Jumat, Januari 11, 2008

STOP MEMBUAT SAMPAH!

Oleh: Rasid Rachman

Bagi beberapa masyarakat modern, sampah tetap menjadi momok. Hal ini dialami oleh masyarakat yang tinggal di negara yang belum dapat memanfaatkan sampah menjadi energi atau potensi besar bagi negara. Namun bagi masyarakat yang tinggal di negara yang telah dapat mengolah sampah, momok nenek moyang akan bencana sampah telah lama ditinggalkan. Sampah justru menjadi berkah tersendiri.
Sayangnya, kita tinggal di jenis negara pertama. Beberapa kali dalam waktu yang tidak berselang lama kita mengalami momok sampah tersebut. Masalah-masalah sampah yang terjadi di Surabaya, Jakarta, dan Bandung masih lekat dalam ingatan kita. Padahal beberapa pengamat mengatakan bahwa hal tersebut tidak seharusnya terjadi di negara besar seperti Indonesia ini. Artinya, timbulnya masalah tersebut bukan keteledoran atau human error, melainkan kekeliruan pola pikir, gaya hidup, dan metode kerja masyarakat kita.

Membuat sampah
Sangat berbeda dengan segala makhluk lain, manusia adalah makhluk pembuat sampah. Manusia membuat sampah melalui alat dan perlengkapan makanan yang dikonsumsi, pakaian yang digunakannya, tempat tinggal, alat produksi, dsb. Untuk bepergian, manusia membuat sampah bahan buangan kendaraan bermotor. Pokoknya, sangat sulit membuktikan bahwa manusia bukan makhluk pembuat sampah.
Sifat rakus, mau enak, dan tak terpuaskan menyebabkan manusia menjadi pembuat sampah dalam hidupnya. Banyak perusahaan dan perkantoran modern yang dengan mudah membuang kertas hanya untuk mengirim memo sesehari kepada karyawan, menggandakan berlembar-lembar kertas hanya untuk membuat koreksi notulen, dan menggunakan amplop baru untuk mengirim kwitansi ke rekannya di ruang sebelah. Restoran dan super market terlalu banyak menggunakan bahan plastik tanpa membiasakan konsumen membawa sendiri kantong plastik bekasnya. Bahkan ke pasar tradisional, sudah kurang lazim orang membawa keranjang belanjaannya sendiri. Sepuluh tahun lalu orang masih terbiasa menjinjing belanjaannya ke pasar tradisional.
Apakah urgensinya membahas sampah rumah tangga dan sesehari? Tampaknya hal-hal tersebut tidak besar; kenapa harus dipermasalahkan? Notulen rapat 4 lembar hanya digandakan 4 kali, baru 16 lembar. Pulang berbelanja, seseorang hanya membawa 4 kantong plastik baru; tidak banyak. Namun coba saja menghitung dengan seksama jumlah itu berdasarkan jumlah perusahaan dan pengunjung pasar. Kalau 10 ribu perusahaan dan perkantoran di Jakarta menggandakan notulen rapatnya, maka 160 ribu lembar atau kira-kira 400 rim kertas terpakai. Kalau 3 juta orang di Jakarta yang berpendudukan sekitar 10 juta ini berbelanja dalam sehari, maka 12 juta kantong plastik terpakai. Itu baru koreksi notulen dan kantong belanjaan, belum makanan dari restoran, akta-akta, katabelece, amplop, dll. Dalam sehari, akan kita dapatkan jumlah yang sangat fantantis.
Pembuatan sampah oleh manusia belum lagi termasuk sampah-sampah dari perangkat tekhnologi zaman ini. Barang-barang elektronik, baik yang bersifat hiburan maupun pembantu kebutuhan rumah tangga, akan menjadi sampah dalam 5-10 tahun. Dampak dari menurunnya barang-barang mewah atau tertier menjadi kebutuhan sekunder di zaman ini adalah terciptanya sampah-sampah baru bagi dunia.

Akibatnya
Untuk jangka panjang, membuat sampah berakibat jauh lebih besar ketimbang membuang sampah. Potensi bumi diambil untuk membuat suatu barang kebutuhan manusia. Setelah digunakan, barang itu dibuang ke tempat sampah. Sampah itu, jika tidak dapat diolah, menjadi beban baru bagi bumi. Jadi, sudah berapa potensi bumi yang dikuras untuk kebutuhan manusia, dan baru berapa potensi sampah yang diproduksi untuk hidup manusia?
Pada gilirannya, manusia sendiri yang mendapatkan akibat dari membuat sampah tersebut. Banjir, bau busuk, dan rusaknya pemandangan alam menjadi salah satu bukti akibat sampah. Munculnya bibit-bibit penyakit baru di dunia juga perlu diperhitungkan. Belum lagi lahan besar yang harus disediakan untuk “menyimpan” sampah produk manusia. Juga harus dimasukkan dalam kalkulasi dana membersihkan dan membasmi akibat-akibat sampah tersebut. Kerugian yang ditanggung – termasuk dana untuk pengobatan dan perawatan pasien sakit karena sampah – cukup besar. Roda perekonomian negara bisa-bisa cuma untuk memelihara “kelangsungan sampah” dan akibatnya tanpa timbal balik pemasukan.
Padahal naluri manusia untuk mengolah sampah sangat kecil dibandingkan makhluk-makhluk lain di planet ini. Di alam semula jadi, tidak ada makanan yang menyisakan sampah. Pada hewan tidak ada sifat rakus, sehingga hewan tidak membuat sampah. Singa dan dubuk (hyena) dapat makan satu kerbau bersama-sama; sisa kerbau dimakan oleh burung pemakan bangkai dan ulat. Sementara tidak sedikit manusia yang tidak mau secukupnya; kalau bisa makan dan menimbun sebanyak-banyaknya, mengapa menyisakannya. Oleh karenanya perlu kesadaran dari manusia untuk mengurangi kebiasaan membuat sampah.
Mungkin hewan adalah makhluk pembuang sampah sembarangan, tetapi hewan tidak membuat sampah. Kulit atau kotoran yang dibuangnya merupakan hukum alam sebagai pupuk untuk menyuburkan tanah dan penyebaran biji tanaman buah-buahan. Sementara manusia, karena budayanya, belum tentu pembuang sampah sembarangan, namun jelas ia adalah pembuat sampah. Apalagi manusia yang tidak berbudaya: pembuang dan pembuat sampah sekaligus.

Membuang dan mengolah sampah
Selain mendaur ulang sampah, sikap yang sangat perlu diterapkan adalah mengurangi kebiasaan atau mengatur naluri membuat sampat. Pendaur ulang, jasa pemulung dan tukang loak, tidak banyak membantu mengurangi timbunan sampah. Selain karena tingginya harga yang digunakan, juga akan pola pikir masyarakat yang masih jauh untuk menjaga kondisi sampah agar tetap “baik”. Yang dimaksud, misalnya memilah sampah basah dari sampah kering, tidak membakar sampah, tidak membakar ban bekas hanya untuk unjuk rasa, dsb. Sampah yang dapat didaur ulang masih sangat sedikit dibanding sampah yang menjadi rusak sama sekali. Oleh karena itu, mengurangi kebiasaan membuat sampah adalah hal terpenting dan mendesak dewasa ini.
Mengurangi kebiasaan membuat sampah melibatkan beberapa pihak, antara lain: pemerintah, masyarakat industri, dan masyarakat pemakai. Ini bukan hanya tugas satu pihak, melainkan semua pihak, sebab sampah merupakan kelangsungan hidup manusia.
Pemerintah, selain sebagai pemberi teladan, juga harus terus menerus mengampanyekan STOP MEMBUAT SAMPAH. Melalui Undang-undang Anti Sampah, pemerintah dapat mendukung usaha swasta yang memproduksi barang-barang elektronik daur ulang. Masyarakat yang pandai memanfaatkan sampah dengan membuat kompos, menciptakan barang berpotensi, dan barang produksi, harus sangat dihargai; kalau perlu berikan bintang dan piala semacam kalpataru. Masyarakat kreatif yang memanfaatkan sampah – dari TV bekas menjadi TV rekondisi, misalnya – jangan cuma dituding ilegal, tetapi sebaliknya, mereka harus dilindungi dari para pesaingnya. Setelah publikasi menarik di harian-harian tentang sekelompok masyarakat pengendara sepeda pergi ke kantor, sepantasnyalah pemerintah lebih mendukungnya dengan menyediakan jalan khusus sepeda di kota-kota besar. Becak seharusnya diizinkan untuk daerah perumahan karena sampah yang dibuatnya jauh lebih kecil ketimbang kendaraan bermotor. Tanpa peran pemerintah sebagai motivator dan pelindung kampanye STOP MEMBUAT SAMPAH, kelangsungan hidup manusia tidak akan terjamin dalam dua dekade mendatang.
Masyakat industri yang seringkali dituding sebagai pembuat sampah dan pencipta polusi terbesar harus disertai dengan sikap tegas, baik dalam hal mengolah bakal sampah maupun terhadap aparat yang bermain-main dengan Undang-undang Lingkungan Hidup. Perusahaan dan industri harus membuat anggaran daur ulang dan sedapat mungkin mengurangi membuat sampah industri termasuk pemakaian listrik dan bahan bakar. Terhadap tangan-tangan jahil yang terbiasa meminta sebagian anggaran, laporkan saja kepada yang berwajib. Lebih baik gunakan angaran tersebut untuk mengolah sampah dan membina kerja sama dengan industri rumahan atau kecil dalam memanfaatkan bakal sampah.
Selain orang kebanyakan atau rakyat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Lembaga Agama juga termasuk masyarakat pemakai barang konsumsi dan penghasil sampah. Pada mereka, atau pada kita, harus ada tanggung jawab terhadap tak terkendalinya terciptanya sampah. Ketimbang sensor paha dan dada, lebih baik kampanye stop menjadi pembuat sampah. Film atau iklan yang aktornya merokok sudah dilarang, kini film dan iklan yang aktornya dalam aksinya “rajin” membuat dan membuang sampah sembarangan juga sudah harus dilarang. Kita masih menunggu perang dan unjuk rasa para LSM yang tidak cuma pandai membakar ban, foto, dan bendera.
Lembaga Agama juga harus mewartakan hal-hal horinsontal ini. Agama jangan cuma perduli pada akhlak dan prilaku seksual, tetapi mengabaikan akhlak seenaknya pembuat sampah. Surat-menyurat, publikasi, notulensi, lembar pendidikan umat, dsb. – pokoknya masih dalam taraf sebelum final – dapat menggunakan kertas bekas. Ingat, kertas berasal dari pohon, bukan dari sorga. Pasti, ada ayat-ayat Kitab Suci dari tiap agama yang mendukung kampanye lingkungan hidup, tinggal bagaimana para agamawan menafsirkannya.
Masyarakat rumahan juga layak ikut menjaga barang: kertas, plastik, karet, dan bahan bakar. Selain listrik dan gas atau minyak serta sisa makanan yang – bagi orang-orang tertentu terbiasa melakukannya - membiasakan diri menggunakan satu kertas untuk berbagai keperluan sebelum menjadi sampah sejati adalah pembiasaan yang perlu diterapkan dalam rumah tangga. Tampaknya sepele, namun ada sekitar 4 juta rumah tangga di Jakarta saja. Pemborosan 100 watt listrik saja berarti pemborosan 400 juta watt hanya untuk listrik – betapa besar! Harus ada kampanye “Hemat Membeli, Hemat Membuat Sampah”. Pemborosan itu dimulai dari hal-hal yang terlihat kecil, semisal sampah dari rumah-rumah tangga.

Tugas bersama
Pada kita semua terletak tanggung jawab majunya negara yang telah memproklamasikan kemerdekaannya hampir 63 tahun lalu. Usia proklamasi Republik Indonesia ini kira-kira tidak jauh berbeda dengan Filipina, Taiwan, Singapura, India, bahkan Jepang sendiri. Masyarakat di negara-negara itu sudah sadar akan perlunya mengendalikan diri untuk membuat sampah. Masakan kita belum dapat mengurus sampah sendiri, padahal kita memiliki banyak ahli di bidang lingkungan hidup.
Memang tidak mungkin menghentikan sama sekali membuat sampah. Bukankah kita setuju bahwa manusia adalah makhluk pembuat sampah. Namun kesadaran untuk mengurangi membuat sampah adalah perlu. Dengan mengurangi naluri dan kebiasaan membuat sampah, kita turut menjaga kelangsungan planet bumi melalui hidup sejahtera tanpa banjir, bau busuk, dan bibit penyakit baru. Di samping itu, dampak buruk ekonomis karena sampah dapat ditekan dan dialihkan menjadi berkat karena menjaga lingkungan. °

Tidak ada komentar: