Minggu, Desember 02, 2007

SEJARAH PENGGUNAAN KIDUNG JEMAAT DAN NYANYIKANLAH KIDUNG BARU DI GEREJA KRISTEN INDONESIA

Oleh: Rasid Rachman

1. Kidung Jemaat dan Nyanyikanlah Kidung Baru di GKI
Sejak sidang umum GKI di Batu-Malang tahun 1992, GKI berketetapan untuk menggunakan dua buah buku nyanyian jemaat, yakni Kidung Jemaat dan – yang kala itu masih baru – Nyanyikanlah Kidung Baru. KJ telah terbit sejak tahun 1984 dan beberapa Jemaat (terutama di Jakarta) telah menggunakannya, namun masih banyak yang tidak. Sedangkan NKB terbit tahun 1991 dan telah digunakan oleh banyak Jemaat GKI, walaupun baru terbit beberapa bulan. Maklum “orang GKI”, apa-apa perlu keputusan persidangan, NKB yang de facto telah digunakan pun tetap memerlukan de iure. Persidangan itu memang bertujuan untuk mensahkan penggunaan NKB (bukan KJ). Namun ketika tim diminta untuk membuat rekomendasi atas NKB dan studi pembedaan antara KJ dan buku “Mazmur dan Nyanyian Rohani” (oleh Kijne), maka sekalian saja Tim Nyanyian GKI merekomendasikan KJ. Alasannya: dengan disahkannya NKB di GKI, maka penggunaan KJ tak dapat ditawar lagi. Sebab NKB disusun dengan semangat “tidak menduplikasi” nyanyian KJ. Artinya, nyanyian yang telah ada di KJ, tidak akan dimuat di dalam NKB. Itulah sebabnya, NKB diberi subjudul: SEBUAH PELENGKAP, oleh Tim Inti Nyanyian Gereja Kristen Indonesia (TINGKI), yang tak lain adalah pelengkap (suplemen) bagi KJ. Jika Jemaat berpatokan menggunakan nyanyian dalam NKB, maka tidak ada nyanyian “Malam Kudus”, “Hai Mari Berhimpun”, “Kepala Yang Berdarah”, dll., dalam ibadah GKI.
Selain itu, format dan ukurannya pun dibuat serupa dengan KJ. Format dan ukuran itu menjadi harapan, suatu waktu KJ dan NKB dapat disatukan (baru pada tahun 2000 harapan tersebut terwujud). Demikian pula dengan rubrikasi kedua buku itu dibuat serupa, yaitu: Menghadap Allah, Pelayanan Firman, Respons/Sambutan terhadap Pelayanan Firman, dst. Jadi menurut persidangan itu, dua buku nyanyian ibadah GKI adalah Kidung Jemaat dan Nyanyikanlah Kidung Baru.
Rubrikasi KJ dan NKB dibuat berdasarkan urutan liturgis. Rubrik nyanyian adalah juga (sebagian) unsur-unsur liturgi yang dapat diberlakukan di GKI. Unsur Kyrie dan Gloria, dapat digunakan, sebab nyanyian Kyrie-Gloria terdapat di kedua buku. Seharusnya GKI juga telah dapat membedakan antara Minggu-minggu Prapaska dan Minggu Sengsara, sebab rubrikasi menolong kita akan hal tersebut. Unsur untuk perjamuan kudus: sanctus-benedictus, Anakdomba Allah, dapat digunakan pula. Nyanyian Amin dan Haleluya dapat dibuat bervariasi. Namun kendalanya, pengetahuan tentang praktek dan nyanyian liturgi di GKI sangat minim (waktu itu). Padahal dasar dari kemampun untuk menggunakan kedua buku itu secara maksimal adalah memiliki pengetahuan dasar tentang praktek dan nyanyian liturgi.
Namun ide menyusun dan menggunakan kedua buku nyanyian itu lebih dari sekadar perlengkapan ibadah. Kedua buku digunakan sebab di dalamnya termuat semangat oikumenis, yakni menyanyikan nyanyian gereja dari berbagai macam teologi, denominasi, jenis dan ragam nyanyian dari segala abad dan tempat. Oleh karena semangat oikumenis tidak pernah berhenti, maka GKI pun tak ingin “berhenti” pada penggunaan kedua buku tersebut. Sekalipun ada sementara pihak yang menempatkan KJ dan NKB bak “kitab suci”, namun sebenarnya KJ dan NKB adalah pendorong agar jemaat GKI lebih membuka wawasan bergerejanya secara oikumenis. Sementara ini, KJ tetap menyusun nyanyian baru – walaupun GKI tidak ada kerjanya saat ini – namun tetap terbuka dengan nyanyian lain di luar KJ dan NKB. Keterbukaan menggunakan nyanyian lain di luar KJ dan NKB termasuk menggunakan Mazmur Jenewa yang sejak dulu telah digunakan di GKI, dan buku-buku sejenis yang berpegang pada semangat oikumenis.

2. Jenis nyanyian dan penempatannya
Jenis menentukan cara bernyanyi, demikian pula jenis-jenis nyanyian jemaat. Di KJ dan NKB ada nyanyian berjenis ordinarium dan proprium. Ordinarium disebut juga nyanyian liturgi, yakni nyanyian yang tetap di dalam sebuah unsur liturgi. Amin-haleluya (KJ 472-473, 476-478, NKB 222-229) dan doksologi (KJ 303) adalah ordinarium, sebab ia adalah nyanyian yang tetap di dalam sebuah unsur liturgi, yakni setelah votum, pembacaan Injil, atau berkat. Selain amin-haleluya, nyanyian ordinarium atau nyanyian liturgi lain yaitu: Kyrie (KJ 42-44, NKB 24-29) dan gloria (KJ 45-48, 474, NKB 30-31) untuk unsur Kyrie-Gloria (sebelum pembacaan Injil), sanctus-benedictus (KJ 310) untuk unsur Kudus setelah prefasi dalam liturgi perjamuan kudus, Doa Bapa Kami untuk unsur Doa Bapa Kami (KJ 475) penutup doa perjamuan, dan Anakdomba Allah (KJ 311-312, NKB 158) untuk unsur Agnus Dei ketika pemecahan roti dan penuangan air anggur.
Nyanyian proprium adalah nyanyian yang tak tetap namun harus berkaitan dengan unsur-unsur liturgi. Dibanding ordinarium, sifat proprium di dalam liturgi adalah sekunder. Nyanyian masuk (introitus), nyanyian tema (pembacaan Perjanjian Lama [KJ 70-75]), pengakuan dosa, kesanggupan, baptisan, pernikahan, persembahan, dan pengutusan adalah proprium. Nyanyian untuk unsur-unsur itu selalu berubah dan dengan demikian pula, pada unsur-unsur itu jemaat tak perlu selalu harus bernyanyi. Guna nyanyian proprium adalah penegasan, pengulangan, penekanan, dan pembawa suasana liturgi. Nyanyian masuk menegaskan kepada umat bahwa liturgi telah dimulai dengan dipenuhinya suasana ibadah hari itu (Adven atau Minggu Palem atau Minggu Paska ke-2 atau Minggu Biasa ke-14, dsb.). Walaupun kepada para pencipta nyanyian selalu didorong untuk terus melengkapi nyanyian proprium, namun ada kalanya tak tersedia nyanyian untuk mendukung salah satu unsur liturgi (misalnya pembacaan Perjanjian Lama yang nyanyian terbatasnya sekali), maka tak perlu bernyanyi. Tidak bernyanyi pada waktu pengakuan dosa (karena toh telah ada formula dan doa) atau persembahan dapat dipahami mengingat jenis proprium. Nyanyian ini juga berkaitan dengan waktu ibadah. Nyanyian pagi jangan dinyanyikan pada ibadah petang, atau sebaliknya.
Penggunaan kedua jenis nyanyian tersebut akan menjadikan liturgi lebih khidmat, sebab terarah, padat, kaya, dan tepat. Dengan demikian, penggembalaan jemaat melalui liturgi terjamin mutunya.

3. Ragam lagu dan cara menyanyikannya
KJ dan NKB berisi berbagai ragam lagu dari nyanyian jemaat. Dengan mengetahui ragam suatu lagu dan tahu cara menyanyikannya, maka nyanyian jemaat menjadi elok dinyanyikan (oleh umat) atau didengar (oleh dunia sekitar). Selain unisono, ada lagu beragam kanon atau bersusulan (KJ 50a, 470, NKB 45, 54, 223a-b), pengulangan lagu pendek (NKB 54, 220, 223a), bersahutan atau responsori dan antifonal (KJ 47, 428), alternatim atau bergilir ganti untuk nyanyian berbait banyak (KJ 165, 167), dan refrein atau antifon selalu dinyanyikan bersama.
Tentu saja, untuk memaksimalkan cara bernyanyi kepada umat adalah dengan persiapan. Gejala umum bahwa Jemaat sedikit sekali melakukan persiapan liturgi bersama oleh sebuah tim. Selama ini, persiapan seringkali diserahkan kepada pengkhotbah, baik tamu maupun setempat. Setelah pengkhotbah memberikan nyanyian (sebagian besar pada Jumat dan Sabtu), lalu pengiring musik mempersiapkan diri. Dengan pola persiapan seadanya itu, dari segi musik saja, mutunya terlihat tidak terjamin. Bagaimana mungkin seorang organis (apalagi yang masih belajar) dapat mempersiapkan diri dan merasakan nyanyian yang diiringinya itu nikmat, kalau nyanyian itu baru dilatihnya dengan terburu-buru. Itu baru segi musik, belum lagi pelaksaan unsur-unsur liturgi yang lain, semisal: pembacaan Alkitab, prosesi, tata gerak, pengakuan iman, warta jemaat, dll.
Bagaimana paduan suara dapat berfungsi maksimal, jika mereka tidak terlibat di dalam nyanyian jemaat? Bukankah selama ini paduan suara hanya berfungsi sebagai pengisi “saat teduh” yang tidak teduh itu? Padahal fungsi paduan suara dapat dimaksimalkan dengan terlibat di dalam responsori, alternatim, mengisi SATB, menyanyikan diskantus atau kontrapung (NKB 54, Pelengkap KJ 103), dsb. ▢

Tidak ada komentar: