Kamis, Januari 10, 2008

“KORIDOR” DALAM PRAKTEK


UPAYA GEREJA MENETAPKAN DAN MENERAPKAN AJARANNYA

Oleh : Rasid Rachman

Koridor dapat dijumpai dalam setiap hotel atau apartemen. Di koridor, mau tidak mau orang berjalan menurut alurnya. Namun alur koridor bukan titian yang hanya sebatas dan setebal garis. Dalam koridor, orang masih dapat berjalan kelak-kelok dan menyimpang ke kiri atau ke kanan, tetapi arah dan jalur berjalan tetap mengikuti alur korikor. Orang bebas berjalan di sisi kiri atau sisi kanan, cepat atau lambat, atau bahkan berhenti. Pokoknya, selama tidak mengganggu orang lain, orang berjalan di koridor boleh berlaku bebas asal tidak liar atau berjalan keluar korikor. Dengan demikian, berjalan di dalam koridor adalah berjalan di dalam kebebasan sebatas alur koridor.
Dalam menerapkan ajarannya, pimpinan dan para pendeta gereja seringkali mengucapkan: “Asal masih di dalam koridor,” dalam menjawab pertanyaan: “Apakah boleh bertepuk tangan dalam di kebaktian di gereja kita, padahal di gereja sana boleh”; “Apakah boleh mengundang pengkhotbah yang berbeda denominasi di kebaktian Remaja”; “Apakah boleh menggunakan nyanyian jemaat di luar buku-buku nyanyian dan kitab liturgi yang lain”; “Kenapa gereja A melarang baptis selam, sedangkan gereja B justru mendorong orang untuk baptis selam”; dsb. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, biasanya pimpinan atau pendeta gereja tidak berkata: “Boleh,” atau “Tidak boleh.” Jawaban yang umum adalah “Asal masih dalam koridor ajaran gereja kita.” Artinya: diperbolehkan, yang penting tidak keluar koridor.
Bagi sementara orang, jawaban semacam itu dianggap jawaban plin-plan, tidak tegas, dan tidak punya sikap. Sebenarnya, menurut hemat saya, jawaban semacam itu menunjukkan pola pikir koridor. Ada kebebasan, tetapi jangan kebablasan.
Apakah perbedaan antara koridor dan titian dalam praktek ajaran GKI? Ambil contoh di atas. Jawaban berdasarkan titian: “Tidak boleh tepuk tangan, tidak boleh ada Pendeta non-GKI, tidak boleh menggunakan nyanyian non-KJ dan non-NKB, tidak boleh baptis selam.” Jawaban-jawaban tersebut tegas, namun menunjukkan pola pikir berjalan di atas titian: tidak boleh menyimpang satu milimeter pun; kalau tidak mau terjerembab. Jawaban tersebut sebetulnya setali tiga uang dengan: “Bernyanyi harus bertepuk tangan, harus Pendeta gereja lain, harus tidak menggunakan buku nyanyian dan tidak menggunakan kitab liturgi kita, atau harus baptis lagi di gereja ini kalau pernah baptis selam sebelumnya.” Baik jawaban “Tidak boleh” maupun “Harus” terlihat menyelesaikan persoalan dengan cepat, tidak dibutuhkan lagi dialog, dan harga mati.
Dalam pola pikir koridor, dialog tetap dibutuhkan. Dengan dialog, artinya sebuah gereja bersikap terbuka dan masih menerima praktek agak berbeda yang kurang lazim.
Lantas, bagaimanakah ajaran yang keluar koridor ajaran gereja? Berdasarkan contoh-contoh pertanyaan di atas, ajaran yang keluar koridor adalah: “Boleh menyanyikan qasidahan dalam ibadah, sembarang orang boleh pimpin ibadah remaja, boleh menggunakan Puji Syukur atau Nafiri Iman sebagai ganti buku nyanyian atau kitab liturgi yang ditetapkan, dan boleh baptis ulang,” jawaban-jawaban tersebut jelas bukan ajaran yang baik.
Jadi sikap “titian” adalah penyempitan dari sikap “koridor”. Sekalipun masih berterima, beberapa gereja tidak bersikap “titian”, melainkan “koridor”. Sikap “koridor” memperlihatkan dan mendorong pertumbuhan ke arah kedewasaan jemaat.

Tidak ada komentar: