Oleh: Rasid Rachman
Toleransi adalah satu kata kunci yang tidak boleh dilupakan oleh setiap relawan “gadungan” macam saya ini. Bekerja dengan beberapa orang yang sebagian besar belum saling kenal namun didesak oleh keadaan dan kepentingan serta prioritas dan di dalam kondisi abnormal, jika tidak berpegang teguh pada kata yang satu ini, bisa-bisa stress dan frustrasi akibatnya. Intinya, toleransi harus dibawa kemana pun dan kapan pun, kecuali soal keselamatan jiwa.
Ada banyak alasan untuk bertoleransi di dalam kondisi-kondisi tertentu. Ada yang wajar, ada yang tidak wajar; mau tidak mau melanggar tatanan normal. Misalnya soal menu makanan yang ala kadarnya. Tentu kita harus menganggapnya dan menerimanya sebagai kewajaran. Dapat makan di tengah bencana saja sudah sangat beruntung dan bersyukur, masakan masih mau milih-milih ini dan itu(?) Fasilitas hidup yang seadanya, semisalnya waktu istirahat, tempat tidur, kamar mandi, jelas tidak bisa bermanja-manja nurutin standar. Hal ini belum termasuk ketepatan waktu dan munculnya perubahan mendadak dari rencana matang. Jangan menjadi orang aneh hanya karena mau mulai dan selesai tepat pada jadwal. Atau tidak usah menjadi relawan saja sekalian, jika hal-hal seperti itu masuk ke dalam kriteria.
Sikakap, ibu kota Kecamatan di Pulau Pagai Utara, pada 4 November 2010, sepekan setelah tsunami melanda bagian lain dari Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan.
Setibanya Tim GKI di rumah keluarga Celcius 3 November 2010; berbincang dan makan malam.
Bagi saya, kondisi semacam itu adalah hal yang lumrah. Bahkan seringkali saya menjadi malu sendiri dan “gak enak ati” ketika keluarga yang menerima kami melayani dengan sepenuh hati. Mereka menyediakan segala keperluan kita, baik tim maupun pribadi, dan melampaui waktu kegiatan rutin mereka. Aktivitas harian dan pekerjaan rutin seringkali terganggu dengan kehadiran tim relawan. Sekali waktu, keluarga yang menerima kami sampai menyembelih hewan piaraannya ketika lokasi kami terisolir dari bahan mentah karena terhambat cuaca laut selama sepekan.
Di pengungsian juga tidak jauh berbeda. Pernah kami menuju lokasi pengungsian yang lumayan berat. Tim harus berjalan mendaki bukit sejauh 2,5 km dengan membawa barang-barang bantuan termasuk makanan. Baru saja kami tiba di lokasi setelah lebih dari 1 jam berjalan, masih terengah-engah, ibu-ibu pengungsi sudah menyediakan makan siang di tenda tamu. “Silakan makan bapak-bapak dan ibu,” sapa mereka. Penuh rasa heran dan haru, kami pun menyambut keramahan mereka dan menyantap makanan yang disediakan.
Soal safety first juga termasuk di dalam kerangka toleransi. Walaupun kami tetap mengutamakan keselamatan diri, namun agak diperlonggar sedikit. Kapasitas maksimum sampan atau tinggi gelombang sejauh masih rasional dan hati-hati, dihadapi. Dalam perjalanan membawa bantuan ke Monai, kapasitas sedikit melampaui maksimum. Masih dapat diakali, berangkat lebih pagi. Alasannya selain supaya berangkat sebelum ombak terlalu besar, juga karena waktu tempuh menjadi lebih lama dengan saratnya muatan di sampan.
Ketika mengantar bantuan ke Eru Paraboat, cuaca tidak terlalu baik sekalipun cuaca di darat baik. Gelombang setinggi 4 meter, walaupun membuat ketar-ketir orang darat namun masih dianggap biasa oleh orang laut, masih ditoleransi karena belum membahayakan keselamatan. Pesannya hanya: “Hati-hati di jalan.”
Namun toleransi yang betul-betul perlu perhatian adalah perokok. Kebanyakan relawan dan penduduk adalah perokok. Yang tidak merokok, menderitalah. Aksi merokok para perokok ini tidak kenal tempat, bisa di dalam ruangan tertutup, waktu ngobrol, di dalam kamar, setelah makan, rapat, bahkan di depan anak-anak. Asap dan bau rokok ada di mana-mana. Yah mau apa lagi, demi kepentingan misi menolong korban dan kerjasama, hal-hal semacam ini harus ditoleransi juga. Yang keberatan tidak dapat menghardik: "No smoking area!"
Ada juga toleransi dalam hal kesehatan. Bukan hanya waktu makan dan waktu istirahat, pakaian yang dipakai pun perlu ditoleransi. Pakaian yang tidak sempat dicuci atau tidak sempat kering, rela juga dikenakan. Hal biasa juga jika pakaian dalam dikenakan AC-DC alias bolak-balik. Memang, relawan seringkali membawa sedikit sekali keperluan pribadi, karena harus berbagi ruang koper dengan barang-barang bawaan sebagai bantuan kepada korban. Belum lagi soal cuci tangan sebelum makan dan cuci kaki sebelum tidur.
Pikir-pikir, menjadi relawan tidak terlalu jauh beda dengan hidup sebagai pengungsi. Namun, guna menghibur hati, begitulah seni menjadi relawan. Relawan memang bukan turis di lokasi bencana. ■
Senin, November 22, 2010
TOLERANSI RELAWAN
Label:
relawan mentawai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar