MENYELAMI OASIS MELALUI ZIARAH KEMANUSIAAN
Oleh : Rasid Rachman
(Relawan Nias dalam Tim 1 dan Tim 3)
Bagi saya, menjadi relawan Tim GKI yang diutus oleh Sinode ke daerah bencana gempa bumi dan gelombang tsunami di Nias adalah sebuah ziarah. Alasannya? Di lokasi bencana itulah, rahmat ilahi dirasakan dan dialami oleh banyak orang dan banyak pihak, baik korban maupun relawan. Oleh karena itu, menjadi relawan adalah bukan sekadar bertualang menolong korban bencana dan membagikan sumbangan ini-itu, melainkan menyerap dan menikmati rahmat Allah melalui kehadiran-Nya sebagai korban tsunami.
Ada beberapa hal yang mendorong saya menghayati tugas tersebut sebagai perjalanan ziarah, yaitu: pertemuan dengan berbagai macam orang; berkenalan dengan berbagai macam orang; tanpa tsunami, mungkin saya tidak ke Nias; dan kepuasan batin.
Semua hal tersebut di atas dimulai dari suatu pencarian. Ziarah diawali dari sebuah pencarian. Pencarian akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: Mengapa semua itu terjadi? Mengapa ada penghancuran oleh alam, dan Tuhan berdiam diri saja? Mengapa Nias lagi? Mengapa Aceh lagi? Misteri apa lagi yang ingin disampaikan-Nya? Atau mungkin Ia ingin menyampaikan pesan?
Sedikit demi sedikit, melalui ziarah kemanusiaan ke Nias, pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai mendapat jawab, sekalipun masih buram dan belum tuntas hingga kini.
Pertama, pertemuan dengan berbagai macam orang karena satu hal merupakan hal yang langka. Oleh karena itu, terlibat sebagai relawan di dalam peristiwa tersebut menjadi sangat berharga.
Mengapa menjadi relawan? Alasannya:
1) Saya bukan orang Nias, sehingga tidak ada alasan untuk ke Nias kecuali pelesir, menonton korban, atau relawan.
2) Untuk pelesir diperlukan cukup modal. Lagipula, rasanya bukan sekarang saatnya pelesiran ke Nias.
3) Menonton, rasanya tidak pas, sebab korban tsunami bukan objek tontonan. Sekalipun ada saja orang yang menonton, hanya lihat-lihat dan memotret sana-sini, saya tidak mau memilih itu.
4) Menjadi relawan rasanya pas buat saya kali ini. Ada hal yang dikerjakan dan mengerjakan sesuatu untuk korban bencana.
Kedua, berkenalan dengan berbagai macam orang merupakan hal menakjubkan. Dalam dunia sesehari, tidak mudah orang saling bertegur sapa tanpa perantara, berbincang bebas tanpa tata krama, apalagi berkenalan dan kemudian menjadi akrab. Namun hal tersebut sangat mungkin ketika komunitas manusia terbentuk oleh rasa keprihatinan yang sama karena tsunami. Batas-batas jabatan, pendidikan, agama, etnis, pandangan politik, bahkan denominasi Gereja (ironis memang!) menjadi cair. Orang tidak lagi berdebat, berwacana, dan menjunjung batas-batas tersebut, melainkan menjunjung nilai termulia dari kemanusiaan. Siapa pun yang terjun menjadi relawan kemanusiaan memahami bahwa di dalam keterbatasannya, manusia seharusnya membuka belenggu batas-batas yang menghalanginya untuk saling mengenal.
Kisah perkenalan yang menjadi akrab itu dapat dilihat dari cerita berikut ini.
Nama-nama Julukan
Tim 3 terdiri dari enam orang, termasuk saya. Katanya saya sebagai pimpinan tim 3, padahal saya hanya seminggu – dari seharusnya 12 hari – bersama di Nias. Oleh karena saya paling tua dibanding para anggota tim yang belasan tahun lebih muda daripada, maka Lucia memanggil saya: babe; Gerhard memanggil saya: bos.
Lucia, dipanggil Cia. Padahal nama depannya Henny. Tinggal dan bekerja bersama-sama, menimbulkan kreativitas tim. Nama orang diganti-ganti dengan mudah, julukannyalah yang lebih dikenal. Alasannya, demi keakraban. Bahasa Inggris Cia paling bagus di antara kami, sebab dia satu-satunya yang lulus sekolah tinggi bahasa Inggris.
Cia datang bersama Tina. Tina ini pengusaha dan penjual sepatu di Bandung. Selain lebih dewasa dibanding yang lain, Tina pandai memijit. Jasanya sangat diperlukan, gratis pula. Kedewasaannya itulah yang menolongnya untuk tidak diberi nama julukan.
Yang beda adalah Udin. Namanya aslinya Satya, tidak ada udin-udinnya. Rupanya ada selipan Syarifudin pada namanya, tapi tidak dikenal. Udin baru lulus sekolah teologi. Karena terlihat lebih serius dibanding yang lain, maka ia diberi nama yang terkesan tidak serius. Yah … Udin, itulah.
Termuda dari tim 3 adalah Gerhard. Dia lahir di Gunung Sitoli, jasanya sebagai penerjemah. Dia paling banyak tahu tentang Nias. Kemudaan dan badannya yang lebih kecil, tampak imut, sering juga dijuluki si bungsu. Namun karena rambutnya menjadi pirang beberapa bulan lalu, teman-teman memanggilnya Buceri, alias Bule Celup Sendiri atau Bule Cet Sendiri.
Murtopo paling ahli dalam urusan kemping. Dia sudah di tingkat pelatih para pencinta alam. Gayanya yang jaim, jaga image, justru menjerumuskan dia mendapat julukan Intruktur (tanpa “s”). Entah mengapa, waktu itu ucapannya terdengar intruktur, bukan instruktur. Padahal menurut pengakuannya, dia tidak pernah menyebut kata itu, melainkan Pelatih. Nah, sekali sebut, ternyata kurang “s”.
Ketiga, seorang relawan yang kebetulan orang Nias berkata kepada saya: “Kalau gak ada tsunami, mungkin Anda tidak ke Nias.” Setelah dipikirkan, perkataannya adalah betul. Nias, menurut hemat saya selama ini, bukan untuk orang Indonesia. Sebab objek wisatanya hanya berupa berselancar. Memang ada wisata budaya, yakni lompat batu dan tarian perang, tetapi masak sih saya ke Nias hanya untuk ke Teluk Dalam saja.
Akhir Desember lalu perziarahan ke Nias telah menghantar saya ke bagian-bagian Nias yang tidak tersentuh semangat pariwisata. Perziarahan saya justru menyentuh bagian-bagian kemanusiaan yang paling nyata. Yaitu, bagaimana penduduk berdialog, menghabiskan hari-harinya, menyambut tamu, berpisah dengan tamu, memanfaatkan orang asing, membantu dan menolong tanpa pamrih, bersikap jujur kepada orang lain dan diri sendiri. Kisah berikut ini kiranya dapat menyampaikan pesan tersebut.
“Bapak, agamanya apa?”
Kabupaten Nias berpendudukan mayoritas Kristen. Walaupun tidak seluruh penduduk beragama Kristen, di mana-mana dan hampir siapa saja beragama Kristen. Gereja ada di mana-mana. Di kota, desa, perbukitan, dan pesisir, kita menjumpai orang Kristen. Pramusaji restoran, pengayuh becak, pelayan hotel, pejabat pemerintah, hingga Walikota, dan Bupati, adalah Kristen.
Di daerah-daerah tertentu, semisal: Moawo, Afulu, Sirombu, seringkali kita jumpai umat beragama Islam. Namun karena mayoritas Nias adalah Kristen, dengan tetap mengingat bahwa ada pula yang Islam, maka bertanya kepada seseorang: Apakah agamamu?” merupakan hal lazim di daerah-daerah tersebut. Orang yang ditanya pun tidak merasa sedang diterogasi karena pertanyaan yang menyangkut hak azasi tersebut. Jawabannya pun santai: “Saya Kristen,” atau “Saya Islam.”
Dalam perjalanan sulit ke daerah Afulu menuju Desa Faekuna’a, saya “diinterogasi” oleh sopir ojek yang saya tumpangi.
Ojek: “Bapak dari mana?”
Saya: “Dari Jakarta.”
Ojek: “Bapak ke mari dari utusan mana?”
Saya: (sambil memancingnya ingin tahu) “Saya dari Gereja.”
Ojek: “Ooh, bapak Kristen? Saya juga Kristen. Tapi agama saya BNKP. Kalau agama bapak, apa?”
Saya: (masih dalam kebingunan) “Agama saya adalah GKI.” (setelah agak tenang sejenak, saya “menggodanya”). “Kalau begitu, agama kita berbeda ya.”
Ojek: “Ya, beda. Tetapi sama juga, sih. Cuma, saya yang agama BNKP, bapak yang agama GKI.”
Keempat, muara dari perziarahan kemanusiaan ini adalah kepuasan batin. Puas, bukan karena misi telah dijalankan, dikerjakan dan selesai. Puas, bukan karena ada perbuatan baik dan tulus yang telah diberikan. Puas, bukan karena ada harapan yang disampaikan kepada korban di tengah kegalauan bencana. Tetapi puas, karena telah meneguk rahmat ilahi melalui perjumpaan dengan Tuhan sendiri dan pengalaman kebersamaan dengan sesama.
Menjadi relawan dan bergabung dengan para relawan lain adalah kenikmatan tersendiri. Saling menghargai dan saling menjaga sebagai sesama orang yang mengerjakan sesuatu bagi korban merupakan nilai tertinggi bagi relawan.
Menjadi relawan dan bersama korban membangun kembali kehidupan baru setelah tsunami adalah keindahan yang tiada tara. Keletihan menghadapi medan dan mental yang berat terobati ketika mendengar korban berkata: “Ya, saya mau bekerja untuk membangun rumah dan perahu saya.” Hal-hal dan nilai-nilai tersebut laksana oasis di dunia yang serba melecehkan kemanusiaan. ¨
Oleh : Rasid Rachman
(Relawan Nias dalam Tim 1 dan Tim 3)
Bagi saya, menjadi relawan Tim GKI yang diutus oleh Sinode ke daerah bencana gempa bumi dan gelombang tsunami di Nias adalah sebuah ziarah. Alasannya? Di lokasi bencana itulah, rahmat ilahi dirasakan dan dialami oleh banyak orang dan banyak pihak, baik korban maupun relawan. Oleh karena itu, menjadi relawan adalah bukan sekadar bertualang menolong korban bencana dan membagikan sumbangan ini-itu, melainkan menyerap dan menikmati rahmat Allah melalui kehadiran-Nya sebagai korban tsunami.
Ada beberapa hal yang mendorong saya menghayati tugas tersebut sebagai perjalanan ziarah, yaitu: pertemuan dengan berbagai macam orang; berkenalan dengan berbagai macam orang; tanpa tsunami, mungkin saya tidak ke Nias; dan kepuasan batin.
Semua hal tersebut di atas dimulai dari suatu pencarian. Ziarah diawali dari sebuah pencarian. Pencarian akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: Mengapa semua itu terjadi? Mengapa ada penghancuran oleh alam, dan Tuhan berdiam diri saja? Mengapa Nias lagi? Mengapa Aceh lagi? Misteri apa lagi yang ingin disampaikan-Nya? Atau mungkin Ia ingin menyampaikan pesan?
Sedikit demi sedikit, melalui ziarah kemanusiaan ke Nias, pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai mendapat jawab, sekalipun masih buram dan belum tuntas hingga kini.
Pertama, pertemuan dengan berbagai macam orang karena satu hal merupakan hal yang langka. Oleh karena itu, terlibat sebagai relawan di dalam peristiwa tersebut menjadi sangat berharga.
Mengapa menjadi relawan? Alasannya:
1) Saya bukan orang Nias, sehingga tidak ada alasan untuk ke Nias kecuali pelesir, menonton korban, atau relawan.
2) Untuk pelesir diperlukan cukup modal. Lagipula, rasanya bukan sekarang saatnya pelesiran ke Nias.
3) Menonton, rasanya tidak pas, sebab korban tsunami bukan objek tontonan. Sekalipun ada saja orang yang menonton, hanya lihat-lihat dan memotret sana-sini, saya tidak mau memilih itu.
4) Menjadi relawan rasanya pas buat saya kali ini. Ada hal yang dikerjakan dan mengerjakan sesuatu untuk korban bencana.
Kedua, berkenalan dengan berbagai macam orang merupakan hal menakjubkan. Dalam dunia sesehari, tidak mudah orang saling bertegur sapa tanpa perantara, berbincang bebas tanpa tata krama, apalagi berkenalan dan kemudian menjadi akrab. Namun hal tersebut sangat mungkin ketika komunitas manusia terbentuk oleh rasa keprihatinan yang sama karena tsunami. Batas-batas jabatan, pendidikan, agama, etnis, pandangan politik, bahkan denominasi Gereja (ironis memang!) menjadi cair. Orang tidak lagi berdebat, berwacana, dan menjunjung batas-batas tersebut, melainkan menjunjung nilai termulia dari kemanusiaan. Siapa pun yang terjun menjadi relawan kemanusiaan memahami bahwa di dalam keterbatasannya, manusia seharusnya membuka belenggu batas-batas yang menghalanginya untuk saling mengenal.
Kisah perkenalan yang menjadi akrab itu dapat dilihat dari cerita berikut ini.
Nama-nama Julukan
Tim 3 terdiri dari enam orang, termasuk saya. Katanya saya sebagai pimpinan tim 3, padahal saya hanya seminggu – dari seharusnya 12 hari – bersama di Nias. Oleh karena saya paling tua dibanding para anggota tim yang belasan tahun lebih muda daripada, maka Lucia memanggil saya: babe; Gerhard memanggil saya: bos.
Lucia, dipanggil Cia. Padahal nama depannya Henny. Tinggal dan bekerja bersama-sama, menimbulkan kreativitas tim. Nama orang diganti-ganti dengan mudah, julukannyalah yang lebih dikenal. Alasannya, demi keakraban. Bahasa Inggris Cia paling bagus di antara kami, sebab dia satu-satunya yang lulus sekolah tinggi bahasa Inggris.
Cia datang bersama Tina. Tina ini pengusaha dan penjual sepatu di Bandung. Selain lebih dewasa dibanding yang lain, Tina pandai memijit. Jasanya sangat diperlukan, gratis pula. Kedewasaannya itulah yang menolongnya untuk tidak diberi nama julukan.
Yang beda adalah Udin. Namanya aslinya Satya, tidak ada udin-udinnya. Rupanya ada selipan Syarifudin pada namanya, tapi tidak dikenal. Udin baru lulus sekolah teologi. Karena terlihat lebih serius dibanding yang lain, maka ia diberi nama yang terkesan tidak serius. Yah … Udin, itulah.
Termuda dari tim 3 adalah Gerhard. Dia lahir di Gunung Sitoli, jasanya sebagai penerjemah. Dia paling banyak tahu tentang Nias. Kemudaan dan badannya yang lebih kecil, tampak imut, sering juga dijuluki si bungsu. Namun karena rambutnya menjadi pirang beberapa bulan lalu, teman-teman memanggilnya Buceri, alias Bule Celup Sendiri atau Bule Cet Sendiri.
Murtopo paling ahli dalam urusan kemping. Dia sudah di tingkat pelatih para pencinta alam. Gayanya yang jaim, jaga image, justru menjerumuskan dia mendapat julukan Intruktur (tanpa “s”). Entah mengapa, waktu itu ucapannya terdengar intruktur, bukan instruktur. Padahal menurut pengakuannya, dia tidak pernah menyebut kata itu, melainkan Pelatih. Nah, sekali sebut, ternyata kurang “s”.
Ketiga, seorang relawan yang kebetulan orang Nias berkata kepada saya: “Kalau gak ada tsunami, mungkin Anda tidak ke Nias.” Setelah dipikirkan, perkataannya adalah betul. Nias, menurut hemat saya selama ini, bukan untuk orang Indonesia. Sebab objek wisatanya hanya berupa berselancar. Memang ada wisata budaya, yakni lompat batu dan tarian perang, tetapi masak sih saya ke Nias hanya untuk ke Teluk Dalam saja.
Akhir Desember lalu perziarahan ke Nias telah menghantar saya ke bagian-bagian Nias yang tidak tersentuh semangat pariwisata. Perziarahan saya justru menyentuh bagian-bagian kemanusiaan yang paling nyata. Yaitu, bagaimana penduduk berdialog, menghabiskan hari-harinya, menyambut tamu, berpisah dengan tamu, memanfaatkan orang asing, membantu dan menolong tanpa pamrih, bersikap jujur kepada orang lain dan diri sendiri. Kisah berikut ini kiranya dapat menyampaikan pesan tersebut.
“Bapak, agamanya apa?”
Kabupaten Nias berpendudukan mayoritas Kristen. Walaupun tidak seluruh penduduk beragama Kristen, di mana-mana dan hampir siapa saja beragama Kristen. Gereja ada di mana-mana. Di kota, desa, perbukitan, dan pesisir, kita menjumpai orang Kristen. Pramusaji restoran, pengayuh becak, pelayan hotel, pejabat pemerintah, hingga Walikota, dan Bupati, adalah Kristen.
Di daerah-daerah tertentu, semisal: Moawo, Afulu, Sirombu, seringkali kita jumpai umat beragama Islam. Namun karena mayoritas Nias adalah Kristen, dengan tetap mengingat bahwa ada pula yang Islam, maka bertanya kepada seseorang: Apakah agamamu?” merupakan hal lazim di daerah-daerah tersebut. Orang yang ditanya pun tidak merasa sedang diterogasi karena pertanyaan yang menyangkut hak azasi tersebut. Jawabannya pun santai: “Saya Kristen,” atau “Saya Islam.”
Dalam perjalanan sulit ke daerah Afulu menuju Desa Faekuna’a, saya “diinterogasi” oleh sopir ojek yang saya tumpangi.
Ojek: “Bapak dari mana?”
Saya: “Dari Jakarta.”
Ojek: “Bapak ke mari dari utusan mana?”
Saya: (sambil memancingnya ingin tahu) “Saya dari Gereja.”
Ojek: “Ooh, bapak Kristen? Saya juga Kristen. Tapi agama saya BNKP. Kalau agama bapak, apa?”
Saya: (masih dalam kebingunan) “Agama saya adalah GKI.” (setelah agak tenang sejenak, saya “menggodanya”). “Kalau begitu, agama kita berbeda ya.”
Ojek: “Ya, beda. Tetapi sama juga, sih. Cuma, saya yang agama BNKP, bapak yang agama GKI.”
Keempat, muara dari perziarahan kemanusiaan ini adalah kepuasan batin. Puas, bukan karena misi telah dijalankan, dikerjakan dan selesai. Puas, bukan karena ada perbuatan baik dan tulus yang telah diberikan. Puas, bukan karena ada harapan yang disampaikan kepada korban di tengah kegalauan bencana. Tetapi puas, karena telah meneguk rahmat ilahi melalui perjumpaan dengan Tuhan sendiri dan pengalaman kebersamaan dengan sesama.
Menjadi relawan dan bergabung dengan para relawan lain adalah kenikmatan tersendiri. Saling menghargai dan saling menjaga sebagai sesama orang yang mengerjakan sesuatu bagi korban merupakan nilai tertinggi bagi relawan.
Menjadi relawan dan bersama korban membangun kembali kehidupan baru setelah tsunami adalah keindahan yang tiada tara. Keletihan menghadapi medan dan mental yang berat terobati ketika mendengar korban berkata: “Ya, saya mau bekerja untuk membangun rumah dan perahu saya.” Hal-hal dan nilai-nilai tersebut laksana oasis di dunia yang serba melecehkan kemanusiaan. ¨
Tidak ada komentar:
Posting Komentar