Oleh: Rasid Rachman
Orang Yahudi biasa merayakan Paska dengan mengadakan perjamuan malam. Perjamuan di meja rumah tersebut hanya dihadiri oleh keluarga dekat atau kerabat. Sementara ritus perjamuan berlangsung – bisa selama 4 jam – mereka mengadakan percakapan tentang awal masuknya para bapa leluhur ke tanah Mesir dan Israel. Sebagian ritual tersebut adalah sebagai berikut:
Seorang anak terkecil dalam komunitas bertanya kepada bapaknya, begini: “Pada malam lain kita makan roti beragi atau roti tak beragi, tetapi malam ini mengapa hanya roti tak beragi? Pada malam lain kita makan semua jenis sayuran, tetapi malam ini mengapa hanya sayur pahit? Pada malam lain kita makan makanan yang dimasak, dipanggang, atau direbus, tetapi mengapa malam ini hanya makanan yang dipanggang? Pada malam lain kita mencelup satu kali, tetapi mengapa malam ini mencelup dua kali?”
Semua pertanyaan ini merupakan isyarat bagi sang bapak untuk menjelaskannya dengan haggadah (= kisah, mengisahkan cerita dengan cara melantunkannya) Paska.
Haggadah adalah pengisahan untuk mengenang sejarah Israel, sehingga yang hadir terlibat kembali di dalamnya seperti yang dialami oleh nenek moyang mereka. Lazimnya, sang bapak membuka kisahnya dengan kalimat: “Bapakku dahulu seorang Aram, seorang pengembara. Ia pergi ke Mesir dengan sedikit orang saja dan tinggal di sana ” (dan seterusnya seperti tertulis dalam Ul 26:5-6). Pengisahan tersebut begitu menarik bagi yang hadir, sehingga semua orang terlibat di dalamnya. Itulah sebabnya, haggadah adalah ritus tetap dalam perjamuan Paska orang Yahudi.
Kita dapat belajar dari umat Israel akan momen memperingati, yakni dengan Haggadah. Berefleksi dari masa kini dengan berangkat dari masa lalu untuk mengarah ke masa depan. Masa lalu dikisahkan demi masa kini dan masa sehingga menjadi hidup. Masa lalu bukan sekadar menjadi nostalgia semata.
Tahun 1994 – 1999 di Delima adalah masa orang-orang tertentu bermemori dan bernostalgia. Lihat saja cerita-cerita dan foto-foto ulang tahun di masa itu. Semuanya adalah tentang orang-orang tahun 1980, yakni ketika Jemaat ini berdiri. Ceritanya bagus-bagus, lucu-lucu, dan temanya tiada lain adalah tentang “dulu kita selalu akrab, semua kenal semua.” Maklum, itu semua adalah memori dan nostalgia, bukan haggadah. Memori atau nostalgia selalu dilihat secara lebih baik, dan semuanya demi masa lalu – bukan masa kini dan masa depan.
Pada waktu umat Israel ber-haggadah, mereka menyadari bahwa kejayaan masa lalu sama sekali tidak akan berarti tanpa guliran masa kini. Bahkan mereka menyadari bahwa pahlawan atau tokoh-tokoh mereka dulu hanya merupakan satu dari rangkaian mata rantai. Peran mata-mata rantai lain di setiap masa juga sama pentingnya, sebab jika bukan karena peran penerus, peran pendiri menjadi tidak ada artinya sama sekali. Itulah sebabnya, Israel bukan hanya menyebut Abraham, Ishak, dan Yakub, tetapi juga Yusuf, Musa, Yosua, Gideon, Rut, Samuel, Saul, Daud, Salomo, dan seterusnya. Israel juga melihat para pendahulu mereka dari segala sisi. Semua leluhur mereka pernah melakukan yang baik dan pernah juga melakukan kesalahan. Mereka semua dan satu persatu adalah mata-mata rantai sejarah umat Allah hingga hari ini. Satu saja mata rantai itu ditiadakan, maka tidak akan jalinan rantai umat Allah.
Setelah 25 tahun berjemaat, hendaknya kita mensyukuri karya Tuhan yang telah memberikan setiap orang kesempatan menjadi satu mata rantai.
*) Tulisan ini ditulis berdasarkan permintaan Panitia HUT GKI Delima. Katanya akan dimuat di dalam buku HUT ke-25.
Senin, Februari 14, 2011
KITA ADALAH MATA RANTAI DI DALAM SEJARAH GEREJA TUHAN
Label:
musafir jemaat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar