengalami perayaan ibadah. Ibadah menjadi baik: khidmat, anggun, dan menawan, manakala ia ditampilkan dengan tata suara, tata gerak, tata ucap, tata ruang, yang baik.

2.2 Pendidikan liturgi di Indonesia
Sekolah-sekolah tinggi teologi di bawah dukungan atau naungan gereja-gereja Protestan di Indonesia (terutama dari sayap oikumenikal) dan seminari-seminari teologi di bawah naungan Gereja Roma Katolik Indonesia sejak tahun 1960-an telah menyelenggarakan perkuliahan liturgika. Oleh karena teologi Protestan cenderung menolak atau menafikan semua perayaan berornamentasi simbol, gambar, dan ritual,[31] maka teolog-teolog Roma Katolik telah siap lebih dahulu meraih ilmu liturgi ketimbang teolog-teolog Protestan. Selama hampir 20 tahun (1964-an–1992), Sekolah Tinggi Teologi Jakarta hanya membuka kuliah liturgi setengah semester.
Oleh karena kurangnya proses pembelajaran ilmu liturgi di gereja-gereja Protestan di Indonesia, maka liturgi seringkali dipandang salah kaprah. Hingga kini, masih banyak teolog dan gerejawan berpendapat bahwa liturgi adalah tata aturan beribadah atau tata ibadah. Masih banyak pula aktivis gereja dan penyelenggara liturgi yang bahkan menganggap liturgi sekadar secarik kertas yang bertuliskan “Tata Liturgi”. Liturgi dipandang cuma seperangkat aturan bagaimana menempatkan musik, kursi, para petugas, doa-doa di dalam kebaktian.[32]
Bagi kebanyakan gereja Protestan di Indonesia, liturgi belum dipandang sebagai teologi atas suatu tradisi gereja dan kontekstualisasi locus. Dengan kata lain, liturgi masih dipandang hanya “lipstik” yang menjadi hiasan gereja, bukan mulut gereja.[33]

2.2.1 Pendidikan liturgi di seminari Katolik
Pendidikan liturgi di seminari-seminari Katolik sejelas pandangan teologinya tentang liturgi. Sesuai konstitusi liturgi dari Konsili Vatikan II, ilmu liturgi dinilai sebagai sentra bagi ilmu-ilmu teologi lain. Liturgi menjadi ilmu yang wajib dan penting. Ilmu-ilmu dasar lain, yaitu: dogmatika, biblika, pastoral dan spiritualitas, harus mengulas misteri Kristus dan sejarah keselamatan yang nampak hubungannya dengan liturgi” (SC II,16).[34] Hal ini ditegaskan kembali dalam dekrit pendidikan imam (Optatam Totius). Konsili menegaskan bahwa liturgi adalah sumber pertama bagi ilmu-ilmu lain, yaitu: biblika dan dogmatika – bukan sebaliknya: biblika dan dogmatika sebagai sumber liturgi – yang harus diberikan kepada para mahasiswa calon Imam (OT V, 16).[35] Hal ini didukung oleh teolog dogmatika dan oikumenika, Geoffrey Wainwright:

Doktrin Kristen dapat bersifat liturgis. Gereja Ortodoks Timur telah lama sadar bahwa upacara-upacara persekutuan liturgis di samping tujuan utamanya, yaitu memuji Allah dan menyucikan orang percaya, juga berfungsi sebagai tempat belajar iman. ... ibadah hari Minggu adalah saat umat Kristen Katolik memperdalam pengetahuan iman mereka.[36]

Keseriusan ini juga merambah ke bagian-bagian lain dalam tubuh Roma Katolik. Misalnya, kaum Serikat Jesus (SJ) yang terkenal sebagai kelompok yang tidak peduli dengan liturgi dan musik (Jesuita non rubricat et non cantat), menyelenggarakan suatu Pertemuan Jesuit Internasional tentang Liturgi di Residensi DeLaSalle, Roma, 17-22 Juni 2002.[37] Suatu mujizat setelah 468 tahun serikat ini berdiri, 120 imam Jesuit dan awam berkumpul untuk membicarakan satu hal: liturgi. Sementara ordo-ordo lain telah memperhatikan liturgi sejak lama. Pertemuan para Jesuit ini berlanjut di Bangkok-Thailand, pada 20-25 Juni 2004. Tema kongres internasional tersebut adalah inkulturasi liturgi. Giliran teolog-teolog Asia dan Afrika tunjuk diri, baik menyampaikan presentasi makalah maupun pertunjukan inkulturasi.[38]
Di Indonesia, konsentrasi pendidikan liturgi tidak hanya dilakukan melalui mata kuliah liturgi di seminari teologi, sekolah kateketik, dan sekolah filfasat. Pada tahun 2000, Konferensi Wali Gereja Indonesia bekerjasama dengan Universitas Parahyangan mendirikan Institut Liturgi Sang Timur Indonesia (ILSTI). Ini adalah institut liturgi pertama di Indonesia, sekaligus membuktikan bahwa ilmu liturgi secara serius telah memasuki Indonesia pada awal abad ke-21.
Selain itu, secara umum dan berkala, belasan dosen liturgi di seluruh Indonesia mengadakan pertemuan. Selain menimba pengetahuan, berbagi pengalaman, saling kenal, pertemuan itu juga membicarakan kurikulum pengajaran.
Studi liturgi pastoral menjadi ragam perkuliahan, baik di sekolah kateketik, seminari, biara, maupun sekolah filsafat. Walaupun tetap praktis, perkuliahan juga bertujuan membawa mahasiswa kepada pemahaman global tentang liturgi. Para mahasiswanya diharapkan terampil melaksanakan liturgi, sehingga dapat menyampaikannya dengan baik.[39]
Jumlah SKS yang banyak, sekitar 12-15 SKS, dan jumlah jenis perayaan yang beragam di Gereja Roma Katolik, serta pemahaman teologis terhadap liturgi sebagai puncak beriman dan kehidupan, membuka peluang perkuliahan dengan beragam bentuk. Hal tersebut ditopang oleh konsistensi ragam liturgi yang diajarkan, yakni studi pastoral.
Keragaman bentuk pendidikan liturgi di seminari Katolik ― tetapi serius dijalankan ― merupakan perwujudan dari keputusan Konsili Vatikan II. Dalam “Azas-azas Umum Pembaruan” (Bab I, bag 1), segera disusulkan “Pendidikan Liturgi” (Bab I, bag 2). Dengan susunan demikian tercermin pola pikir Konsili bahwa pendidikan liturgi merupakan konsekuensi bagi pembaruan dan pengembangan liturgi. Jangan harapkan adanya pembaruan di tingkat umat, jikalau tidak ada pembaruan lebih dahulu di tingkat imam.[40]

2.2.2 Pendidikan liturgi di STT Jakarta dan para dosen liturgi
Pendidikan liturgi di STT Jakarta sendiri mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh: a) kurikulum, dan b) dosen.

2.2.2.1 Kurikulum
Kurikulum 1961 menempatkan mata kuliah Liturgika pada tahun V, selama 2 jam seminggu. Pada taraf itu, mahasiswa telah menyelesaikan kuliah-kuliah Biblika, Historika, Sistematika, Ilmu Agama-agama, Homiletika, dan Religious Education.[41] Mahasiswa lebih siap mengikuti Liturgika oleh karena sudah menguasai ilmu-ilmu teologi dasar.
Pada Kurikulum 1965, tak ada kuliah Liturgika. Yang ada adalah Musik yang diberikan selama dua tahun pertama. Namun pada tahun V dan VI, setelah mahasiswa menyelesaikan Sarjana Muda, ada kuliah Teologi Praktika wajib dua semester, dan salah satu bagian Teologi Praktika pilihan.[42] Kemanakah “si cantik” liturgi itu dipindahkan? Besar kemungkinan Liturgika dimasukkan sebagai (istilah kurikulum 1965) one special part of Practical Theology. Pengampu kuliah ini: Abineno, disebut sebagai dosen Praktika,[43] ketimbang dosen Liturgika.
Kuliah liturgi tidak ada sama sekali dalam kurikulum 1970; juga tidak dimasukkan ke dalam Praktika. Sementara kuliah Paduan Suara dan Hymnologi diberikan dua semester.[44] Alasannya, tidak jelas. Kemungkinan, bagian dari mata kuliah liturgi dikategorikan sebagai “mata pelajaran yang tidak dinamakan lagi dengan istilah umum dan biasa (mis. oikumenika, dogmatika, sosiologia, exegese), melainkan dengan rumusan thematik”.[45] Namun konfirmasi hal tersebut belum saya peroleh.
Sepuluh tahun kemudian, kurikulum 1970 direvisi dengan dipergunakannya kurikulum 1981. Liturgi dan Hymnologi (masing-masing setengah semester) diberikan pada semester ke-2 tahun pertama.[46] Pada taraf ini, mahasiswa sama sekali belum memperoleh mata kuliah dasar, semacam Biblika, Historika, dan Sistematika, kecuali satu semester Pengantar Perjanjian Lama dan Pengantar Perjanjian Baru. Keadaan ini, mau tak mau “memaksa” dosen memberikan kuliah sangat minim (sekadar informasi dasar) tentang ilmu liturgi. Hal ini dikemukakan oleh Abineno, di bawah. Dapat dikatakan bahwa mahasiswa STT Jakarta yang menggunakan kurikulum 1970 dan kurikulum 1981 (sekitar 20 angkatan) hampir tidak memadai memperoleh pengajaran ilmu liturgi.
Lambat laun ilmu liturgi diberikan tempat yang baik setelah dibukanya Jurusam Musik Gereja (JMG) pada tahun 1994. Mahasiswa JMG wajib mengikuti dua semester Liturgika, yaitu: pengantar liturgi dan hari raya liturgi. Namun sesuai dengan namanya, porsi musik umum dan musik gereja menjadi mata kuliah keahlian mahasiswa. Sekalipun wajib dua semester, liturgi tetap dianggap sebagai mata kuliah teologi pelengkap, sejajar dengan biblika, historika, dan dogmatika yang juga diberikan kepada mahasiswa JMG. JMG kemudian dihapuskan pada tahun 1997.
Pendidikan liturgi menjadi salah satu primadona dalam kurikulum 1998. Perkuliahan STTJ dibagi dalam empat konsentrasi, yaitu: Sains, Pendidikan Kristiani, Pastoral, dan Liturgi dan Musik Gereja. Walaupun di sana-sini penempatan mata kuliah tidak pas― misalnya pengantar liturgi pada semester 3, di mana mahasiswa belum memperoleh sejarah gereja dan biblika yang memadai― jumlah kuliah liturgi cukup banyak disediakan baik sebagai mata ajar wajib maupun sebagai mata ajar pilihan.
Artikel ini ditulis pada akhir pemberlakuan keempat sistem konsentrasi tersebut. Ada pertimbangan bahwa beberapa mata kuliah liturgi tidak tepat guna dan akan dihapuskan.

2.2.2.2 Dosen-dosen liturgi
Dosen memberikan warna teologi tertentu dalam perkuliahan di kampus teologi. Profesor J.L. Ch. Abineno adalah dosen mata kuliah liturgi yang pertama di STTJ. Sebelumnya, Drs Pouw Ie Gan adalah dosen Praktika dan Sejarah Gereja pada 1953 – 1960.[47] Namun saya tidak memperoleh informasi apakah Ie Gan memberikan kuliah liturgi.
Abineno lulus dari Universitas Utrecht pada tahun 1956; ia kemudian menulis buku-buku liturgi. Disertasinya pun tentang liturgi, sekalipun ia mengambil mata ajar (vak) pokok Sejarah Gereja dan Sejarah Dogma di Belanda. Ia mengambil juga vak pelengkap: Perjanjian Baru dan Teologi Praktika.[48] Walaupun bukan buku pertama, Unsur-unsur Liturgia adalah bukunya yang terkenal dan beberapa kali mengalami cetak ulang. Hingga tahun 2004 ini telah terbit beberapa buku liturgi yang ditulis oleh beberapa orang lain, namun buku Unsur-unsur Liturgia tetap dicetak ulang.
Isi buku tersebut ― dan buku-buku liturgi lain yang ditulis Abineno ― merupakan buku yang mengulas dan menjelaskan liturgi menurut kaidah keilmuan. Buku tersebut menjadi koleksi perpustakaan setiap sarjana teologi dan pendeta, terutama alumni STT Jakarta. Namun, isi buku tersebut (sebagaimana isi buku-buku liturgi yang lain) tidak berpengaruh banyak pada pola pikir dan pengetahuan sang kolektornya dan apalagi bagi gereja-gereja Protestan di Indonesia. Hal yang sangat menonjol adalah penempatan doa syafaat. Gereja-gereja Protestan di Indonesia umumnya (setelah 38 tahun buku itu ditulis) menempatkan doa syafaat pada bagian sebelum khotbah atau setelah persembahan. Hanya beberapa gereja yang menempatkan syafaat pada bagian antara khotbah dan persembahan, sebagaimana dicatat dalam buku Abineno tersebut,[49] baik dalam isinya maupun pada daftar isinya.
Rupanya kuliah Prof Abineno lebih berpengaruh bagi mahasiswa ketimbang bukunya. Padahal kuliahnya, yang hanya berlangsung antara setengah sampai satu semester, diterima oleh si mantan mahasiswa pada 20-40 tahun lalu. Oleh karena sedikitnya waktu yang disediakan― padahal materi liturgi begitu besar dan luas ― isi kuliahnya hanya sekitar arti dari urutan ibadah, yaitu arti dari: introitus, votum, salam, khotbah, syafaat, dsb.
Hal ini dikemukakan oleh Abineno di akhir pemberlakuan kurikulum 1970. Ia kewalahan dengan beban kuliah yang “bertambah berat”, sehingga dosen praktika tidak mempunyai waktu lagi untuk dengan tenang memikirkan soal-soal praktis-teologis yang fundamental. “Oleh keadaan ini teologi praktika tidak mendapat kesempatan untuk membuktikan bahwa ia adalah suatu bagian yang integral dari ilmu teologi.” Pada gilirannya, hal ini akan merugikan perkuliahan di STTJ dan teologi praktika itu sendiri.[50] Tidak ajaib jika saat ini para pendeta bekas mahasiswanya menganggap liturgi adalah tata ibadah. Pengucapan dan penulisan salah kaprah masih lazim terjadi, misalnya: “liturgi ibadah Minggu” (=maksudnya: liturgi Minggu); “apakah kebaktian hari ini menggunakan liturgi” (=maksudnya: menggunakan kertas liturgi); “Tolong liturginya disimpan” (=maksudnya: kertas liturgi); “tata cara kebaktian” (=maksudnya: kebaktian), dsb.
Setelah Abineno, Pendeta Harry A. van Dop memberikan kuliah. Sekalipun Van Dop mempunyai gaya mengajar yang sangat berbeda dari Abineno, namun penekanan pada makna liturgi―sebagaimana garis tradisi ragam studi liturgi di Belanda―lebih kuat ketimbang studi naskah dan studi praktis. Sederhananya, mahasiswa STT Jakarta lulusan tahun 1965 hingga 2000 mendapat kuliah sewarna, yakni ragam studi liturgi pastoral.
Baru pada awal tahun 2000-an, sejalan juga dengan perkembangan dosen (antara lain alumna Amerika [Ester Pudjo] dan alumnus Italia [Nico Hayon, SVD], di samping van Dop [alumnus Utrecht] dan saya [alumnus STT Jakarta]), studi praktis mulai diajarkan. Mata kuliah studi praktis (semisal: Memimpin Ibadah, Teks Ibadah, Seni Liturgi) dan mata kuliah studi naskah (semisal: Sejarah Rumpun Liturgi, Tata Waktu Ibadah) melengkapi mata kuliah liturgi pastoral (yakni: Liturgika, Tata Waktu, Liturgi dan Kehidupan, dan Musik Gereja). Namun sayang, perkembangan ini tidak ditopang oleh buku-buku yang memadai, sekalipun selalu diupayakan tersedia. Alasannya ... biasa: “kurang biaya.”
Dosen liturgi di STTJ mengalami pasang surut. Setelah Abineno, H.A. van Dop menjadi dosen biasa sekitar 12 tahun (1988-2000); sebelum menjadi dosen luar biasa hymnologi sejak awal 1980. Ester Pudjo adalah dosen biasa sejak tahun 2000, namun tidak aktif sejak awal tahun 2003 karena melanjutkan studinya ke Amerika. Penggantinya adalah Christina Mandang, alumna vak musik (gereja) di Belanda. Niko Hayon kembali ke Flores pada 2002 setelah mengajar di STTJ sejak 1998. Praktis, kini tinggal Christina Mandang dan saya (dosen luar biasa) sebagai dosen-dosen liturgi. Semoga keadaan transisi ini dapat segera teratasi demi lajunya perkuliahan liturgi.

2.2.3 Pendidikan liturgi di Seminari-seminari Protestan di Indonesia
Oleh karena belum ada dialog, studi banding, atau semacam itu di antara kurikulum liturgi antar sekolah tinggi di bawah naungan gereja-gereja Protestan, maka saya tidak bisa memaparkannya secara solid. Namun dalam satu-dua kesempatan, saya bertemu dengan beberapa pihak yang berurusan dengan kuliah liturgi. Oleh karena keprihatinan akan “hasil” liturgi yang diselenggarakan oleh para alumni, termasuk alumni STT Jakarta, di gereja-gereja Protestan di Indonesia, maka saya coba menyampaikan visi tentang pendidikan liturgi.
Pendidikan liturgi formal yang diselenggarakan oleh seminari, sekolah teologi, atau fakultas teologi di Indonesia menyangkut tiga hal, yaitu: a) kurikulum, b) dosen, dan c) buku-buku penunjang.

2.2.3.1 Kurikulum
Kurikulum liturgi di seminari-seminari Protestan berupa unsur-unsur liturgi. Mahasiswa memperoleh pengetahuan tentang makna dari votum, salam, alasan susunan liturgi, dsb. Bobot perkuliahan sekitar tata ibadah, namun tidak pada teologi liturgi. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan satuan kredit (antara 2 dan 4 sks) yang diberikan kepada mahasiswa, terlalu dininya mata kuliah liturgi diberikan, dan karena liturgi memang dianggap sebagai soal unsur ibadah dan alasan penempatan unsur-unsur tersebut.

2.2.3.2 Dosen-dosen
Sejauh ini saya belum mendengar ada dosen liturgi Protestan yang berjenjang S-3 (D.Th., Ph.D., SLD); mungkin ada, tetapi sangat sedikit jumlahnya. Dosen yang berjenjang S-2 (M.Th., M.A.Th., Th.M., SLL) masih lumayan jumlahnya. Saya tidak menilai bahwa dosen-dosen S-2 kurang berdedikasi dan kurang berbobot dalam pengajaran ketimbang dosen-dosen S-3. Namun jelas bahwa hal itu merupakan indikasi bahwa di Indonesia peminat bidang liturgi masih sangat sedikit jumlahnya, apalagi peminat liturgi dari jenjang S-3. Para sarjana teologi belum rela berlelah-lelah menghabiskan kesempatannya belajar untuk mendalami ilmu yang satu ini, alih bidang-bidang teologi yang lain.
Itulah juga sebabnya, dari jumlah dosen liturgi yang sedikit tersebut, sebagian dosen adalah bukan “orang liturgi”. Beberapa dosen yang mengampu ilmu liturgi lebih menguasai bidang sistematika,[51] eklesiologi, dan musik gereja. Maksud saya, kehadiran dosen bukan “orang liturgi” tersebut tidak serta merta mengurangi bobot ilmu liturgi itu sendiri. Tidak! Tetapi keadaan ini, sekali lagi, mencerminkan hal yang memprihatinkan: tidak berlakunya hukum ekonomi demand dan supply. Ilmu liturgi dibutuhkan, tetapi ketersediaan pengajarnya tidak memadai.

2.2.3.3 Buku-buku liturgi di perpustakaan
Jumlah dan pilihan buku-buku liturgi di perpustakaan STT Jakarta masih cukup memadai untuk studi S-1, namun tidak untuk studi lanjutan. Jumlah dan pilihan buku-buku liturgi di seminari lain bahkan tidak cukup untuk studi S-1. Seminari yang berada di sekitar Yogyakarta dan Jakarta lebih beruntung. Di Yogyakarta, ada dua perpustakaan yang menyediakan referensi liturgi untuk penelian, yaitu Kolese Ignatius-Kotabaru dan Seminari Tinggi St Paulus-Kentungan.
Sedikitnya jumlah dan pilihan buku liturgi tersebut memunculkan dilema. Pada satu pihak, perkuliahan tatap muka dengan dosen menjadi andalan besar bagi mahasiswa dalam meraup pengetahuan ilmu liturgi. Pada pihak lain, penelitian ilmu liturgi menghadapi kendala besar. Ujung-ujungnya, seberapa pun besar minat seorang teolog atau pendeta jemaat terhadap ilmu liturgi, ia hanya memiliki “warisan” dari bangku kuliahnya.

3. Ilmu liturgi di dalam teologi Praktika
Hingga tahun 1990-an di STT Jakarta, liturgi dimasukkan sebagai mata kuliah praktika. Lalu berangsur-angsur mata kuliah ini semakin jarang dikaitkan dengan teologi praktika. Entah mengapa,[52] semula saya sangat tidak nyaman bahwa liturgi adalah teologi praktika. Mungkin alasannya adalah opini masyarakat teologi waktu itu sebagaimana dibantah dalam kutipan berikut ini:

Bidang Praktika tidak dapat disamakan dengan belajar dan menghafalkan sejumlah petunjuk teknis untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan di jemaat atau masyarakat. Bidang Praktika tidak menyediakan “pengetahuan instan” atau “pengetahuan resep”, kendati disadari bahwa dewasa ini makin marak gejala mencapai “pengetahuan resep”.[53]

Opini masyarakat (= praktika adalah ilmu yang menyediakan pengetahuan instan dan resep) inilah yang turut memberikan andil tidak berminatnya mahasiswa terhadap liturgi. Opini masyarakat tersebut tidak mengakui bahwa teologi praktika adalah benar-benar teologi, yang tanpanya ilmu teologi kehilangan tujuannya. Teologi praktika masih dipandang sekadar menyediakan “resep-resep” atau nasihat-nasihat praktis.[54] Bidang Praktika saja masih dianggap “anak bawang”, apalagi liturgi. Ilmu liturgi khususnya, dan bidang Praktika umumnya, dianggap hanya semacam penyederhanaan dari bidang-bidang teologi “utama”, semacam Biblika dan Sistematika, agar dapat diterapkan dalam kehidupan bergereja.[55]
Opini tersebut masih dipegang oleh sementara teolog atau mahasiswa teologi. Ironisnya, ada pula mahasiswa yang hendak mengambil bidang liturgi masih berpandangan demikian. Dia cukup mengetahui bahwa dalam liturgi ada hal-hal “ini boleh, itu jangan”, atau hal-hal “ini harus, itu dilarang,”[56] tanpa sama sekali menguasai Biblika, Sistematika, dan Historika. Padahal, matang dalam ilmu-ilmu teologi “mentah” tersebut menjadi prasyarat untuk dapat memahami liturgi sebagai teologi,[57] bukan seperangkat aturan yang begitu saja dilaksanakan oleh gereja.
Ilmu liturgi memang harus praktis, tetapi jangan instan dan sebagai resep, sehingga berkesan murahan dan enteng. Beberapa mahasiswa teologi seringkali memandang remeh kuliah liturgi, namun kemudian terbengong-bengong setelah mengikuti 2-3 kali tatap muka perkuliahan. Ternyata studi liturgi tidak sesederhana pandangan mereka selama ini. Ada sejumlah buku pegangan, baik umum maupun khusus, yang harus setidaknya sudah dibaca oleh mahasiswa.

4. Relevansinya
Bagaimanakah kita pada masa kini merelevansikan pendidikan liturgi? Menurut hemat saya, perubahan dan pengembangan kurikulum harus berpaut pada dua jenis, yaitu: 1) Yang tetap; dan 2) Yang berubah.

1) Mata kuliah pengantar liturgi dan musik gereja merupakan kuliah yang harus tetap ada di dalam setiap perubahan kurikulum, walaupun isinya harus menyesuaikan diri dengan konteks zamannya.
2) Mata kuliah yang berubah seharusnya tidak bergantung pada perubahan kurikulum di STT Jakarta yang terjadi sekali dalam lima atau sepuluh tahun. Mata kuliah Sejarah Rumpun Liturgi yang bersifat penelitian, mata kuliah Memimpin Ibadah yang praktis dapat dibuka-tutup di kala diperlukan. Ukuran perlu-tidaknya adalah jemaat. Gereja-gereja pendukung berkontribusi berupa informasi akan kebutuhan pengajaran ilmu liturgi di sekolah teologi.

Tampilan kombinatif kedua jenis kurikulum tersebut tidak serta merta menghilangkan praduga atau anggapan lama, bahwa liturgi adalah ilmu usang. Maka dalam bayang-bayang praduga tersebut, pendidikan liturgi formal harus mengarah kepada mendidikan umat secara non-formal tentang berliturgi.

4.1 Pendidikan liturgi formal: materi usang?
Ilmu liturgi seringkali dianggap ilmu usang yang cuma mengulang-ulang bahan yang ada, tanpa perubahan, tanpa pembaruan. Ilmu liturgi dianalogikan dengan seseorang yang membacakan kepada anak-anaknya sebuah koran 20 tahun lampau. Semuanya sudah serba tertulis dan tersedia.
Menilik pertemuan para Jesuit di Roma dan narasumber Robert Taft bahwa “liturgi merupakan mulut gereja, bukan hanya lipstiknya”, maka kini sudah saatnya para pemimpin jemaat membarui cara pandang terhadap liturgi. Artinya, pendidikan liturgi tidak boleh hanya mengulang atau melegalisasi yang sudah atau sedang ada. Liturgi adalah teologi yang dirayakan dan disaksikan oleh gereja kepada dunia. Oleh karena itu liturgi harus disiapkan, baik melalui hal-hal praktis maupun melalui lembaga pendidikan teologi.
Ada baiknya mempertimbangkan untuk mengadakan pertemuan di antara dosen-dosen liturgi seluruh Indonesia sebagaimana dilakukan oleh Gereja Katolik. Ajang ini akan memperkaya cakrawala dan pengetahuan sesama dosen liturgi, baik yang mengajar di kota-kota besar maupun di pelosok tanah air. Siapa tahu pertemuan-pertemuan ini dapat menciptakan usulan sebuah kurikulum dan silabus pendidikan liturgi.

4.2 Penerapan pendidikan liturgi non-formal dewasa ini
Sistem pendidikan liturgi non-formal telah sejak lama diabaikan oleh gereja-gereja Protestan di Indonesia. Adalah hal sulit melakukan lompatan harapan, kecuali menempuh dua hal berikut ini.
1. Tugas umat: Memperhatikan selebran (pemimpin liturgi atau imam) yang baik. Di Indonesia, biasanya selebran-selebran ini dijumpai di Gereja Roma Katolik, Gereja Ortodoks, dan Gereja Anglikan. Konsekuensinya, selebran Protestan juga sepatutnya menampilkan liturgi secara baik, agung, indah, dan inspiratif.
2. Tugas penyelenggara liturgi: Menyelenggarakan bina, lokakarya, atau perkuliahan yang khusus melatih hal-hal praktis merayakan liturgi. Di STT Jakarta, bagian tersebut ditempatkan dalam mata kuliah Memimpin Ibadah, Membaca Teks Ibadah, dan Seni Liturgi.

5. Penutup
Ilmu liturgi di gereja-gereja Protestan di Indonesia belum terbangun betul dari tidur panjangnya. Masalahnya adalah bagaimana mungkin umat belajar beribadah jika yang ditampilkan dalam liturgi bukan tampilan selebrasi yang baik. Pertanyaannya, pentingkah menampilkan liturgi yang baik di hadapan jemaat?
Sebuah penelitian tentang makna perjamuan kudus[58] di antara 61 gereja Protestan arus utama, 16 gereja Pantekosta, dan 37 Gereja Roma Katolik menunjukkan gambaran yang menarik. Sebagian besar umat Katolik memahami perjamuan kudus sebagai persembahan. Persembahan tersebut dipahami sebagai pemberiaan yang didorong oleh kepeduliaan terhadap sesama.[59] Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa tampilan liturgi merupakan salah satu sarana mengajarkan teologi kepada umat. Pada gilirannya, pendidikan liturgi akan membangun teologi umat dan gereja.



Daftar Pustaka

B.F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi? Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi, BPK GM 2003.
Carlos M.N. Eire, War Against the Idols: The Reformation of Worship from Erasmus to Calvin, Cambridge 1986.
Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, BPK GM 2000.
Edward Foley, Foundations of Christian Music: The Music of Pre-Constantinian Christianity, Alcuin 1992.
Ester A. Sutanto, Liturgi Meja Tuhan: Dinamika Perayaan-Pelayanan, Karya Tulis Akhir Magister Ministri di STT Jakarta 2001 (tidak diterbitkan).
H.A. van Dop, “Liturgi Gereja-gereja Calvinis dan Perkembangannya di Indonesia”, Jurnal Penuntun Vol 5, no 18, 2002.
J. Riberu (penerjemah), Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, MAWI 1983.
Komisi Liturgi KWI, Silabus Kuliah Liturgi: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi & Institut Pastoral Kateketik, 1998.
Martin Luther, Katekismus Besar, BPK GM 1994.
Pontificio Ateneo S. Anselmo, Calendario 1995-1996, Roma 1995.
Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, I, BPK GM 1991.
S. Wismoady Wahono, P.D. Latuihamallo, Fridolin Ukur (para editor), Tabah Melangkah: Ulang Tahun Ke-50 STT Jakarta; J.L.Ch. Abineno: Theologia Praktika, 127-143, STT Jakarta 1984.
______________, Tabah Melangkah: Ulang Tahun Ke-50 STT Jakarta (Pelengkap), STT Jakarta 1984.
St Séverin dan St Joseph, What Is The Liturgical Movement? London 1964.
Sularso Sopater, Apostolē: Pengutusan, STT Jakarta 1987.
Thomas van den End (penyeleksi), Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme, BPK GM 2000.
W.F. Dankbaar, Calvin: Djalan Hidup dan Karjanja, BPK 1967.
W.J. Kooiman, Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci dan Reformator Gereja, (penerjemah: P.S. Naipospos) BPK GM 1986.
é
Situs-situs Internet
Mirifica e-News - ORBI (http://mirifica.net/): Liturgi Adalah Mulut Gereja, Bukan Hanya Lipstik, Roma 2002.
STT Jakarta (http://www.sttjakarta.co.id/)


Catatan-catatan
[1] Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen I, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 133-134.
[2] Ibid., 41-42.
[3] Edward Foley menginformasikan “pembacaan secara leksionaris (pembacaan Kitab Suci secara terencana dan utuh) mulai diberlakukan di beberapa sinagoge [Edward Foley, Foundations of Christian Music: The Music of Pre-Constantinian Christianity (Alcuin, 1992), 43].
[4]Sebagaimana ditampilkan oleh Lukas 4:16-21 tentang Yesus yang bertugas membaca Alkitab di sinagoge pada hari Sabat. Hal ini dikemukakan oleh Foley sebagai “a series of well choreographed ritual actions and procedures surrounding such reading” [Ibid.].
[5] Ibid., 40-41.
[6] Ibid., 53-54.
[7] Boehlke, 161, 163-165, 172-173, 175-177.
[8] Ibid., 181.
[9] Ibid., 194, menginformasikan bahwa imam buta huruf dapat tetap memimpin liturgi karena ia hafal betul formula dan urutan liturginya.
[10] Ibid., 348.
[11] W.J. Kooiman, Martin Luther: Doktor dalam Kitab Suci dan Reformator Gereja, terj. P.S. Naipospos (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 124-125.
[12] Boehlke, 348-350; Ibid., 125-127, 130-131: menginformasikan bahwa nyanyian Luther tersebar ke segala penjuru dan dinyanyikan oleh berbagai golongan. Timbul kesan bahwa sifat nyanyian itu sendiri bukan sebagai nyanyian liturgi, melainkan sarana kesaksian, kesukaan, dan perjuangan.
[13] Saya tetap mencatat bahwa Luther mengarang juga beberapa nyanyian liturgi, misalnya: Anakdomba Allah (KJ. 312), nyanyian Adven (KJ. 82, 98); dan H.A. Pandopo, Luther: Si Bulbul dari Wittenberg (Jakarta: BPK GM, 1983) mencamtumkan nyanyian Natal (33), Pentakosta (39), dan sebagainya.
[14] Martin Luther, Katekismus Besar (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), xi.
[15] Ibid., 1-2.
[16] Ibid., 13.
[17] Secara menyeluruh dicatat oleh Van den End [lihat Th. Van den End, Ragi Carita 2 (Jakarta: BPK GM 1989), 410-416].
[18] Van den End menulis bahwa Calvin pun sadar bahwa penjelasan terhadap liturgi tidak lazim waktu itu. “Saya tahu bahwa pendapat itu tampak janggal di mata mereka” [Ibid., 412-413].
[19] Kooiman, 126-127; Van den End menginformasikan bahwa HKBP memakai cara ini. Surat (Epistel) dijelaskan oleh Sintua dan Injil dikhotbahkan oleh Pendeta [Ibid., 189].
[20] W.F. Dankbaar, Calvin: Djalan Hidup dan Karjanja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1967), 62-63; Van den End, Ibid., 416-418, 443.
[21] Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 174; Van den End, Ibid., 189: “liturgi HKBP merupakan campuran unsur-unsur dari liturgi Uniert dan Calvinis.”
[22] de Jonge menginformasikan bahwa sampai sekarang Dienstboek tidak pernah diputuskan sebagai buku pegangan liturgis resmi untuk Gereja Hervormd Belanda [de Jonge, Ibid., 177]. Padahal, Rachman menginformasikan bahwa GKI Jabar menggunakan Dienstboek sebagai salah satu sumbernya dalam menyusun buku liturgi tahun 1967. Beberapa bagian dari buku liturgi tersebut masih digunakan oleh Jemaat-jemaat GKI SW Jabar hingga kini [Rasid Rachman, Liturgi Sakramen GKI Jabar (Skripsi S.Th., Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 1989), 70,]; dan Van den End mencatat tentang “peraturan GPI menuntut keseragaman” ibadah [Th. van den End, Ibid., 66,].
[23] de Jonge menginformasikan bahwa liturgi Calvinis Belanda yang ditiru oleh jemaat-jemaat di Indonesia sudah “berjalan” ke sana ke mari dan mengalami beberapa kali penyederhanaan, seperti memperpendek bagian setelah khotbah, mengurangi jumlah unsur-unsur liturgi, dan merangkum pengakuan dosa dan petunjuk praktis kehidupan ke dalam khotbah [de Jonge, Ibid., 174-175].
[24] J. L. Ch. Abineno menginformasikan bahwa khotbah menjadi unsur terpenting dan dominan dalam ibadah waktu itu. Gaya khotbah yang mirip pidato tersebut berisi pengajaran pokok-pokok iman Kristen, apologia, sikap terhadap pemerintah, dan sebagainya [J. L. Ch. Abineno, Sejarah Apostolat di Indonesia I, 62-63, dan Sejarah Apostolat di Indonesia II/1, 43-48,]
[25] Geoffrey Wainwright, “Doktrin Kristen/Teologi Sistematik,” Ambang Pintu Teologi, ed. Paul Avis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991) 54-55.
[26] H. A. van Dop, “Liturgi Gereja-gereja Calvinis dan Perkembangannya di Indonesia,” Penuntun Vol. 5, No. 18 (2002): 171.
[27] Baca keterangan St Séverin dan St Joseph, What Is The Liturgical Movement? (London: 1964), 11-17.
[28] Saya membandingkan antara Calendario 1995-1996 dari Pontificio Ateneo S. Anselmo-Roma, (1995) 16, dan pengamatan pribadi. Calendario mensyaratkan mahasiswa la Licenza (S-2) menguasai dua dari tiga bahasa: Inggris, Perancis, dan Jerman; dan mahasiswa il Dottorato (S-3) menguasai tiga dari empat bahasa: Inggris, Perancis, Jerman, dan Spanyol.
[29] Séverin & Joseph, What Is The Liturgical Movement?, 18-20; informasi dari Calendario, 18-21; ada kuliah Kritik dan Hermeneutik Dokumen-dokumen Liturgi; Studi Teks-teks Latin; Studi Liturgi Patristik; Perjalanan Etheria; Studi Bizantin dalam Perjanjian Baru; dan sebagainya.
[30] Séverin & Joseph, Ibid., 20-22.
[31] Dalam uraian Eire, 267-268, tentang penolakan kaum Calvinis terhadap gambar sebagai berhala.
[32] Berdasarkan buku B. F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi?: Pengantar ke Dalam Ilmu Teologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 141. Informasi van Dop, “ibadah gereja pada zaman VOC tidak lebih dari rangkaian formalitas yang membosankan dengan khotbah yang tidak relevan.” [van Dop, “Liturgi Gereja-gereja Calvinis dan Perkembangannya di Indonesia,” 176]; juga dicatat oleh Frank L. Cooley bahwa pada tahun 1951, liturgi masih dipandang sebagai mengubah-ubah urutan ibadah [Frank L. Cooley, Benih Yang Tumbuh XI: Gereja Masehi Injili Timor (1976), 60].
[33] Pertemuan Internasional tentang Liturgi, Liturgi Adalah Mulut Gereja, Bukan Hanya Lipstik, [sumber on-line] (Roma: i-MIRIFICA, NCR, Zenit.org, 2002); tersedia di http://www.mirifica.net/; Internet.
[34] MAWI, Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II, terj. J. Riberu (MAWI, 1983), 8.
[35] Ibid., 260-261.
[36]Geoffrey Wainwright, “Doktrin Kristen/Teologi Sistematika,” 54-55.
[37] Pertemuan Internasional tentang Liturgi, Liturgi Adalah Mulut Gereja, Bukan Hanya Lipstik.
[38] Sebagaimana dilaporankan Karl Edmund Prier, Kongres Internasional tentang Inkulturasi Liturgi, Warta Musik 05 (2004): 139-141. Hal ini sudah sering dilakukan oleh kalangan Protestan Ekumenikal, misalnya: 1987 di Manila, 1992 di Singapura, dan di Swis 1992, dan 2002 di Manila, 1993 di Rio Jeneiro, 1996 di Hongkong, 1997 di Tainan, dsb.
[39] Komisi Liturgi KWI, Silabus Kuliah Liturgi: Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi & Institut Pastoral Kateketik (Komisi Liturgi KWI, 1998), 10, 26.
[40] MAWI, 7-8.
[41] S. Wismoady Wahono, et al., ed., Tabah Melangkah: Ulang Tahun Ke-50 STT Jakarta, pelengkap (Jakarta: STT Jakarta, 1984), 21-24.
[42] Ibid., 25-28.
[43] Ibid., 198.
[44] Ibid., 31-36.
[45] Ibid., 43-44.
[46] Ibid., 56.
[47] Ibid., 109.
[48] Sularso Sopater, ed., Apostolē: Pengutusan (Jakarta: STT Jakarta 1987), 317-318.
[49] J.L.Ch. Abineno, Unsur-unsur Liturgia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 6, 89, 93. Contoh: pengalaman saya ketika mempersiapkan liturgi GKI hingga 2002, kami memindah-tempatkan doa syafaat pada antara pemberitaan firman dan persembahan. Namun susunan seperti itu ditolak oleh persidangan sinode GKI 2002. Dengan demikian GKI tetap menempatkan doa syafaat setelah persembahan. Baru pada tahun 2006, GKI menempatkan doa syafaat di tempat yang tepat.
[50] J. L. Ch. Abineno, Theologia Praktika Abineno, dalam Tabah Melangkah, ed. S. Wismoady Wahono, et al. (Jakarta: STT Jakarta, 1984), 128-129.
[51] Hal ini juga terjadi di seminari Katolik, misalnya Emanuel Martasudjita – menulis banyak buku liturgi – adalah dosen dogmatika. STF Driyarkara pernah mengalami hal itu selama beberapa tahun.
[52] Mungkin karena tidak ada dosen sekualifikasi Abineno (non-aktif sejak awal tahun 1990-an) yang menguasai ilmu-ilmu pastoral dan liturgi.
[53] Drewes & Mojau, 140.
[54] Abineno, Theologia Praktika, 131-132.
[55] Drewes & Mojau, 139-140.
[56] Seperti pandangan R. Soedarmo bahwa liturgika adalah mempelajari aturan-aturan kebaktian [R. Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 19].
[57] Drewes & Mojau, 141.
[58] Ester A. Sutanto, Liturgi Meja Tuhan: Dinamika Perayaan-Pelayanan (Karya Tulis Akhir Magister Ministri, Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 2001), 118.
[59] Ibid., 119.

*) Telah diterbitkan dalam Jurnal Teologi STT Jakarta 2004

Tidak ada komentar: