SEBUAH TINJAUAN SOSIO-TEOLOGIS
BAGAIMANA ANAK (TIDAK) IKUT PERJAMUAN KUDUS
Oleh : Rasid Rachman
Baptisan dan fenomena inisiasi
Adanya praktek baptisan dan peneguhan sidi di Gereja-gereja merupakan fenomena umum apabila dilihat melalui kacamata sosiologis, yakni upacara inisiasi. Inisiasi berasal dari kata initiatio: peresmian, upacara penerimaan; initium: awal, mulai. Hampir setiap komunitas masyarakat: negara, kampus, biara, palang merah, Pramuka, perguruan silat, dsb., baik tradisional maupun modern, memiliki ritus inisiasi. Seseorang yang ingin masuk ke dalam komunitas tersebut harus melewati sejumlah pengujian layak atau tidaknya.[1] Pengujian itu harus ditempuh agar seseorang diakui sebagai “warga resmi” komunitas tersebut, dengan memiliki sejumlah hak dan kewajibannya.
Gereja yang lahir sebagai salah satu unsur masyarakat pun memiliki warisan dan imbasan fenomena inisiasi. Dengan melewati tahap baptisan (dan peneguhan sidi), seseorang resmi diakui sebagai warga gereja dan bahkan warga Kristen universal. Dengan demikian ia memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Semula, menurut naskah-naskah Perjanjian Baru baptisan sebagai ritus inisiasi adalah sederhana. Dalam perjalanan sejarah Gereja, hak dan kewajiban tersebut beberapa kali mengalami pergeseran makna, pertambahan, pengurangan, variasi, adaptasi, kontekstualiasasi, reinterpretasi, dsb. sehingga menjadi seperti yang kita kenal dan alami saat ini.
Baptisan merupakan upacara inisiasi yang telah lama dipraktekkan oleh Gereja, dan berlaku secara universal. Baptisan berasal dari kata βάπτίζω: mencelupkan ke dalam air, membasuh dengan air, wudu, mencuci. Inisiasi baptisan yang menggunakan air sebagai sarana merupakan warisan pengaruh dari masyakarat umum ketika Gereja mula-mula berdiri. Komunitas Yahudi Qumran dan Yohanes Pembaptis seringkali disinyalir sebagai pembawa tradisi inisiasi baptisan Kristen dengan sarana air – jelas berbeda dengan inisiasi sunat, sebagaimana dipraktekkan oleh umat Israel dalam Perjanjian Lama.[2]
Sekalipun tradisi Gereja awal menggunakan air hidup, yakni air mengalir atau mata air, namun tidak lama setelah abad pertama tradisi Gereja memberikan alternatif menggunakan air tidak mengalir. Didakhe menuliskan sebagai berikut:
Baptisan sebagai berikut: setelah ada penjelasan tentang segala hal yang penting perihal pembaptisan, maka baptislah di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, di dalam air mengalir. Tetapi apabila tidak mempunyai air mengalir, baptislah dengan air yang lain; apabila tidak ada air dingin, pergunakanlah air hangat; tetapi apabila tidak punya air banyak, tuangkanlah air ke atas kepala sejumlah tiga kali di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.[3]
Air apa pun boleh digunakan untuk membaptis, sebab yang ingin ditekankan di sini adalah air sebagai alat pembersih yang bersifat natural, simbol kehidupan dan kesuburan (Yes 41:17). Baptisan dengan menggunakan sarana air menyimbolkan pembersihan dari kenajisan, yakni dosa. Setelah pembersihan karena dosa, maka kini ada kehidupan; atau dipahami juga sebagai keselamatan. Kehidupan dipahami sebagai karya Roh Kudus. Oleh karena itu dalam Perjanjian Baru, baptisan biasa dihubungkan dengan pengampunan dosa dan Roh Kudus yang menerangi, membenarkan, menguduskan, dan menghidupkan (Yoh 1:33; 3:5-8; Kis 2:38; 9:17-18; Kol 2:12-13; Tit 3:5-6).[4] Seseorang yang ingin (dianggap) termasuk peguyuban Kristen tersebut – mereka yang telah memperoleh pengampunan dosa, mendapat curahan Roh Kudus, dikuduskan, dsb. – masuk melalui ritus inisiasi baptisan.
Peneguhan sidi (confirmatio) sebagai inisiasi berikut
Lama kelamaan, ritus inisiasi dengan air: baptisan, ini dilengkapi dengan pencurahan Roh Kudus – yang entah bagaimana datangnya, kemudian dilakukan melalui penumpangan tangan. Perkembangan tersebut ditampilkan dalam liturgi baptisan pada hari raya Paska, menurut Hippolytus, sebagai berikut:
Pada jam ayam berkokok inisiasi dimulai dengan pemberkatan air baptisan, minyak eksorsisme, dan krisma, oleh Uskup. Para calon baptis membuka pakaian, lalu melakukan eksorsisme: “Aku menolak setan, …” di hadapan Imam. Imam mengolesi badan mereka dengan minyak, sambil berkata: “Pergilah, setan-setan, pergilah darinya!” Lalu, calon baptis masuk ke tempat air, di mana Imam dan Diakon telah ada di situ sebelumnya.
1] Baptisan dilakukan dengan menyelamkannya. Sebelumnya Imam menanyakan kepercayaan calon baptis: “Apakah angkau percaya kepada Allah, Bapa?” Calon baptis menjawab: “Ya.” Maka ia dimasukkan ke dalam air; tangan Imam menekan kepalanya.
Setelah tanya-jawab Tritunggal dan pembaptisan tersebut dilakukan, calon baptis naik dari air. Imam lain kemudian meminyaki kepalanya dengan krisma: “Aku meminyaki engkau dengan minyak kudus dalam nama Yesus Kristus.”
2] Setelah calon baptis berpakaian, Uskup menumpangkan tangan ke atas mereka, lalu memohonkan: “Tuhan Allah yang telah memperhitungkan pelayanan mereka, melimpahi mereka dengan Roh Kudus dan menganugerahi mereka agar melayani-Mu sesuai dengan kehendak-Mu ….”
Kemudian Uskup menuangkan minyak krisma dan meletakkan tangan ke atas kepala calon baptis tadi, dan berkata: “Aku meminyaki engkau dengan minyak kudus di dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus.” Uskup memberikan tanda juga pada dahi calon baptis tersebut dan memberikan cium kudus.
Setelah ritus baptisan ini selesai, para baptisan baru tersebut masuk ke ruang ibadah, bergabung dengan umat lain, dan merayakan perjamuan kudus. Perjamuan kudus tersebut adalah perjamuan mereka yang pertama.[5]
Dengan demikian, ketiga ritus yang kini terpisah: baptisan, peneguhan sidi, dan perjamuan kudus, merupakan satu ritus inisiasi pada zaman Patristik. Ketiga elemen atau sarana simbol pun digunakan, yaitu: 1) air, untuk baptisan; 2) Roh Kudus, untuk peneguhan sidi; 3) roti dan anggur, untuk perjamuan kudus. Terutama air dan Roh Kudus dalam baptisan dipandang sama sejajar sebagaimana roti dan anggur dalam perjamuan kudus.[6] Selain ketidakterpisahan antara baptisan dan sidi, juga mengindikasikan bahwa baptisan tersebut diterimakan kepada orang dewasa. Sebab calon baptis menjawab sendiri pertanyaan baptisannya. Lagipula, Perjanjian Baru tidak pernah secara eksplisit menyatakan adanya baptisan kepada anak,[7] walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya anak yang dibaptis di antara ribuan orang yang dibaptis sekaligus pada zaman para Rasul.
Abad ke-5 adalah masa puncak fenomenal pemisahan sidi dari baptisan. Namun baru pada abad ke-11 di Gereja Barat,[8] terjadi pemisahan dan sekaligus pengurutan mana-mana sakramen yang didahulukan dan yang kemudian antara baptisan dengan peneguhan sidi. Di Gereja Roma Katolik pemisahan tersebut bukan melulu menyangkut alasan karena jemaat yang dibaptis masih usia anak, maka tunggu usia dewasa baru seseorang diterimakan sidi, tetapi juga pada urutan makna. Dalam urutan sakramen – sebagaimana teologi yang berkembang pada Abad-abad Pertengahan – adalah sebagai berikut: pertama, baptisan; kedua, pengakuan dosa; ketiga, perjamuan pertama; keempat, penguatan; dst.[9] Soal terjadinya urutan itu, logikanya kira-kira begini: karena kelahiran, tak dapat ditawar, seseorang menerima baptisan. Oleh karena masih bayi, maka sidinya ditangguhkan, namun perjamuan kudus dapat diterimakan kepadanya karena telah dibaptis. Untuk menandakan seseorang layak atau tidak menerima komuni, maka dibuatlah sakramen pengakuan dosa sebelum perjamuan kudus.[10]
Pemisahan ritus baptisan dari peneguhan sidi: yang mana baptisan dan yang mana sidi, adalah pada penggunaan air. Sebagaimana kutipan praktek baptisan di atas, nomor 1] merupakan ritus baptisan, nomor 2] adalah bagian yang kemudian disebut sidi atau penguatan. Sidi dengan penumpangan tangan dengan satu atau dua tangan tersebut dilakukan dengan atau tanpa perminyakan, meminyaki dahi atau seluruh tubuh, membuat tanda salib di dahi dengan atau tanpa minyak; waktu itu belum ada keseragaman praktek di antara induk-induk liturgi.[11] Adanya pencurahan Roh Kudus merupakan pemahaman umum dalam ritus baptisan dan peneguhan sidi. Juga merupakan pemahaman umum – walaupun didahului oleh penafsiran personal setiap Uskup dan teolog zaman itu – bahwa tata gerak Uskup yang meneguhkan calon sidi tersebut dilihat sebagai telah diterimanya calon sidi tersebut ke dalam persekutuan Gereja bagi orang baru dan tanda rekonsiliasi bagi mereka yang pernah menjadi bidat.[12]
Dewasa ini dan dalam menanggapi hal pengurutan sakramen-sakramen, tidak semua teolog (termasuk dari Roma Katolik) bersetuju dengan pemisahan tersebut.[13] Artinya, tidak bersetuju bahwa sidi ditempatkan setelah perjamuan kudus pertama. Sebab bagaimana pun, sidi (atau sakramen penguatan) merupakan ritus yang menyertai (act subsequent to) dan memperlengkapi atau bahkan menyempurnakan baptisan.[14] Bahasa Indonesia: sidi, berarti sempurna. Logikanya: tidaklah mungkin memisahkan peneguhan sidi dari baptisan hanya karena alasan seseorang belum akilbalig untuk menerima peneguhan sidi. Konsekuensinya, antara baptisan dan sidi tidak boleh ada “jeda” yang diisi dengan sakramen lain, misalnya: perjamuan kudus.
Namun menurut pihak yang bersetuju memiliki dasar biblis pula bahwa dalam peguyuban Paulus tidak ada penumpangan tangan yang menyertai baptisan air.[15] Praktek liturgi Gereja awal, penumpangan tangan tidak berhubungan sama sekali dengan Roh Kudus sehingga dapat disebut sebagai akar peneguhan sidi. Sekalipun 2Korintus 1:21 telah menuliskan “meneguhkan”, namun istilah confirmatio (penetapan, penguatan) sendiri – sebagaimana praktek peneguhan sidi – baru muncul pada sekitar abad ke-5 di Gereja Barat atau setelah ada pemisahan yang tegas antara baptisan dan peneguhan sidi. Memang beberapa naskah Perjanjian Baru mencantumkan pencurahan Roh Kudus, namun tidak selalu berhubungan dengan baptisan,[16] sehingga tidak pas apabila disejajarkan dengan peneguhan sidi sebagaimana pemahaman masa kini.
Dalam praktek di dalam sejarah Gereja Roma Katolik, kedua pendapat tersebut tidak pernah ditolak, walaupun masih tetap diperdebatkan hingga kini. Jelas, satu-satunya “kambing hitam” yang diajukan sehubungan dengan polemik teologis perihal adanya peneguhan sidi adalah baptisan anak.
Melihat perbedaan tersebut Gereja-gereja Protestan di Indonesia (termasuk GKI) rupanya lebih dapat memuaskan keinginan teologis mereka yang memandang baptisan (dan sidi) dan perjamuan kudus adalah dua sakramen yang saling menyertai. Namun tunggu dulu! Peneguhan sidi bagi Gereja-gereja Protestan di Indonesia adalah pelantikan seseorang menjadi anggota jemaat penuh dengan kewajiban dan haknya, baik ikut perjamuan kudus maupun kawin dan terpilih menjadi pejabat gereja.[17] Kalau baptisan anak dipandang sebagai inisiasi belum penuh, maka peneguhan sidi adalah inisiasi penuh. Akar dari pemahaman tersebut telah ada sejak zaman Reformasi abad ke-16. Luther dan Calvin memahami sidi sebagai pendahulu perjamuan kudus.
Pada pihak lain hendak dipertahankan bahwa anak-anak dididik dalam iman sebelum mereka ikut dalam perjamuan kudus, suatu hal yang justru ditegaskan pada akhir Abad-abad Pertengahan. Sekaligus tidak ada keberatan untuk mempertahankan kebiasaan untuk menyertai komuni pertama, saat pertama anak ikut dalam perjamuan kudus, dengan upacara khusus, yang tidak bersifat sakramen, namun penuh khidmat. Demikianlah diciptakan konfirmasi atau peneguhan sidi Protestan.[18]
Dengan demikian, peneguhan sidi adalah prasyarat untuk perjamuan kudus pertama. Hanya sidi itu memang berlangsung pada usia seseorang masih dini: sekitar 10 tahun,[19] dan belum akilbalig; tentu belum layak menikah. Seseorang baru dinyatakan akilbalig atau dewasa secara hukum, yakni disebut anggota sidi (lama setelah dilakukan peneguhan sidi kepadanya) dengan hak untuk memilih dan dipilih sebagai pejabat gereja, adalah 18 tahun.[20] Jadi Calvin membedakan antara peneguhan sidi untuk perjamuan kudus dan pernyataan dewasanya seseorang yang akilbalig. Bagi Calvin adalah dimungkinkan orang yang telah disidi dan ikut perjamuan kudus tidak serta merta memiliki hak menjadi pejabat gereja dan menikah, karena masih di bawah umur.
Praktek dan pemahaman Gereja-gereja Protestan di Indonesia selama ini seringkali terbalik dan agak rancu, antara peneguhan sidi dan kedewasaan. “Bukan orang harus menjadi dewasa lebih dahulu baru dapat menjadi anggota sidi Gereja, tetapi ia harus disidi untuk menjadi dewasa.”[21] Hal ini masih sering terjadi di mana Majelis Jemaat buru-buru meneguhkan sidi seseorang sebab bulan depan ia menikah.
TALAK GKI menetapkan syarat usia calon baptis (pasal 22:2a) dan calon sidi (pasal 25:2a) adalah 15 tahun.[22] Syarat usia sudah dipraktekkan oleh Sinode-sinode Wilayah sejak lama dan beberapa kali mengalami perubahan. Tak ada alasan tertulis tentang munculnya perubahan usia tersebut, namun tampaknya berhubungan dengan usia boleh kawin atau belum,[23] kecuali TALAK GKI yang tampaknya tidak terlalu berdasarkan kawin tersebut. Perubahan-perubahan usia tersebut merupakan penyesuaian usia cukup untuk menikah.
Baptisan anak: alasan kemunculannya
Oleh karena sejak semula baptisan dihubungkan dengan keselamatan, dan karena seringkali terjadi seorang anak atau bayi meninggal sebelum dibaptis, maka muncullah praktek seseorang dibaptis secepat mungkin setelah kelahirannya. Tidak jelas kapan dan di mana tepatnya praktek ini semula muncul, namun Gereja-gereja di wilayah Afrika Utara: Karthago dan Aleksandria, telah lazim membaptiskan bayi sejak abad ke-3. Origenes, Cyprianus, Augustinus mengemukakan bahwa seseorang telah memiliki dosa warisan atau dosa asal. Oleh sebab itu, seawal mungkin patutlah seseorang – melalui orangtuanya – dinyatakan terhapus dari warisan dosa tersebut, tidak perlu tunggu ia dewasa.[24] Yesus memberkati anak-anak (Mat 19:13-15; Mrk 10:13-16; Luk 18:15-17) telah lazim digunakan sebagai dasar baptisan anak sejak tahun 200-an. Sementara Gereja yang lain menggunakan nas tersebut sebagai penyerahan anak kepada Tuhan, bukan untuk dibaptis.[25] Sampai kini, Gereja-gereja tetap memakai dasar tersebut untuk baptisan anak; satu-satunya sakramen yang tidak secara langsung diperintahkan oleh Yesus.
