Minggu, Desember 02, 2007

PERBENDAHARAAN MUSIK KONTEKSTUAL

PERAN KIDUNG JEMAAT, NYANYIKANLAH KIDUNG BARU, PELENGKAP KIDUNG JEMAAT, DAN GITA BAKTI
BAGI LITURGI GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan
Geliat menghadirkan musik kontekstual untuk keperluan liturgi telah mengemuka sejak tahun 1970-an. Kemunculan fenomena tersebut seiring dengan geliat gereja-gereja ekumenis di negara-negara dunia ketiga yang belum lama merdeka dari kolonialisme yang cukup lama untuk berdikari dan bermandiri dalam berteologi. Teologi barat yang telah dikenal oleh gereja-gereja di negara dunia ketiga tampaknya akan mulai tergeser dengan mulai terbangun teologi khas atau kontekstual di negara dunia ketiga.[1] Konsekuensinya, secara praktis berteologi adalah tercipta, ketersediaan, dan terpakai nyanyian-nyanyian kontekstual untuk keperluan ibadah.
Di Asia, misalnya, penerbitan beberapa nyanyian jemaat yang berciri dan berpola Asia cukup banyak. Sejak tahun 1973 yakni dengan terbitnya East Asia Christian Conference Hymnal (EACC) hingga tahun 2000 yakni dengan terbitnya Sound The Bamboo: Revised Edition (STB) telah terkumpul ratusan nyanyian jemaat Asia dalam empat-lima buku nyanyian jemaat.[2] Jumlah kecil tersebut belum termasuk buku-buku yang diterbitkan untuk Gereja-gereja di Australia, Selandia Baru, Taiwan, Indonesia, dan negara-negara di Asia dalam bahasa setempat. Sebut saja, misalnya, Faith Forever Singing dan Alleluia Aotearoa (Selandia Baru). Tidaklah sesumbar kata apabila saya katakan bahwa nyanyian jemaat kontekstual dan pribumi terhampar bagai bintang di langit dan pasir di pantai; jumlahnya tak terhitung!

Di Indonesia sendiri ada cukup banyak buku nyanyian yang diterbitkan sejak tahun 1980-an, baik berbahasa Indonesia maupun daerah, baik nasional maupun sinodal. Dalam tulisan ini saya memilih empat buku nyanyian jemaat berbahasa Indonesia, yaitu Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Kidung Baru, Pelengkap Kidung Jemaat, dan Gita Bakti. Keempat buku tersebut akan saya rujuk guna memasukkan kategori nyanyian jemaat kontekstual.

I. Nyanyian jemaat kontekstual
Selanjutnya, beberapa “serba dua” yang perlu mendapat perhatian dalam nyanyian jemaat kontekstual.
Nyanyian jemaat menyangkut dua hal, yaitu: syair dan lagu. Dalam musik gereja, syair berperan sangat penting, sebab ia menyampaikan pemberitaan dan pengajaran. Ketika menyanyikannya, jemaat mengaminkan dan memberitakan isi nyanyian jemaat kepada dunia.[3] Oleh karena itu adalah penting bagi gereja untuk memperhatikan dengan seksama pemilihan syair untuk perbendaharaan (repertoire) nyanyian jemaat, sebab pemilihan tersebut merupakan cerminan teologi gereja.[4]
Nyanyian jemaat kontekstual, menurut hemat kami, berkaitan dengan dua hal lain, yaitu: konteks liturgi dan konteks budaya. Konteks liturgi menyangkut unsur-unsur liturgi yang bersifat universal. Sementara konteks budaya menyangkut budaya di mana liturgi tersebut dirayakan; oleh karenanya ia bersifat kontekstual atau setempat. Kedua hal tersebut: universalitas dan kontekstualitas, teramu di dalam nyanyian jemaat kontekstual.
Dalam perayaan liturgi, nyanyian jemaat terbagi dalam dua jenis besar, yaitu: ordinarium dan proprium. Ordinarium adalah nyanyian liturgi yang bersyair tetap, semisal: haleluya, amin, Kyrie-gloria, Pater noster, Agnus Dei, dsb. Dalam istilah lain, ordinarium sering disebut musik liturgi. Proprium adalah nyanyian jemaat yang bersyair tidak tetap. Mudahnya, nyanyian jemaat di luar ordinarium adalah proprium, semisal introitus, syukur, persembahan, pengutusan, dsb. Ibarat: jika ordinarium adalah makanan pokok semisal nasi, maka proprium adalah lauk pauknya.
Kecuali “amin” dan “haleluya”, gereja-gereja kita belum mempraktekkan secara betul pemilihan nyanyian jemaat ordinarium ini. Beberapa kesalahpenempatan masih sering terjadi. Misalnya: Kyrie eleison dinyanyikan terlepas kaitannya dengan Gloria; Pater noster tidak dinyanyikan sebagai penutup doa perjamuan kudus yang diikuti dengan salam damai; pemecahan roti tidak direspons dengan nyanyian Agnus Dei, tidak tersedianya Pater noster (Doa Bapa Kami) dalam buku-buku nyanyian jemaat Protestan berbahasa Indonesia, dsb. Hal tersebut menyebabkan nyanyian jemaat seringkali justru tidak membangun suasana liturgis dalam menciptakan suasana agung dan khidmat. Ibarat orang makan bermacam-macam makanan, namun tanpa karbohidrat. Hasilnya, kurang tenaga. Liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia seringkali tidak menimbulkan gairah umat beribadah oleh karena pemilihan nyanyian jemaat ordinarium yang banyak kekurangan di sana-sini.
Sementara proprium berfungsi untuk menyanyikan perikop Alkitab yang dibacakan pada hari kebaktian tersebut. Proprium memberikan afeksi dari bacaan Alkitab, sehingga memperkuat pesan Alkitab. Namun kendalanya, sangat tidak banyak nyanyian propirum yang berfugsi untuk menyanyikan perikop-perikop Alkitab. Contoh kasus Kidung Jemaat. Perikop dari Perjanjian Lama sangat sedikit yang disyair-lagukan oleh para penyair. Terbanyak adalah nyanyian jemaat yang berdasarkan Mazmur, dan kedua terbanyak adalah perikop-perikop dari Yesaya. Selebihnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan tebalnya kitab-kitab dalam Perjanjian Lama. Hal ini mengindikasikan bahwa perikop Perjanjian Lama kurang menyentuh rasa himnologis para penyair nyanyian jemaat.
Adanya proprium adalah kesempatan bagi para pujangga gereja untuk menampilkan segi kontekstual nyanyian jemaat. Sejauh ini, menurut hemat saya, sangat sedikit nyanyian jemaat proprium yang memberikan nuansa konteks seperti “Sayur Kubis Jatuh Harga” (KJ 333). Nyanyian jemaat tersebut dibuat berdasarkan Habakuk 3:17-19; ia kontekstual bukan hanya pada lagu, tetapi juga pada syairnya yang menggubah nas Alkitab.

II. Kategori nyanyian jemaat dalam buku-buku nyanyian
Ada delapan kategori nyanyian jemaat yang terdapat dalam keempat buku KJ, NKB, PKJ dan GB, yaitu:
1. Lagu kontekstual, syair tidak kontekstual, tidak berdasarkan nas Alkitab.
2. Lagu kontekstual, syair kontekstual, tidak berdasarkan nas Alkitab.
3. Lagu tidak kontekstual, syair kontekstual, berdasarkan nas Alkitab.
4. Lagu tidak kontekstual, syair tidak kontekstual, tidak berdasarkan nas Alkitab.
5. Lagu kontekstual, syair kontekstual, berdasarkan nas Alkitab.
6. Lagu tidak kontekstual, syair tidak kontekstual, berdasarkan nas Alkitab.
7. Lagu kontekstual, syair tidak kontekstual, berdasarkan nas Alkitab.
8. Lagu tidak kontekstual, syair kontektual, tidak berdasarkan nas Alkitab.

Dalam pemaparan ini, saya membatasi kategori menurut terminologi subjektif. “Lagu kontekstual” adalah bergaya Indonesia atau lahir dari sari pati budaya Indonesia; sekalipun tidak harus pentatonik. “Lagu tidak kontekstual” adalah lagu yang bukan karya orang Indonesia, atau tidak bernuansa Asia, atau yang jelas berasal dari luar Asia. “Syair kontekstual” adalah syair yang mengisahkan persoalan konkret tentang kondisi konteks atau locus Indonesia, semisal kemanusiaan, keadilan, lingkungan, dsb. “Syair tidak kontekstual” adalah yang berisi vertikalisme, mentah-mentah mengutip nas Alkitab, atau tanpa pesan konteks. “Berdasarkan nas Alkitab” adalah syair yang mengisahkan tentang satu perikop Alkitab, atau refleksi yang jelas berdasarkan perikop tertentu. “Tidak berdasarkan nas Alkitab” dapat berarti syair yang terdiri dari beberapa kutipan ayat atau sama sekali merupakan refleksi rohani penyair. Kreativitas penyair tertuang ketika ia memperkaya nas Alkitab dengan konteks.
Untuk menguji keabsahan kedelapan kategori di atas, saya menggunakan empat buku nyanyian jemaat dalam bahasa Indonesia, yaitu: Kidung Jemaat (KJ), Nyanyikanlah Kidung Baru (NKB), Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ), dan Gita Bakti (GB). Pemilihan keempat buku tersebut terkait dengan alasan bahwa isi nyanyian jemaat di dalamnya beragam, baik zaman penciptaan maupun budaya setempat sang pencipta. Selain itu, keempat buku tersebut digunakan oleh banyak Gereja-gereja Protestan di Indonesia dewasa ini.[5]

II.1. Lagu kontekstual, syair tidak kontekstual, tidak berdasarkan nas Alkitab merupakan jumlah yang cukup dominan digunakan oleh jemaat untuk mengklaim bahwa nyanyian jemaatnya telah kontekstual. Contoh: PKJ 227 Andaikan Surya Pagi Tersembunyi. Sekalipun lagunya tidak pentatonik, namun penciptanya yang orang Indonesia yang menjadi alasan saya memasukkan nyanyian ini di sini; PKJ 231 Di Dalam Suka, Di Dalam Duka dengan lagu pentatonik (do-re-mi-sol-la).

II. 2. Lagu kontekstual, syair kontekstual, tidak berdasarkan nas Alkitab dapat dijumpai dalam NKB 214 atau GB 75 Tuhan, ‘Kau Telah Kurniakan. Lagu pentatonik (do-re-mi-sol-la) ini mengisahkan persoalan konteks zaman tentang alam yang dirusak oleh nafsu serakah manusia. Sekalipun sulit mencari landasan nas Alkitab, refleksi teologis penyairnya: M Karatem, atas Kejadian 1 – 3 cukup dalam dan terus terang. PKJ 237 Kenapa Timbul Perpecahan dibuat dengan beberapa nas Alkitab yang tidak saling berhubungan, namun dirangkai oleh penyair untuk memperkuat tema. Melalui PKJ 263 Yesus Kristus Kehidupan Dunia, PKJ 264 Apalah Arti Ibadahmu, dan PKJ 265 Bukan Kar’na Upahmu, para penyair menyampaikan refleksi teologis yang tidak menggurui. Penyair juga menyampaikan kesaksiannya: KJ 337 Betapa Kita Tidak Bersyukur.

II.3. Lagu tidak kontekstual, syair kontekstual, berdasarkan nas Alkitab. Berbeda dengan karangan Karatem tadi (NKB 214/GB 75), karangan sebelumnya NKB 217 atau GB 3 Semua Yang Tercipta lebih menunjukkan kejelasan dasar nas Alkitab, yakni Mazmur 148. Walaupun lagunya belum kental keindonesiaannya, refleksi penyair tentang dosa dan pengharapan membungkus nyanyian jemaat menjadi kontekstual.
Mazmur 148 juga dinyanyikan secara reflektif dalam NKB 215 Nyanyikanlah Kidung Baru.[6] Rupanya Mazmur 148 memberikan banyak inspirasi bagi para penyair gereja; ada 16 nyanyian KJ berdasarkan Mazmur 1498 ini.[7]
GB yang diterbitkan pada tahun 2001, paling muda di antara tiga buku lain, memuat karya langka Isaac Watts Pujilah Tuhan, Hai Jiwaku (GB 81). Syairnya yang didasarkan pada Mazmur 9:19, 132:15; Yesaya 61:1; Lukas 4:18-19 merupakan kabar baik perihal keadilan dari Allah.

II.4. Lagu tidak kontekstual, syair tidak kontekstual, tidak berdasarkan nas Alkitab. Nyanyian kategori ini mungkin tidak tepat menjadi khazanah nyanyian jemaat Indonesia. Isinya berangkat langsung dari refleksi rohani sang pengarang. Kerohanian personal sangat terasa pada nyanyian jemaat dalam kategori ini. Namun sebuah nyanyian Ibrani KJ 72 Agungkan Allahmu, dan nyanyian Inggris KJ 328 Ya Tuhan, Hari T’lah Berakhir, terasa tidak elok jika dieliminasi begitu saja mengingat “menampung kekayaan rohani gereja di seluruh dunia sepanjang sejarah gereja sampai ke zaman kita.”[8] Terhadap KJ 72, ada yang coba memberi dasar yakni Ulangan 33:27[9] atau Keluaran 3:14,[10] namun menurut hemat saya tetap tidak pas. Terhadap nyanyian yang dilatarbelakangi oleh kejayaan imperialisme Inggris Raya: KJ 328 atau NKB 44, atas pemilihan Ratu Victoria dinyanyikan oleh puluhan ribu Gereja pada Diamond Jubilee Servise 1897.[11]
Demikian pula dengan GB 36 Lautan Rahmat Abadi. Nyanyian ini tetap enak dinyanyikan karena lagu tradisional Inggris. NKB 85 Kar’na Kasih-Nya. Kalau tokh terdapat kutipan-kutipan ayat Alkitab, NKB 85 ini menempatkan dalam bait 1. Namun bait 2 lebih merupakan refleksi rohani sang penyair.

II.5. Lagu kontekstual, syair kontekstual, berdasarkan nas Alkitab. Selain KJ 333 tadi, nyanyian pembuka KJ Haleluya, Pujilah yang syairnya berdasarkan Mazmur 150[12] ini juga dapat dikatakan berada dalam kristeria ini. Sang penyair lagu indah: Subronto K. Atmodjo, tidak menggubah banyak syair Mazmur ini, kecuali bagian “tabuhlah tifa dan gendang” yang sangat terasa Indonesianya ketimbang “pujilah dengan rebana”.

II.6. Lagu tidak kontekstual, syair tidak kontekstual, berdasarkan nas Alkitab, atau nyanyian jemaat “gaya lama” ini rupanya masih populer. Baik NKB maupun PKJ, dua buku yang secara terus terang berkata “menggali dan memanfaatkan kekayaan budaya sendiri”[13] dan “hasil karya para Komponis Kristen Indonesia”[14] ternyata memberikan kesan kuatnya gaya. Nyanyian pertama NKB adalah Come, Christians join to sing, sedangkan PKJ adalah Immortal, Invisible; kedua berasal dari abad ke-19. Ya, kelebihan nyanyian jemaat Barat abad-abad lalu adalah syair yang berdasarkan Alkitab. NKB 1 berdasarkan Wahyu 19:1[15] dan PKJ 1[16] berdasarkan Mazmur 90:1-4.