Walaupun pandangan Augustinus cs. ditentang oleh Pelagius, baptisan anak tetap dan malahan semakin marak diberlakukan setelah zamannya. Adanya pertentangan itu justru membuktikan adanya praktek baptisan anak waktu itu. Beberapa kekecualian dan cara untuk mengatasi persoalan kanak-kanak, coba diselaraskan untuk keperluan tersebut. Penyelarasan tersebut mau tak-mau menimbulkan perubahan dalam proses pembaptisan. Misalnya: masa katekumenat yang dikenakan kepada calon baptis, untuk baptisan anak ditiadakan; eksorsisme ditiadakan dengan pemahaman bahwa formula yang diucapkan oleh Imam tersebut berlaku otomatis sebagai eksorsisme; tanya-jawab baptisan yang ditujukan kepada calon baptis, kini dapat diwakilkan kepada sponsor atau orangtua rohani hingga anak tersebut dewasa dan dapat mengucapkan imannya sendiri; dan (ini yang langsung berhubungan dengan sidi) eksorsisme dan peneguhan yang biasanya langsung diterapkan, kini ditunda hingga anak tersebut mampu sendiri memahaminya.[26] Saat akilbalig: 15 tahun-an, dirasa saat yang pas untuk melaksanakan maksud itu.
Pernyataan iman itu tetap perlu dan dianggap vital untuk keselamatan. Hingga sebelum anak tersebut dewasa (akilbalig), di mana ia belum mampu menyatakan imannya sendiri, padahal ia berpotensi melakukan perbuatan tak baik secara moral, tugas orangtua rohani atau orangtua serani menjadi berat. Perubahan lain adalah praktis, yakni menuangkan air ke atas kepala calon baptis yang berdiri diri di kolam, berganti menjadi menyelamkan bayi itu ke kolam dengan tangan. Pada mulanya di abad ke-5, cara tersebut dilihat lebih sederhana, ketimbang cara dewasa tadi.[27]
Adanya baptisan anak membuat pemisahan sakramen: dari satu sakramen menjadi dua dan tiga sakramen: baptisan, sidi, dan perjamuan kudus. Umumnya, sidi dilakukan lama setelah seorang anak (atau bayi) dibaptis. Hanya sebentar dalam sejarah gereja abad ke-13 dan ke-14 sidi dilakukan sesegera mungkin setelah baptisan anak, yakni usia 1-2 tahun. Namun segera pula dihapuskan, sebab pencurahan karunia Roh Kudus – kemudian pencurahan Roh Kudus dihubungkan dengan pemberian tujuh karunia (Yes 11: hikmat, pengertian, nasihat, keperkasaan, pengetahuan, kesetiaan, dan takut akan Tuhan) – justru harus disampaikan kepada seseorang yang telah mengerti.[28] Artinya, setelah seseorang menjadi agak dewasa, sekitar 8 tahun atau bahkan lebih.
Hingga kini, praktek baptisan anak masih menjadi polemik teologis, termasuk di kalangan Protestan. Sejauh ini polemik besar tersebut dianggap tidak ada, sebagaimana praktek dan teologi peneguhan sidi, sekalipun praktek kedua ritus ini telah berlangsung sangat lama dan dinilai penting.[29] Itulah sebab, tulisan-tulisan mengenai kedua hal tersebut masih sangat sedikit jumlahnya.
GKI telah lama mempraktekkan baptisan anak. Dasarnya (TALAK GKI Pasal 23): 1) perjanjian anugerah Allah; 2) pengakuan percaya orangtuanya.[30] Dasar 1) dapat disejajarkan dengan penghapusan dosa warisan sebagaimana pernah dipahami dalam sejarah gereja. Dasar 2) agak bersifat “salah tempat” karena terlalu tidak fundamental sebagai dasar baptisan; mana mungkin dasar seseorang menjadi Kristen hanya karena ia lahir dalam keluarga Kristen. Dasar 2) tersebut sebaiknya ditempatkan secara tersendiri.
Perjamuan kudus di Indonesia: layakkah anak menerimanya?
Jelas, praktek perjamuan kudus dewasa kini tidak lagi sama dengan praktek perjamuan kudus pada zaman Patristik, di mana perjamuan kudus dirayakan berbarengan setelah baptisan dan peneguhan sidi. Oleh karena itu kita menemukan pergumulan tersendiri ketika berhadapan dengan boleh tidaknya seseorang yang telah baptis anak tetapi belum sidi, ikut mengambil bagian dalam perjamuan kudus. Tanpa mengalami proses sejarah gereja masa lalu – begitu lahir kita telah mengalami sendiri baptisan anak dan sidi – setahu kita ketiga ritus tersebut memang terpisah “dari sononya”. Di Indonesia (bahkan di Asia), sejak pertama kali diadakan perjamuan kudus pada 3 Januari 1621 di Batavia, pemisahan sakramen-sakramen justru telah lazim dilakukan.[31] Selama hampir 40 tahun saya menjadi anggota jemaat, tidak pernah saya menyaksikan langsung pelayanan baptisan, peneguhan sidi, dan perjamuan kudus dilakukan bersamaan (kecuali kebaktian yang saya pimpin 4-5 tahun terakhir). Bahkan sebagian Majelis Jemaat bersikap tidak ingin menyelenggarakan baptisan dan perjamuan kudus bersamaan. Hal inilah yang – menurut hemat saya – menutup sikap jemaat untuk melihat adanya kemungkinan perjamuan kudus dirayakan langsung setelah baptisan dan peneguhan sidi, dan bahwa ritus-ritus tersebut asalnya memang satu ritus inisiasi.
Bagaimana menurut Tata Laksana Gereja Kristen Indonesia? Mudah-mudahan bukan “salah nulis” bahwa Talak BAB VIII menulis SAKRAMEN, bukan SAKRAMEN-SAKRAMEN; pasal 21 menulis: “Sakramen yang diakui dan dilaksanakan oleh GKI adalah baptisan kudus dan perjamuan kudus”, bukan “Sakramen-sakramen yang diakui …”.[32] Dengan demikian ada kesadaran bahwa GKI memandang kesatuan sakramen antara baptisan dan perjamuan kudus, walaupun tidak merupakan kesatuan sakramen dengan peneguhan sidi – berdasarkan Pasal 20:i.[33]
Layak tidaknya seseorang menerima perjamuan kudus, tidak lagi menjadi polemik sejauh orang itu adalah anggota jemaat, tidak dalam penggembalaan khusus, dan telah dibaptis. Namun, bagaimana dengan seorang anak yang telah dibaptis, dan belum sidi. Apakah ia boleh mengambil bagian perjamuan kudus?
Sebagaimana pemisahan sakramen-sakramen, komuni pertama bukan hal baru dalam Gereja Reformasi. Luther mempertahankan kebiasaan Gereja Abad-abad Pertengahan untuk melayankan perjamuan kudus bagi anak dengan suatu upacara yang sekalipun bukan sakramen tetapi khidmat: peneguhan sidi. Bahkan Calvin mengatur suatu upacara dan persiapan khusus sedemikian rupa – misalnya dengan memberi pengumuman satu minggu sebelum perjamuan kudus – agar anak dapat ikut perjamuan kudus.[34]
Memang zaman selalu berubah, demikian pula praktek teologi. Dewasa ini kita berada di zaman oikumenis, di mana Gereja yang oikumenis adalah Gereja yang tidak tersendiri karena selalu ingin berbeda dari yang lain. Sejalan dengan gerakan oikumenis, sebaiknya Gereja-gereja Protestan di Indonesia mulai merefleksi bahwa apabila bisa saling menerima baptisan masing-masing, maka juga dapat terbuka dalam merayakan perjamuan kudus. Keterbukaan bukan hanya melibatkan sebanyak mungkin denominasi, tetapi juga usia dan generasi. Dengan demikian oikumenisitas Gereja menjadi lebih nyata melalui perayaan inisiasi.
Catatan-catatan
[1] Lihat uraian C. Groenen: Sakramen-sakramen Inisiasi Kristen: Baptisan dan Krisma, J.B. Banawiratma (editor), Baptis, Krisma, Ekaristi. Kanisius 1989, 77-79.
[2] Ibid., 88.
[3] Diterjemahkan dari Kenan B. Osborne, The Christian Sacraments of Initiation: Baptism, Confirmation, Eucharist. Paulist, 63, berdasarkan naskah Didakhe.
[4] Groenen, dalam Banawiratma (ed), 90-91.
[5] Dom Gregory Dix, The Theology of Confirmation in Relation to Baptism. Westminster, 12-13. Penomoran 1] dan 2] oleh penulis.
[6] Ibid., 21.
[7] Sejauh ini, pendapat adanya baptisan anak di zaman Perjanjian Baru merupakan perkiraan, yang tidak didukung oleh bukti eksplisit. Perkiraan yang digunakan biasanya adalah jeneralisasi baptisan seisi rumah tangga (Kis 10; 16:15; 16:25-34; 1Kor 1:16; 16:15), baptisan massal di zaman para Rasul (Kis 2:41; 8;12), dan Yesus memberkati anak-anak (Mat 19:13-15). Bnd. Paul K. Jewett, Infant Baptism and The Covenant of Grace. Eerdmans 1978, 47-50.
[8] Kasus di Gereja Timur berbeda dengan Gereja Barat: air baptisan yang telah diberkati (konsekrasi) sebelumnya telah mengandung Roh Kudus di dalamnya. Oleh sebab itu pemisahan sakramen-sakramen hanya terjadi di Gereja-gereja Barat.
[9] Osborne, 114-115.
[10] Bnd. Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme? BPK GM, 228-229.
[11] Joseph Martos, Doors to the Sacred: A Historical Introduction to Sacraments in the Catholic Church. New York, 209-210, menunjukkan perbedaan cara masing-masing di Yerusalem, Konstantinopel, Aleksandria, dan Karthago.
[12] Ibid., 211-212, berdasarkan Konsili Arles (314): seseorang yang pernah menjadi bidat tidak perlu dibaptis ulang, tetapi harus menerima penumpangan tangan kedua untuk pencurahan kembali Roh Kudus yang pernah hilang darinya pada waktu menjadi bidat.
[13] Misal: Groenen, dalam Banawiratma, 104-110; Nueheuser dan A.Benning, sebagaimana dicatat Osborne, 118.
[14] Osborne, 117-118, mengutip B. Neunheuser.
[15] Misal: Regli, sebagaimana dicatat Osborne, ibid.,118.
[16] Ibid., 118-119.
[17] De Jonge, 236.
[18] Ibid., 238.
[19] Ibid., 239.
[20] Ibid., 240.
[21] Ibid., 241.
[22] Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia, Tata Gereja Gereja Kristen Indonesia. Jakarta 2003, 50, 55.
[23] DI GKI Jabar, TATA TERTIB terakhir mensyaratkan calon baptis adalah minimal 16 tahun. Sebelumnya, usia calon baptis ditetapkan 14 tahun.
[24] Martos, 174-175.
[25] Jewett, 55-56.
[26] Martos, 176-177.
[27] Ibid., 177-178.
[28] Ibid., 220-221. Usia untuk sidi berubah-ubah sejak Abad-abad Pertengahan hingga kini, yakni berkisar antara 7-10 tahun, 8-14 tahun, dan 10-17 tahun, Namun perubahan yang mencolok adalah keikutsertaan anak dalam perjamuan kudus pertama; kadang sebelum sidi, kadang setelah sidi.
[29] Ibid., 216-217: sejak awal Abad-abad Pertengahan, baptisan anak dan peneguhan sidi telah dimasukkan ke dalam Buku-buku Liturgi Gereja Barat, telah pengaturan petugas yang bukan Uskup untuk memberikan perminyakan bagi katekumen yang sekarat, pemberkatan minyak krisma, dsb. De Jonge, 2020-203: Calvin tidak bersetuju menyelenggarakan baptisan anak dalam keadaan sekarat.
[30] Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia, 52.
[31] De Jonge, 233-234. Tentang latar belakang terjadi pemisahan sakramen-sakramen, lihat I.H. Enklaar, Baptisan Massal dan Pemisahan Sakramen-sakramen. BPK 1978. Terjadinya pemisahan tersebut adalah akibatnya banyaknya jumlah umat dan sedikitnya jumlah Imam yang mampu melayankan perjamuan kudus. Sementara pembaptisan dilakukan oleh siapa pun – sekalipun bukan Pastor atau Pendeta – sehingga diragukan kualitas pengetahuan dan kesiapannya sebagai Kristen, sementara perjamuan kudus hanya harus dilayankan oleh Imam.
[32] Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristen Indonesia, 49.
[33] Ibid., 49.
[34] De Jonge, 238-239.
*) Makalah ini dipresentasikan dalam Seminar Teologi Terbatas Gereja Kristen Indonesia, 22 November 2003
“Mencermati Konsep Doktrinal GKI Mengenai Baptisan dan Perjamuan Kudus dari Perspektif Biblika, Sejarah, dan Sosiologi”