II.7. Lagu kontekstual, syair tidak kontekstual, berdasarkan nas Alkitab. Contoh jelas adalah nyanyian pertama GB atau nyanyian ke-4 PKJ Angkatlah Hatimu pada Tuhan. Syair di dalamnya berdasarkan nas Alkitab dengan “meramu” beberapa ayat), namun pesan konteks tidak kentara. Bait 1 kalimat pertama berdasarkan Mazmur 150 atau Matius 11:17, namun seluruh bait 1 lebih pada Mazmur 100. Bait 2 tampaknya diinspirasikan oleh Ibrani 3:7-11, 15-16.
Selebihnya bagian ini sebetulnya dapat diisi dengan ordinarium. Syair tidak kontekstual karena terikat kaidah ordinarium, namun lagu dapat diciptakan. Beberapa nyanyian Amin, Haleluya, Kyrie, dan Gloria, dalam keempat buku nyanyian tersebut menunjukkan keindonesiaan atau keasiaan. Namun ordinarium lain, semisal Sanctus-benedictus (KJ 310), Pater noster, Agnus Dei (KJ 311-312), dan Doksologi (KJ 303) tidak ada dalam keempat buku tersebut. Mungkin para penyair kita belum terinspirasi. Ketersediaannya pun, hanya dua buku karya Yamuger: KJ dan PKJ, yang agak lengkap memuatnya, walaupun lagunya tidak kontekstual. Ordniarium untuk perjamuan kudus: Sanctus-benedictus dan Pater noster kontekstual, dapat dilihat dalam Sound The Bamboo 128 berdasarkan misa Sunda, dan 116 dengan motif Jawa.
NKB 51 atau GB 25 Hiburkanlah, Hiburkan Umat-Ku merupakan keistimewaan. Kontrafak dari lagu tading ma ham botou na tading (selamat tinggal, kekasih) ini tetap kental dengan nuansa Batak-Simalungun. Bagi orang yang akrab dengan suasana Simalungun, syair nyanyian Adven ini tidak mampu menggantikan suasana lagu tradisional tersebut. Karena iramanya, lagu sejoli kasmaran yang akan berpisah demi perjuangan hidup dan untuk memperbaiki kehidupan ini masih sering digunakan untuk mengiringi kematian orangtua.[17]
NKB 2 Hai Mari Sembah adalah contoh lain. Nyanyian ini terdapat juga di KJ 4 dengan lagu Johann Haydn (kategori 6), namun lagu pentatonik (do-mi-fa-sol-si) dalam NKB dikerjakan kemudian oleh Daud Kosasih. Oleh karena Kosasih dan NKB itulah, nyanyian ini saya masukkan ke dalam kategori ini. Sekalipun dikaitkan dengan nas-nas lain – misal: Mazmur 99[18] atau Yohanes 4:23[19] - namun Mazmur 104:33[20] yang menjadi dasar nyanyian tersebut.
Yang murni menyampaikan nas Alkitab adalah PKJ 226 Adalah Seorang Menabur Benih dari Matius 13:1-23; PKJ 234 Jangan Kuatir dari Matius 6:25-34; KJ 334 Jangan Takut, Hai Tanah.

II.8. Lagu tidak kontekstual, syair kontekstual, tidak berdasarkan nas Alkitab dapat ditemui dalam NKB 216 Tuhan, Engkaulah Hadir. Penyair dari Bolivia ini merefleksikan imannya langsung kepada konteks tanpa melewati teks Alkitab. Refleksi iman itulah yang kemudian menjadi pesan dari nyanyian ini. Oleh karena itu, nyanyian jemaat seperti ini tetap relevan dinyanyikan dalam ibadah. Hal yang sejajar adalah KJ 336 Indonesia, Negaraku dan NKB 218 Indonesia, Tanah Airku; hanya unsur-unsur lagu kontekstual masih agak terasa.
Sebagai perbandingan adalah nyanyian Natal. Secara konvensional, O Holy Night, Stille Nacht Heilige Nacht, dan Adeste Fideles yang mengisahkan Kemahabesaran Sang Allah Yang Kecil itu cukup dikenal. Namun siapakah yang mengenal Hunger Carol[21] sebagai nyanyian Natal alternatif dan kontekstual. Sebagian syairnya berkisah demikian:

Sang Bayi lahir di antara orang-orang miskin,
dibaringkan di lantai kandang yang dingin,
mengetahui kelaparan umat manusia.

Setiap anak membutuhkan roti hingga dunia menjadi kenyang.
Natal harus dibagikan karena setiap anak membutuhkan roti.

Syair nyanyian yang ditulis oleh Sherley Murray dari Zaelandia Baru ini dilagukan oleh I-to Loh dengan lagu Smokey Mountain. Kedua tokoh musik gereja Asia-Pasifik ini telah bekerjasama dalam memperkaya nyanyian jemaat kontekstual Asia-Australia-Zaelandia Baru.
Smokey Mountain – nama lagu tersebut – diambil dari nama tempat pembuangan sampah yang sangat besar di Manila-Filipina. Di gunung sampah yang besar dan tingginya dapat mencapai lima meter itu terdapat perkampungan penduduk yang menggantungkan hidup dari sampah. Sangat mengharukan bahwa saya mengatakan nyanyian jemaat kontekstual lahir dari konteks nyata dunia jemaat, bukan melulu bernostalgia dengan malam kudus sunyi senyap yang cuma impian bagi penduduk Smokey Mountain. Jelas, pesan dari nyanyian jemaat dengan iringan gitar ini: solidaritas Allah kepada manusia adalah terpenuhinya makanan bagi kaum papa.

III. Kontekstualitas Gereja-gereja Protestan di Indonesia menyanyikan liturgi
Memang, ada banyak sisi yang perlu diperhitungkan dan dipertimbangkan untuk mengontekstualkan liturgi melalui nyanyian jemaat.
Sedikit contoh ini memberikan indikasi bahwa nyanyian jemaat kontekstual baru sebatas wacana di ruang-ruang seminar dan seminari.

Penutup
Beberapa hal dapat disimpulkan, yaitu:
1. Peran penyair dan pujangga Kristen sangat besar dalam memfasilitasi nyanyian jemaat kontekstual untuk liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Peran mereka didasari oleh azas taat liturgi.
2. Peran pelaksana ibadah: Majelis, paduan suara, dan umat, juga sangat besar dalam terus menerus menggunakan dan memperkenalkan nyanyian jemaat kontekstual. Penggunaannya bukan lagi sebatas alternatif atau eksperimen, tetapi pada penggembalaan jemaat.
3. Klaim kontekstualitas terhadap nyanyian jemaat memiliki delapan varian. Konsekuensinya, sebuah nyanyian jemaat tidak dapat secara membabibuta dinyatakan kontekstual atau tidak kontekstual. Bisa nyanyian jemaat yang “biasa” justru mengandung kategori kontekstual.

Akhirnya: dengan jumlah nyanyian jemaat yang ribuan tersebut, seberapa banyak yang dikenal oleh Gereja-gereja di Indonesia? Seberapa akrab kita dengan nyanyian jemaat kontekstual untuk liturgi? Selanjutnya: seberapa peran pemusik dan pujangga Kristen yang menciptakan musik kontrekstual untuk keperluan liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia.

Catatan-catatan
[1] Hal ini saya telah uraikan dalam Jurnal Teologi dan Gereja PENUNTUN Vol 3 no 9 1996 h 55-56: Ciptakanlah terus Polusi, Supaya Kami Dapat Terus Menyanyikan Lagu ini: Upaya-upaya Kontekstualisasi Teologi dalam Musik Gereja Asia, GKI Jawa Barat.
[2] Ini pun telah saya uraikan dalam PENUNTUN, ibid., h 55-59.
[3] Hal ini telah dikatakan oleh J.L. Ch. Abineno sejak lebih daripada 20 tahun lalu dalam Gereja dan Ibadah Gereja, BPK Gunung Mulia 1986, h 89-92.
[4] Greg Scheer, The Art of Worship: a Musician’s Guide to Leading Modern Worship, Baker Book 2006, h 55-56.
[5] KJ dan PKJ diterbitkan oleh Yamuger digunakan oleh banyak Gereja-gereja Protestan di Indonesia. NKB diterbitkan oleh MH GKI, digunakan oleh beberapa Gereja-gereja Protestan di Indonesia di luar GKI. GB diterbitkan oleh MS GPIB, namun Jemaat GPIB yang banyak, saya memasukkan GB sebagai buku nyanyian jemaat Gereja-gereja Protestan di Indonesia juga.
[6] Berdasarkan informasi Sound The Bamboo: CCA Hymnal, no 35.
[7] Yamuger, Mazmur dan Kidung Jemaat, 572.
[8] Yamuger, Mazmur dan Kidung Jemaat, Kata Pengantar, 4.
[9] Misalnya, Hymns for the Family of God 332.
[10] Misalnya, Hymns of the Christian Life 30.
[11] Albert E. Bailey, The Gospel in Hymns, 427.
[12] Berdasarkan informasi Yamuger, Mazmur dan Kidung Jemaat: Daftar Ayat Alkitab, 572.
[13] Nyanyikanlah Kidung Baru: Pengantar, MH GKI 1991, vii.
[14] Yamuger, Pelengkap Kidung Jemaat: Kata Pengantar, Yamuger 1999.
[15] Berdasarkan informasi The Hymnbook: Index of Scriptural Allusions, 554.
[16] Berdasarkan informasi The Hymnbook: Index of Scriptural Allusions, 551.
[17] Informasi nyanyian ini saya peroleh dari Pdt Sariaman Purba dari GKPS.
[18] Sebagaimana dalam Mazmur dan Kidung Jemaat,, 571.
[19] Sebagaimana dalam Hymns for the Family of God 336.
[20] Sebagaimana dalam Hymns of the Christian Life 12, KJ 4, The Hymnbook 26. Juga diinformasikan Bailey, The Gospel in Hymns, 182.
[21] Nyanyian ini terdapat dalam Sound The Bamboo 144.

Tidak ada komentar: